Minggu, 16 Agustus 2009

5 Sebuah Firasat

Sudah lebih satu minggu sejak bertemu di pesantren, Husna tidak mendapat kabar dari Zumrah. Seminggu yang lalu Husna langsung menemui keluarga Zumrah dan menceritakan semua yang ia ketahui dari Zumrah.
Meskipun berat, ibu Zumrah telah memaafkan putri sulungnya itu. Adik-adik Zumrah malah berharap kakaknya itu kembali ke rumah.
Sebagian warga dukuh Sraten ada yang iba dan kasihan sama Zumrah. Namun ada juga kalangan yang tetap sinis dan menunjukkan rasa jijik setiap kali mendengar nama Zumrah. Zumrah seolah-olah barang najis yang pantang didengar sekalipun. Husna berusaha menjelaskan kepada siapa saja yang membicarakan Zumrah, bahwa gadis itu justru harus ditolong bukannya dipinggirkan dan dihina.
Malah, Mahrus paman Zumrah yang anggota serse tetap bersikukuh akan menembak keponakannya itu jika ketemu. la sama sekali tidak percaya dengan apa yang disampaikan Husna.
Pagi itu Husna dan Lia sedang mencabuti rumput yang tumbuh di samping rumah mereka ketika sebuah mobil sedan Vios berhenti tepat di depan rumah mereka.
Matahari mulai meninggi di angkasa, menyinari dunia dengan sinar keemasannya. Seorang gadis berjilbab putih gading rurun dari mobil. Husna dan Lia bangkit melihat siapa yang datang.
Ketika gadis berjilbab putih gading menghadap ke arah pintu rumah Husna langsung kenal siapa yang datang.
Cari siapa Mbak Bintun Nahl?" Sapa Husna dari jarak agak jauh sambil melangkah mendekat diiringi Lia adiknya.
Anna yang masih menggunakan nama samaran Bintun Nahl, menengok ke arah suara dan tersenyum ceria.
Assalamu'alaikum Mbak Husna, sedang berkebun ya?"
Wa 'alaikumussalam. Tidak. Ini sedang mencabuti rumput. Mumpung ada waktu longgar. Sendirian?"
Iya."
Mengajar di Pesantren Wangen itu makmur ya. Guru bahasa Arabnya saja punya mobil sedan. Baru lagi. Mau dong aku daftar jadi guru di sana." Kata Husna dengan nada bergurau.
Itu mobil pinjam kok."
Pinjam Abah ya. Kamu itu sungguh jahat kok Mbak Anna. Tega-teganya lho menyembunyikan identitas dariku.
Lha wong namanya Anna Althafunnisa, Lc. Putri tunggal pengasuh pesantren Daarul Qur’an Wangen kok ya pakai nama samaran Bintun Nahl. Tega-teganya. Ih!" Ujar Husna sambil menjotos lengan Anna.
Eit." Anna mengelak.
Mereka berdua terlihat begitu akrab meskipun baru dua kali bertemu. Mereka berdua seperti dua orang sahabat lama yang baru bertemu.
Ayo masuk! Ini adikku, namanya Lia." Husna mengenalkan adiknya pada Anna. Keduanya tersenyum, lalu berjabat tangan.
Namaku Anna Althafunnisa. Masih kuliah, Dik?" Tanya Anna.
Masih." Jawab Lia.
Di mana?"
Di STAIN."
Fakultas apa?"
Tarbiyah."
Alhamdulillah sekarang dia sudah mengajar di SDIT." Sela Husna.
Alhamdulillah." Sahut Anna.
Ayo masuk! Jangan di luar terus. Matahari semakin menyengat!" Ajak Husna.
Mereka bertiga lalu masuk ke dalam rumah. Kursi di ruang tamu itu adalah kursi jati tua yang sudah kusam pliturnya. Namun kursi itu masih berfungsi dengan baik untuk menerima tamu.
Ibu kalian mana?" Tanya Anna setelah duduk.
Beliau sedang mengikuti pengajian rutin di masjid." Jawab Husna.
Dengar-dengar Mbak Anna kuliah di Mesir ya?" Tanya Lia
Iya. Alhamdulillah. Ini saya sedang pulang untuk penelitian tesis S2." Jawab Anna.
Masya Allah. Semoga diberkahi Allah." Sahut Husna.
O ya Mbak Anna kenal nggak dengan kakak saya? Dia juga kuliah di Cairo." Tanya Lia.
"Siapa namanya?" Anna balik bertanya. Ada rasa penasaran dalam hatinya saat bedah buku dan Husna menyebut-nyebut kakaknya yang kuliah di Cairo yang sedemikian besar tanggung jawabnya. Dia ingin tahu siapa orang itu. Mungkin ia mengenalnya.
Namanya Azzam." Jawab Lia.
Azzam siapa ya?"
Lengkapnya Khairul Azzam."
Sebentar, coba kuingat-ingat."Kata Anna. Dahinya berkerut.
Aduh, maaf, kelihatannya saya tidak kenal."
Masak tidak kenal? Kakak saya sudah sembilan tahun di Cairo. Sampai sekarang belum lulus SI. Dia di sana belajar sambil bekerja. Atau kebalikannya ya bekerja sambil belajar. Dikenal sebagai penjual tempe dan bakso. Lha ibu-ibu KBRI saja banyak yang kenal. Tiga bulan lalu Pak Manaf dan isterinya yang di konsuler datang ke sini mengantarkan titipan Kak Azzam." Jelas Lia panjang lebar.
Aduh, benar, saya tidak kenal. Penjual tempe yang kukenal namanya itu ada Rio, Budi, dan Muhandis atau Irul. Di antara mereka yang paling senior adalah Muhandis.
Tidak ada yang namanya Azzam. Tapi mungkin aku terlalu kuper. Terus terang S1 aku kuliah tidak di Cairo."
Di mana Mbak?"
Di Al Azhar putri Alexandria. Baru kemudian S2-nya di Cairo. Selama S2 terus terang aku juga tidak banyak berinteraksi dengan teman-teman mahasiwa dari Indonesia. Aku lebih banyak di perpustakaan."
O. Kalau begitu ya maklum." Kata Lia.
Kalau ketemu orangnya bisa jadi aku kenal. Seringkali aku akrab dengan wajah orang Indonesia di sana karena bertemu di bus atau di metro tapi aku tidak tahu namanya."
Husna menyela,
Kebetulan minggu depan insya Allah dia pulang. Semoga ada waktu untuk bertemu."
Iya Mbak Anna. Mbak Anna sudah menikah?" Tanya Lia santai.
Belum."
Wah kebetulan."
Kebetulan bagaimana?" Heran Anna.
Kebetulan kalau belum nikah. Nanti siapa tahu bisa jodoh dengan kakak saya." Terocos Lia.
Hus! Kamu ini Dik, ada-ada saja. Kok tidak mengukur diri mengajukan kakaknya. Kakak kita ini cuma penjual tempe yang kuliahnya tidak lulus-lulus. Kok kamu ajukan ke putri Kiai yang mau selesai S2. Kamu ini." Sergah Husna.
Mm... aku memang belum menikah. Tapi sebentar lagi insya Allah menikah. Doanya." Kata Anna.
Lho iya tho, penjual tempe mana mungkin berjodoh sama putri Kiai terkenal." Kata Husna.
Jodoh, rizki, juga kematian sudah ada yang mengatur." Pelan Anna.
Tapi sungguh, jujur aku kagum dan hormat sama kakak kalian. Aku salut pada pribadi seperti kakak kalian. Jujur sebagai perempuan hatiku ada kecenderungan pada pemuda yang sangat bertanggung jawab dan mandiri seperti itu. Adapun jodoh itu lain lagi urusannya. Semua Allah yang menentukan. Kebetulan tunangan saya juga mahasiswa Cairo. Sudah selesai S2 dan sekarang sedang proses S3." Tutur Anna penuh kejujuran.
Lha ini lebih cocok. S2 layak dapat yang sudah selesai S2. Sama-sama dari Cairo lagi. Nanti kami diundang ya pada hari H? Masih lama?" Kata Husna.
Rencananya dua bulan lagi. Ya kalian pasti aku undang insya Allah."
"Boleh tahu nama calon suami Mbak Anna? Siapa tahu kakak saya kenal. Nanti kalau dia pulang biar kami beritahu dia." Tanya Lia.
Boleh namanya Furqan Andi Hasan."
Furqan?"
Iya. Ada apa?"
Seingat saya kakak saya pernah bercerita punya teman namanya Furqan. Apa mungkin Furqan itu ya?"
Bisa jadi. Tapi nama Furqan di Cairo juga banyak." Jelas Anna.
Hampir dua jam lamanya Anna berada di rumah Husna. Selama dua jam banyak hal dibicarakan. Banyak cerita diriwayatkan. Terutama tentang Mesir, juga tentang Furqan. Dari perbincangan dengan Husna dan Lia, ia jadi semakin tahu siapa sosok Azzam sesungguhnya. Ia jadi tahu bahwa Husna dan Lia semuanya dibiayai oleh kakaknya. Kekagumannya kepada sosok bernama Azzam semakin menguat. Namun ia selalu bisa meyakinkan dalam hati bahwa Furqan tunangannya itu adalah lelaki terbaik untuk menjadi pendamping hidupnya.
Pukul setengah sebelas Anna mohon diri. Saat ia hendak keluar dari rumah, Bu Nafis memasuki halaman.
Lha itu Bu’e baru pulang." Kata Lia.
Bagaimana kalau Mbak Anna duduk lagi. Bincangbincang dengan ibundaku sebentar. Beliau pasti senang." Tukas Husna sambil memandang wajah Anna.
Maaf, saya harus pulang sekarang. Sudah cukup lama. Kebetulan mobilnya mau dipakai Abah ke Jogja. Jadi aku harus segera pulang. Lain kali insya Allah." Jawab Anna.
Anna menunggu Bu Nafis sampai beranda. Begitu Bu Nafis mendekat Anna langsung meraih tangan perempuan setengah baya itu dan menciumnya penuh rasa ta'zhim.
"Saya Anna Althafunnisa Bu. Temannya Husna." Anna berkata halus mengenalkan diri.
Kau cantik sekali Nak. Di mana rumahmu?" Tanya Bu Nafis dengan mata berbinar.
Wangen, Polanharjo Bu."
Jauh dari pesantren?" Tanya Bu Nafis. Belum sempat Anna menjawab, Husna mendahului,
Dia putrinya Pak Kiai Lutfi Bu. Dialah yang punya pesantren." Bu Nafis terhenyak dan berkata,
Masya Allah. Seharusnya ibu yang mencium tanganmu Nak. Bukan kamu yang mencium tangan ibu. Masya Allah, ayo masuk Nak, akan ibu buatkan mendoan yang enak."
Ah ibu. Sayalah yang harus mencium tangan ibu. Tangan ibu yang telah mendidik putra dan putri yang membanggakan seperti Husna, Lia dan juga Azzam.
Sungguh Bu saya ingin sekali berbincang-bincang. Saya betah di sini. Tapi sayang saya harus pulang. Mobilnya mau dipakai Abah pergi, Bu."
O begitu. Matur nuwun ya Nak sudah berkenan mampir."
Saya pamit, Bu. Mohon tambahan doanya."
Semoga Allah menyertaimu. Amin." Anna kembali meraih tangan Bu Nafis dan menciumnya. Ada kebahagiaan yang mengalir dalam hati perem-puan tua itu ketika kulit tangannya bersentuhan dengan kulit tangan putri ulama terkenal dari Wangen. Dalam hati paling dalam ada pengharapan yang sangat halus,
Andaikan gadis ini jadi menantuku, alangkah bahagianya diriku sebagai seorang ibu." Anna melangkah masuk ke dalam mobil. Bu Nafis, Husna dan Lia masih berdiri di beranda. Mobil itu mundur perlahan. Lalu putar haluan. Anna melambaikan tangan.
Bu Nafis, Husna dan Lia membalas melambaikan tangan dengan senyum mengembang. Tak lama kemudian sedan Vios itu hilang di tikungan jalan.
Kok ada ya gadis sejelita itu. Ibu pikir Si Zumrah itu dulu paling cantik. Ternyata kalah jauh dengan putrinya Kiai Lutfi." Bu Nafis berkomentar seraya masuk rumah.
Kalau Anna tadi Bu, tidak hanya cantik. Dia juga shalihah insya Allah dan dalam ilmu agamanya. Dia itu sudah selesai S1-nya di Al Azhar Mesir lho Bu." Tukas Husna.
Jadi dia kuliahnya di Al Azhar?" Bu Nafis bertanya meyakinkan.
Iya. Sekarang sedang merampungkan S2-nya."
Berarti dia kenal kakakmu? Apa dia datang kemari membawa titipan dari kakakmu Na?"
Wah sayang, Bu’e. Dia tidak kenal Kak Azzam juga tidak membawa titipan dari Kak Azzam. Dia kemari karena kemarin ketika bertemu di acara bedah buku, dia berjanji akan berkunjung ke sini. Dia memenuhi janjinya."
O begitu. Sungguh aku senang ketemu sama gadis seperti itu. Dalam hati tadi aku sempat berharap kalau dia jadi menantu ibu. Jadi isteri kakakmu."
Kayaknya harapan Bu’e hanya akan jadi harapan."
Kenapa, apa tidak mungkin itu terjadi?"
Ya mungkin saja sih. Tapi sangat sulit. Sebab dia sudah tunangan. Bulan depan mau menikah."
O begitu. Ya kalau begitu ya dia mungkin tidak rizki kakakmu." Lia yang hanya mendengarkan saja menyela,
Aku yakin Kak Azzam akan mendapat jodoh seorang bidadari dunia. Bidadari yang jadi penyejuk hati suami dan keluarga."
Amin." Lirih Bu Nafis.
Sedan Vios itu memasuki pelataran pesantren dan berhenti tepat di halaman kediaman pengasuh. Anna keluar dengan wajah cerah. Ada gelombang kebahagiaan yang hinggap di dalam hatinya. Gelombang itu terasa kuat, tajam, menakjubkan. Entah kenapa hatinya merasa sangat bahagia bisa akrab dengan Husna dan keluarganya. Ketika kulit tangannya bersentuhan dengan kulit tangan Bu Nafis, ada getaran halus menyusup ke dalam hatinya. la merasa sejak pertama melihat Husna jiwa dan hatinya telah bertemu dengan jiwa dan hati Husna. Itulah yang ia rasakan sebagai pangkal kebahagiaan yang berdesir dalam hatinya. Entah kenapa ia merasa seperti sudah sangat dekat dengan keluarga psikolog dan penulis muda itu.
Dari mana saja kamu Nduk? Abahmu seharusnya sudah berangkat seperempat jam yang lalu. Jika Abahmu terlambat yang kasihan pasti jamaah pengajian. Mereka akan menunggu lebih lama." Tegur Bu Nyai Nur, ibunda Anna. Nama lengkapnya Nur Sa'adah.
Ummi, maaf Anna terlambat. Anna tidak mampir ke mana-mana kok. Anna hanya ke rumah Ayatul Husna. Psikolog yang minggu lalu kita undang mengisi bedah buku. Abah di mana Mi?"
Beliau sedang membaca Al Qur’an di taman belakang. Datangilah beliau agar segera berangkat."
Baik Mi." Anna lalu bergegas ke taman belakang. Sampai di taman belakang Anna langsung menemui ayahnya dan meminta maaf atas keterlambatannya. Kiai Lutfi langsung bergegas berangkat. Setelah Kiai Lutfi berangkat Anna langsung ke tempat kerjanya, menulis tesis di perpustakaan. Namun ternyata Bu Nyai mengikuti putrinya itu ke lantai dua. Anna kaget ketika tahu ibundanya mengikutinya.
Ada apa Mi?"
"Ummi ingin mengajakmu bicara sebentar."
Tentang apa Mi?"
Tentang rencana pernikahanmu dengan Furqan."
Ada apa Mi?"
Apa kamu telah benar-benar mantap?" Tanya Bu Nyai dengan mimik serius. Seluruh mukanya menghadap muka Anna.
Ummi ini bagaimana? Masak itu ditanyakan lagi.
Kalau tidak mantap ya pasti aku tidak mau dikhitbah. Tidak akan memilih Furqan dan tentu juga tidak mau ditunangkan dengan Furqan."
Entah kenapa sampai sekarang ibu belum mantap seratus persen. Ibu sendiri tidak tahu. Masih ada sebersit keraguan yang menyusup halus."
Keraguan itu banyak dijadikan alat oleh setan untuk menjauhkan manusia dari amal kebaikan. Sudahlah Mi, yang Ummi tanyakan itu sudah tidak perlu ditanyakan lagi."
Kalau sudah mantap ya alhamdulillah. Itu yang Ummi inginkan."
Sementara nun jauh di Jakarta sana. Tepatnya di sebuah rumah mewah di kawasan Pondok Indah Jakarta Selatan Furqan sedang berbaring di tempat tidurnya. Matanya berkaca. la masih didera perang batin yang masih berkecamuk dengan dahsyat di dalam dada.
Ayah dan ibunya sangat bahagia dengan keberhasilan studinya. Mereka juga sangat bahagia mengetahui siapa calon menantu dan besan mereka. Terutama ibunya yang asli Betawi sangat bahagia. Sebab menjadi bagian dari keluarga besar seorang Kiai adalah harapan banyak orang.
Dan tak lama lagi setelah pernikahan itu dilangsungkan maka keluarga Andi Hasan akan menjadi bagian tak terpisahkan dari keluarga pengasuh Pesantren Wangen. la sendiri juga bahagia. Cita-cita dan keinginannya menyun-ting gadis yang menurutnya paling jelita di antara mahasiswi Indonesia di Cairo tinggal satu langkah lagi menjadi kenyataan. Yaitu ketika akad nikah telah dilangsungkan.
Namun ia merasa ada ribuan paku menancap di relungrelung hatinya. Ada rasa sedih dan rasa perih yang terus menderanya. Juga rasa takut yang luar biasa. Ia takut jika sampai keluarga Anna mengetahui apa yang dideritanya, entah dari siapa saja sumber informasinya. Jika mereka tahu ia telah mengidap HIV maka tamatlah riwayatnya dan riwayat keluarganya. Selain itu dalam relung hatinya yang paling dalam ia tidak tega menyakiti Anna. Nuraninya sering berontak bahwa jika langkah ini diteruskan sampai Anna menjadi isterinya, itu sama saja membunuh Anna dengan cara paling keji di dunia.
Ia yakin ada penyakit dalam tubuhnya. Dan perkawinannya dengan Anna nanti akan menularkan penyakitnya pada Anna. Lalu pada anak-anak mereka. Ia lalu membayangkan seperti apa murkanya Anna dan marahnya keluarga besar Pesantren Wangen padanya. Lalu di mana rasa takwanya kepada Allah? Bukankah apa yang dilakukannya itu satu bentuk penipuan paling menya-kitkan ummat manusia? Nuraninya memintanya untuk bersikap layaknya orang-orang shaleh yang memiliki jiwa ksatria. Nurani-nya memintanya untuk membatalkan saja pertunangan itu. Terserah alasannya yang penting tidak ada yang dizalimi karena ulahnya. Namun nafsunya tidak menerimanya. Ia sangat mencintai Anna. Ia merasa sangat berat memutus begitu saja pertunangannya dengan Anna. Apakah ia akan membuang begitu saja mutiara paling berharga yang paling ia inginkan setelah ada dalam genggamannya? Tidak! Furqan memutuskan untuk tetap meneruskan langkah. Ia tak peduli lagi pada apa yang akan menimpa-nya dan apa yang akan menimpa Anna. Ia juga tidak peduli pada apa yang akan terjadi jika akhirnya Anna dan keluarganya tahu apa yang disembunyikannya.
Jika aku memutuskan pertunanganku dengan Anna, siapakah yang lantas akan peduli pada nasibku? Biarlah aku menentukan nasibku sendiri!" Tekadnya dalam hati dengan mata berkaca-kaca. Saat ia meneguhkan tekadnya itu nuraninya menjerit tidak rela. Ia teguhkan untuk tidak mendengar jeritan-jeritan protes nuraninya. Ia berusaha membutakan mata batinnya sendiri.
Tiba-tiba ia menangis sendiri. Ia teringat hari paling celaka dalam hidupnya. Yaitu saat ia bangun dari tidurnya di Meridien Hotel Cairo dan mendapati dirinya dalam keadaan sangat memalukan. Lalu teror gambar-gambar dirinya bersama Miss Italiana. Lalu periksa darah. Lalu di kantor intelijen. Ia tahu Miss Italiana yang menghancurkan hidupnya adalah seorang agen Mossad. Dan terakhir ia membaca hasil laboratorium yang menyatakan ia positif mengidap HIV. Lalu janjinya pada Kolonel Fuad untuk tidak menyebarkan virus yang dideritanya.
Ia tidak percaya kenapa semua ini terjadi pada dirinya.
Kenapa? Apa ia pernah melakukan dosa besar sehingga harus dihukum sedemikian beratnya? Dan kini ia merasa dunia begitu sepi dan sunyi. Ia seperti sendirian. Tidak ada tempat berbagi, tidak ada tempat melabuhkan nestapanya. Berkali-kali ia ingin menceritakan apa yang dialaminya pada ayah dan ibunya, tapi selalu ia urungkan. Ia tidak sampai hati menghancurkan rasa bahagia yang kini sedang bermekaran dalam dada mereka.
Furqan kembali menangis. Pada siapa ia harus mengadu. Setiap malam ia terus bermunajat mengadu kepada Allah, namun ia merasa belum juga mendapatkan penyejuk nelangsa jiwanya. Tekanan batin yang terus menderanya membuatnya ia selalu murung muka. Hanya saat ia berada di rumah Anna dalam acara pertunangan itulah mukanya tampak bercahaya. Begitu meninggalkan pesantren Wangen mukanya kembali murung seperti sebelum-sebelumnya.
Saat Furqan menyeka air matanya, hand phonenya berdering. Satu sms masuk. Ia buka. Dari Abduh, teman satu rumahnya di Cairo. Ia baca,
Ass. Mas apa kabar? Ane kirim email. Dibaca ya. Abduh." Furqan menghela nafas. Ia lalu bangkit mengambil laptopnya. Sejurus kemudian ia sudah berlayar di dunia internet. Ia buka inbox alamat emailnya. Benar, ada email dari Abduh. Tidak hanya dari Abdul ada puluhan email masuk yang belum ia baca. Ia membuka email Abduh dengan perasaan tak menentu. Tidak seperti biasanya.
Biasanya ia selalu membuka email dengan perasaan bahagia dan penasaran apa isinya. Sejak kejadian di Meridien Hotel ia seperti tidak ingin berinteraksi dengan siapa saja.
Abduh menulis,
Mas Furqan, assalaamu'alaikum wr wb. Dari Cairo kalau boleh aku ingin mengucapkan selamat kepada Mas atas pertunangannya dengan Anna Althafunnisa. Kabar itu sudah menyebar ke seantero Cairo. Dan Cairo sedang geger. Saya yakin banyak hati yang patah karena orang yang didamba sudah ditunang orang. Sekali lagi selamat ya Mas. Semoga nanti sakinah, mawaddah wa rahmah. Amin. Salam dari teman-teman."
Di bawah email Abduh, ada email singkat dari Eliana, putri duta besar yang terus mengejar cintanya. Eliana menulis singkat,
Aku dapat kabar dari Abduh, kamu sudah tunangan dengan Anna. Selamat ya atas pertunangannya. Semoga kamu mendapatkan apa yang kamu cari padanya. Eliana Alam."
Furqan kembali meneteskan air mata. Seharusnya ia memang paling bahagia di antara mahasiswa Cairo. Ia sudah selesai S2 dan siap menyunting gadis paling didamba oleh mahasiswa Cairo. Email dari Abduh bukan menam-bah dirinya bahagia, email itu justru semakin membuat pedih hatinya. Ia tidak seperti yang disangka banyak orang.
Hatinya remuk redam, dan jiwanya telah hancur beranta-kan. Berhari-hari ia merasa dirinya bagai mayat yang berjalan.
Fur!" Ia mendengar suara ibunya memanggil.
Iya Bu." Jawabnya. Ia menghapus matanya yang basah. Ia melihat cermin. Gurat wajahnya sama sekali tidak ceria. Cepat-cepat ia ke kamar mandi membasuh muka.
Ia selalu berusaha tampak biasa di hadapan ibunya. Dan tetap saja ibunya menganggapnya bermurung durja.
Setelah merasa wajahnya segar ia keluar dari kamarnya yang mewah di lantai dua. Ia turun menemui ibunya. Ia memang sangat mencintai ibunya.
Ada apa Bu?" Tanya Furqan.
Ibu tadi sudah ketemu Teh Vina, desainer busana pengantin muslimah dari Bandung yang terkenal itu. Dia bisa menyelesaikan gaun pengantin untuk calonmu.
Tinggal kamu pilih harga dan warnanya. Teh Vina minta agar bisa segera mengukur calonmu itu. Menurutku agar tidak merepotkan Anna. Ajak saja Teh Vina ke Solo besok.
Berangkat pagi pakai Garuda. Langsung ke Wangen biar Teh Vina langsung bertemu Anna. Sore bisa kembali ke Jakarta. Bagaimana menurutmu?" Bu Maylaf, ibunda Furqan bicara dengan penuh semangat dan wajah berseri.
Saya sepakat Bu!"
Kalau begitu kamu telpon Anna dulu. Memastikan besok dia di rumah dan tidak ke mana-mana. Jika sudah pasti baru ibu akan telpon Teh Vina."
Sekarang Bu?"
"Iya. Kapan lagi?"
Baik Bu." Furqan lalu kembali ke kamarnya mengambil hand phonenya. Nomor Anna sudah tersimpan dan disetting pada urutan pertama dalam hand phonenya. la langsung menelpon tunangannya itu dari kamarnya. Saat men-dengar suara Anna di seberang sana, hatinya bergetar hebat. Nyaris ia tidak bisa bicara dengan baik. Dengan agak gagap ia menyampaikan apa yang diinginkan oleh ibunya.
Anna mengiyakan dan akan menunggu di rumahnya.
Furqan tersenyum. Ada sebersit bahagia menyusup dalam hatinya. Ia semakin menekadkan hatinya untuk tetap maju.
Yang penting maju dan mendapatkan Anna. Urusan lainnya belakangan. Aku juga berhak merasakan bahagia." Gumamnya pada diri sendiri.
Siapa yang telpon Nduk?" Tanya Bu Nyai Nur pada putrinya.
Furqan, Mi." Jawab Anna dengan wajah tersipu.
Ada apa dia nelpon Nduk? Apa dia sudah kangen sama kamu?"
Ya tidak tahu Mi. Dia tadi nelpon memberitahukan bahwa dia dan ibunya besok mau datang ke sini."
Ke sini lagi? Untuk apa?"
Ibunya membawa desainer busana pengantin muslimah dari Bandung. Desainer itu yang akan membuat gaun pengantin Anna. Besok datang untuk mengukur Anna."
O begitu. Itu desainer terkenal ya Nduk?" “Mungkin Bu. Anna kan tidak tahu dunia seperti itu."
Iya orang-orang kota itu kalau nikah kok ada saja yang disiapkan. Ya inilah, ya itulah. Ummi dulu waktu nikah sama Abahmu kok ya biasa saja. Akad di masjid. Ayahmu pakai sarung baru dan baju putih baru. Juga peci baru. Itu saja. Ibu yang baru malah Cuma kerudungnya. Tapi kalau sekarang, harus membuat gaun pengantin khusus."
Ummi inginnya aku seperti Ummi?"
Sebenarnya iya, pakaian sederhana saja.
Tapi bagaimana dengan mertuamu nanti. Pasti tidak setuju.
Dia kan konglomerat ibu kota. Ya ikuti saja keinginan mereka, asal baik. Itu saja."
Belum apa-apa Anna sudah menemukan cara pandang yang berbeda antara ibunya dengan ibu Maylaf, calon mertuanya.
Tapi ada satu hal yang harus kamu pertahankan matimatian lho Nduk!" Ibunya kembali bicara padanya.
Nadanya tegas.
Apa itu Mi?"
Kau jangan pernah mau jika diminta tinggal di Jakarta hidup bersama mereka! Ingat baik-baik ya!"
Jangan khawatir Mi. Kan perjanjian waktu tunangan kemarin memang Anna tidak tinggal di Jakarta setelah menikah nanti. Tapi Anna akan tetap di sini. Furqan tinggal di sini untuk ikut mengajar di pesantren. Itu sudah jadi syarat yang harus Furqan penuhi. Jangan khawatir Mi!"
Ummi khawatir suamimu nanti berubah pikiran.
Kalau kamu dibawa ke Jakarta sana, lalu siapa yang akan meneruskan pesantren itu. Kakakmu sudah menetap di Magelang. Tinggal kamu satu-satunya andalan Abahmu."
Insya Allah Mi, Anna akan hidup terus bersama Abah dan Ummi di sini."
Sungguh?"
Insya Allah, Mi."
Alhamdulillah. Ummi pegang janjimu. Oh ya Ummi mau tanya lagi, apa kamu benar-benar sudah mantap memilih Furqan?"
"Ih Ummi ini tanya itu lagi! Kenapa sih Mi?"
Entah, Ummi juga bingung sendiri. Ada sesuatu dalam hati Ummi. Apa ini sebuah firasat. Ah, Ummi tidak tahu itu apa."
Sudahlah Mi. Anna sudah mantap. Anna harus bagaimana lagi Mi? Ummi jangan membuat Anna jadi raguragu."
Iya Nduk. Maafkan Ummi ya."
Ummi harus yakin bahwa Allah tidak akan menelantarkan Anna. Bahwa Allah memberikan pendamping hidup yang terbaik buat Anna. Ummi harus yakin itu. Sebab Allah itu mengabulkan prasangka hamba-Nya kepada-Nya. Anna minta, Ummi berprasangka yang baikbaik saja."
Iya Nduk."

0 komentar:

Posting Komentar

REVAN NINTANG BLOG. Diberdayakan oleh Blogger.