Minggu, 16 Agustus 2009

26 Dalam Duka

Husna menunggui kakaknya dengan terus berzikir kepada Allah dan memperbanyak membaca shalawat kepada Rasulullah. Pipi kiri kakaknya berdarah. Tangan kiri kakaknya berdarah. Juga kaki kiri kakaknya. Ada selang kecil yang dimasukkan ke tangan kanannya. Alat pendeteksi detak jantung kakaknya ada di samping ranjang. Ia terus berdoa kepada Allah agar kakaknya segera siuman. Orang yang sangat dicintainya itu kini terkulai tak berdaya. Dengan beberapa bagian tubuh terkoyak dan berdarah.
Pukul lima sore, ia melihat tangan kakaknya bergerak. Lalu kedua kelopak matanya bergerak. Lalu perlahan membuka.
Kak Azzam.” Lirihnya dengan linangan air mata. Azzam membuka kedua matanya.
Allah.” Itulah kalimat yang keluar dari getar bibirnya. Ia mengerjapkan matanya. Lalu melihat adiknya,
Husna.” Husna berusaha tersenyum pada kakaknya. “Iya Kak. Alhamdulillah kakak sudah siuman.” ”Ini rumah sakit ya?”
Iya.”
Mana bu’e?”
Tenang kak. Bue baik di tempat istirahatnya.”
Maafkan Kakak ya Dik. Kakak kecelakaan. Bue pasti kesakitan. Maafkan.” Lirih Azzam sambil berlinang air mata.
Azzam berusaha menggerakkan badannya. Namun nyeri luar biasa.
Seorang perawat mendekat. “Sudah siuman?”
Alhamdulillah. Sudah Mbak.”
Begini, pertolongan pertama sudah kami lakukan. Masa kritis kakak Anda sudah lewat. Agar lebih terjaga. Sebaiknya kakak Anda dirawat di Solo, di sana peralatan lebih lengkap. Terutama untuk operasi tulang. Kami lihat kaki kiri kakak Anda patah. Semakin cepat dioperasi akan semakin baik. Kami akan memberi rujukan silakan pilih rumah sakit mana yang Mbak pilih.” Jelas perawat itu
Yarsi bisa Mbak?”
Bisa. Kalau begitu kami akan siapkan segalanya secepatnya.”
Pokoknya siapkan yang terbaik untuk kakak saya.” “Baik.”
Perawat itu pergi. Kedua mata Azzam berkaca-kaca mendengar percakapan perawat itu dengan adiknya. Ia tahu apa yang terjadi pada dirinya. Kakinya patah harus dioperasi. Ia akan terkapar di rumah sakit dalam waktu yang lama. Dan ia akan istirahat di rumah dalam waktu yang lama. Di Cairo dulu pernah ada mahasiswa Indonesia yang dioperasi karena patah tulang saat sepakbola. Dan untuk sembuh ia harus istirahat yang lama.
Jika kaki kakak patah, lalu bu’e bagaimana Dik?” “Dia baik Kak, sedang istirahat.”
Jelaskan pada Kakak.”
Kakak jangan mikir bu’e dulu.”
Terus bu’e sama siapa sekarang?”
Sama Lia. Bue sudah dibawa pulang tadi.”
Jadi bu’e tidak apa-apa?”
Sekarang sudah tidak apa-apa. Bue sudah tenang.”
Syukurlah.” Kata Azzam sambil memejamkan mata.
Ambulan sudah siap. Kita bisa langsung ke Solo.” Perawat tadi datang lagi.
Kita langsung berangkat Mbak?”
Iya. Tapi Mbak selesaikan dulu administrasinya di sana ya. Kami akan membawa kakakmu ke ambulan.”
Baik.”
Husna melangkah ke bagian administrasi. Dua perawat pria datang dan mendorong ranjang Azzam menuju ambulan. Ketika melangkah ke bagian administrasi Lia dan Anna datang.
Semoga musibah ini jadi sumber pahala ya Na. Kami ikut berduka.” Lirih Anna sambil merangkul Husna.
Terima kasih sudah mau datang.” Jawab Husna “Bagaimana kak Azzam Mbak?” Tanya Lia
Ada tulang yang patah, ini mau dirujuk ke Solo yang lebih lengkap peralatannya. Kak Azzam harus operasi tulang.”
Inna lillah.” Lirih Lia.
Kasihan dia. Semoga kakakmu diberi ketabahan oleh Allah.” Ucap Anna pelan.
Dik kamu bawa uang? Kakak cuma ada tiga ratus ribu. Kita harus selesaikan administrasi dulu baru berangkat.
Saya cuma ada seratus ribu. Ayo coba dulu berapa semuanya.” Kata Husna sambil melangkah ke loket.
Yang mau dipindah ke Solo ya?” Tanya pegawai loket. ”Iya.”
Semuanya satu juta setengah Mbak. Sudah semuanya. Sudah termasuk biaya dua ambulan.”
Dik Lia, gimana nih. Kita cuma ada empat ratus ribu.” Husna agak bingung.
ATM kakak?” Tanya Lia.
Kosong, sudah habis untuk persiapan nikah.” Husna panik.
Masih kurang berapa? Pakai uangku dulu saja.” Anna tahu kepanikan Husna dan Lia.
Satu juta seratus Mbak.” Jawab Husna.
Tunggu aku ambil dulu di ATM.” Anna melangkah keluar mengambil uang di ATM. Tak lama kemudian Anna datang dan menyerahkan uang kepada Husna.
Kelihatannya banyak sekali. Berapa ini Mbak?” Tanya Husna.
Aku ambil lima juta. Pakai saja dulu. Nanti di Solo kalian pasti perlu ini itu.”
Terima kasih Mbak. Insya Allah nanti saya kembalikan secepatnya. Sebenamya saya yakin Kak Azzam masih punya uang.”
Sudah biarkan Mas Azzam itu tenang dulu. Nggak usah mikir uang dulu kasihan dia.” Kata Anna.
Setelah membereskan administrasi mereka berangkat ke Solo. Gantian Lia yang menemani Azzam di mobil ambulan. Dan Husna ikut mobil Anna Althafunnisa. Hari Sudah mulai gelap ketika mereka masuk di R.S. Yarsi. Begitu sampai Husna langsung bilang kepada pihak rumah sakit,
Tolong berikan yang terbaik untuk kakakku. Operasi yang terbaik. Berapa pun biayanya tidak jadi soal. Saya yang menanggung. Ini kartu identitas saya Ayatul Husna, Psikolog dan Dosen di UNS.”
Kata-kata Husna tegas. Ia tahu banyak rumah sakit yang kurang memperhatikan pasien hanya gara-gara sang pasien atau keluarga pasien dianggap tidak punya biaya.
Baik.” Jawab pihak rumah sakit. Diam-diam Anna kagum juga dengan ketegasan Husna. Tiba-tiba ia merasa kecil dibandingkan gadis yang ada di hadapannya itu. Gadis yang ditempa oleh pelbagai masalah kehidupan. Dan ketika ia kagum pada gadis itu maka mau tak mau ia harus kagum pada kakaknya. Kakaknyalah yang mendidik adiknya itu dari jarak jauh.
Tadi kami sudah berusaha mencegah bu’e. Kak Azzam juga sebenarnya tidak mau. Tapi bu’e ngotot. Sebelum pergi bu’e minta dibuatkan teh hangat. Bue berkata, ’Teh buatanmu lain rasanya Na. Enak. Ibu ingin meminumnya barangkali untuk kali terakhir.’ Ternyata memang itulah terakhir kalinya minum teh hangat buatanku.” Husna bercerita sambil berlinang air mata pada Anna. Hal itu malah membuat mata Anna berkaca-kaca.
Iya tadi di rumah beliau juga minum teh buatanku. Kelihatannya beliau ceria sekali. Abah sempat menawarkan agar beliau saya antarkan pulang ke rumah pakai mobil. Tapi beliau tidak mau. Beliau ngotot menerobos gerimis bersama Mas Azzam ke rumah Kiai Kamal. Abah sangat menyesal dalam hal ini, karena tidak memenuhi harapan ibumu.” Kata Anna terisak. Di dalam hati Anna merasa dirinyalah pangkal musibah ini. Abahnya menolak mengisi pengajian di acara walimah itu karena merasa terpukul dengan kegagalan pernikahannya dengan Furqan. Maka dialah pangkal musibah ini. Itulah perasaan berdosa Anna yang menggelayut di pikirannya.
Abahmu tidak salah. Memang sudah tiba ajalnya. Orang kalau sudah tiba ajalnya ada saja sebab yang menjadi perantaranya.” Ujar Husna pada Anna.
Kau benar. Terus bagaimana dengan pesta perkawinanmu nanti?”
Itu nanti. Yang sekarang ada dalam pikiranku adalah bagaimana agar kakakku bisa kembali seperti semula. Aku ingin kakakku bisa berjalan seperti semula. Kaki dan tangan kakakkulah yang turut menempa jati diri seorang Husna. Sekarang ini yang aku pedulikan hanyalah kakakku.”
Kau begitu sayang pada kakakmu.”
Kalau kamu punya kakak seperti dia aku yakin kamu pasti sayang padanya.”
Semoga dia baik-baik saja.”
Amin.” Malam itu Azzam harus masuk ruang operasi. Setelah dirongent ia mengalami patah di betis kirinya, lengan bawah tangan kiri, dan dua tulang rusuk dada kirinya. Ia harus operasi tulang kaki dan tangannya. Husna dan Lia tetap di sana sampai operasi selesai. Anna dengan setia menemani dua gadis yang sedang dalam duka itu. Sesekali Anna keluar membelikan makan buat mereka.
Jam dua malam operasi itu selesai. Azzam dimasukkan ke dalam kamar kelas satu. Husna yang minta. Uang bisa dicari belakangan yang penting nyaman. Dokter bedah yang meyakinkan Husna, Lia dan Anna bahwa Azzam akan bisa kembali seperti sedia kala.
Insya Allah, dia akan pulih lagi. Hanya nanti tentu perlu proses sampai tulang-tulangnya menyatu dan kuat lagi- Kami akan beri obat penyambung tulang terbaik.
Bersyukurlah bahwa yang patah bukan tulang belakangnya. Dan alhamdulillah kepalanya tidak apa-apa. Hanya gegar ringan yang itu biasa dalam kecelakaan ringan sekalipun. Saya dulu pernah jatuh dari tempat tidur kepala membentur lantai dan gegar ringan. Insya Allah nanti dia akan sembuh seperti semula. Tenang saja.”
Dokter muda yang bernama Yusuf itu dengan sangat ramah menjelaskan secara detil apa yang dialami Azzam. Penjelasan itu membuat hati Husna, Lia dan Anna lega. Mereka bertiga berjaga di rumah sakit itu sampai pagi. Setelah operasi Azzam tertidur. Ia tidak tahu bahwa Anna juga turut menjaganya bersama adik-adiknya.
Pagi harinya Pak Mahbub mengantarkan Vivi dan keluarganya menjenguk Azzam. Saat itu Azzam sedang sedihsedihnya karena diberi tahu bahwa ibunya telah meninggal dunia. Azzam sudah bisa diajak berbincang bincang siapa saja. Begitu ia tahu Vivi dan keluarganya datang ia menyeka air matanya dan menata jiwanya. Vivi menatap Azzam dengan linangan air mata.
Maafkan saya, mungkin saya harus tetap terbaring di sini. Sehingga saya tidak mungkin ke Kudus untuk akad nikah denganmu. Maafkan. Kita manusia hanya bisa berikhtiar tapi Allah jugalah yang menentukan.” Ucap Azzam pada Vivi yang di dampingi kedua orang tuanya.
Bersabarlah. Ini musibah kita bersama. Aku akan setia menunggumu, sampai kamu sembuh.” Vivi menenangkan
Azzam dan membesarkan jiwanya.
Terima kasih Vivi. kamu baik sekali. kamu tahu berapa lama lagi kira- kira akan sembuh. Temanku di Mesir dulu menunggu sampai satu tahun baru dia bisa berjalan. Aku tak ingin mengikatmu dengan rasa kasihanmu padaku. Pertunangan itu belumlah akad nikah. Itu baru semacam perjanjian. Aku tidak ingin menzalimimu. Sejak sekarang aku beri kebebasan kepadamu. Kalau kamu sabar menunggu ku maka terima kasihku padamu tiada terhingga. Kalau kamu ternyata di tengah penantian merasa tidak kuat, maka kamu boleh menikah dengan siapa yang kamu suka. Aku tahu umurmu sama dengan umurku. Sebentar lagi kamu berkepala tiga.” Kata Azzam dengan lapang dada.
Husna takjub dengan kata-kata kakaknya itu. Kakaknya benar-benar dewasa cara berpikirnya. Dan hebatnya kakaknya tidak mau dikasihani. Kakaknya masih menunjukkan karakternya sebagai Khairul Azzam yang pantang menyerah. Khairul Azzam yang sangat percaya dan yakin akan karunia Allah.
Aku akan berusaha setia.” Kata Vivi.
Terima kasih atas kebesaran jiwamu.” Lanjut gadis yang berprofesi sebagai dokter di Puskesmas Sayung itu. Setelah merasa cukup Pak Mahbub dan keluarga dari Kudus minta pamit. Sebelum meninggalkan ruangan itu Vivi masih sempat melihatnya kembali. Dan tersenyum padanya sebelum pergi.
Azzam berusaha tersenyum. Begitu Vivi pergi Azzam menangis tersedu- sedu. Ia teringat pesta pernikahannya yang batal. Ia teringat gerbang pernikahan yang ada di depan mata.
Kenapa kita harus banyak menangis hari-hari ini ya Na?” Tanya Azzam pada adiknya.
Mungkin Allah sedang menyiapkan cara agar kita bisa tersenyum indah setelahnya.” Jawab Husna.
Semoga jawabanmu itu benar.”
Insya Allah kak. Janji Allah bersama kesukaran pasti ada kemudahan.”
Allah tidak akan mengingkari janji-Nya.”
Pasti.”
Dan Husna juga membatalkan pernikahannya. Ia mengatakan kepada Ilyas bahwa ia akan menikah setelah kakaknya bisa berjalan. Ia tidak akan meninggalkan kakaknya terkapar sendirian di rumah sakit, sementara ia berbulan madu dengan suaminya. Ia lalu mengatakan kepada Ilyas seperti yang dikatakan kakaknya pada Vivi,
Mas Ilyas tentu paham bahwa pertunangan itu belumlah akad nikah. Itu baru semacam perjanjian. Aku tidak ingin menzalimimu. Sejak sekarang aku berikebebasan kepadamu. Kalau kamu sabar menungguku maka terima kasihku padamu tiada terhingga. Kalau kamu ternyata di tengah penantian merasa tidak kuat, maka kamu boleh menikah dengan siapa yang kamu suka.”
Jawaban Ilyas hampir mirip dengan jawaban Vivi, “Insya Allah aku akan setia padamu. Akan aku selesaikan dulu masterku baru aku akan menikahimu.”
Terima kasih Mas.”
Azzam dirawat di rumah sakit selama sepuluh hari. Selama sepuluh hari, hampir setiap hari selalu ada yang datang menjenguk. Selain warga dukuh Sraten, karyawannya di bisnis bakso dan foto copy, banyak juga jamaah pengajian Al Hikam yang datang. Setiap kali ada yang datang, semangat hidup Azzam berkobar, semangatnya untuk sembuh menyala.
Dalam sebuah perenungan akan duka yang dialaminya, Azzam menulis puisi dalam hatinya untuk meneguhkan jiwanya:
dalam duka kita berguru pada hujan yang terus menyiram arang hitam dengan kesabaran siang malam kuncup-kuncup pun bermekaran meneguhkan harapan-harapan “
Pada hari ke delapan dan ke sembilan Azzam dilatih bagaimana menggunakan krek. Setelah dilihat bisa menggunakan krek dengan baik dan pengaruh gegar kepalanya hilang Azzam diperbolehkan pulang. Dokter menyarankan untuk banyak di rumah dulu dan menasihati untuk tidak sekali-kali berjalan atau berdiri tanpa bersandar pada krek.
Kau boleh lepas krek, kalau aku sudah mengatakan kamu boleh lepas!” Demikian kata Dokter Yusuf sesaat sebelum pulang.
Pada saat ia siap untuk keluar kamar Kiai Lutfi datang, bersama Bu Nyai dan Anna. Kiai Lutfi minta maaf kepada Azzam atas peristiwa pagi hari itu. Kiai Lutfi tak henti hentinya menyesali penolakannya waktu itu.
Kalau aku penuhi permintaan ibumu mungkin tidak terjadi kecelakaan. Sungguh aku mohon maaf Azzam. Aku merasa berdosa.” Kata Kiai Lutfi.
Pak Kiai tidak salah. Ini sudah tercatat di sana.” Jawab Azzam sambil mengacungkan tangan kanannya ke atas.
Terus bagaimana dengan kelanjutan pernikahanmu?” Tanya Kiai Lutfi.
Biarlah Allah yang menentukan.” Jawab Azzam.

0 komentar:

Posting Komentar

REVAN NINTANG BLOG. Diberdayakan oleh Blogger.