9 Bertemu Ibu
Sebelum sulur cahaya fajar mekar, Toyota Fortuner itu sudah sampai Tugu Kartasura. Jalanan masih sepi dan lengang. Hanya sesekali satu dua mobil dan bus Sumber Kencono melesat memecah keheningan. Fortuner itu mengambil jalan ke kanan, ke arah Jogja, melaju dengan tenang. Sebelum sampai markas Kopasus belok kanan masuk dukuh Sraten yang masuk dalam wilayah Pucangan, Kartasura.
Rumah-rumah masih rapat menutup pintu dan jendelanya. Hanya beberapa rumah saja yang sudah membuka pintunya tanda sang penghuninya sudah siap beraktifitas. Mereka yang telah membuka pintu di hari masih gelap seperti itu biasanya adalah para bakul yang harus sampai di pasar sebelum subuh tiba. Kecuali sebuah rumah tak begitu jauh dari masjid Al Mannar. Itu adalah rumah kelahiran Khairul Azzam. Sejak jam tiga Lia dan ibunya telah bangun dan menyiapkan segalanya menyam but kepulangan Azzam.
Hati Azzam bergetar. Rumahnya masih seratus meter lagi, tapi ia seperti telah mencium bau wangi ibunya. Ibu yang sangat dicintainya, telah sembilan tahun berpisah lamanya.
Matanya basah. Diujung dua matanya air matanya meleleh.
Saat cahaya fajar perlahan mulai mekar, fajar keharuan luar biasa mekar di hati Azzam. Fortuner itu berhenti di halaman rumahnya. Bu Nafis dan Lia sudah berdiri di beranda. Azzam turun dengan derai air mata yang tak bisa ditahannya.
"Bu’e...!" Ia bergegas mencium tangan ibunya lalu memeluk ibunya penuh cinta. Tangis bahagia Azzam tak tertahan lagi. Tangis pertemuan seorang anak dengan orang yang telah melahirkan, merawat dan mengajarkannya kebaikan, setelah sekian tahun lamanya ditinggal pergi.
Ibunya juga menangis bersedu-sedan. Tangis kerin duan yang memuncak dan tertahan bertahun-tahun lamanya. Azzam sesengukan dalam pelukan ibunya. Lia, Husna, Eliana bahkan Pak Marjuki menitikkan air mata. "Kau akhirnya pulang juga Nak."
“Iya Bu."
“Kau kurus Nak."
“Tidak apa-apa Bu. Alhamdulillah Azzam sehat."
“Iya Alhamdulillah." Azan subuh memecah keheningan.
Sesaat lamanya Azzam berpelukan dengan ibunya. Setelah cukup lama, ia melepaskan pelukan ibunya dan memeluk Lia dengan penuh kasih sayang. Lia tak kuasa menahan tangis. Air mata Azzam terus mengalir.
"Kau sudah besar Dik." Ujar Azzam sambil menatap wajah Lia yang basah dengan air mata. Lia hanya mengangguk. Karena keharuan luar biasa Lia tidak mampu berkata-kata. Setelah mencium ubun ubun kepala adiknya yang dibalut jilbab biru tua Azzam melepas pelukannya. Husna dan Eliana menyalami dan mencium tangan Bu Nafis. Sementara Azzam dan Pak Marjuki menurunkan barangbarang.
Mereka semua lalu masuk ke dalam rumah. Azzam mengamat-amati keadaan rumahnya dengan hati penuh bahagia. Tak ada yang berubah, masih seperti semula saat sembilan tahun lalu ia tinggalkan. Hanya saja rumah itu semakin tampak kusam dan tua.
"Inilah rumah kami Mbak Eliana. Rumah orang desa, gubuk reot, tak seperti rumah orang kota." Kata Husna.
Ketika Husna menyebut Eliana, Bu Nafisah mendongak kan kepala. Ia baru sadar kalau yang ada di hadapannya adalah Eliana yang terkenal itu. Sejak jam tiga konsen trasinya hanyalah pada Azzam saja.
"Jadi ini tho yang namanya Eliana. Masya Allah, terima kasih ya Nak sudi mampir ke gubug reot ini." Kata Bu Nafis. "Iya Bu, saya Eliana. Keluarga saya biasa memanggil saya El. Mm... kebetulan dari Cairo saya bareng sama Mas Irul. Iya di Cairo ia lebih dikenal dengan sebutan Irul atau Khairul. Terus kemarin kok ya di Graha Bhakti Budaya bertemu lagi. Saya sangat terhenyak ternyata salah seorang peraih penghargaan bergengsi itu Husna, adiknya Mas Irul.
Terus saya punya agenda ke Solo. Akhirnya ya bareng saja kan lebih enak. Oh ya kenalkan ini paman saya. Pak Marjuki Abbas namanya." Jelas Eliana tenang.
Lia keluar membawa nampan berisi wedang jahe. Husna membantu meletakkan wedang jahe itu ke meja. Lia masuk lagi dan mengeluarkan mendoan hangat
dan tape goreng hangat.
"Wah, ini pas sekali. Yang seperti ini nih yang saya kangeni." Ujar Pak Marjuki.
“Iya Pak monggo, silakan. Ya namanya juga kampung. Adanya ya cuma makanan seperti ini." Sahut Bu Nafis. "Agenda apa di Solo Mbak, kalau boleh tahu?" Tanya Lia pada Eliana.
"Pertama ingin melihat-lihat kota Solo. Saya kan belum pernah ke Solo. Kalau paman ini sudah hafal. Lha dulu SMA dia di Solo. Lebih spesifik lagi saya ingin melihat tempat untuk shuting. Kedua saya punya Bude di daerah Gemolong. Saya ingin bersilaturrahmi ke rumah Bude.
Sebab belum sekalipun saya bersilaturrahmi ke sana. Padahal Bude dan anak-anaknya sudah beberapa kali ke Jakarta. Ya alhamdulillah saya juga bersilaturrahmi ke rumahnya Mas Irul ini." Jelas Eliana.
"Oh ya Mbak. Mumpung bertemu saya mau klarifikasi langsung saja. Saat ini penduduk di kampung ini sedang geger Iho Mbak. Ini gara-gara wawancara Mbak dengan para wartawan di bandara itu Iho. Wawancara itu kan diputar berulang-ulang di hampir semua televisi swasta. Di situ Mbak kan bilang pria paling dekat dengan Mbak adalah Mas Khairul Azzam. Opini yang berkembang di masyarakat adalah Mas Azzam itu pacarnya Mbak. Apa benar itu Mbak?" Tanya Lia dengan ceplas-ceplos dan gamblang.
Eliana tersenyum. la memandang Azzam yang duduk agak di dekat dengan pintu.
"Tanya aja sama dia. Kalau dia ngaku pacar saya ya bagaimana lagi. Kalau tidak ya bagaimana lagi." Jawab Eliana diplomatis sambil memberi isyarat ke arah Azzam.
Azzam diam saja.
"Bagaimana Kak sesungguhnya?" Desak Lia pada Azzam.
"Ah kayak begitu kok dibahas. Ya mudahnya begini saja. Saat di wawancara itu nggak apa-apalah saya ini pacarnya Eliana. Ya hitung-hitung saya sedekah menjaga nama baik dalam tanda petik pamor Eliana. Kan di dunia artis itu seolah-olah aib kalau tidak punya pacar. Kayaknya kok tidak laku begitu. Jadi saya ini ya bemper lah saat itu. Kalau di luar wawancara ya biasa saja. Tidak ada hubungan apa-apa. Kamu apa tidak lihat tho Dik, apa sudah gila Eliana punya pacar kayak saya. Artis-artis atau pengusaha yang ganteng-ganteng dan kaya kan masih banyak." Azzam menjelaskan dengan tenang.
"Ah Mas Irul, jangan segitunya merendah tho Mas. jujur ya saat di bandara itu memang saya menjawab pertanyaan wartawan asal saja. Habis bagaimana, kan saat itu masih lelah. Pusing amat dengan wartawan. Tapi sesungguhnya saya melihat ada sesuatu dalam diri Mas Irul yang saya kagumi Mas. Jujur saya ini sedang dalam proses mencari makna hidup. Dan saya paham hidup tidak mungkin sendirian terus. Pendamping hidup itu penting.
Saya sedang mencari, terus terang pendamping hidup yang bisa saya ajak hidup sampai tua. Saya, jujur, sudah bosan bergonta-ganti pacar. Sudah saatnya saya mencari pasangan hidup, atau belahan jiwa. Bukan pacar. Maka dalam wawancara kemarin saya tidak menyebut pacar.
“ Eliana menjelaskan pandangannya sedikit tentang apa yang sedang ia cari.
Iqamat dikumandangkan. Azzam mengajak Pak Marjuki ke masjid. Husna mempersilakan Eliana mengambil air wudhu. Sementara Bu Nafis masih duduk menikmati rasa bahagianya. Ia merasakan kebahagiaan yang tidak bisa dihargai dengan seluruh isi dunia sekalipun.
Kebahagiaan itu adalah kebahagiaan kembalinya Azzam setelah sembilan tahun tak pernah bertemu kecuali lewat surat, mimpi dan telepon.
Pagi seperti bergetar. Selesai shalat subuh puluhan tetangga berdatangan. Awalnya ibu-ibu dan bapak-bapak jamaah subuh masjid Al Mannar. Tak lama kemudian para tetangga yang tidak shalat subuh berjamaah. Kabar Azzam telah pulang langsung menyebar. Dan kabar Eliana yang mengantar Azzam membuat pagi itu seperti bergetar. Puluhan orang ingin membuktikan dengan mata dan kepala sendiri bahwa kabar itu benar. Banyak ibu muda yang datang bukan semata karena menjenguk Azzam yang pulang. Tapi karena ingin bertemu dan berfoto bareng Eliana. Sebenarnya, selesai shalat Subuh Eliana langsung ingin jalan. Tapi Bu Nafisah menahan,
“Ibu tidak ridha kalau pergi sebelum mandi di rumah ini dan belum sarapan di sini." Akhirnya Eliana mengalah. Ia akhirnya terpaksa mandi dan sarapan di rumah Azzam. Eliana ganti pakaian di kamar Husna. Kamar yang sederhana. Tapi rapi, bersih menebar rasa cinta siapa saja yang masuk ke dalamnya.
Meskipun sederhana tapi kamar itu membuat betah siapa saja yang memasukinya. Demikian juga Eliana. "Ini kamar penulis besar." Desis Eliana pada dirinya sendiri. Ia jadi merasa malu pada Husna. Ia merasa hanya menang popularitas dan mungkin menang cantik belaka. Ia belum memiliki karya buah pikiran dan tangannya. Sementara Husna sudah melahirkan puluhan cerpen. Di rumah Azzam ia seperti melihat dunia dari sisi yang lain. Ia melihat rumah Azzam adalah rumah prestasi. Dan rumah prestasi tidak harus mewah dan megah. Ketika para tetangga berdatangan dan kamum lelakinya merangkul Azzam dengan penuh haru dan penuh kasih sayang, Eliana diam-diam iri pada Azzam. Iri pada ikatan persaudaraan yang sedemikian kuatnya di kampung itu. Itu yang tidak ia dapati di lingkungan perumahan mewahnya di Jakarta. Tak ada yang peduli ia mau apa, dari mana dan sedang apa. Tak ada yang peduli ia sedih atau bahagia.
Tapi di sini, kepulangan Azzam tidak hanya milik keluarganya yang telah menunggu sekian tahun lamanya. Bukan hanya kebahagiaan dan haru keluarga ibu Nafis saja, melainkan kebahagiaan seluruh masyarakat sekitar rumah Azzam. Azzam adalah bagian dari mereka. Cara hidup yang penuh persaudaraan seperti itulah yang sebenarnya didambakan Eliana.
Pagi itu, orang-orang silih berganti berdatangan ke rumah Azzam. Tidak hanya rasa haru dan bahagia yang mereka rasakan. Ada sedikit rasa penasaran di hati mereka. Mereka selalu menanyakan kabar Azzam dan seseorang yang menyertainya saat keluar dari bandara, yaitu Eliana. Jadilah Eliana menemani Azzam menemui para tetangganya. Husna ikut menemani. Sementara Bu Nafis dan Lia sibuk membuat minuman dan menyiapkan sarapan. Pak Marjuki minta diri tidur di kamar Azzam.
Semalam suntuk dia tidak tidur. la mengendarai mobil kira-kira dua belas jam. Tiap tiga jam istirahat. Begitu terus sampai akhirnya sampai Solo. Maka selepas dari masjid ia langsung tidur.
"Maaf Mbak Eliana, saya pengagum Mbak lho. Sinetron Dewi-dewi Cinta tak pernah saya lewatkan. Kalau boleh tahu kapan rencana pernikahan Mbak Eliana dengan Mas Azzam?" Seorang perempuan muda dengan mata berbinar-binar. Perempuan itu seolah tidak percaya kalau Eliana ada di hadapannya.
Mendengar pertanyaan itu Eliana dan Azzam berpandang-pandangan. Azzam mengangkat kedua bahunya dan berekspresi yang mengisyaratkan ia tidak tahu jawabannya, ia minta Eliana saja yang menjawab. Eliana sendiri bingung harus bagaimana menjawabnya. Husna tahu kebingungan dua orang itu, maka ia mencoba membantu dengan berkata,
“Ya ini kan baru ikhtiar Mbak. Belum final. Kalau jodoh ya pasti akan ditemukan Allah. Pokoknya jangan khawatir nanti kalau Mas Azzam menikah Mbak kami beri tahu dan kami undang." Eliana langsung menimpali kata-kata Husna itu dengan mengatakan,
“Iya benar." Perempuan muda itu lalu minta foto bareng Eliana dan Azzam. Ia juga minta tanda tangan di buku agendanya. Lalu pergi dengan rasa puas di hati.
Jam sembilan sarapan siap. Bu Nafis dan Lia meng hidangkan nasi rojolele yang pulen wangi. Lauknya pecel, rempeyek, tempe goreng, lele goreng dan cethol15 15 Cethol adalah sebutan untuk ikan kecil-kecil sebesar jari kelingking atau jari telunjuk tapi bukan ikan Teri. Banyak ditemukan di waduk Cengklik, Boyolali goreng yang renyah.
"Mbak Eliana, ini cethol asli waduk Cengklik. Sangat gurih rasanya. Sangat pas untuk laut pecel. Coba rasakan pasti nanti ketagihan." ujar Lia sambil menuang teh ke dalam cangkir.
Eliana tersenyum. Aroma nasi rojolele itu membuat nafsu makannya terbit. Pak Marjuki yang lebih duluan mengambil dan menikmati nasi pecel dan cethol goreng langsung menikmati.
"Wah kalau ini benar-benar beda. Uenak betul!" Bu Nafis tersenyum mendengarnya. Eliana mengambil nasi, pecel, cethol, dan tempe. Suapan pertama ia langsung mengacungkan jempol pada Lia. Azzam paling banyak mengambil nasi. Ia sangat rindu dengan masakan ibunya. Rasanya ia ingin menghabiskan semua itu sendirian saja.
Azzam makan dengan sangat lahap seperti orang kelaparan.
"Wah yang paling menikmati kayaknya Mas Irul ini." Ucap Eliana sambil mengunyah cethol gorengnya.
"Mm... iya, soalnya ini masakan ada bumbu cinta dan rindunya. Jadi sangat nikmat." Jawab Azzam sambil mencomot tempe goreng di depannya.
Di tengah-tengah asyiknya sarapan, sebuah sedan datang dan parkir di belakang mobil Fortuner. Melihat mobil itu Husna langsung berseru,
“Itu Anna datang!" Mendengar nama Anna, dada Azzam sedikit bergetar.
Entah kenapa. Meskipun ia tidak yakin kalau yang datang Anna Althafunnisa. Maka Azzam langsung bertanya pada adiknya,
“Anna siapa?"
“Anna Althafunnisa. Dia mahasiswi Cairo. Mungkin kakak kenal."
“Ya. Aku kenal." Sahut Azzam menahan getar di hatinya. Tiba-tiba ia teringat lamarannya untuk Anna yang ia sampaikan lewat Ustadz Mujab ditolak. Bukan ditolak oleh Anna, tapi ditolak Ustadz Mujab karena Anna sudah dilamar oleh Furqan, sahabatnya sendiri. Memang apa yang dilakukan Ustadz Mujab benar. Sebab seorang muslim tidak boleh melamar seseorang yang telah dilamar oleh saudaranya.
"Wah kok kebetulan ya. Orang-orang Cairo pada ngumpul di sini. Aku dengar Anna sudah mau menikah dengan Furqan ya?" Kata Eliana sambil memandang Azzam.
"Aku tak tahu pasti. Coba saja nanti kita tanya." Jawab Azzam.
Anna melangkah ke beranda. Husna berdiri menyongsongnya.
"Assalamu'alaikum." Suara Anna menimbulkan desiran halus dalam hati Azzam. Azzam berusaha kuat melawannya.
"Wa'alaikumussalam. Mbak Anna, kebetulan kami sedang sarapan ayo masuk. Kok pas banget. Ayo silakan!" Jawab Husna ramah.
Semua kursi sudah terisi. Husna memberikan kursinya pada Anna. Ia lalu pergi ke belakang mengambil kursi plastik di dapur.
“Ini Eliana, putri Pak Dubes kan?" Tanya Anna pada Eliana. Ia kaget, ada apa gerangan seorang putri Dubes sampai ke rumah Husna.
"Iya benar. Wah surprise kita bisa bertemu di sini. Rumah Anna dekat dari sini?"
“Mungkin sekitar empat belas kilo dari sini." “Wah selamat ya. Di Cairo sudah beredar kabar kamu tunangan sama Furqan. Itu benar kan ya?" “Iya benar. Kami memang sudah tunangan. Mohon doanya. Akad nikah insya Allah awal bulan depan." Jelas Anna pada Eliana. Ia belum sadar kalau di sebelahnya itu adalah Azzam atau yang ia kenal dengan nama Abdullah.
Karena pusat perhatiannya tertuju pada Eliana. Sementara Azzam mendengar penjelasan itu dengan hati yang ditabah-tabahkan.
"Wah sudah dekat ya. Tinggal dua minggu lagi dong." Timpal Lia.
"Iya. Mohon doanya."
“Mbak Anna, ini Azzam kakakku yang aku ceritakan itu. Bagaimana tidak kenal juga?" Husna mengenalkan Azzam pada Anna.
Anna memandang Azzam, Azzam memandang Anna. Saat pandangan keduanya bertemu, Anna kaget, benarkah ini orangnya? Kakaknya Husna?
Anna berusaha menyembunyikan kekagetannya. Keduanya lalu menunduk. Anna teringat dengan pemuda bernama Abdullah yang menolongnya saat ia dan Erna belanja kitab ke Sayyeda Zaenab. Dompet Erna kecopetan. Ia berusaha mengejar copet sampai lupa dengan kitabnya.
Kitabnya tertinggal di bis. Ia kehabisan uang. Lalu seorang mahasiswa yang naik taksi menolongnya. Bahkan meminta sopir taksi mengejar bis. Dan akhirnya ia mendapatkan kembali kitab-kitab yang baru dibelinya. Ia sempat menanyakan nama pemuda itu. Dan pemuda itu menjawab namanya Abdullah. Ia tidak bisa melupakan wajah pemuda baik itu. Wajah pemuda itu sama persis dengan pemuda yang kini duduk tak jauh darinya. Bukankah ini Abdullah itu? Pikirnya. la yakin, tak mungkin salah lagi, pemuda yang duduk tak jauh darinya adalah Abdullah yang dulu menolongnya.
Hati Anna hampir-hampir terkoyak. Seseorang yang pernah ia harapkan, kini benar-benar ada di pelupuk kedua matanya. Tak pernah terpikirkan sedikitpun bahwa suatu saat ia akan bertemu dengannya. Perasaan Anna yang sudah benar-benar terpendam jauh semenjak lamaran Furqan diterima, hampir muncul kepermukaan. Hampir hampir ia tak kuasa menahan perasaannya itu.
Namun ia segera mengukuhkan hatinya untuk orang yang telah resmi menjadi tunangannya, yaitu Furqan. Ia beristighfar.
Ia harus meneguhkan diri, bahwa lamaran Furqan telah diterima, dua keluarga telah mempersiapkan segalanya, dan akad nikah akan dilangsungkan segera.
Inilah kenyataan yang harus ia syukuri. Ia harus bisa melawan keinginan semunya yang telah lampau. Ia juga harus membuang jauh perasannya.Perasaan yang hanya akan membuatnya gamang. Boleh jadi perasaan itu sebenarnya hanyalah godaan setan kepada orang yang akan mengikuti sunnah rasul, yaitu membangun rumah tangga sesuai tuntunan syariat yang mulia.
Anna kembali menenangkan hatinya dan bersiap untuk menjawab pertanyaan Husna. Namun Eliana malah mendahulinya dengan kalimat yang bernada mencercanya,
“Ah masak Mbak Anna tidak kenal sama Mas Khairul Azzam. Mahasiswa Indonesia di Cairo, saya yakin sebagian besar mengenalnya. Dikenal sebagai pembuat tempe dan bakso. Ah yang benar saja Mbak Anna!"
“Namanya penjual tempe itu tidak akan masuk dalam kamus elit mahasiswa. Penjual tempe juga tidak perlu dikenal sosoknya, yang penting dikenal tempenya enak." Sambung Azzam santai sambil promosi tempenya.
“Wah, iya bener juga. Itu kalimat yang indah lho Mas. Penjual tempe tidak perlu dikenal sosoknya yang penting dikenal tempenya enak." Husna mengapresiasi kalimat kakaknya.
Anna merasa tidak enak hati, seolah ia tidak mau mengenal mahasiswa yang pangkatnya jualan tempe. Maka ia pun angkat bicara,
“Maaf, bukannya saya tidak kenal. Kemarin waktu kenalan sama Mbak Husna, yang disebut adalah Azzam. Katanya jualan tempe. Terus saya bilang kalau Azzam saya tidak kenal. Saya mengenal beberapa nama penjual tempe. Saat itu saya sebut beberapa nama yaitu Rio, Budi, dan Muhandis atau Irul. Saya jelaskan yang paling senior adalah Muhandis. Saya tidak tahu kalau Muhandis atau Irul itu sebenarnya adalah Mas Azzam. Dan kalau tidak salah saya pernah kenalan dengan Mas Azzam saat pulang dari Sayyeda Zaenab. Saat itu temanku Erna kecopetan di bis. Aku berusaha mengejar copetnya yang menyebabkan kitabku ketinggalan. Mas Azzam membantu mengejarkan bus yang membawa kitabku itu akhirnya ketemu. Dan saat itu Mas Azzam mengaku namanya Abdullah. Coba jika saat itu mengaku bernama Khairul Azzam."
Azzam tersenyum. Ia pun jadi ingat kejadian yang nyaris ia lupakan. Ia memang pernah menolong Anna. Saat itu pun ia belum tahu namanya. Anna memakai jilbab biru seingatnya. Dan ia memang mengaku bernama Abdullah. Sebab nama panjangnya sebenarnya ketika kecil
adalah Abdullah Khairul Azzam.
"Yang disampaikan Anna benar. Saya memang dikenal dengan nama Muhandis atau Irul, atau Muhandis Irul. Hanya orang-orang dekat saja yang memanggil saya Azzam. Hampir seluruh mahasiswa mengenal saya sebagai Irul. Terus saya memang sering berkenalan dengan orang memakai nama Abdullah. Itu nama depan saya. Alhamdulillah, yang penting bisa ketemu di sini, iya kan? Oh ya, bagaimana kabar Furqan? Apa jadi lanjut S3?" Di ujung kalimatnya Azzam memandang Anna sekilas. Anna mendongakkan kepalanya.
"Alhamdulillah, dia baik. Ya insya Allah dia mau lanjut S3. Nanti datang ya di acara pernikahan." Jawabnya. "Insya Allah, kalau tidak ada halangan."
“Oh ya Mbak Eliana sama Mas Azzam, kapan kalian menikah? Aku lihat di televisi kemarin katanya kalian pacaran!?" Anna memandang ke arah Eliana.
"Aduh kasihan Mas Irul..." Kata Eliana yang langsung diputus Anna,
“Lho memanggilnya Irul kan bukan Azzam. Sebab di Cairo memang dikenal dengan nama Irul. Maaf Mbak saya potong."
“Iya jadi kasihan Mas Irul. Semua orang nanti akan nanya dia begitu. Jujur saja sebenarnya itu murni ulah saya. Begitu sampai di bandara saya diberondong pertanyaan sama wartawan ya saja jawab sekenanya. Sebenarnya jujur saja saya tidak ada apa-apa dengan Mas Irul. Ya hanya kenal biasa. Kecuali, ya kecuali kalau Mas Irul berani minta saya sebagai calon isterinya! He... he... he..."
Semua yang ada di ruangan itu tersenyum mendengar perkataan Eliana. Azzam tidak mau kalah begitu saja, ia langsung angkat suara,
“Ah Mbak Eliana bisa saja candanya. Nanti kalau saya lamar betulan terus kayak Rorojongrang dilamar Prabu Bondowoso, gimana? Karena saya buruk rupa tidak sesuai dengan standar yang diinginkan lalu disyaratkan membuat seribu candi dalam waktu semalam agar dengan sendirinya sama saja mundur teratur. Iya tho?" Dengan nada bercanda Eliana menjawab,
“Iya!" Husna menimbal,
“Hayoh kapokmu kapan.16" 16 Hayoh jeramu kapan.
Matahari semakin tinggi. Sinarnya semakin panas menyengat. Satu dua orang masih berdatangan menjenguk Azzam yang pulang.
Tepat pukul sepuluh Eliana pamitan. Demikian juga Anna Althafunnisa.
Sebelum Eliana dan Anna pergi, Lia minta agar foto bersama.
Anna pergi duluan sebab mobilnya tepat di belakang mobil Eliana. Anna melambaikan tangan dengan senyum mengembang. Kepada Azzam ia menganggukkan kepala.
Azzam kembali merasakan desiran halus dalam hatinya.
"Mas Azzam selamat ya sudah berada di tengah-tengah keluarga." Kata Eliana.
"Terima kasih ya atas tumpangannya." Jawab Azzam.
"Sama-sama."
“Ini langsung ke Gemolong?"
“Tidak. Kami mau check in hotel dulu."
“Rencana menginap di mana?"
“Di Novotel. Mungkin nanti sore jalan-jalan keliling kota Solo. Besok baru ke Gemolong. Kata Pak Marjuki tidak jauh."
“Selamat jalan ya Nak. Hati-hati. Kalau ada waktu mampir lagi kemari." Kata Bu Nafis yang berdiri di samping Azzam.
"Iya Bu. Terima kasih atas pecelnya. Sungguh, enak." Jawab Eliana sambil masuk mobil. Sejurus kemudian mobil itu telah berjalan meninggalkan halaman.
"Dua gadis yang sama-sama cantik." Ujar Lia lirih.
"Siapa?" Tanya Husna.
"Ya Anna sama Elianalah. Mbak kira siapa?"
“Aku sama kamu."
“Ih geernya. Memang Mbak cantik?"
“Apa Mbak tidak cantik?" Mendengar percakapan dua adiknya itu Azzam langsung menengahi,
“Sudah ayo masuk. Kalian berdua cantik. Di mata kakak, kalian berdua lebih cantik dari mereka berdua. Kakak ada oleh-oleh buat kalian. Kakak belikan kalian jilbab Turki dari sutera. Ayo kita lihat."
“Ayo." Sahut Lia dan Husna nyaris bersamaan dengan senyum mengembang.
Mereka kembali masuk rumah. Angin bertiup dari Timur ke Barat menggoyang daun-daun pohon mangga yang mulai berbunga di depan rumah. Bunga matahari di dekat jalan bergoyang-goyang indah. Bu Nafis sudah mengambil air wudhu untuk shalat Dhuha. Tak lama kemudian perempuan yang rambutnya sudah memerak sebagian itu larut dalam sujud kepada Tuhan Yang Maha Pengasih dan Penyayang. Bertasbih dan bertahmid atas pulangnya sang putra kesayangan.
0 komentar:
Posting Komentar