15 Pagi Yang Menegangkan
Zumrah belum menemui ibunya. Ia tidur di rumah Husna. Ia bersikukuh tidak bertemu ibunya. Berulang-ulang Bu Nafis, Husna dan Lia membujuknya. Tetap saja ia kukuh dengan sikapnya. Selepas shalat subuh Zumrah bersiap untuk pergi. Ia merasa harus pergi sebelum hari terang.
”Terus kamu mau kemana Zum? Tanya Husna
”Aku tak tahu Na.” Jawab Zumrah
”Apa kamu tak kasihan sama janinmu. Perutmu sudah besar. Dia butuh ketentraman. Dia butuh rasa aman. Dia butuh kesehatannya terjamin sementara kamu terus menggelandang begitu, terus juga masih menemui germomu itu alangkah malangnya janin dalam kandunganmu.”
”Aku juga berpikir begitu Na. Tapi apa boleh buat.”
”Terserah kamu Zum. Aku ingin membantu tapi kamu sendiri yang tidak mau.”
”Terima kasih atas segalanya Na. Semoga aku tidak lagi menyusahkanmu.” Mereka berdua berbincang di ruang tamu. Azzam masih di masjid.
Bu Nafis keluar membawa minuman dan mendoan goreng.
”Aduh, kok repot-repot Bu. Saya sudah mau pergi.” Kata Zumrah.
”Minum teh hangat dulu dan cicipi dulu mendoannya baru kamu boleh pergi.” Sahut Bu Nafis.
”Na, apa tidak ada kos-kosan yang murah. Yang kira kira aman untuk Zumrah, sehingga ia bisa tenang sampai melahirkan?” Tanya Bu Nafis pada Husna.
”Oh ya benar. kamu mau kalau kos di Nilasari. Aku ada teman di sana.
Satu bulan lalu bilang cari teman. Kamar dia besar. Harga kamar itu sebulannya seratus tujuh puluh. Kalau mau kamu cuma bayar tujuh puluh ribu saja.” Terang Husna.
”Mau. Tapi aku dapat uang dari mana ya?” Lirih Zumrah merana.
”Kalau kamu mau, tiga bulan pertama biar aku yang bayar. Setelah itu kamu bayar sendiri, bagaimana?”
”Terima kasih Na. kamu baik sekali.”Masih mau pergi sekarang?”Iya tetap pergi sekarang. Nanti siang aku ke radiomu saja,”
”Terserah kamu.” Zumrah mengambil gelas yang ada di hadapannya dan menyeruput isinya. Setelah itu ia bangkit dan minta diri.
Zumrah mencium tangan Bu Nafisah, bersalaman dengan Lia dan memeluk Husna. Zumrah membuka pintu, tiba tiba...
”Mau ke mana lagi, pelacur!”
Seorang berjaket hitam membentak keras sambil menodongkan pistolnya tepat di jidat Zumrah. Bu Nafis gemetar ketakutan. Husna dan Lia merinding. Sementara Zumrah saking takutnya tanpa ia sadari mengeluarkan air kencing. Pria berjaket hitam itu baginya bagaikan malaikat pencabut nyawa yang siap mencabut nyawanya.
Gigi pria itu bergemeretak menahan amarah. Matanya merah marah.
”Am... ampun paman! Ampuni Zum, pa... paman!” Zum terbata-bata serak.
”Tak ada ampun untuk pelacur murtad yang membunuh ayahnya sendiri! Pagi ini tamat riwayatmu!”
”Mahrus, dia tidak murtad. Dia masih Islam. Tadi subuh dia shalat di rumah ini!” Husna yang dulu pernah nakal terbit kembali keberaniannya.
”Diam kamu Husna! Jangan ikut campur kamu! Ini urusanku dengan pelacur tengik ini!”
”Tidak ikut campur bagaimana? Dia tamuku! Dan kamu seperti perampok yang masuk rumah tanpa kulon nuwun 23 23 Minta ijin. dulu!”
”Baik, maafkan kelancanganku. Biar aku tembak pelacur ini di jalan saja. Biar dia tidak jadi hantu di rumah ini. Biar dia jadi hantu yang mengelayap ke mana-mana! Ayo jalan!” Mahrus menggertak Zumrah.
”Tidak, jangan!”
Zumrah berontak.
Buk!
”Ah!”
Mahrus memukul pelipis Zumrah dengan gagang pistol. Zumrah mengaduh. Pelipis Zumrah berdarah. Husna mau bergerak menolong Zumrah tapi dicegah Bu Nafis. Bu Nafis tahu kenekatan Mahrus sejak kecil. Ia tidak ingin Husna celaka dengan konyol.
”Mahrus anakku!” Ucap Bu Nafis dengan lembut.
”Iya Bu Nafis.” Jawab Mahrus sambil menengok ke wajah Bu Nafis.
”Apa tidak bisa dirembug dengan baik-baik tho. Dia itu keponakanmu sendiri. Seharusnya kamu sayang padanya.”
”Apa ibu kira aku tak sayang padanya. Sejak kecil aku sayang padanya Bu. Dulu waktu SD kalau dia diganggu orang akulah orang pertama yang membelanya. Tapi dia tidak tahu diri. Semua orang di keluarga menyayanginya. Tapi dia membalas kasih sayang itu dengan kebencian. Ayah dan ibunya sendiri mau dia buat mati berdiri! Ayahnya sudah mati dibunuhnya! Dan dia akan membunuh ibunya! Sebelum itu terjadi dia harus dihentikan! Dia ini penjahat yang harus dihentikan, penyakit yang harus dienyahkan! Ibu diam saja ya, ibu tak tahu apa-apa!”
Jawab Mahrus dengan marah. Anggota serse itu kalau marah hilang sopan santunnya, tak pandang dengan siapa ia bicara.
Dada Husna panas mendengar Mahrus berbicara dengan suara keras dan membentak-bentak ibunya.
”Hai Bung, bisa nggak sopan sedikit sama orang tua!”
Lia mendahului Husna membentak Mahrus. Husna heran sendiri, adiknya yang biasanya halus ternyata bisa garang juga.
”Kau juga diam anak kemarin sore! Aku dor mulutmu nanti!” Sengit Mahrus sambil memandang ke arah Lia. Melihat mata yang merah dan wajah yang sangar itu Lia jadi mengkeret.
”Ayo keluar!”
Bentak Mahrus sambil menyeret Zumrah.
”Ampun paman!”
”Tak ada ampun untukmu!”
”Beri Zumrah kesempatan untuk berbuat baik paman.”
”Kesempatan itu sudah kamu sia-siakan!”
”Beri kesempatan sekali saja Paman!”
”Bangsat sepertimu sudah saatnya dienyahkan!”
”Auh! Sakit paman!”
”Diam!”
Dengan segenap kekuatan Mahrus menyeret Zumrah ke halaman.
Mahrus terus menyeret sampai akhirnya ke jalan. Sampai di jalan Zumrah berontak dengan sengit. Sekali lagi Mahrus memukulkan gagang pistolnya ke kepala Zumrah. Zumrah langsung terjengkang kesakitan. Mahrus sudah bersiap menembak kepala Zumrah. Niatnya sudah bulat bahwa keponakannya harus dihabisi. Ia tinggal merekayasa laporan kejahatannya saja. Sebuah kejahatan yang layak untuk dienyahkan dari muka bumi.
Husna, Lia dan Bu Nafis gemetar di beranda rumah. Beberapa orang berdatangan mendengar ada keributan. Tapi Mahrus langsung mengultimatum agar semuanya diam di tempat masing-masing.
Sebelum pistol itu memuntahkan peluru sekonyong-konyong Azzam datang. Azzam sudah tahu duduk persoalannya dari cerita Husna. Ia juga tahu seperti apa bencinya sama Zumrah. Dengan suara tenang Azzam menyapa,
”Hai sobat lama apa kabar?” Mahrus mengendurkan tangannya dan menurunkan pistolnya yang siap dia letuskan. Ia memandang ke asal suara. Ia lihat yang datang adalah Azzam.
”Hei kamu Zam, sudah pulang rupanya.”
”Iya. kamu ngapain bawa pistol segala, Rus? Nakut nakutin anak kecil saja!”
”Ini Zam aku mau mengenyahkan si Pelacur Murtad ini. Aku sudah bersumpah di hadapan mayat Kang Masykur, ayah Pelacur ini, aku akan memburu Pelacur durhaka ini dan menghabisinya.”
”Iya tapi apa kamu tidak malu menumpahkan darah di hadapan sahabat lamamu. kamu masih punya hutang yang belum kamu lunasi padaku lho.”
”Apa itu Zam, kok aku lupa?”
”Ingat waktu kelas 6 SD dulu, uang SPP-mu kamu gunakan untuk mentraktir Si Murni yang sekarang jadi isterimu. Dan untuk menutupi SPP-mu kamu pinjam tabunganku. Kalau tidak aku pinjami kamu mungkin tidak akan lulus SD, karena kamu bisa dikeluarkan. Kau nunggak saat itu tiga bulan. Kalau kamu tidak lulus SD mana mungkin kamu bisa jadi polisi yang gagah bawa pistol seperti sekarang. kamu hutang padaku Rus!”
”Kenapa kamu ungkit-ungkit masa laluku Zam, aku jadi malu didengar orang-orang!”
”Hei, apa aku bohong sobat?”
”Tidak. Tapi tak usah lah kamu bawa-bawa masa lalu.”
”Kau sendiri kenapa kamu bawa-bawa masa lalu orang lain?”
”Siapa?”
”Itu keponakanmu sendiri.”
”Zumrah maksudmu?”
”Iya.”
”Dia pezina dan murtad Zam.”
”Dia tidak murtad Rus. Tidak. Dia masih shalat. Sedangkan kekhilafannya itu masa lalunya. Dia sedang mencari jalan kembali yang benar kenapa kamu halang halangi?”
”Aku telah bersumpah di depan jenazah almarhum Kang Masykur Zam?”
”Sumpah yang salah itu tak boleh dilaksanakan!”
”Terus aku harus bagaimana Zam?”
”Kau berhutang padaku. Kalau tidak aku hutangi kamu mungkin tak akan lulus SD. Mungkin kamu tidak akan jadi polisi. Turunkan pistolmu. Ayo masuklah ke rumahku. Jadilah tamuku. Kita cari jalan terbaik untuk semuanya. Dan akan aku anggap lunas hutangmu. Kalau tidak maka hutangmu padaku, tak akan aku anggap lunas kecuali setelah kamu tinggalkan jabatan kepolisianmu!”
Azzam tahu watak Mahrus. Pria itu hanya bisa dijinakkan dengan kalimat yang menundukkan keangkuhannya. Dan ia tahu pria itu tak akan sudi terus berhutang pada orang lain. Termasuk pada dirinya.
”Baiklah! Aku akan masuk bertamu ke rumahmu, dan kita bicara di sana!”
Azzam langsung minta Husna untuk membawa Zumrah yang berdarah. Azzam juga minta kepada Lia untuk membuat minuman.Orang-orang bernafas lega. Pagi itu benar-benar pagi yang menegangkan. Pak Mahbub dan Pak RT tergopoh-gopoh terlambat datang.
”Untung ada Azzam Pak RT, kalau tidak, otak Zumrah mungkin sudah keluar dari tengkorak kepalanya dan berhamburan.” Kata Kang Paimo dengan menggigilkan badan.
”Mana Mahrus?” Tanya Pak RT.
”Sedang bicara sama Azzam. Sebaiknya tidak usah diganggu Pak RT. Biar Azzam saja yang rembugan dengan serse edan itu.” Sahut Pak Jalil yang memang kurang suka dengan Mahrus yang menurutnya terlalu sombong karena tak mau mendengarkan omongan orang.
”Kau sudah mendengar cerita tentang Zumrah dari Husna kan?” Tanya Azzam pada Mahrus.
”Iya tapi aku tidak percaya.” Jawab Mahrus.
”Kalau aku yang bilang, apa kamu percaya?”
”Sejak dulu kamu tidak bohong padaku.”
”Berarti kamu percaya?”
”Ya.”
”Baiklah aku akan cerita padamu tentang keponakanmu. Dan aku sangat yakin cerita ini adalah benar dan tidak bohong. Jadi kamu harus percaya.”
”Baik akan aku dengarkan.” Azzam lalu menceritakan kepada Mahrus apa yang sebenarnya terjadi pada Zumrah. Cerita yang sama dengan yang disampaikan Zumrah kepada Husna di Pesantren Wangen. Mahrus mendengarkan dengan seksama.
”Jadi begitu ceritanya. Dia tidak murtad?”
”Benar.”
”Awalnya dia diperkosa?”
”Benar. Sebagai paman seharusnya kamu melindungi dia. Sekarang dia ingin kembali ke jalan yang benar. Ingin benarbenar taubat. Tapi ia terus diuber-uber sama germonya. kamu harus bantu dia. kamu harus cari itu para hidung belang yang menistakan dia. Yang harus kamu dor itu ya hidung belang-hidung belang itu Rus. Bukan dia!”
”Kau benar Zam. Kalau kamu tidak datang mungkin peluruku ini salah memecahkan kepala orang.”
”Ada beberapa hal yang harus kamu perbaiki pada sikapmu Rus. Jika kamu perbaiki maka kamu akan menjadi pria jantan sejati dan kamu akan dicintai banyak orang.”
”Apa itu Zam?”
”Pertama, cobalah kamu latihan senyum. kamu ini susah sekali senyum. Ketemu teman lama saja tidak senyum.”
”Ah kamu ini ada-ada saja Zam. Hah... hah... hah... ha...!”
Mahrus malah terbahak-bahak tidak hanya senyum.
”Lha begitu Rus. Biar dunia ini cerah. Banyak senyum itu bikin awet muda katanya.”
”Masak tho Zam?”
”Iya.”
”Terus apa lagi Zam?”
”Kau harus memperhalus kata-katamu. kamu sering berkata kotor. Hilangkanlah kebiasaan burukmu itu. Masak ponakanmu sendiri kamu kata-katai seperti itu!”
”Nanti aku minta maaf sama dia. Masih ada lagi Zam?”
”Masih. kamu lebih sopanlah sama orang lain. Dengarkanlah orang lain. Aku sering dapat cerita saat ronda kamu ini paling susah mendengarkan orang. Ingat Rus, Tuhan menciptakan telinga dua sementara mulut cuma satu. Artinya kita diminta untuk lebih banyak mendengar daripada bicara apalagi membentak-bentak orang!”
”Akan aku usahakan Zam. Mana tadi Si Zumrah Zam?”
”Mau kamu apakan lagi?”
”Aku mau minta maaf padanya. Juga sekalian aku mau minta data para hidung belang itu. Aku ingin menggulungnya secepatnya.” Azzam lalu memanggil adiknya,
”Husna, bawa Zumrah kemari!”
Zumrah datang dengan kening dan pelipis diperban putih.
”Kemarilah Nduk!”
Kata Mahrus, kali ini dengan mata berlinang air mata. Zumrah melihat perubahan wajah Mahrus. Wajah yang sudah bersahabat. Wajah yang berkaca-kaca.
Zumrah maju mencium tangan pamannya.
”Maafkan Paman ya Nduk?”
”Iya paman. Juga maafkan kesalahan Zumrah. Sampaikan pada ibu Zumrah belum bisa pulang. Nanti kalau Zumrah sudah lebih baik insya Allah Zumrah pulang.”
”Seperti itukah perjalanan nasibmu Nduk? Terperangkap dalam jerat lumpur hitam?”
”Iya Paman. Tolong bantu Zumrah paman.”
”Tolong berikan semua data para penjahat yang telah menistakanmu itu!”
”Baik paman.” Zumrah lalu menyebut nama-nama orang yang sering memaksanya juga menyebut nama-nama germo di Jogja dan Solo. Ia juga menyebut nama-nama lelaki hidung belang yang sering memangsa gadis-gadis muda tidak hanya dirinya. Zumrah menjelaskan dengan detil alamat rumahnya dan tempat yang biasa digunakan mangkal mereka.
”Kau mau tinggal di mana Nduk kalau tidak pulang?”
”Aku mau indekos di Nilasari Paman. Husna akan membantuku.”
”Jika perlu bantuan paman jangan sungkan hubungi paman di kantor paman.”
”Iya paman.”
”Hati-hati ya Zum. Paman pergi dulu.” Mahrus lalu minta diri pada Azzam dan keluarganya. Pada Bu Nafis, Husna dan Lia lelaki tinggi besar dan kekar itu mohon maaf atas segala khilafnya. Bu Nafis, Husna dan Lia bersyukur kepada Allah dan memaafkan dengan lapang dada. Zumrah menatap pamannya yang melangkah keluar rumah dengan mata berkaca-kaca.
Meskipun pamannya itu nyaris membunuhnya, tapi ia merasakan betapa besar sesungguhnya rasa sayang adik bungsu ayahnya itu padanya. Benar, waktu kecil dulu pamannya itulah yang selalu menjadi pelindungnya. Jika ada anak yang nakal jahil padanya, pamannyalah yang akan menindaknya. Pamannya bahkan rela berkelahi mati matian demi menjaga agar kulitnya tidak disentuh oleh anak-anak yang jahil. Pamannya itu seumur dengan Azzam, kakak Husna. Dan ia sendiri seumuran Husna. Jadi pamannya itu kira-kira lebih tua tiga atau empat tahun di atasnya. Zumrah sedikit merasa lega, masalahnya dengan pamannya telah selesai. Ia merasa mulai ada setitik cahaya. Ia mulai merasa kembali mendapatkan secuil kasih sayang. Ia berharap pamannya bisa menindak nama-nama orang jahat yang menistakannya. Harapannya ia bisa hidup dengan tenang. Kembali ke jalan yang lurus.
Membesarkan anaknya. Dan jika sudah rasa ia layak menemui ibunya ia akan menemui ibu yang selama ini disakitinya.
0 komentar:
Posting Komentar