Minggu, 16 Agustus 2009

16 Bakso Cinta

Sudah dua bulan Azzam di rumah. Azzam sudah benarbenar menyatu dengan masyarakat. Ia sudah aktif di masjid. Sejak ia diminta menjadi badal Pak Kiai Lutfi mengisi pengajian Al Hikam, Pak Mahbub dan warga masyarakat dukuh Sraten sangat percaya padanya. Ia diminta untuk mengisi jadwal khutbah Pak Masykur yang belum ada gantinya.

Hanya saja, di mata warga masyarakat Azzam dianggap masih menganggur. Ia sebenarnya sudah mulai usaha membuka warung bakso di samping kampus UMS dekat Fakultas Farmasi. Tapi itu oleh masyarakat dianggap sebagai pekerjaan yang tidak bergengsi.

Ibu-ibu jika berkumpul di warung Bu War tanpa sadar sering membicarakan Azzam.

Sayang ya sembilan tahun di Mesir masih menganggur. Aku kira begitu pulang dari luar negeri langsung ditarik jadi dosen di IAIN atau STAIN. E... malah jualan bakso. Kalau hanya jualan bakso ngapain jauh-jauh kuliah ke Mesir. Itu Si Tuminah tidak lulus SD juga jualan bakso!”

Kata Bu Sarjo yang terkenal suka menilai orang.

Iya kasihan Azzam ya. Aku malah mengira dia pulang dari Cairo langsung diambil menantu Pak Kiai. E... sampai sekarang juga belum laku. Aku kira langsung memimpin pesantren.” Sahut Bu Agus.

Itu kemarin aku sangat kaget, ketika diberitakan pacaran sama Eliana. Kukira dia sudah jadi konglomerat di Mesir. Ternyata beli motor saja tidak bisa. Mana mungkin bintang film seperti Eliana mau.” Kata Bu Marto

Ya masih untung masih bisa mengajar majelis taklim di masjid, hitung-hitung buat kegiatan dia.” Sahut Bu Hariman Angin itu ternyata bisa menyampaikan perkatan-perkataan kamum ibu itu ke telinga Bu Nafis sekeluarga. Bu Nafis paling sedih dan resah. Husna juga, ia tidak rela kakaknya yang menjadi pahlawannya dijadikan gunjingan. Pengangguran memang sangat tidak nyaman. Akhirnya Bu Nafis tidak bisa menahan keresahannya. Suatu pagi ia berkata pada Azzam,

Nak, terserah bagaimana caranya agar kamu tidak tampak menganggur. Kalau pagi pergilah, berangkatlah kerja bersama orang-orang yang berangkat kerja. Dan kalau sore atau malam pulanglah ke rumah. Supaya kamu tidak jadi bahan ocehan. Ibu juga malu kamu lulusan luar negeri cuma jualan bakso!”

Bu Nafis menyampaikan hal itu dengan mata berkaca kaca. Husna yang mendengarnya juga trenyuh hatinya.

Bu’e, perkataan orang lain jangan terlalu dimasukkan ke dalam hati. Yang penting ibu percayalah pada Azzam. Azzam bisa mandiri. Azzam bisa makan dengan kedua tangan dan kaki Azzam sendiri. Ibu kan juga tahu di Cairo dulu Azzam juga jualan bakso.”

Terserah kamu Nak. Tapi pikirkanlah bagaimana caranya supaya kamu aman dari gunjingan masyarakat.”

Masyarakat kita memang paling hobi menggunjing kok Bu. Tapi baiklah Azzam akan ikuti permintaan ibu. Pagi berangkat kerja, sore pulang kerja.”

Azzam terus memutar otaknya. Ia harus segera menemukan cara untuk mendapatkan cashflow dengan cepat. Ia melihat usaha warung baksonya biasa-biasa saja. Malah bisa dibilang ia rugi sebab keuntungannya perhari hanya sepuluh ribu rupiah. Ini tidak sebanding dengan kerja kerasnya. Ia memang masih sendiri belum dibantu siapa-siapa. Demi memenuhi harapan ibunya ia menyewa satu kamar kos di dekat pasar Kleco. Jam delapan pagi ia sudah sampai di kamar kosnya. Ia lalu belanja. Setelah itu meracik bahan bahan baksonya. Jam dua semuanya sudah siap. Tepat jam setengah tiga ia buka warung. Ia buka sampai jam sembilan malam.

Demikian rutinitasnya setiap hari. Kepada para tetangga ibunya bilang Azzam sudah punya kantor di Solo. Pagi kerja di kantornya dan sorenya ia jualan bakso. Ya jika kantor maknanya adalah tempat kerja maka kamar kos yang ia gunakan untuk membuat pentol bakso adalah kantor. Kantor hanyalah istilah mentereng untuk menyebut tempat kerja. Di mana di tempat itu ada arsip dan berkas. Di kos Azzam juga ada arsip dan berkas. Yaitu catatan dan bon belanjanya. Azzam terus memutar otaknya bagaimana caranya usahanya sukses. Jika ia tetap menjual produk yang sama dengan yang lain, maka di pasar ia telah kalah. Ia harus punya produk yang inovatif, yang berbeda dengan yang lain. Sama-sama baksonya tapi harus ada sisi unik yang membedakan baksonya dengan bakso yang lain. Ia ingin agar pembeli baksonya mendapat sesuatu selain rasa nikmat di lidah, kenyang dan gizi. Ia terus berpikir. Sampai akhirnya ia menangkap sebuah ide yang menurutnya brilian. Ia akan membuat bakso cinta. Ya, ia akan membuat bakso cinta. Dalam benaknya ia akan membuat cetakan khusus untuk baksonya. Bentuk baksonya tidak bulat tapi berbentuk cinta, love atau hati. Terus ia akan mengubah suasana warungnya. Meskipun warung tenda, suasananya harus ceria dan romantis. Lalu ia akan menyiapkan instrumen musik khusus yang mengiringi pelanggannya makan.

Yup! Ini baru ide!” Teriaknya dalam hati.

Azzam lagi bekerja keras mencari cetakan dari besi berbentuk hati. Ia tidak menemukan di toko-toko penjual barang pecah belah. Ia akhirnya pesan cetakan yang ia inginkan ke Batur, Klaten yang dikenal sebagai pusat besi, baja dan alumunium. Cetakan itu akhirnya jadi juga.

Azzam mencoba membuat bakso cinta dengan cetakannya. Pertama kurang menarik. Lalu ia buat lagi dan hasilnya sangat mempesona. Ia lalu menyiapkan suasana warungnya. Gerobak baksonya ia cat pink semuanya. Tendanya juga ia cat pink. Meja dan kursinya juga pink. Ia cari mangkok khusus berwarna merah hati jadi pas dengan meja pink.

Ia juga mengubah jam buka warungnya. Sebelumnya dari jam setengah tiga sore sampai jam sembilan kini dari jam sepuluh pagi sampai jam enam sore. Sebelum membuka warung baksonya, ia promosi dengan membuat brosur dan menyebarkannya di hampir seluruh Solo. Di hari pembukaan perdana ia minta adiknya Lia dan Husna ikut membantu. Sekali itu saja.

Sambutan dari pelanggan luar biasa. Di hari pembukaan, hanya dalam waktu empat jam baksonya telah habis. Husna dan Lia sangat bahagia dibuatnya. Azzam sangat yakin baksonya akan laris.

Akhirnya Azzam memutuskan untuk cari seorang karyawan yang akan membantunya menyuguhkan bakso dan minuman ke langganan.

Adapun yang meracik bakso tetap ia sendiri. Azzam mengajak Si Kasmun yang hanya lulus SMA dan sekarang jadi pengangguran.

Pagi hari sebelum Azzam berangkat ke Kleco, Husna berkata pada Azzam,

Kak sebaiknya bakso cinta kakak dipatenkan. Agar nanti tidak ada yang meniru. Jika ada yang meniru tanpa ijin kakak punya kekuatan hukum yang kuat untuk menuntutnya. Husna yakin bakso kakak nanti akan mendapatkan hati pengunjungnya.”

Cara mematenkan bagaimana?”

Kita datang ke kantor yang mengurusi hak paten. Nanti mereka yang akan mengurusi hak paten kita sampai ke menteri kehakiman.” Jelas Husna.

Baik kita patenkan secepatnya.”

Hari berikutnya warung bakso cintanya terus penuh pengunjung. Jam tiga sore sudah kehabisan. Bakso dengan bentuk hati memang belum ada di Surakarta. Dan yang datang kebanyakan anak-anak muda. Mereka memang mencari sesuatu yang beda.

Belum genap satu bulan ia sudah merasa bahwa tenda warung bakso cinta harus ditambah besarnya. Ia menyewa tanah di samping bakso cintanya, agar tendanya bisa dilebarkan. Pengunjungnya agar tidak kecewa karena tidak dapat tempat duduk. Setelah sukses di kampus UMS, maka Azzam melebarkan sayap membuka cabang pertama di dekat UNS. Ia melihat Si Kasmun bisa dipercaya untuk memegang yang di UMS, maka ia sendiri yang memegang cabang UNS. Ia mengangkat dua karyawan baru. Satu untuk menemaninya dan yang satu untuk menemani Si Kasmun.

Cabang baru di UNS mendapat sambutan hangat dari kalangan mahasiswa. Seorang mahasiswa usul pada Azzam agar warung bakso cinta menjadi semacam warung apresiasi seperti warung apresiasi di Jakarta. Di situ dibuatkan satu tempat bagi mahasiswa atau seniman atau siapa saja yang akan menampilkan karya seninya. Usul itu direspon baik oleh Azzam. Azzam lalu meminta mahasiswa itu untuk merancang tempat yang digunakan untuk apresiasi seni yang diusulkannya. Setelah Azzam melihat dengan dibangunnya tempat itu akan semakin memperkokoh ikon bakso cintanya, maka tempat apresiasi segera diadakan. Dan hasilnya sangat di luar dugaan. Warung bakso cinta jadi tempat mangkal para mahasiswa, seniman dan masyarakat luas. Untuk menjaga citra warung baksonya, ia meminta naskah atau teks yang akan ditampilkan. Jika misalkan ada musisi yang menampilkan jenis musik yang isinya bertentangan dengan moral dan dakwah tidak segan segan ia untuk melarangnya. Atau memberikan alternatif lagu lain yang isinya baik.

Tak terasa sudah tiga bulan Azzam membuka warung bakso cintanya. Omsetnya perbulan bisa mencapai dua puluh juta. Kini ia bisa membeli mobil sederhana tapi layak pakai. Ke manamana ia memakai mobil itu. Untuk bakso ia bertahan untuk dua warung dulu.

Otaknya terus berputar, ia mencari peluang bisnis yang lain.

Ia membaca nasihat seorang pengusaha sukses di sebuah buku panduan bisnis agar tidak meletakkan semua telur dalam satu keranjang. Sebab jika suatu ketika keranjang itu jatuh maka telur akan pecah semua. Dan akibatnya akan sangat fatal. Maka yang baik dalam bisnis adalah meletakkan banyak telur di keranjang yang berbeda. Agar jika ada satu keranjang yang jatuh masih ada telur lain yang selamat. Dan telur yang selamat itu masih akan bisa menetas menjadi ayam dan bisa mendatangkan telur baru. Azzam melirik bisnis foto kopi. Ia tahu memang banyak pesaing. Tapi bisnis foto kopi di pinggir kampus hampir bisa dikatakan tak bisa mati. Caranya sederhana saja, ia melihat warung baksonya di UMS dan UNS selalu penuh pengunjung. Ia menyewa tempat tak jauh dari warung bakso cinta yang ia gunakan mendirikan pusat foto copy. Ia membeli dua mesin foto copi bekas. Pusat foto copynya ia namakan Foto Copy Cinta”. Brosur dan promosi ia gencarkan lewat warung bakso.

Hasilnya tidak terlalu mengecewakan. Bisnis foto copynya berjalan bagus. Meskipun tidak secepat Bakso Cinta. Suatu malam, sepulang dari warung bakso, Lia berkata,

Kak ada tamu.” Saat itu ia sudah rebah di kamarnya karena letih. Ia bangkit menuju ruang tamu. Ternyata Furqan. Ia bahagia sekali teman lamanya datang. Sudah lama memang ia tidak ke pesantren Wangen.

Terakhir ke pesantren itu ya tepat saat acara pernikahan Anna dengan Furqan dilangsungkan. Ia fokus dengan bisnisnya. Untuk pengabdian ke masyarakat sementara ia mencukupkan diri dengan mengisi pengajian di masjid kampung sendiri.

Ada tamu istimewa rupanya. Pak Kiai Furqan. Sendirian?”

Iya sendirian. Jangan memanggil Pak Kiai tho Zam. Aku malu.”

Lha kamu kan sudah jadi Kiai sekarang. Kan pengasuh pesantren.”

Jika aku Kiai, maka sesungguhnya kamu kan Kiaiku. Dulu awal-awal di Mesir kamu yang sering aku jadikan tempat bertanya. kamu yang sering menjelaskan isi diktat kuliah tho sehingga aku lulus.”

Sudah. Ini ada apa tho kok tiba-tiba datang membuat kaget saya.”

Saya datang atas nama pesantren Zam. Ini Pak Kiai Lutfi, mertuaku, sering sakit akhir-akhir ini. Beliau memang agaknya harus banyak istirahat. Lha untuk pengajian Al Hikam, banyak masyarakat yang meminta engkau yang mengisi. Terus terang sekarang Pak Kiai Lutfi hanya mengajar Subulus Salam saja. Lha aku sendiri diminta mengganti Tafsir Jalalain. Untuk Al Hikam, minta engkau. Terus terang ibu mertuaku juga cocok yang mengisi engkau. Sebab Al Hikam kan untuk masyarakat umum. kamu lebih bisa berbahasa Jawa yang baik daripada aku.”

Aduh gimana ya? Terus terang aku sibuk Fur. Sungguh. Gimana ya, waktuku sudah penuh Fur.” Jawab Azzam. Tiba-tiba ada suara yang menyahut dari arah dalam.

Tidak! kamu harus menyeimbangkan duniamu dengan akhiratmu Zam! kamu harus punya waktu untuk mengamalkan ilmumu dan menegakkan ajaran agamamu. Ya bisnis, ya juga mengajarkan ilmu! Kalau kamu hanya memusatkan perhatianmu pada bisnismu, Bu’e tidak ridha!”

Azzam kaget mendengar kalimat dari ibunya. Ia tahu apa yang dikehendaki ibunya. Sebelum Azzam berkata, Furqan duluan angkat suara,

Iya apa yang dikatakan ibu benar Zam. Toh itu cuma satu pekan satu kali saja.”

Baiklah kalau begitu. Salamku buat Pak Kiai Lutfi dan Bu Nyai.”

Terima kasih Zam. Pekan depan langsung mulai ya Zam.”

Insya Allah. Oh ya ngomong-ngomong sudah ada tanda-tanda mau dapat momongan belum?” Tanya Azzam sambil tersenyum.

Furqan tergagap mendengar pertanyaan itu. Entah sudah berapa kali ia mendengar pertanyaan itu dan banyak orang. Keluarga besar Anna setiap kali bertemu dengannya juga menyinggung hal itu. Ibunya sendiri dari Jakarta sering menelpon dan menanyakan hal itu. Dan ia harus menjawab dengan hati getir,

Belum.”

0 komentar:

Posting Komentar

REVAN NINTANG BLOG. Diberdayakan oleh Blogger.