Minggu, 16 Agustus 2009

6 Dewi-Dewi Cinta

Ini untuk pertama kalinya Husna pergi ke Jakarta. Ia berangkat dari terminal Tirtonadi naik bus Cepat Jaya. Meskipun ia seorang cerpenis yang kumpulan cerpennya lerpilih sebagai kumpulan cerpen terbaik se-Indonesia, namun ia masih juga bertanya-tanya seperti apakah Jakarta? Apakah seperti yang ia imajinasikan ketika melihatnya di televisi. Ini memang untuk pertama kalinya ia pergi ke Jakarta. Waktu Azzam berangkat ke Mesir dulu ia hanya mengantar sampai ke stasiun Balapan. Selanjutnya ayahnyalah yang mengantarkan kakaknya ke Gambir, Jakarta. Dari Gambir, menurut cerita ayahnya, baru naik bus ke bandara. Ayahnya cerita dari stasiun Gambir tampak Monas di depan mata.
Ia sebenarnya ingin naik kereta. Seperti cerita ayahnya.
Agar bisa melihat Monas segera. Namun jika naik kereta ia berangkat sendirian. Tak punya teman. Jika naik bus kebetulan ada seorang teman kuliahnya di UNS dulu yang pulang ke Jakarta. Rumahnya tak jauh dari terminal Lebak Bulus. Temannya itu bernama Rina. Ketika ia ketemu Rina dan menceritakan akan pergi ke Jakarta untuk menerima penghargaan dari Diknas, Rina berkata padanya,
Na, naik bus saja bareng aku. Nanti ke rumahku dulu.
Baru nanti kamu aku antar ke Cikini." Ia tak bisa menolak ajakan Rina. Baginya pergi ke Jakarta bersama Rina lebih aman dan nyaman. Rina lebih hafal medan dibandingkan dirinya. Rina juga seorang teman yang enak diajak bicara.
Ini kali pertama ia pergi ke Jakarta, dan ini adalah detikdetik yang ia nikmati dengan sangat bahagia. Selain ia akan menerima penghargaan langsung dari menteri, ia juga akan menjemput kakaknya tercinta di bandara.
Inilah kuasa Allah. Kakaknya akan sampai di bandara satu hari sebelum acaranya menerima penghargaan di Taman Ismail Marzuki, atau juga masyhur disebut TIM.
Rina juga akan menemaninya menjemput kakaknya tercinta.
Tepat pukul empat. Bus eksekutif yang ia tumpangi berangkat. Ia melambaikan tangan pada Lia. Lia sebenar-nya ingin ikut, tapi siapa yang akan menemani ibunya.
Jika Lia dan ibunya ikut ia rasa sangat besar biayanya. Dan akan lebih repot nanti di Jakarta. Dari jendela bus ia memandangi Lia yang tersenyum kepadanya. Ia membalas dengan senyum serupa.
Bis melaju ke arah barat. Terus maju meninggalkan kota Solo. Terus melaju beriringan dengan puluhan kendaraan yang melaju ke arah yang sama. bus itu melewati Boyolali, Ampel, Salatiga, Bawen, Ungaran dan Semarang. Kira-kira jam sembilan malam bus itu berhenti di sebuah rumah makan yang cukup besar di Weleri, Kendal.
Para penumpang turun untuk rehat sebentar. Untuk buang air, shalat dan makan. Husna dan Rina turun.
Mereka berdua shalat dulu baru makan.
Pilih apa ya Rin enaknya?" Tanya Husna agak bingung menentukan menu makanannya.
Pilih apa saja. Tapi kamu jangan kaget ya, kalau agak mahal. Namanya juga di jalan." Jawab Rina.
Kamu pilih apa Rin?"
Kalau aku suka yang panas. Aku pilih soto ayam saja."
Aku sama aja." Saat membayar harga makanannya Husna berseloroh lirih,
Mahalnya." Sang kasir rumah makan itu mendengar seloroh Husna. Tapi diam saja. Wajahnya dingin. Ia seperti menyatu dengan mesin penghitung uang di hadapannya. Mungkin ia sudah sangat terbiasa mendengar perkataan itu.
Dan ia sudah menyiapkan mental untuk menghadapinya.
Kan sudah kubilang jangan kaget kalau harganya mahal." Kata Rina sambil memasukkan kecap ke dalam mangkok sotonya.
Harga semangkok soto di sini bisa untuk membayar tiga mangkok soto di Kartasura Rin."
Ah ini belum seberapa Na. Tahun lalu aku pergi ke Hongkong. Di sana ada restoran Indonesia. Tahu nggak kamu harga semangkok soto di sana bisa untuk membayar enam mangkok soto di Kartasura. Udahlah, kita nikmati.
Makan kalau sambil mengingat kalau harganya mahal malah tidak nikmat."
Benar kamu Rin." Keduanya lalu makan dengan lahapnya. Deraan lapar membuat soto ayam itu terasa nikmat rasanya. Selesai makan mereka langsung naik bis, karena kondektur bus sudah memanggil-manggil para penumpangnya.
Bis melanjutkan perjalanan. Kira-kira sepuluh menit kemudian Husna diserang rasa kantuk habis-habisan. la memang kurang tidur dan kelelahan. Kemarin malam ia menjadi panitia kegiatan MABIT aktivis dakwah masjid At Takwa yang terletak di samping stasiun radio tempatnya bekerja. Ia nyaris tidak tidur semalam penuh. Paginya sampai siang ia harus mengajar di UNS. Lalu siaran.
Menyiapkan bekal ke Jakarta. Dan selepas ashar ia harus berangkat ke terminal.
Husna tidur dengan nyenyak. Rina yang duduk di sampingnya agak kecewa. Sebenarnya ia ingin berbicara banyak dengan temannya itu, ia ingin bercerita kesana kemari dan berdiskusi apa saja. Tapi Husna malah tidur mendahuluinya. Penumpang bus hampir semuanya pulas dengan rnimpinya. Akhirnya Rina tidur juga.
Ketika bus sampai tol Cikampek Rina sempat terbangun. Ia melongok ke jendela sebentar, memastikan sudah sampai di mana. Tapi itu hanya beberapa saat saja.
Ia lalu tidur kembali menyusul Husna.
Pukul lima pagi bus Cepat Jaya itu memasuki terminal Lebak Bulus. Hari masih gelap dan sisa-sisa fajar masih tampak di langit. Begitu bus berhenti puluhan penumpang turun teratur. Rina menunggu sampai seluruh penumpang turun baru membangunkan Husna yang masih pulas di kursinya.
Na bangun! Sudah sampai!" Husna mengucek kedua matanya.
Sudah sampai Jakarta?"
Iya. Kita sudah di Lebak Bulus. Ayo kita turun!" Husna bangkit mengikuti Rina. Ia menenteng barang bawaannya. Begitu ia turun belasan tukang ojek menyerbu,
Mbak ojek Mbak! Ciputat Mbak!"
Ke Bintaro Mbak? Diantar pakai ojek yuk!"
"Ke Cirendeu Mbak? Pakai ojek murah. Ayo!" Rina menepis tawaran itu. Husna diam saja dan terus mengikuti langkah Rina.
Na kita ke mushala dulu ya? Kita shalat subuh gantian. Kalau tak dijaga barang-barang kita bisa hilang."
Ya. Mana mushallanya?"
Itu, tak jauh dari pintu keluar." Dua gadis itu bergegas ke mushalla. Husna melihat jam tangannya. Sudah jam lima seperempat. la memper-cepat langkahnya. Begitu sampai di mushalla ia berkata pada Rina.
Rin, yang shalat aku dulu ya?"
Iya. Tapi cepat ya. Waktunya mepet." Husna dengan cepat mengambil air wudhu lalu shalat.
Setelah itu gantian Rina. Pagi telah menunjukkan kesibukannya ketika mereka berdua keluar dari terminal.
Wah, sepagi gini kendaraan sudah memenuhi jalan Rin."
Inilah Jakarta Na. Jika ingin sampai di tempat kerja tepat pada waktunya. Jam empat harus bangun. Mandi dan siap-siap. Begitu rampung shalat subuh langsung berangkat. Terlambat setengah jam saja bangun maka alamat sampai di tempat kerja akan kesiangan. Aku dulu waktu SMA seperti itu Na harianku. Aku harus bangun jam empat jika tidak ingin terlambat sekolah. Jakarta ini kota paling macet sedunia!" Cerocos Rina menerangkan.
Kita ada yang jemput Rin?"
Seharusnya Papa yang jemput. Seharusnya beliau sudah menunggu di mushalla. Tapi kok tidak ada. Coba aku kontak ke rumah." Rina lalu memanggil dengan hp-nya. Sesaat terjadi pembicaraan antara Rina dengan ayahnya. Selesai menelpon Rina berkata pada Husna,
"Aduh afwan ya Na. Ternyata mobil ayah lagi ngadat.
Maklum mobil tua. Jadi tidak ada yang menjemput. Kita naik angkot ya? Nggak apa-apa kan Na?"
Ah tidak apa-apa. Kebetulan nih, aku bisa tahu rasanya naik angkot di Jakarta. Malah bisa jadi sumber inspirasi kalau nanti nulis cerpen."
Ah dasar penulis! Apa aja jadi sumber inspirasi."
Rumah Rina tidak besar juga tidak kecil. Berdiri di atas tanah seluar seratus sepuluh meter persegi. Terletak di tengahtengah perumahan yang rapat di daerah Ciputat Indah. Rumah itu tampak baru direnovasi. Tampilannya terlihat modern dan minimalis.
Baru lima bulan yang lalu selesai direnovasi. Memang sudah seharusnya direnovasi. Sudah terlalu tua. Sudah banyak titik-titik bocor kalau hujan. Untuk merenovasi ini ayah harus merelakan hampir seluruh tabungannya habis. Maklum pegawai negeri." Jelas Rina begitu masuk rumah.
Mereka berdua disambut oleh ibu Rina yang sangat ramah.
Sugeng rawuh Mbak." Sapa ibu Rina dengan bahasa Jawa halus.
Lha Ibu asli Jawa?" Tanya Husna setengah heran.
Inggih, kulo saking Sragen."10 10 Iya saya dari Sragen.
Sudah berapa lama ibu tinggal di Jakarta?"

Sejak Rina berusia satu tahun. Jadi sudah berapa tahun ya Rin?" Akhirnya ibu Rina menjawab dengan bahasa Indonesia.
Ya berarti sudah dua puluh empat tahun Ma." Sahut Rina.
"Ya, sudah dua puluh empat tahun."
Bu, Husna biar mandi ya?" Kata Rina pada ibunya. “Ya. Masukkan dulu semua barangnya ke kamarmu.
Setelah mandi sarapan!" Rina lalu mengajak Husna ke kamarnya.
Husna masuk kamar sahabatnya itu dan mengitarkan pandangannya ke seantero kamar yang luasnya tiga kali tiga. Kamar tidur Rina jauh lebih baik dibandingkan kamarnya yang hanya berdinding papan di Sraten. Kamar Rina berlantai keramik cokelat muda. Dindingnya biru laut. Langitlangit kamarnya putih bersih. Kamar yang cukup mewah di mata Husna. Sementara kamarnya berlantai semen. Warnanya hitam. Dindingnya putih kusam. Dan langitlangitnya adalah anyaman bambu yang kusam dan di sana sini sudah bolong-bolong..
Husna membuka tasnya mengambil handuk dan peralatan mandinya. Rina menunjukkan kamar mandi.
Sebuah kamar mandi yang dalam pandangan Husna juga cukup mewah. Setengah dindingnya berkeramik hijau tua.
Ada shower dan wastafel di dalamnya.
Pagi itu, setelah mandi, Husna sarapan dengan nasi rawon. Husna makan dengan lahap dan bersemangat.
Wah rawonnya mantap Bu." Kata Husna memuji.
Yang masak itu Si Luna, adiknya Rina." Jawab ibu Rina ringan.
Mana dia Bu?"
Sudah berangkat kerja."
Di mana dia kerja?"
Di sebuah penerbit buku di Ciganjur."
Berarti dia penulis Bu?"
Tidak. Dia akuntan."
O. Anak ibu semua berapa?"
"Semua empat. Rina nomor dua. Nomor satu Adam. Dia masih kuliah di Bandung. Lalu Rina. Lalu Luna. Dan terakhir Rendra."
Rendra?"
Iya."
Kenapa dinamakan Rendra Bu. Suka ya sama Rendra, penyair terkenal itu."
Iya. Terutama ayahnya. Ayahnya sangat suka sajaksajak yang ditulis W.S. Rendra."
Renda sekarang kelas berapa Bu."
Baru kelas empat SD."
Juga sudah berangkat sekolah."
Iya bareng sama ayahnya. Kalau Dik Husna berapa bersaudara?"
Saya empat bersaudara juga Bu. Saya juga anak nomor dua. Sama dengan Rina. Kakak saya juga masih kuliah. Dia kuliah di Cairo. Terus saya. Adik saya Lia dan yang ragil Sarah masih di pesantren."
Kakakmu kuliah di Cairo?"
Iya."
Laki-laki atau perempuan?"
Laki-laki."
Sudah menikah?" “Belum."
Sudah punya calon?"
Belum. Kenapa ibu menanyakan itu?"
Ya namanya juga ikhtiar. kamu tahu kan Dik. Saya punya dua anak gadis yang belum nikah. Rina dan Luna.
Siapa tahu bisa berjodoh dengan kakakmu." Ibunya Rina berterus terang tanpa basa-basi lagi. Rina merah padam mendengarnya.
"Ah Mama ini. Apa saya pantas untuk kakaknya Husna? Kakaknya seorang penulis cerpen terbaik di Indonesia. Saya ini gadis bodoh dan tidak cantik lagi. Apa saya pantas?" Sahut Rina merendah.
Rin, kalau memang berjodoh maka kita tidak bisa mengatakan pantas atau tidak pantas. Seorang muslimah yang baik selalu pantas untuk seorang muslim yang baik." Kata Husna
Benar, Dik Rina. Seperti saya inilah contohnya. Saya ini kan dulu datang ke Jakarta awalnya bekerja sebagai pembantu rumah tangga. Lalu pindah kerja sebagai pelayan Warteg. Di antara pelanggan warteg itu seorang pemuda tampan yang bekerja di Diknas.
Mungkin orang berkata saya tidak pantas berjodoh dengan pemuda itu. Tapi ternyata Allah memper-temukan kami dalam ikatan suci. Pemuda itu ya ayahnya Rina itu." Terang Ibu Rina.
Cerita yang menarik untuk dijadikan cerpen Bu."
Boleh." Sahut Ibu Rina.
Jangan lupa nanti royaltinya ya." Canda Rina sambil tersenyum.
Jadi kamu tidak keberatan misalnya kakak kamu dapat Rina atau Luna?" Tanya Ibu Rina.
Husna tersenyum pada Rina. Rina merah padam.
Sama sekali tidak Bu. Selama kakak saya suka saya juga suka. Kebetulan besok pagi kakak saya datang dari Cairo. Dan saya akan menjemputnya di bandara. Rina katanya mau ikut."
Kalau perlu kami sekeluarga ikut menjemput." Ibu Rina semangat.
Janganlah Ma. Biar saya saja yang menemani Husna." Sergah Rina.
Ya terserah mana baiknya." Jawab Ibu.
"Ikut semua sekeluarga juga tidak apa-apa. Malah ramai." Husna berempati pada Ibunya Rina. la merasa jika mereka sekeluarga ikut sama sekali tidak merugikannya atau merugikan kakaknya. la yakin kakaknya malah akan merasa bahagia.
Selesai makan Rina mengajak Husna jalan-jalan ke Mall Bintaro. Lalu melihat kampus UIN. Jam dua siang mereka kembali ke rumah Rina dan tidur siang. Jam empat sore Husna bangun. Mandi. Shalat ashar lalu membaca buku yang sempat ia beli di samping kampus UIN. la membeli sebuah buku tua berjudul Capita Selecta, yang ditulis oleh M. Natsir saat masih muda. Ia baca halaman perhalaman.
Ia begitu menikmati sajian pemikiran di dalamnya.
Di tengah asyiknya membaca, ia mendengar seseorang mengetuk pintu kamar. Ia buka. Seorang gadis muda berjilbab cokelat muda.
Luna ya?" Tebak Husna.
Iya Mbak. Saya sering dengar nama Mbak dari cerita Mbak Rina. Saya juga sudah baca buku-buku Mbak.
Salut!"
Kerja di penerbit apa Dik?"
Itu Mbak di Penerbit Ciganjur Mediatama." “Katanya besok mau ke bandara ya Mbak?" “Iya. Mau ikut?"
Wah maaf saya tidak bisa Mbak. Besok saya ada rapat penting."
Santai saja, nggak ikut nggak apa-apa."
Mbak aku punya tulisan. Ceritanya aku sedang latihan membuat cerpen. Tapi masih jelek rasanya. Bisa tidak Mbak membacanya lalu aku diberi masukan-masukan begitu. Aku ingin juga bisa menulis karya seperti Mbak."
Oh boleh. Bawa saja kemari!"
"Terima kasih ya Mbak. Tulisannya masih di kompu-ter. Besok saya print dulu. Nanti saya kasih Mbak dalam bentuk print out saja."
Oh ya itu lebih baik."
Mbak, maaf mbak, boleh aku tanya sedikit."
Boleh."
Tapi ini agak bersifat pribadi banget."
Tidak apa-apa."
Begini Mbak, aku punya kakak lelaki. Namanya Adam. Mungkin Mbak Rina sudah cerita. Tapi yang ini dia pasti tidak cerita. Kakakku sekarang dosen di Bandung. Sekarang mengajar sambil melanjutkan S2-nya. Dia itu belum menikah. Beberapa waktu yang lalu dia lihat albumnya Mbak Rina. Saat itu Mbak Rina di Solo jadi ia tidak tahu. Lha dalam albumnya Mbak Rina itu ada foto Mbak Rina sama Mbak Husna. Kelihatannya Bang Adam itu tertarik sama Mbak Husna. Kira-kira bagaimana Mbak?" Jelas Luna panjang lebar.
Husna diam. Ia heran. Ini satu keluarga bicaranya ceplas-ceplos terus terang begitu. Tak ada basa-basinya.
Iya ibunya, iya anaknya sama saja. Ibunya menginginkan kakaknya. Malah anaknya yang ini menginginkan dirinya.
Allahu a'lam Dik. Jika jodoh tak ada yang bisa menolak. Jika tidak jodoh tak ada yang bisa mem-pertemukan."
Iya benar Mbak. Tapi boleh dong kakakku masuk dalam kriteria Mbak?" tanya Rina sambil senyum.
Husna pun menjawab dengan senyuman, tanpa sepatah kata.
Oh ya Mbak. Ngomong-ngomong sering mengikuti sinetron Dewi-dewi Cinta?" tanya Rina melanjutkan pembicaraan.
Yang mana ya Dik?"
"Itu Iho yang tayang seminggu sekali tiap malam minggu, pukul delapan malam. Sinetron yang dibintangi Eliana Pramesti Alam, artis cantik jebolan Prancis itu lho."
O itu, sinetron tentang perjuangan guru muda cantik anak konglomerat di pedalaman Kalimantan Tengah?"
Iya Mbak. Wuih itu sinetron bagus lho Mbak. Temanteman kerjaku seringnya ya diskusi sinetron itu. Tapi apa ada ya Mbak, anak seorang konglomerat seperti yang diperankan Eliana itu yang memilih mengabdi jadi guru di pedalaman?"
Ya kita berdoa saja semoga ada agar jadi teladan bagi generasi muda."
Nanti malam nonton sinetron itu ya Mbak? Setelah itu kita diskusi."
Boleh." Dan benar. Jam delapan malam sampai jam sembilan Husna nonton sinetron Dewi-dewi Cinta. la menyaksikan sang guru cantik bernama Hilma harus menempuh jarak belasan kilometer dengan menggunakan sampan demi mengajar anak-anak didiknya di pedalaman. Dalam sinetron yang ia saksikan ia melihat guru itu nyaris tenggelam ketika sampannya terbalik akibat hujan yang disertai badai yang kencang. Guru itu berjuang keras untuk tetap hidup dengan sekuat tenaga berenang. Husna kagum dengan akting Eliana yang begitu menjiwai perannya. Ia juga senang dengan isi ceritanya yang tidak kacangan.
Aku baca di sebuah tabloit mingguan, saat ini Eliana sedang membintangi sebuah film remaja yang disutradarai oleh sutradara nomor satu di negeri ini. Katanya sih di antara tempat yang digunakan syuting itu Kota Barat Solo. Mbak Husna tahu Kota Barat Solo?" Tanya Luna.
Tahu. Hanya belasan kilo saja dari rumah Mbak." "Kalau begitu Mbak bisa lihat syutingnya dong.Katanya sih seperti yang kubaca di tabloit itu syutingnya di Solo tiga bulan lagi. Ih senang bisa bertemu sama Eliana. Bahagianya kalau aku bisa bertemu terus foto bareng dia.”
Kalau begitu main saja ke rumah Mbak Husna. Nanti Mbak antar ke Kota Barat biar ketemu sama bintang pujaan hatimu itu."
Ih dia itu bukan pujaan hatiku saja lho Mbak. Dia itu pujaan hati jutaan umat manusia di Indonesia."
Benarkah?"
Iya."
Malam itu Husna tidur di kamar Rina. Ia sendirian. Rina tidur bersama Luna. Rendra punya kamar sendiri.
Belum genap satu hari di rumah itu, ia telah akrab dengan semuanya. Rendra berbicara dengannya seolah kakak kandungnya sendiri. Rendra bercerita tentang Guru Matematikanya yang galak. Ia jadi tidak suka dengan matematika karena gurunya galak dan mem-bosankan.
Dulu saat diajar Bu Farida, Rendra suka Matematika.
Sebab Bu Farida itu menyenangkan. Nilai Matematika Rendra selalu sembilan dan sepuluh. Tapi sekarang setelah Bu Farida pergi, Rendra tidak suka sama Matematika.
Gurunya galak dan membosankan. Dulu Matematika itu mudah, sekarang rasanya susah." Adu Rendra pada Husna yang baru dikenalnya. Husna hanya bisa menjawab dengan senyum. Ia tak tahu harus memberi solusi apa pada anak empat SD itu.
Semua orang di keluarga Rina ini terbuka dan familiar. Ia merasa tidak menjadi orang asing di situ. Orang yang paling banyak cerita tentu saja Bu Harti, ibundanya Rina.
Selepas shalat Isya Bu Harti ke kamarnya dan bercerita ngalor-ngidul, kesana kemari tentang masa mudanya. Juga tentang keinginannya memiliki menantu yang tahu agama.
Benar ya Dik Husna, tolonglah kenalkan Rina pada kakakmu. Semoga dia tertarik. Rina wajahnya memang biasa-biasa saja. Kecantikannya pas-pasan. Tapi ibu jamin dia bisa menjadi isteri yang baik. Kelebihan Rina adalah sifat qana'ahnya. Sifat nrimonya. Kekurangan dia sih banyak. Di antaranya kalau dia marah lama redanya. Tapi ia sesungguhnya orang yang tidak mudah marah. Kalau misalnya setelah melihat Rina kakakmu tidak suka ya tidak apa-apa. Tapi cobalah juga kamu ketemukan dengan Si Luna.
Dia lebih cantik dari kakaknya. Cuma agak manja. Dan jika sudah melihat mereka berdua kakakmu tidak suka dua-duanya ya berarti bukan jodohnya. Iya tho." Pinta Bu Harti dengan penuh harap pada Husna.
Tapi kakak saya itu hanya penjual tempe lho Bu.
Selama di Cairo profesinya jualan tempe. Apa mau ibu punya menantu penjual tempe." Terang Husna.
Ya nggak apa-apa jualan tempe. Itu namanya ulet. Ibu malah suka pada tipe lelaki seperti itu. Lelaki yang ulet." Bu Harti berkata mantap.
Husna tersenyum mengingat perbincangan itu. Ia tersenyum membayangkan jika kakaknya misalnya punya isteri Rina atau Luna. Ia akan punya keluarga di Jakarta. Ia kenal baik dengan Rina. Memang Rina tidak cantik.
Kulitnya kuning langsat. Badannya cukup besar. Tapi mukanya tidak bisa dikatakan cantik. Mukanya bulat.
Hidungnya agak besar. Juga tidak bisa orang mengatakan Rina itu jelek. Benar kata Bu Harti,
Rina wajahnya memang biasa-biasa saja. Kecantikannya pas-pasan." Namun ia tahu Rina itu baik dan cekatan. Sedangkan Luna, ia tidak tahu banyak. Luna lebih cantik dari Rina. Tapi ya tidak cantik sekali. Hanya sudah masuk standar untuk dikatakan cantik. Ia lihat cara berpakaiannya sangat teliti dan rapi. Memang, dari bahasa dan gerak tubuhnya agak sedikit manja. Tapi ia bisa hidup mandin. Usai shalat maghrib ia lihat Luna membaca Al Qur’an dengan suara pelan di ruang tamu. Menurutnya itu sudah bisa jadi tanda bahwa Luna cinta pada Al Qur’an.
Satu kelebihan Luna yang ia tahu, yaitu Luna pandai memasak. Untuk makan malam Luna membuat spagheti yang sangat enak rasanya. Kakaknya, Azzam, akan cepat gemuk memiliki isteri seperti Luna.
Dari Bu Harti, ia tahu satu kekurangan Luna. Yaitu ia baru saja putus dengan pacarnya yang keempat. Artinya Luna sudah empat kali ganti pacar. Ini yang ia kurang suka pada Luna. Untuk masalah ini ia yakin Luna bisa disadarkan. Husna tersenyum bahagia. Besok ia akan ke bandara menjemput kakaknya. Ia akan bertemu dengan orang yang sangat dicintainya. Bertemu dengan pahlawan yang dirindukannya. Seperti apa wajah kakaknya setelah sembilan tahun tidak pernah bersua? Apakah ia semakin putih? Ataukah malah jadi bertambah hitam? Apakah kakaknya itu kurus, ataukah malah gemuk.
Husna semakin tak sabar menanti pagi tiba. Hatinya seolah telah hadir di bandara menanti kedatangan kakaknya. Ia berpikir apa kira-kira yang akan ia ucapkan ketika pertama kali bertemu dengan kakaknya? Husna terus berpikir dan pelan-pelan tanpa ia rasakan akhirnya ia terlelap dalam mimpinya. Mimpi bertemu kakaknya, Khairul Azzam tercinta.
Sementara nan jauh di Sraten, Kartasura sana, Lia dan ibunya juga merasakan hal yang sama. Yaitu perasaan bahagia dan ingin segera bertemu dengan Azzam mereka tercinta.

0 komentar:

Posting Komentar

REVAN NINTANG BLOG. Diberdayakan oleh Blogger.