Kamis, 13 Agustus 2009

15 PESONA GADIS ACEH

Begitu sampai di SIC, Azzam langsung membuat kuah untuk baksonya. Beberapa siswa SIC minta menyicipi bola bakso yang telah jadi. Ia tidak memenuhi permin-taan mereka. Sebab jika satu anak diberi yang lain pasti akan minta. Dengan bijak ia menjawab,

"Jangan kuatir, nanti kalian semua akan mendapat jatah, masing-masing anak satu mangkok bakso. Sabar sedikit ya."

Seorang anak yang terkenal suka usil menukas, "Walah minta satu saja tak boleh. Dasar pelit!"

Azzam tersenyum mendengarnya. Ia tidak kaget mendengarnya. Sudah sering dan biasa. Maka ia tidak nenjawab apa apa. Sebab saat nanti acara selesai, dan masih ada sisa bakso, anak -anak itu akan minta lagi Biasanya ia akan meluluskan permintaan mereka. Dan mereka akan ber-kata padanya, "Mas Insinyur memang pemurah dan baik hati. Makasih ya Mas."

Acara di SIC selesai tepat pukul dua belas siang. Dari acara itu Azzam mendapat keuntungan bersih tujuh puluh dollar. Azzam langsung pulang ke Mutsallats. Nasir ternyata telah ada di rumah. Sedang menanak nasi dan membuat telur ceplok.

"Eh Kang Azzam, baru pulang. Teman-teman pada di mana Kang kok sepi?" tanya Nasir santai sambil membalik telur ceploknya. Kelihatannya ia sama sekali tidak tahu apa yang telah terjadi di rumah itu.

"Mereka sedang di rumah sakit Rab'ah?" jawab Azzam sambil meletakkan panci besar dan perkakasnya pada tem patnya.

"Di rumah sakit? Siapa yang sakit Kang?" Nasir kaget. Pandangan matanya beralih dari telur ceploknya ke wajah Azzam.

"Fadhil." Ucap Azzam datar. "Fadhil?! Sakit apa Kang?"

"Sudahlah, kau makanlah dulu. Fadhil akan baik baik saja. Sudahlah nanti kuceritakan semuanya."

Azzam masuk ke kamarnya untuk istirahat. Sementara Nasir makan dengan sangat lahap.Nasi panas, telur ceplok dan kecap terasa begitu nikmat bagi pemuda yang pernah nyantri di Pesantren Buntet Cirebon itu. Guratan lelah masih tampak jelas di wajahnya . Namun guratan le-lah itu masih belum seberapa jika dibanding guratan lelah wajah Azzam yang kini menelentangkan tubuhnya di atas tempat tidurnya.

Azzam memejamkan mata, tapi pikirannya mengembara ke mana-mana. Mengembara ke ruang-ruang kelelahan demi kelelahan, tanggung jawab demi tanggung jawab, bakti demi bakti. Perjalanan hidup yang harus ditem -puhnya di Cairo adalah kerja keras, tetesan keringat, mata yang kurang tidur, pikiran yang penuh, dan doa yang dibalut tangis jiwa . Ingatannya pada ibu dan adik -adiknya adalah tanggung jawab sebagai seorang lelaki sejati yang beriman. Ingatan pada ayah nya adalah kewajiban bakti seorang anak mengalirkan doa pembuka rahmat Allah di alam baka.

"Kang apa yang sesungguhnya terjadi pada Fadhil?" Nasir duduk di sampingAzam. Ia tahu Azzam tidak tidur.

Azzam bangkit perlahan lalu duduk.

"Lebih tepat kalau kau bertanya, apa sesungguhnya yang telah terjadi di rumah ini," jawab Azzam. Nasir diam saja, ia tahu Azzam belum selesai bicara. Justru baru memulai bicara. "Tadi malam terjadi peristiwa besar di rumah ini. Peristiwa yang tak lain adalah getah dari tindakan ketidak hati-hatianmu," lanjut Azzam. Nasir kaget mendengarnya.

"Tindakan saya yang mana Kang?!" tanya Nasir dengan nada protes.

Azzam lalu menceritakan semua yang terjadi dengan detil. Tak dikurangi dan tak dilebihi. Mata Nasir berkaca kaca. Ia baru mengerti dengan "tindakan ketidak-hati-hatiannya yang dimaksud Azzam.

"Maafkan saya Kang. Saya tidak tahu kalau akan sampai terjadi hal yang tidak diinginkan seperti itu. Saya berun-tung satu rumah bersama orang yang berjiwa mengayomi dan melindungi seperti Sampeyan. Sekarang saya harus bagaimana Kang baiknya?" Ucap Nasir dengan di-sertai rasa penyesalan yang dalam.

"Untuk sementara, selama kau di Mesir hapus itu nama Wail El Ahdali dari ingatanmu. Dan bergaullah dengan orang Mesir dan orang asing sewajarnya saja. Jangan sok terlalu akrab. Bergaul sewajarnya selain membuat kita waspada juga membuat kita lebih dihormati di negeri orang. Yang jelas mungkin kau sedang dicari mahahits. Bersikap biasa saja. Jika suatu kali diinterogasi mahahits jawablah yang wajar saja. Yakinkan mereka bahwa kau tidak berbuat macam macam di tanah mereka ini. Yakinkan mereka bahwa konsentrasimu adalah belajar di Al Azhar. Jangan pernah mengisyaratkan kau kenal dan punya hubungan dengan Wail El Ahdali." Azzam menasihati panjang lebar. Nasihat yang sangat penting bagi orang yang terlalu familiar dengan siapa saja seperti Nasir. Sikap familiar yang terkadang berlebihan, sehingga berpeluang mengundang hal-hal yang tidak diingin-kan.

"Baik Kang. Tapi Wail itu orangnya baik kok Kang. Dia bukan penjahat. Aku pernah ke rumahnya di daerah Mahallet Marhum, dekat Tanta."

"Aku tidak mengatakan Wail itu tidak baik Sir. Aku percaya kok teman-temanmu baik. Tapi yang terbaik bagi kita saat ini adalah tidak kenal Wail dulu. Amn Daulah Mesir merasa punya urusan dengan Wail. Kita biarkan itu sebagai urusan mereka. Kita di sini adalah tamu. Dia orang Mesir. Dia lebih tahu Mesir daripada ki-ta. Wail pasti memiliki cara untuk menyelesaikan urusannya. Kita urus saja urusan kita sebaik -baiknya.

"Bukankah urusan kita sendiri masih banyak?" tegas Azzarn.

"Ya Kang."

"Sekarang kita ke Mustasyfa Rab'ah."

"Baik Kang. Aku mandi dulu sebentar dan ganti pakaian ya Kang? Tadi pagi aku belum mandi."

"Ya. Tapi cepetan ya."

"Ya Kang."

Saat Nasir mandi, Azzam teringat akan tempe yang ia pasrahkan pembuatannya pada Rio. Ia harus memeriksanya untuk lebih merasa yakin bahwa pekerjaan anak buahnya itu beres seperti yang ia harapkan. Ia melihat beberapa caloncalon tempe di rak. Ia ambil satu, ia teliti.

"Bagus. Rio bisa diandalkan," lirihnya.

Ia merasa tenang, jika suatu saat nanti ia tidak bisa mem buat sendiri tempenya, ia bisa menyerahkannya pada Rio. Dengan begitu bisnisnya akan tetap lancar. Dan Rio juga senang, sebab dia akan mendapat tambahan gaji.

Nasir benar-benar mandi cepat. Entah apa yang ia lakukan di kamar mandi. Rasanya baru masuk sudah keluar lagi. Ia langsung masuk ke kamarnya dan ganti pakaian.

Sepuluh menit kemudian mereka berdua sudah keluar rumah. Mereka berjalan kaki menuju jalan raya. Begitu ada bus nomor 65 mereka naik. Selama dalam perjalanan yang tidak lama itu Azzam tidur. Nasir masih didera rasa bersalah . Tadi malam ia nyaris mau nekat tetap mengi-napkan Wail di rumah. Namun ia ingat, jika Azzam ma -rah, maka seisi rumah pasti akan juga marah.

Karena itulah, begitu selesai makan roti dan kabab, ia mengajak Wail jalan kaki ke Tub Ramli. Ia dan Wail akhirnya menginap di rumah Mat Nazri, mahasiswa asal Pahang, Malaysia yang sama -sama agen tiket Malaysia Air Lines. Mat Nazri percaya saja padanya, bahkan sangat senang dengan kedatangan Wail. Mereka bertiga tidak tidur. Sebab Wail banyak bercerita tentang masa kecilnya dan juga kedamaian desanya. Cerita yang enak didengar dan mengasyikkan, karena Wail sering mem -bumbui dengan humor-humor yang menyegarkan. Ia masih ingat cerita Wail tentang Abu Nuwas. Wail ber-kata,

"Waktu kecil dulu aku paling suka mendengar cerita cerita lucu Abu Nuwas. Yang paling menarik membawakan cerita adalah Ammu Husni. Dulu dia yang mengajari anak anak desa kami membaca Al-Quran. Sekarang dia bekerja di kementerian wakaf di Cairo. Saya masih ingat satu cerita dari Ammu Husni tentang Abu Nuwas. Cerita yang jika saya mengingatnya masih bisa tertawa, paling tidak tersenyum sendiri. Ammu Husni bercerita begini:

'Suatu sore Khalifah Harun Ar Rasyid berjalan-jalan mencari angin di luar istananya. Ia melewati pasar. Di sana, ia berpapasan dengan Abu Nuwas. Sang Khalifah sangat kaget melihat Abu Nuwas membawa sebuah botol yang kelihatannya berisi arak dalam ukuran yang besar. Untuk meyakinkan apa yang dilihatnya Sang Khalifah pun menghampiri Abu Nuwas.

'Sejak kapan kamu jadi pemabuk Abu Nuwas?' selidik Khalifah.

'Saya tidak pernah mabuk. Khalifah jangan ngawur menuduh seenaknya!' jawab Abu Nuwas berkelit.

'Lalu apa yang kamu bawa itu?'

'Botol.'

'Lalu apa isi botol itu?' 'Susu, Khalifah.'

'Susu kok warnanya merah? Sungguh aneh, bukankah di mana-mana susu warnanya putih?'

'Harap maklum Khalifah. Susu ini mulanya berwarna putih. Tapi karena malu pada Khalifah jadi berubah merah. Ia lebih pemalu dari gadis pingitan, Khalifah,' jawab Abu Nuwas diplomatis.

Mendengar jawaban Abu Nuwas itu Sang Khalifah tertawa terpingkal-pingkal. Kok bisa-bisanya susu memiliki sifat malu. Sungguh jawaban yang konyol, namun menyegarkan. Sang Khalifah lalu melanjutkan perja-lanannya setelah tahu ternyata yang dibawa Abu Nuwas memang bukan arak, tapi minuman sejenis syirup dari kurma."

Nasir tersenyum sendiri. Cerita tentang Abu Nuwas, yang kalau di Indonesia lebih di kenal Abu Nawas, sudah sa ngat sering ia dengar. Tapi ceria tentang susu yang bisa berubah merah warnanya karena malu baru ia dengar saat itu. Mesir memang kaya dengan cerita -cerita lucu, di samping juga kaya akan kisah romantis dan juga epik yang menggetarkan jiwa.

Beberapa puluh meter sebelum sampai Mahattah Rab'ah ia membangunkan Azzam. Azzam bangun dengan mata merah. Mereka turun dan langsung ke rumah sakit. Di depan ka mar Fadhil, mereka melihat Nanang dan Ali berdiri di sam ping pintu,

"Kenapa di luar? Siapa yang di dalam?" tanyaAzzam. "Fadhil sedang ditunggui dua cewek," jawab Nanang. "Siapa?" tanya Azzam.

"Cut Mala, adik perempuannya dan Cut Rika teman Cut Mala."

"Fadhil gimana keadaannya?"

"Sudah sadar. Kata dokter akan baik-baik saja. Tapi tadi pagi sempat diinfus dengan vitamin otak. Setelah di-scan, ada gegar ringan. Mungkin karena kepalanya memben-tur lantai saat dia jatuh tadi malam. O ya Kang, dia menanyakan Sampeyan terus sejak sadar," kata Nanang menjelaskan.

"Baik kalau begitu aku masuk dulu."

Azzam langsung masuk. Dua mahasiswi berjilbab duduk di samping Fadhil. Yang berjilbab biru muda bercakap-cakap dengan Fadhil. Sementara yang berjilbab putih membaca majalah.

"Assalamu 'alaikum?" sapa Azzam.

Seketika yang ada di kamar itu menjawab salam. Fadhil tersenyum melihat siapa yang datang. Ia langsung ber-kata pada gadis berjilbab biru muda,

"Dik Mala, itu Kang Azzam, senior saya di rumah." Gadis berjilbab biru mengangguk kepada Azzam sambil menangkupkan kedua telapak tangan di depan dada. Azzam juga melaku kan hal yang sama sambil memper-kenalkan diri,

"Ya saya Azzam."

"Saya adiknya Kak Fadhil. Cut Mala. Lengkapnya Cut Malahayati." Tukas gadis berjilbab biru berwajah putih bersih. Azzam melihat sesaat, ia tertegun sesaat. Baru kali ini ia bertatap muka dan melihat langsung wajah adik perempuan Fadhil yang membuat Hafez nyaris gila. Ia harus mengakui, memang memesona. Ia langsung menundukkan kepala, lalu tanpa sadar ia mengalihkan pan-dangan ke arah gadis yang satunya yang sedang meng-hadap ke arahnya dengan menun dukkan kepala.

"Dia teman Mala. Masih ada hubungan keluarga dengan saya meskipun jauh. Namanya Cut Rika." Fadhil memperkenalkan. Sebab ia tahu teman adiknya itu sangat pemalu. Azzam hanya mengangguk-angguk. Gadis yang bernama Cut Rika itu diam saja. Maka Azzam mengalihkan perhatiannya pada Fadhil.

"Bagaimana keadaamnu Dhil?"

"Baik Kang. Tak ada yang perlu dicemaskan. Tapi aku perlu berbicara dengan Sampeyan tentang satu hal penting jawab Fadhil.

"Apa itu?" tanya Azzam penasaran.

"Sebentar Kang," jawab Fadhil sambil memberi isyarat kepada adiknya agar ia dan temannya meninggalkan kamar. Setelah keduanya keluar, Fadhil berkata,

"Bisa nggak Kang saya pulang sore ini? " "Kenapa Dhil? Kau masih perlu perawatan? " "Terus terang Kang, saya tidak punya uang. Adik saya

juga. Kami tidak mungkin minta ibu kami di Indonesia."

"Sudahlah kau jangan memikirkan hal itu dulu. Biar hal itu aku yang memikirkan, yang penting kamu sehat kem -bali. Ujian tidak lama lagi. Ingat itu."

"Kalau bisa pulang secepatnya. Cobalah bicara kepada dokternya, jika nanti dia datang."

"Baiklah."

"Terima kasih Kang."

"Ya sama -sama. Adikmu biar masuk lagi ya. Soalnya kelihata nnya ia ingin terus dekat denganmu. Aku dan te-manteman shalat Ashar dulu."

"Iya Kang."

Azzam beranjak keluar memanggil dua gadis Aceh, lalu mengajak teman satu rumahnya shalat Ashar. Sebab saat itu azan tengah berkumandang.

Setelah Ashar dokter datang. Azzam membicarakan kemungkinan Fadhil dibawa pulang.

"Dia boleh pulang, paling cepat besok siang." Jelas dok ter berambut putih meyakinkan.

Menjelang Maghrib, Cut Mala dan Cut Rika minta diri. Tak lama setelah itu Azzam dan Nanang juga minta diri. Untuk jaga malam, Nasir dan Ali menawarkan diri.

Atas permintaan Azzam, Hafez memang sejak awal tidak usah dikabari dulu. Dia biar menyelesaikan urusannya di Katamea dulu. Azzam tidak ingin Hafez tahu lalu langsung ke rumah sakit dan bertemu Cut Mala.

Saat Azzam pamitan pada Fadhil, dengan nada bergurau Fadhil berkata,

"Menurutmu Cut Mala, adikku, cantik tidak Kang?" Azzam menjawab dengan gurauan,

"Tanyakan saja pada Nasir, dia paling tahu tentang perempuan cantik. Kelihatannya dia tadi mengamati betul adikmu itu."

Nasir tidak menduga akan jadi sasaran tembak. Serta merta ia berkata,

"Ya kalau belum ada yang mengkhitbah, cantik sih. Tapi kalau sudah ada yang mengkhitbah, ya, tidak cantik."

Azzam tersenyum lalu pergi. Ia jadi teringat dua adiknya kembali. Husna dan Lia. Apa mereka secantik Cut Mala, atau malah lebih cantik? Tiba-tiba ia malu pada diri sendiri. Hatinya benar-benar mengakui pesona gadis Aceh berjilbab biru muda itu tadi. Fadhil memang telah berkali-kali bercerita tentang adiknya yang baru satu tahun setengah menyusulnya kuliah di Cairo. Namun baru sore itu ia bertatap muka dengan gadis yang kata Fadhil, saat di Madrasah Aliyah pernah menjuarai MTQ se-Tanah Rencong, Aceh. Ia bisa memahami kenapa Ha -fez sedemikian jatuh hati padanya.


0 komentar:

Posting Komentar

REVAN NINTANG BLOG. Diberdayakan oleh Blogger.