Minggu, 16 Agustus 2009

9 PERJALANAN KE SAYYEDA ZAINAB

Azzam melihat jam tangannya. Sudah seperepat jam ia menuggu, bus ke Sayyeda Zaenab tidak juga datang, padahal bus ke Atabah sudah berkali-kali lewat. Halte bus di depan Masjid Al Azhar itu ramai manusia. Sebagian duduk di kursi halte, tapi yang berdiri jauh lebih banyak. Bus jurusan Imbaba datang. Orang -orang berlarian naik. Seorang ibu-ibu sekuat tenaga berusaha menggapai pintu bus. Tangannya telah meraih pegang-an, dan ketika kakinya hendak naik, bus itu berjalan. Ibu-ibu itu tidak melepaskan pegangannya. Jadilah ia terseret. Para penumpang dan orang-orang yang melihatnya berteriak -teriak marah. Seorang lelaki setengah baya berteriak keras marah,

"Hasib ya hayawan! " 35 35 Hati-hati, jangan sembrono, hei hewan!

Bus itu berhenti, dan sang sopir tertawa nyengir tanpa terlihat berdosa sama sekali. Ibu-ibu berhasil naik dan kema rahannya tidak juga berhenti. Azzam melihat hal ltu dengan hati sesak. Sudah tak terhitung lagi ia melihat kejadian seperti itu. Seorang turis bule tampak asyik mengabadikan adegan kekonyolan. Tampaknya turis itu mendapatkan oleh oleh yang sangat unik untuk dia bawa ke negaranya. Azzam merasakan dadanya semakin sesak. Layakkah kekonyolan semacam ini terjadi di depan kampus Islam tertua di dunia? Tanyanya dalam hati.

Bus jurusan Imbaba itu telah hilang dari pandangan. Tak lama sebuah bus datang. Ia sangat akrab dengar nomor bus itu. Delapan puluh coret. Bus yang sangat legendaris dan terkenal bagi mahasiswa Asia Tenggara yang ting-gal di kawa san Hayy El Ashir. Legendaris karena murah-nya. Jauh dekat sama saja. Cuma sepuluh piester. Apa tidak murah. Dan terkenal, karena lewat jalur strategis bagi mahasiswa. Bus itu dari Hayyul Ashir Nasr City melewati Hayyu Thamin, Masakin Ustman, Kampus Al Azhar Nasr City, Muqowilun, Duwaiqoh, Kampus Al Azhar Maydan Husein, dan berakhir di Attaba.36 36 Tahun 2006 route bus delapan puluh coret berubah jadi: Hayyul Ashir Nasr CityHayyu Thamin- Masakin Ustman-Kampus Al Azhar Nasr City- Muqowilun - Duwaiqoh Buuts -Darrasah. Selain itu, juga terkenal karena sering terjadi pencopetan di dalamnya. Maka seringkali mahasiswa Indonesia menyebutnya, "bus delapan puluh copet", bukan "delapan puluh coret". Meskipun demikian, bus itu tetap saja dicintai dan dekat di hati.

Begitu delapan puluh coret berhenti, dari pintu depan banyak penumpang yang turun. Dan di pintu belakang penumpang berjejal naik. Ia melihat seorang dosen ikut berdesakan naik. Ia amati dengan seksama, ternyata Prof. Dr. Hilal Hasouna, Guru Besar Ilmu Hadis. Ia selalu dibuat takjub oleh sikap tawadhu' dan kesahajaan para syaikh dan guru besar Universitas Al Azhar. Di Indonesia mana ada seorang guru besar yang mau berdesakan naik bus.

Perlahan delapan puluh coret pergi. Lima detik kemudian datang bus bernomor enam puluh lima. "Ini dia," desis Azzam lirih. Hatinya begitu lega dan bahagia. Selalu saja di dunia ini, jika seorang menanti sesuatu dan sesuatu yang dinanti itu hadir, maka hadir pulalah kebahagiaan yang susah dilukiskan. Di antara bus-bus yang lain, enam puluh lima adalah yang paling dicintai Azzam. Karena bus itulah yang senantiasa mengantarkannya ke Pasar Sayyeda Zaenab. Bus itu telah menjadi alat yang sangat akrab dalam menunjang bisnisnya. Bisnis tempe dan bakso.

Begitu bus berhenti beberapa orang naik dari pintu belakang. Azzam ikut naik. Bus tidak penuh sesak. Tidak ada penumpang yang berdiri. Namun tidak banyak tempat duduk yang kosong. Semua penumpang yang baru naik, mendapatkan tempat duduk, kecuali Azzam. Ia harus berdiri . Bus beranjak pergi menyusuri Al Azhar Street. Azzam berdiri agak di tengah. Sekilas ia melihat ke depan. Beberapa mahasiswi Asia Tenggara duduk di barisan depan.

"Mungkin mereka juga mau belanja di Sayyeda Zaenab. " Gumamnya dalam hati.

Ia yakin mereka mahasiswi Indonesia, meskipun tidak menutup kemungkinan ada mahasiswi Malaysia. Yang lebih sering kreatif belanja ke Pasar Sayyeda Zaenab biasanya mahasiswa dan mahasiswi dari Indonesia. Sementara maha siswa dan mahasiswi dari Malaysia lebih memilih belanja di tempat yang dekat dengan flat mereka di Nasr City, seperti Swalayan Misr wa Sudan di Hayye El Sabe. Meskipun tentu saja harganya lebih mahal.

Perlahan bus beranjak menyusuri Al Azhar Street. Dari jendela Azzam bisa melihat bangunan-bangunan tua yang kusam. Di antara bangunan itu banyak yang dijadikan toko dan gudang tekstil. Sampai di El Muski belok kiri menyusuri Port Said Street.

Bus terus melaju melewati Museum of Islamic Art. Di halte dekat Maidan Ahmad Maher bus berhenti. Seorang perem puan Mesir turun. Tak ada penumpang naik. Bus kembali berjalan. Azzam duduk di kursi yang baru saja ditinggal perem puan Mesir. Kursinya masih terasa hangat. Ia merasa lega. Sekilas ia tahu bahwa yang duduk di sampingnya adalah seorang mahasiswi Asia Tenggara. Ia tak merasa harus menyapa. Pikirannya sudah ada di Pasar Sayyeda Zaenab. Ia melihat jam tangannya. Ia berharap tidak terlambat sampai disana. Kalau terlambat ia akan bertambah lelah karena tidak menda patkan barang yang ia inginkan.

"Semoga Ammu Ragab belum pulang" doanya dalam hati. Jika Ammu Ragab pedagang kedelai itu sudah pulang ia harus ke Pasar Attaba. Harga kedelai di Attaba lebih mahal dan kualitas kedelainya di bawah Sayyeda Zaenab. Dan ia sebagai produsen ingin memberikan yang terbaik kepada konsumen. Terbaik dalam harga, juga terbaik dalam kualitas barang. Selisih harga sekecil apapun harus ia perhatikan. Ia memang berusaha seprofesional mungkin. Meskipun cuma bisnis tempe.

Ia ingin memposisikan diri sebagai produsen tempe terbaik dan termurah. Ia berusaha memposisikan tempenya adalah tempe dengan kualitas kedelai nomor satu. Rasa nomor satu. Rasa khas tempe Candiwesi Salatiga yang sangat terkenal itu. Dan kelebihan lainnya adalah bentu knya paling besar di antara tempe yang lain, isinya paling padat, dan harganya paling murah. Inilah uniquiness yang dimiliki hasil produk sinya. Keunikan inilah yang menjadi positioning bisnisnya. Dan ia akan terus mempertahankan positioning ini terus terukir dalam benak para pelanggannya. Sehingga para pelanggan itu percaya penuh padanya dan pada produk- produknya.

Untuk menjaga hal itu memang perlu keseriusan dan kerja keras. Tidak hanya konsep dalam pikiran atau di atas kertas. Ia teringat satu ajararan dari Cina kuno: "Kamu akan mendapatkan apa yang kamu inginkan, jika kamu bekerja keras dan tidak keburu mati dulu"

Ajaran itu senada dengan kata mutiara bangsa Arab yang sangat dahsyat: Man jadda wajada. Siapa yang besungguh sungguh berusaha akan mendapatkan yang diharapkannya.

Bus terus berjalan.

"Maaf, Anda dari Indonesia ya? " Ia mendengar suara pelan dari sampingnya. "Iya benar. Anda juga dari Indonesia?" Jawabnya tenang.

"Iya. Maaf, kalau boleh tanya toko buku Daarut Tauzi' itu di mana ya?"

"Sebentar." Ia melihat ke depan dan ke kiri jalan. "Halte depan. Sebelah kiri jalan ada tulisannya kok.

Pokoknya kira -kira seratus meter dari Masjid Sayyeda Zaenab." Lanjutnya

"Terimakasih."

"Sama-sama. Belum pernah ke Daarut Tauzi'ya?"

"Iya belum pernah. Biasanya saya beli buku di toko toko buku dekat kampus Al Azhar Maydan Husein"

"Oo."

Setelah itu keduanya diam. Masing-masing mengikuti pikirannya sendiri. Setiap kali bertemu dengan maha-siswi Indonesia Azzam langsung teringat dengan kedua adiknya yang sudah gadis. Husna dan Lia. Husna pastilah sudah saatnya menikah. Dan Lia telah meninggalkan masa remaja. Genap sembilan tahun sudah ia tidak bertemu mereka berdua. Adapun adiknya yang ketiga, si Bungsu Sarah, sudah masuk usia sembilan tahun. Ia sama sekali belum pernah melihatnya, kecuali lewat foto. Saat ia meninggalkan Indonesia dulu, Sarah masih berada dalam kandungan ibunya. Seperti apakah wajah ketiga adiknya itu.

"Semoga ada jalan untuk pulang. Aku rindu pada mereka. Juga pada ibu," katanya dalam hati. Dan jalan pulang yang paling realistis baginya adalah membuat tempe sebanyak banyaknya, dan berdoa semoga mendapatkan order membuat bakso yang juga sebanyak-banyaknya. Hasil dari usahanya itu akan ia gunakan membeli tiket. Jika kurang semoga bisa minta bantuan ke Baituz Zakat yang berkantor di Muhandisin. Namun sesungguhnya dalam hati ia ingin bisa membeli tiket sendiri tanpa minta bantuan kepada siapapun. Itu berarti ia harus benar benar membanting tulang dan memeras keringat. Di samping itu semua, yang paling penting adalah, ia harus selesai S.1 tahun ini. Jika tidak, rencana pulang akan berantarakan. Ia harus menahan rindu satu tahun ke depan. Dan ia tidak mau hal itu terjadi.

Maka ia harus melakukan sesuatu.

Kalau kamu ingin menciptakan sesuatu, kamu harus melakukan sesuatu! Demikianlah kata Johann Wolfgang von Goethe yang pernah disitir Prof. Dr. Hamdi Zaqzuq dalam kuliahnya.

Sekali lagi ia harus melakukan sesuatu. Yaitu bekerja lebih serius, belajar lebih serius, dan berdoa lebih serius. Tak ada yang lain.

Tak terasa bus telah sampai di depan Masjid Sayyeda Zaenab. Azzam harus turun, karena bus akan ke Termimnal Abu Raisy dan tidak melewati pasar. Para penumpang turun. Lima orang mahasiswi itu turun, termasuk yang duduk di samping Azzam. Azzam yang paling akhir turun. Beberapa mahasiswi menengok ke kiri dan kanan.

"Maaf Daarut Tauzi'-nya ke sana ya?" mahasiswi berjilbab biru muda yang tadi duduk di sampingnya kembali berta nya padanya.

Reflek Azzam memandang wajahnya sekilas. Subhanallah, cantik. Mahasiswi Indonesia di Cairo ada yang cantik juga. Bahkan ia merasa belum pernah melihat wanita Indonesia secantik gadis berjilbab biru muda ini. Azzam cepat-cepat mengalihkan pandangannya. Lalu dengan memandangke arah Daarut Tauzi', ia menjelaskan ke mana mereka harus melangkah dan bagaimana ciri-ciri gedungnya. Daarut Tauzi' me mang tidak terlalu kelihatan lazimnya toko buku. Sebab, tem patnya ada di lantai dua sebuah gedung agak tua

"Syukran, ya."

"Afwan. O ya sampaikan salam buat Hosam Ahmad. Penjaga Daarut Tauzi. "

"Dari siapa?"

"Katakan saja dari thalib dzu himmah. 37 37 Mahasiswa yang memiliki cita -cita. Dia pasti tahu."

"Insya Allah . " Jawab gadis berjilbab biru muda itu. Ia dan teman-temannya menuju ke arah yang dijelaskan Azzam. Sementara Azzam langsung bergegas ke pasar. Ia melewati masjid. Pasar itu ada di sebelah selatan masjid.

Pasar Sayyeda Zaenab masih ramai meskipun tak seramai ketika pagi hari, sebelum Zuhur. Beberapa pedagang ikan dan daging ayam sudah mengemasi tempat mereka. Dagangan mereka telah ludes. Azzam langsung menuju kios Ammu Ragab. Ammu Ragab memang khusus menjual segala jenis tepung, kacang-kacangan dan beras. Ia menjual kacang jenis ful sudani, ful soya, adas dan lain sebagainya.

"Assalamu'alaikum ya Ammu."

"Wa 'alaikumussalam, o anta ya Azzam. Kaif hal ?"38 38 Kamu Azam. Apa kabar? "Ana bi khair. Alhamdulillah. Andak ful shoya ?"39 39 Saya baik -baik saja. Alhamdulillah. Masih punya kacang kedelai? "Thab'an 'andi. 'Aisy kam kilo?"40 40 Tentu aku punya. Ingin berapa kilo?

"Khamsah wa 'isyrin kilo kal ‘adah. "41 41 Dua puluh lima kilograrn. Seperti biasa.

Azzam lalu menjelaskan sebentar. Karena waktu sudah dekat Ashar, ia akan mengambil barangnya setelah shalat Ashar. Setelah itu ia berrgegas ke kios penjual daging. Ia su dah pesan daging tadi pagi lewat telpon. Jika tidak pesan, jelas ia tidak akan mendapatkan daging yang diinginkan. Ternyata kios penjual daging sudah siap tutup. Dagingnya juga telah habis.

"Kami masih buka karena menunggu kamu Akhi." Kata Ibrahim yang kini menjalankan kios daging milik ayahnya itu.

"Maaf. Saya sedikit terlambat." Jawab Azzam. Ia memang terlambat setengah jam mengambil pesanannya.

Ibrahim tampak sudah rapi dan bersih, tidak tampak kotor layaknya penjual daging. Separo kiosnya sudah ditutup. Ia duduk di kursi di depan kiosnya sambil membaca koran.

Ibrahim masih muda. Umurnya masih di bawah tiga puluh tahun. Ayahnya tidak bisa lagi bekeria karena terkena stroke. Ibrahim anak sulung. Masih mempunyai empat adik. Dua perempuan dan dua laki-laki. Yang paling besar namanya Sami, lalu Yasmin, Heba dan yang paling kelil bernama Samir. Dialah yang kini jadi kepala rumah tangga. Ia mati -matian menghidupi adik -adiknya. Juga mati-matian menjaga mereka agar tetap memperoleh pendidikan yang layak. Semua adiknya sekolah di Al Azhar, karena memang tak ada yang lebih murah dari Al Azhar.

Yang ia tahu, Sami baru saja selesai Fakultas Dirasat Islamiyyah. Yasmin tingkat akhir di Kulliyah Banat Al Azhar. Heba baru masuk kuliah. Dan Samir masih di Madrasah Ibtidaiyyah. Ibrahim sendiri lulusan Syariah. Sebagaimana ia bisa akrab dengan mahasiswa Mesir bernama Khaled, ia bisa akrab dengan Ibrahim, juga bertemu di masjid. Tepatnya Ramadhan dua tahun lalu, saat itikaf dua hari di Masjid Amru bin Ash. Biasanya Ibrahim dibantu sama Sami, tapi kali kelihatannya ia tidak ada.

"Mana Sami, kok tidak kelihatan?'' "Sedang ada keperluan keluarga di Giza." "O begitu. Kau tergesa -gesa?"

"Sebenarnya tidak. Tapi saya dan Heba harus segera menyusul Sami sebelum Maghrib tiba."

Azzam langsung paham bahwa Ibrahim tidak punya banyak waktu. Ia langsung mengambil pesanannya dan membayar harganya. Azzam ingin segera beranjak, namun seorang gadis remaja berjilbab khas Mesir datang dengan dua gelas karikade dingin dinampan.

"Minum dulu Akhi." Ibrahim mempersilakan. Sekilas Azzam melihat gadis remaja itu menatapnya sam

bil mengangguk lalu ke dalam. Ini adalah kali ketiga ia berta tapan dengan gadis remaja itu. Ia yakin ia adalah Heba. Kalau boleh jujur, ia harus mengakui, bahwa ia belum pernah melihat gadis secantik Heba. Cantik dan cerdas. Sebab Ibrahim pernah cerita, diusia tujuh tahun Heba telah hafal Al-Quran. Hal itulah yang membuatnya punya keinginan adiknya yang paling kecil bisa hafalAl-Quran. Seperti Heba.

Ibrahim mengambil gelas dan meminumnya. Tanpa ba nyak bicara, Azzam langsung melakukan hal yang sama. Tujuh detik kemudian gelas itu telah kosong.

Azan Ashar mengalun dari Masjid Sayyeda Zaenab. "Terima kasih Akhi. Saya pamit." kataAzzam setelah itu. "Maaf, kalau kita tidak bisa banyak berbicara seperti

biasa. Waktunya memang sempit. Jangan lupa doakan kami. Doa penuntut ilmu dari jauh yang ikhlas sepertimu pasti di dengar Allah," tukas Ibrahim.

"Sama-sama. Kita saling mendoakan."

Azzam lalu bergegas kembali ke kios Ammu Ragab dan menitipkan dagingnya di sana. Ia hendak ke masjid shalat Ashar dulu. Ia berjalan melewati lorong pasar. Langsung ke tempat wudhu masjid. Dan saat kaki kanannya menginjak pintu masjid, sang mu'azin melantunkan iqamat.

Usai shalat dan berzikir secukupnya, ia langsung kembali ke pasar. Membeli bumbu -bumbu untuk membuat bakso. Dan dengan langkah cepat kembali ke kios Ammu-Ragab. Seorang pembantu Ammu Ragab membantu mengangkatkan kacang kedelainya ke pinggir jalan raya. Ia memang belanja cukup banyak dan berat. Ia merasa perutnya sangat lapar tapi tak ada waktu lagi buat makan siang. Nanti saja jika sudah sampai di rumah.

Tak lama bus enam lima datang. Namun sudah penuh sesak. Ia urung naik. Jika ia tidak membawa barang pasti sudah naik. Seperempat jam berlalu dan bus enam lima berikutnya tak juga datang. Tak ada pilihan, ia harus naik taksi. Tak ada salahnya ia realistis. Ongkos biaya produksi dalam kondisi tertentu susah untuk ditekan. Yang jelas selama dalam perhitungan masih ada keuntungan sesuai dengan margin yang ditetapkan, tidak jadi problem.

Sebuah taksi melintas. Ia hentikan dan dengan cepat terjadi kesepakatan. Sopir taksi membantu memasukkan ba rang-barang belanjaan Azzam ke dalam bagasi. Azzam duduk di depan. Taksi melaju perlahan. Menyusuri Port Said Street. Sopir taksinya seorang lelaki gendut setengah baya. Wajahnya bundar. Hidungnya besar. Rambutnya keriting kecil-kecil. Khas keturunan Afrika. Kulitnya sedikit hitam, tapi tak legam. Agaknya ia lelaki yang ramah,

"Kamu mahasiswa Al Azhar ya? " "Benar, Paman."

"Belajarlah yang serius agar tidak susah. Agar tidak jadi sopir taksi seperti saya "

"Memangnya jadi sopir taksi susah, Paman?" Sopir taksi malah cerita,

"Kalau saya dulu serius belajar dan mau kuliah, pasti sudah jadi pegawai bank dengan gaji tinggi dan tidak susah seperti sekarang. Kalau saja..."

Azzam langsung memotong cerita itu. Ia tahu orang Mesir kalau cerita pasti akan ke mana -mana. Kalau cerita bahagia akan melangit, kalau cerita susah akan sangat melan kolis. Azzam tak mau dengar cerita itu. Ia sendiri juga sedang susah. Maka dengan cepat ia memotong,

"E... Paman asli Cairo ya?" tanya Azzam.

"Ah tidak. Saya lahir di Sohag. Besar di Tanta dan menikah di Cairo."

"Sudah punya anak berapa, Paman?" "Baru satu dan baru berumur satu tahun" "Oo."

"Yah. Saya termasuk terlambat menikah. Saya menikah saat berumur 46 tahun. Tahu sendiri. Menikah di sini tidak mudah."

Ini bukan kali pertama Azzam mendengar cerita seperti ini. Di Mesir dan negara Arab lainnya, menikah memang sangat mahal. Sehingga tidak sedikit yang terlambat menikah. Golongan yang pas -pasan punya, tapi tidak kaya, biasanya banyak terlambat. Baik lelaki maupun perempuan. Justru sekalian golongan yang miskin malah banyak yang nikah muda. Mereka menikah dengan sesama orang miskin sehingga syarat syarat bersifat material sama -sama dimudahkan.

Banyak ulama Mesir yang menyerukan untuk memurahkan mahar dan memudahkan syarat. Tapi seruan itu seperti angin yang berlalu tanpa bekas. Si Ibrahim, penjual daging langgaanannya ingin sekali segera menikah. Namun belum juga bisa menikah karena persoalan materi.

"Saya sarankan kamu jangan sekali-kali punya pikiran menikahi gadis Mesir." Gumam sang sopir.

"Kenapa , Paman? "

"Susah. Sembilan puluh sembilan koma sembilan persen perempuan Mesir itu menyusahkan. Keluarga mereka juga menyusahkan."

"Ah yang benar, Pamar." "Benar. Serius! "

"Termasuk isteri Paman? " Entah kenapa spontan ia bertanya begitu.

"Iya. Apalagi dia. Rasanya nggak pernah dia bikin suami bahagia, kecuali saat bulan madu dulu."

"Ah Paman bohong. Tuan rumah saya di Hay El Ashir, seorang perempuan. Asli Mesir, Paman. Namanya Madam Rihem. Dia sangat baik. Kepada siapa saja. Kepada kami yang bukan siapa -siapanya, juga kepada para tetangga. Dia mem buat kami bahagia, Paman. Dia sangat pengertian jika kami telat membayar uang sewa"

"Dia masuk dalam kelompok nol koma nol satu persen. SudahIah percayalah padaku. Jangan sekali-kali berpikiran mau menikahi gadis Mesir. Saya dengar nikah di Asia Tenggara itu mudah. Perempuan perempuannya juga sangat taat pada suami. Kamu orang mana?"

"Indonesiar Paman."

"Apalagi Indonesia. Sebaik-baik manusia adalah orang Indonesia. "

"Ah Paman bisa saja basa -basinya."

Taksi terus melaju melewati MaydanAhmad Maher. "Saya tidak basa-basi. Saya serius. Tetangga saya yang

baru haji tahun ini yang memberitahukan hal ini kepada saya. Ia melihat selamah haji, jamaah haji yang paling lembut dan paling penurut adalah jamaah haji Indo-nesia."

Azzam tidak tahu harus menjawab apa. Tiba -tiba matanya menangkap sesuatu di depan. Dua mahasiswi Indonesia di pinggir jalan tak jauh dari Museum of Islamic Art. Kelihatannya ada sesuatu dengan mereka. Keduanya duduk. Yang satu, yang berjilbab cokelat muda kelihatannya mena ngis. Sementara yang satunya, yang berjilbab biru kelihatan nya sedang berusaha menenangkan temannya. "Masya Allah, dia kan mahasiswi yang tadi duduk di sampingku. " lirih Azzam.

"Paman berhenti sebentar ya. Kelihatannya ada masalah dengan mahasiswi dari Indonesia itu. " Pinta Azzam.

"Baik. Tapi jangan lama-lama ya."

"Baik, Paman. "

Azzam turun dan mendekati mereka berdua. Ia mendengar suara sesenggukan dari gadis berjilbab cokelat muda.

"Mm, maaf Ukhti. Ada apa ya? Ada yang bisa saya bantu? Sapa Azzam sesopan mungkin. Beberapa orang Mesir melihat mereka. Gadis yang berjilbab biru menjawab,

"Kami kena musibah. Dompet Ukhti Erna ini dicopet. Tadi busnya penuh sesak. Kami berdiri dekat pintu. Saya melihat copet itu mengambil dompet Ukhti Erna. Saya berteriak. Si copet langsung loncat bus dan lari. Saya minta bus berhenti dan minta orang-orang membantu mengejar pencuri itu. Tapi mungkin sopirnya nggak dengar, soalnya kita di pintu belakang. Kita baru bisa turun di halte depan. Kita lari ke sini karena copetnya tadi loncat di sini. Dengan harapan ada orang Mesir yang menangkapnya. Tapi jejaknya saja tidak ada. Padahal dalam dompet itu ada uang dua ratus lima puluh dollar dan tujuh puluh lima pound. Sekarang kami baru sadar, kami tak punya uang sama sekali. Kami tak bisa pulang. Uangku sendiri sudah habis untuk beli kitab."

Azzam tahu kenapa mahasiswi itu sampai menangis. Dua ratus lima puluh dollar dan tujuh puluh lima pound itu sangat banyak bagi mahasiswa Indonesia di Cairo. Kalau bagi maha siswa Brunei mungkin lain.

"Sudahlah diihklaskan saja. Semoga diganti yang lebih baik oleh Allah. Oh ya bukankah kalian tadi berlima atau berenam?"

"Ya, tadi kami berenam. Saat pulang kami berpisah di depan Masjid Sayyeda Zaenab. Mereka berempat naik taksi ke Dokki, sementara kami naik bus enam lima. "

" Kalau boleh tahu, kalian tinggal di mana? " "Di Abdur Rasul."

"O, baik. Kebetulan saya naik taksi. Bangku belakang masih kosong. Kalian bisa ikut." Kata Azzam.

"Erna ayo sudahlah, kita ikut dia saja."

Tanpa bicara sepatah pun mahasiswi bernama Ema itu perlahan bangkit. Azzam berjalan di depan. Ia mem -bukakan pintu taksi. Dua mahasiswi itu masuk. Azzam melihat dua mahasiswi itu tak membawa apa apa selain yang berkerudung biru membawa tas cangklong hitam kecil.

"Lha buku dan kitab yang dibeli mana?" Tanya Azzam. "Tertinggal di bus. Saat kami berdiri, kitab dalam kan

tong plastik itu saya letakkan di bawah, karena agak berat. Begitu saya melihat penjahat itu mencopet dompet Erna, saya sudah tidak ingat apa -apa kecuali berteriak dan merebut dompet itu kembali. Dan ketika kami turun dari bus, kitab itu tertinggal di dalam bus." Jawab mahasiswi berjilbab biru.

"O, ya sudah. Semoga bisa dilacak." Sahut Azzam sambil menutup pintu taksi. Taksi perlahan bergerak. Pikiran Azzam juga bergerak bagaimana mendapatkan kembali kitab itu.

"Kitab apa saja yang kamu beli kalau boleh tahu?" Dari belakang terdengar jawaban,

"Lathaiful Ma'arif-nya Ibnu Rajab Al Hanbali, Fatawa Mu'ashirah-nya Yusuf Al Qardhawi, Dhawabithul Mashlaha nya Al Bulthi, Al Qawaid Al Fiqhiyyah-nya Ali An Nadawi, Ushulud Dakwah-nya Doktor Abdul Karim Zaidan, Kitabul Kharraj -nya Imam Abu Yusuf, Al Qamus -nya Fairuzabadi dan Syarhul Maqashid-nya Taftazani."

Azzam tidak berkomentar. Dari jawaban yang ia dengar, ia langsung bisa memastikan tiga hal. Pertama, total harga kitab itu ratusan pound. Kedua, mahasiswi yang membeli kitab itu adalah orang yang sangat cinta ilmu. Ketiga, ia kemungkinan besar adalah mahasiswi Syari'ah.

"Busnya sudah lama jalan?" tanya Azzam. "Kira-kira lima belas menit yang lalu."

Tiba-tiba sebuah ide berpijar di kepalanya. Bus itu mungkin bisa dikejar jika taksi bisa memotong jalur. Apalagi bus itu padat. Pasti lebih lambat karena akan banyak menurunkan penumpang. Itu prediksinya.

"Paman bisa ngebut dan motong jalur ke Masjid Nuril Khithab Kulliyatul Banat Nasr City?"

"Tentu bisa. Kebut mengebut dan memotong jalur itu kebiasaanku waktu masih muda. "

"Lakukan itu Paman, saya tambah lima pound." "Nggak. Kalau mau tambah sepuluh pound." Azzam berpikir sebentar.

"Baik. "

Dan seketika taksi itu menambah kecepatannya.

Azzam memperbanyak membaca shalawat.Sementara dua penumpang di belakangnya diam dalam rasa sedih berselimut cemas. Tak ada yang mereka lakukan kecuali menyerahkan semuanya kepada Allah yang Maha Menentukan Takdir.

0 komentar:

Posting Komentar

REVAN NINTANG BLOG. Diberdayakan oleh Blogger.