16 INSYAF
Orang-orang baru saja pulang dari jamaah shalat Maghrib ketika Furqan menyalakan mobilnya dan membawanya meluncur dari Haidar Tony ke arah Hay Sabe'. Tujuannya adalah rumah Ustadz Saiful Mujab yang ter-letak di dekat Masjid Ridhwan. Ia merasa tidak bisa mengambil keputusan sendiri atas masalah yang menimpanya. Ia perlu pendapat Ustadz Mujab yang selama ini ia anggap seperti kakaknya sendiri. Sampai di rumah Ustadz Mujab ia disambut hangat oleh Abdullah, anak sulung Ustadz Mujab yang berumur tujuh tahun.
"Om Furqan, kok lama nggak main ke mana aja?" tanya Abdullah.
"Om Furqan sedang sibuk persiapan ujian," jawab Furqan datar.
"Om, om, tadi di sekolah aku dapat hadiah." Begitulah, tanpa diminta Abdullah pasti cerita tentang kejadian di sekolahnya. Anak itu sekolah di Madrasah Ibtidaiyyah Al-Azhar bersama anak-anak Mesir. Kemampuan bahasa Arabnya tidak diragukan. Bahkan dalam hal-hal tertentu ia lebih mengerti bahasa harian Mesir daripada kedua orangtuanya. Karena memang ia sama dengan anak Mesir. Lahir dan besar di Mesir. Bermain bersama anak-anak Mesir. Juga tidak jarang, berkelahi dengan anak-anak Mesir.
"Hadiah apa?"
"Hadiah karena aku telah hafal juz tiga puluh. Semua yang hafal juz tiga puluh mendapatkan hadiah."
"Apa hadiahnya?"
"Buku dan kaset nasyid anak -anak."
Percakapan keduanya terputus begitu Ustadz Mujab keluar. Abdullah langsung masuk ke dalam. Sedangkan Furqan langsung menjabat tangan Ustadz Mujab. Tanpa basa -basi Ustadz Mujab berkata,
"Begini Fur, sampai sekarang si Anna belum bisa mem beri jawaban. Kau bersabarlah satu dua bulan lagi. Dia sedang sibuk untuk melakukan penelitian untuk tesis-nya."
"Saya datang ke sini bukan untuk menanyakan masalah itu Ustadz."
"Lalu untuk apa?"
"Saya sedang menghadapi masalah besar yang saya merasa tidak bisa menuntaskannya sendirian."
"Apa masalahmu?"
Furqan lantas menceritakan semua yang dialaminya di hotel. Sejak dia masuk hotel sampai dia keluar hotel. Terutama tentang foto-foto yang membuatnya merasa tidak berharga dan permintaan mengirim uang sebesar 200.000 USD. Ustadz Mujab mendengarkan dengan sek -sama. Sesekali ia mengenyitkan dahi. Saat Furqan mengakhiri ceritanya dengan wajah bergurat kecemasan dan kesedihan, Ustadz Mujab mendesah dan mengambil nafas panjang.
"Sekarang apa yang harus saya lakukan Ustadz?" Ustadz Mujab kembali menarik nafas dan berkata, "Yang paling penting, kau harus mengintrospeksi dan
me-muhasabah-i dirimu sendiri. Ini teguran dari Allah atas cara hidupmu yang menurutku sudah tidak wajar sebagai seorang penuntut ilmu. Menurutku kau sudah berlebihan dengan menginap di hotel untuk alasan agar bisa konsentrasi mem persiapkan sidang tesismu. Apa kamarmu masih kurang nya man, masih kurang luas?!"
"Iya Ustadz, saya telah menyadarinya."
"Menurutku kamu tidak perlu mengindahkan ancaman orang yang tidak kau kenal itu."
"Tapi, jika foto-foto itu benar -benar dijadikan konsumsi publik bagaimana Ustadz? Di mana saya menaruh muka Ustadz?"
"Itu kan foto fitnah. Tidak benar. Yang penting kau kan tidak melakukannya."
"Aduh mental saya belum kuat jika foto-foto itu diketahui mahasiswa Indonesia di Cairo Ustadz. Apalagi jika di publikasikan juga ke Tanah Air, bisnis ayah saya bisa hancur Ustadz. Saya hidup tidak sendirian Ustadz. Masalahnya tidak sesederhana yang Ustadz bayangkan."
Ustadz Mujab termenung mendengar perkataan Furqan.
"Ya, saya lupa kalau ayahmu itu seorang pengusaha nasional. Masalahnya memang tidak sederhana. Aduh Furqan, saya belum bisa memberi saran untuk masalahmu ini. Maafkan saya." Ucap Ustadz Mujab.
Furqan terdiam sesaat lamanya. Ia tidak tahu harus minta pendapat siapa lagi. Apa ia harus ke tempat bapak bapak KBRI?
"Tidak ada salahnya." Ucapnya dalam hati. Ia melihat jam tangannya, masih agak sore. Ia harus segera meluncur ke Dokki, maka ia langsung minta diri. Sebelum pergi Furqan sempat berpesan, "Tolong jaga rahasia masalah ini. Doakan saya menemukan jalan keluar secepatnya."
Furqan langsung meluncur cepat menuju Dokki. Di perjalanan ia masih berpikir rumah siapa yang akan ia tuju . Sampai di Ramsis ia baru bisa menentukan bahwa rumah orang yang paling ia kenallah yang harus ia tuju. Yaitu rumah Pak Rusydan, Atase Pendidikan dan Kebudayaan. Semestinya memang lebih tepat ke Atase Bidang Politik, atau Atase Bidang Konsoler. Saat ini yang paling ia perlukan adalah saran terbaik, juga dukungan moril. Dukungan moril lebih bisa diha rapkan dari orang orang yang benar -benar mengenalnya.
Sedikit beruntung, malam itu ia langsung bisa bertemu dan berbicara dari hati ke hati dengan Pak Rusydan. Dengan penuh kearifan seorang bapak yang mengayomi anaknya, Pak Rusydan berkata pada Furqan,
"Tenang, ini masalah kecil Nak Furqan. Jangan terlalu cemas. Ini bukan masalah yang tidak bisa diselesaikan. Menu rut hematku, kita tetap harus minta tolong pada pihak keamanan Mesir. Tidak bisa tidak."
"Tapi kalau penjahat itu tahu, maka saya bisa hancur Pak."
"Tidak. Dia tidak akan tahu. Sebab kita tidak minta tolong pada polisi biasa. Tapi kita langsung minta tolong pada mahahits ."
"Mabahits?"
"Ya. Kau kan pernah jadi Ketua PPMI, dulu pernah mengantongi nama -nama orang penting di kalangan mahabits . Telponlah orang itu malam ini juga. Besok pagi saya akan menguatkan dengan menelponnya."
"Oh ya baik Pak."
Setelah itu mereka memperbincangkan tema yang lain. "Setelah selesai S.2 ini apa rencanamu Nak?" "Kalau bisa langsung aplikasi program doktor Pak." "Bagus. Memang kalau bisa agar Indonesia maju setiap
KK melahirkan satu doktor. Saat ini ada seorang pakar yang berpendapat bahwa kemajuan suatu negara bisa dilihat dari jumlah doktor per satu juta orang penduduknya. Semakin banyak jumlah doktornya, maka akan semakin maju. Tapi doktor yang benar-benar doktor lho, bukan doktor hasil mem beli. Sebab sekarang ini banyak gelar doktor diobral dengan harga sekian juta rupiah. Dan sudah banyak kasus terungkap, orang-orang Indonesia termasuk paljng gemar membeli gelar. Dan juga membeli ijazah."
"Kondisi bangsa kita memang memprihatinkan Pak." "Karena itulah dibutuhkan generasi-generasi tangguh
yang berprestasi seperti kamu."
"Doanya Pak."
Setelah merasa cukup Furqan pamit minta diri. Di sepanjang perjalanan dari Dokki sampai Haidar Toni Furqan tiada henti berzikir dan beristighfar. Ia masih terus diteror rasa cemas. Saat itulah ia benar -benar merasa membutuhkan kasih sayang Allah. Ia membenarkan nasihat Ustadz Mujab, "Yang paling penting, kau harus mengintrospeksi dan memuhasabah -i dirimu sendiri. Ini teguran dari Allah atas cara hidupmu yang menurutku sudah tidak wajar sebagai seorang penuntut ilmu. Menurutku kau sudah berlebihan dengan menginap di hotel untuk alasan agar bisa konsentrasi."
Mungkin benar penilaian Ustadz Mujab atas dirinya. Ia telah melakukan sesuatu yang berlebihan. Sesuatu yang sejatinya kurang pantas bagi seorang penuntut ilmu. Ia langsung menyadari kekhilafannya itu. Ia yang mengambil spesialisasi sejarah dan peradaban Isla m semestinya menyadari bahwa para pemikir dan ula ma besar tidak ada yang berhasil meraih ilmu dengan hidup ber-mewah -mewah.
Bagaimana mungkin ia bisa lupa bahwa dalam kitab-kitab sastra, sejarah, manakib dan thabaqat banyak dijelaskan betapa para ulama lebih biasa bergelut dengan kemiskinan, penderitaan dan kesulitan hidup yang mencekik. Namun mereka meresapinya dengan penuh kesa-baran. Dalam penderitaan yang mencekik itulah mereka mengais ilmu dan hikmah. Dalam kesulitan hidup itulah mereka menulis karya -karya besar yang monumental. Bagaimana mungkin, ia yang jebolan jurusan sejarah dan peradaban Islam Al Azhar University , dan sebentar lagi meraih gelar master di jurusan yang sama dari Cairo University bisa melupakan sunah para ulama itu.
Bagaimana mungkin ia bisa lupa kisah mengharukan yang diriwayatkan oleh Imam Bakar bin Hamdan Al Maruzi yang mengatakan, bahwa Imam Ibnu Kharrasy pernah bercerita,
"Demi mencari ilmu, aku pernah meminum air kencingku sendiri sebanyak lima kali. Ceritanya, sewaktu sedang berjalan melintasi gurun pasir untuk mendapatkan hadis aku merasa kehausan luar biasa tanpa ada yang bisa aku minum. Maka dengan terpaksa aku rninum air kencingku sendiri."
Ulama besar sekaliber Ibnu Kharrasy bahkan harus meminum air kencingnya sendiri demi mempertahankan hidupnya ketika mencari ilmu. Sedangkan dirinya, bisa -bisanya makan dan minum di restoran mewah Hotel Meridien.
Bagaimana mungkin ia lupa cerita Imam Abu Hatim yang pernah mengalami keadaan sangat memprihatinkan. Imam Abu Hatim mengatakan, "Ketika sedang mencari hadis kondi siku benar-benar sangat mempriha-tinkan. Karena tidak mam pu membeli sumbu lampu, pada suatu malam aku terpaksa keluar ke tempat ronda yang terletak di mulut jalan. Aku belajar dengan menggunakan lampu penerangan yang dipakai oleh tukang ronda. Dan terkadang tukang ronda itu tidur, aku yang menggantikannya ronda."
Sementara dirinya masih juga tidak merasa cukup akan nyamannya lampu apartemannya. Harus lampu mewah Hotel Meridien.
Bagaimana mungkin ia lupa kisah Imam Bukhari yang tidak memiliki apa -apa. Sampai pakaian pun tidak punya, sehingga ia terhalang dari menulis hadis. Bagaimana mungkin ia melala ikan kisah menggetarkan yang beberapa kali ia baca dan ia kaji itu? Bagaimana mungkin ia lupa pada kisah yang diriwayatkan oleh ulama besar seangkatan dengan Imam Bukhari yang bernama Umar bin Hafesh Al Asyqar. Al Asyqar mengatakan,
"Selama beberapa hari kami tidak mendapati Bukhari menulis hadis di Bashrah. Setelah dicari ke mana mana akhirnya kami mendapatinya berada di sebuah rumah dalam keadaan telanjang. Ia sudah tidak punya apa -apa. Atas dasar musyawarah kami berhasil mengumpulkan uang beberapa dirham lalu kami belikan pakaian untuk dipakainya. Selanjutnya ia mau bersama-sama kami lagi meneruskan penulisan hadis."
Sementara dirinya selama ini memilih pakaian yang bermerk dan mahal-mahal.
Bagaimana mungkin ia lupa akan penderitaan Imam Malik. Yang demi membiayai dirinya menuntut ilmu, beliau sampai mencopot atap rumahnya, lalu menjual papannya.
Bagaimana mungkin ia lupa?
Bukankah itu semua adalah sejarah yang benar-benar nyata. Bukan cerita fiktif yang mengada -ada. Datanya valid, tertulis dalam banyak kitab -kitab sejarah, sastra dan lain seba gainya.
Bagaimana ia bisa melalaikan suatu kenyataan penting, bahwa para ulama salaf menganggap kemiskinan adalah teman akrab yang tidak mungkin ditinggalkan begitu saja. Justru kemiskinan itu, saat menuntut ilmu, harus benar-benar dinik mati. Sampai sampai ada seorang ulama menulis syair:
Aku bertanya kepada kemiskinan.
Di manakah kamu berada?
Ia menjawab, aku berada di sorban para ulama. Mereka adalah saudaraku.
Yang tidak mungkin aku tinggal begitu saja. Bagaimana mungkin ia bisa melalaikan itu semua?
Hati Furqan gerimis. Airmatanya meleleh. Ia benar benar menginsyafi cara hidupnya yang selama ini sudah tidak wajar sebagai seorang penuntut ilmu. Ia benar benar merasakan bahwa ini semua adalah teguran dari Dzat Yang Maha Bijaksana.
0 komentar:
Posting Komentar