Rabu, 12 Agustus 2009

19 SURAT DAR1 INDONESIA

Malam itu Hafez berpamitan pada teman-teman satu rumahnya. Kepada teman-temannya ia mengaku memerlukan suasana baru untuk menyongsong ujian. Ia minta ijin pindah ke Katamea untuk selama dua bulan. Di Katamea ia akan tinggal satu kamar dengan Salman. Tak ada yang tahu sejatinya Hafez pindah ke Katemea karena apa kecuali Azzam. Hafez membawa buku-buku muqarrar-nya, pakaian dan barang barang yang ia anggap penting. Barang yang ia bawa satu koper dan dua kardus ukuran sedang. Ditemani oleh Nanang ia pergi dengan taksi.

Kepergian Hafez yang katanya untuk menenangkan diri membuat Fadhil, Nasir dan Ali semakin sadar bahwa ujian tidak lama lagi. Hanya Azzam yang tidak terpengaruh apa -apa. Sebab bebannya tinggal satu mata kuliah saja, yaitu Tafsir Tahlili. Kalau ia ingin lulus, ia hanya perlu sedikit serius. Na mun kalau masih ingin di Mesir, ya diktat dibaca tapi saat menjawab soal ya sekenanya. Baginya jika masih ingin di Mesir ya sebaiknya tidak lulus. Dengan begitu ia masih bisa mendapatkan visa tinggal gratis.

Azzam sendiri meskipun statusnya masih belum lulus, ia merasa telah lulus. Sebab, ya itu tadi bebannya tinggal satu mata kuliah saja. Ia bahkan sudah bisa memprediksi yudisium yang akan tertulis dalam ijazahnya. Meskipun nilainya mepet, tapi tetap jayyid, alias baik. Dengan yudisium jayyid, jika ada rezeki ia masih memiliki peluang untuk melanjutkan S.2 di beberapa universitas terkemuka di dunia, seperti di IIUI Pakistan maupun IIUM Malaysia. Jadi, meskipun orang mengenalnya sebagai pembuat tempe, tapi ia tetap memiliki standar minimal prestasi akademik.

Malam itu ia minta tiga anak buahnya Rio, Yayan dan Anam yang bekerja membuat tempe. Ia merasa harus istirahat. Ia tak mau jatuh sakit. Jam setengah sembilan setelah minum madu hangat dicampur air habbah sauda, Azzam masuk kamar untuk tidur. Ia mengatur jam bekernya dan menyalakan murattal Syaikh Sa'ad Al Ghamidi pelan. Ia rebahan di atas kasur dengan nyaman. Matanya belum terpejam. Ia meman dang langit-langit kamarnya yang putih polos. Di langitlangititu ia seolah melihat wajah ibunya dan ketiga adiknya, Husna, Lia, dan Sarah. "Sudah sembilan tahun aku berpisah dengan mereka. Aku seharusnya segera pulang," lirihnya. Tiba-tiba ia merasa begitu rindu pada mereka. Ia bangkit dan mengambil buku agendanya. Di sana terselip surat terakhir dari Husna. Surat yang ia terima tiga bulan yang lalu.

Husna juga mengirimkan foto terbaru mereka. Ia ingin melihat foto mereka. Ia duduk di meja belajarnya dan memandangi foto yang ada di tangannya dengan seksama. Husna dengan jilbab putihnya. Lia tersenyum dengan tangan mengacungkan bravo ke udara. Sarah yang duduk di atas pasir dengan tertawa. Dan ibundanya yang bersahaja, kerudungnya berkelebat ke kanan seakan hendak lepas ke udara. Di bela kang mereka terhampar lautan dengan ombaknya yang indah. Di balik foto itu tertuliskan keterangan singkat: "Rekreasi di Pantai Kartini Jepara saat mengantar Dik Sarah ke Kudus." Kedua matanya berkaca -kaca. Ia jarang menangis. Namun jika didera rindu pada ibunda dan adik-adiknya ia mudah sekali menangis.

Ia pandangi wajah ibundanya yang mulai tampak guratgurat tuanya. Bersamaan dengan airmatanya yang merembes keluar, ia berkata lirih, "Ibu kapan kita kembali bertemu?"

Tiba-tiba ia merasa berdosa. Sebenarnya, ia yang lebih bisa menjawab pertanyaannya itu daripada ibunya. Ibunya hanya bisa menunggu. Ialah yang harus memutuskan dan mengambil tindakan nyata, kapan pulang ke Indonesia dan bertemu ibu.

Ia bangkit dan membawa foto itu ke kasur. Ia merebahkan badannya dan meletakkan foto itu di dadanya. Ia memejamkan mata. Sambil terus membayangkan wajah ibu dan adik -adiknya ia berdoa dalam hati memohon kepada Dzat Yang Maha Kuasa, agar mempertemukan dia dengan ibu serta adik -adiknya dalam tidurnya. Baginya, bertemu mereka dalam mimpi mampu sedikit meredam kerinduannya yang membara.

Matanya terpejam, tapi pikirannya masih sadar. Telinga nya menangkap suara seseorang mengetuk pintunya. Ia tak jadi tidur. Kenyamanannya buyar. Hatinya sedikit marah tidurnya diganggu.

"Ada apa!?" ucapnya setengah berteriak.

"Maaf Kang, ini ada surat buat Sampeyan dari Indonesia." Mendengar itu rasa marahnya hilang seketika, berganti rasa bahagia yang luar biasa. Ia langsung bangkit dari tempat tidurnya.

"Surat dari Indonesia?" tanyanya seolah tak percaya. "Iya Kang dari Indonesia."

"Dari siapa?"

"Biasa, dari adik Sampeyan, dari Husna."

Azzam langsung melompat dan membuka pintu. Di depan pintu kamarnya Ali berdiri dengan senyum mengembang.

"Ini Kang suratnya." Kata Ali sambil menyodorkan sepu cuk surat beramplop cokelat muda.

"Siapa yang bawa ?" tanya Azzam.

"Seperti biasa, suratnya tadi jatuh ke rumah Miftah di Abdur Rasul.Yang membawa ke sini si Miftah sendiri. Ia langsung pergi. Katanya sedang punya janji" jawab Ali tenang.

Azzam menerima surat itu dengan hati luar biasa ba hagia. Ia menutup pintu dan mengamati amplop surat itu dengan seksama. Di bagian depan amplop tertulis, "Radio Jaya Pemuda Muslim Indonesia (JPMI) Solo." Di bawahnya tertulis nama dirinya dan alamat suratnya. Ia mengambil gunting dan membuka surat itu. Berisi dua lembar kertas HVS putih yang dilipat. Surat itu ditulis dengan komputer. Azzam membaca surat itu dengan segenap perasaan rindu dan cintanya:

Menjumpai

Kakakku Tercinta

Abdulllah Khairul Azzam Di Bumi Para Nabi

Assalamu'alaikum wa Rahmatullah wa Barakatuh.

Dari pojok Kota Kartasura tercinta kami tiada henti mengirimkan doa, semoga Kak Azzam senantiasa sehat,terjaga dari segala keburukan, dan berada dalam selimut rahmatNya siang malam. Amin.

Kak, alhamdulillah , kami semua di rumah baik, sehat wal afiyat, berlimpah rahmat Allah. lbu alhamdulillah baik dan sehat. Beliau sudah sangat rindu pada Kakak. Husna sendiri juga sehat. Dua minggu yang lalu Husna menerima ijazah profesi, Husna sudah bisa praktik sebagai psikolog. Segala puji bagi Allah Swt. Ini tak lepas dari jasa Kakak. Lia sudah menyele saikan D.2. PGSD-nya. Ia kini mengajar di SDIT Al Kautsar Solo. Dan Sarah masih belajar di Pesantren Al -Quran di Kudus. Terakhir Husna ke Kudus ia sudah hafal Juz 27, 28, 29 dan 30.

Kak Azzam tercinta,

Selama delapan tahun ini sejak ayah berpulang ke rahmatullah, engkau telah menunaikan kewajibanmu dengan baik. Lihatlah kami, kini adik-adikmu sudah bisa engkau banggakan. Kami sangat berterima kasih dan bangga kepadamu Kak. Selama ini kami tahu engkau tidak lagi memikirkan dirimu Kak. Studimu di Al Azhar yang seharusnya bisa selesai dalam empat tahun, bahkan sampai sekarang, belum juga selesai. Padahal kau sudah sembilan tahun di Mesir. Kami tahu bahwa engkau mengorbankan dirimu dan segala idealismemu demi untuk membiayai hidup dan sekolah kami.

Kak Azzam tercinta,

Aku sendiri masih ingat surat kakak ketika kakak berhasil naik tingkat tahun pertama di A1 Azhar.

(Surat itu masih kusimpan baik-baik Kak). Dalam surat itu kakak menjelaskan kepada ayah, bahwa kakak adalah satu-satunya mahasiswa dari Indonesia tingkat pertama yang meraih predikat jayyid jiddan , atau Sangat Baik. Saya masih ingat Kak, begitu membaca surat kakak, ayah langsung sujud syukur dan menangis haru dan bahagia. Ayah sangat bangga. Ayah langsung meminta ibu masak enak dalam porsi besar. Malam harinya ayah mengundang tetangga kanan kiri untuk syukuran. Saat itu aku juga sangat bangga pada Kakak.

Kak Azzam tercinta,

Satu bulan setelah menerima surat dari kakak, ayah dipanggil Allah. Ayah meninggal karena kecelakaan. Tahukan engkau kakakku, ternyata di saku baju ayah yang berlumuran darah itu ada suratmu. Sedemikian bangganya ayah pada dirimu, bahkan suratmu itu selalu dibawanya ketika ayah pergi kerja. Saat ayah tiada, kami merasakan dunia terasa gelap. Namun, kau dari negeri para nabi menguatkan kami. Kepada kami, adikadikmu ini kau berpesan untuk terus tenang dan konsentrasi belajar. Sejak itu kau datang tiap bulan dengan kirimanmu yang kautransfer lewat bank ke rekening ibu. lbu yang memang sering sakit dan tidak bisa lagi bekerja keras sering menangis, aku yakin ibu menangis haru bercampur bangga, setiap kali menerima transferan uang dari kakak.

Tak lama setelah itu aku tahu dengan detil apa yang kakak lakukan di Mesir untuk kami. Kakak bekerja keras membuat tempe, berjualan tempe dan membuat bakso demi kami. Kakak rela mengorbankan studi kakak demi kami. Kami tahu itu pasti sangat berat bagi kakak. Sebab kami tahu mental kakak sejatinya adalah mental berkompetisi dan berprestasi. Sejak SD sampai Madrasah Aliyah kakak selalu rangking satu. Dan karena prestasi kakak itu, di setiap pelepasan kelulusan, dari SD sampai Madrasah Aliyah, ayah selalu diminta pihak sekolahan untuk maju ke panggung pelepasan, sebagai wali murid dari siswa paling berprestasi. Tak henti hentinya ayah membanggakan prestasi kakak itu kepada kami, anak-anaknya. Kami pun terlecut karenanya.

Sungguh, saat mengetahui hal itu aku menangis. Nun jauh di sana, di negeri para nabi kakak mati -matian jualan tempe dan bakso demi kami. Sungguh Kak, semangatku untuk survive , untuk maju dan berprestasi semakin terlecut, terlecut dan terlecut. Adik-adik juga terlecut. Hari berganti hari. Matahari terus terbit dan tenggelam. Sudah delapan tahun kakak membanting tulang dan berkorban. Kini kakak bisa segera pulang untuk melihat adik-adik kakak yang alhamdulillah su dah bisa menatap masa depan dengan kepala tegak berlimpah rahmat Tuhan seru sekalian alam.

Kak Azzam tercinta,

Kami tahu sebentar lagi kakak akan menghadapi ujian. Sudah saatnya kakak menata masa depan kakak. Kami berharap saat ini kakak kembali konsentrasi ke studi kakak. Kakak harus segera selesai dan segera pulang. Kami semua sudah rindu. Sementara jangan pikirkan kami dulu. Insya Allah kami berkecukupan. Aku sendiri sejak dua bulan ini sudah menjadi pengisi rubrik psikologi remaja di Radio JPMI (Jaya Pemuda Muslim Indonesia) Solo, juga diminta sebagai asisten dosen di UNS. Dik Lia sudah menjadi pengajar tetap di SDIT. Gaji kami berdua Insya Allah cukup untuk hidup layak. Jika kakak ada rezeki dialokasikan saja untuk membeli tiket pulang dan mungkin membeli buku-buku referensi yang pasti akan sangat kakak perlukan jika nanti mengamalkan ilmu di Tanah Air.

Kak Azzam tercinta,

Harapan kami kakak bahagia membaca surat ini. Lia titip salam. Salam rindu dan kangen tiada tara katanya. Sarah titip kecupan cinta katanya. Ibu titip setetes air mata cinta dan bangga untukmu kakakku tercinta. Ini dulu ya. Selamat menempuh ujian. Semoga lulus dan segera pulang ke Tanah Air. Semoga Allah melimpahkan rahmat dan taufik-Nya kepada kakak. Amin

Wassalam,

Dengan sepenuh cinta, Adikmu,

Ayatul Husna


Azzam membaca surat dan adiknya dengan air mata berderai-derai. Selesai membaca surat itu ia langsung tersungkur di atas karpet. Sujud syukur kepada Allah Swt. Ia menangis merasakan keagungan kasih sayang Allah Swt. Kerja kerasnya membuahkan hasil. Ia sangat bahagia. Ia merasa ini semua adalah karena kasih sayang Allah Swt.

Dalam sujudnya ia meminta kepada Allah agar diberi tam-bahan kekuatan untuk belajar dan diberi tambahan ilmu yang bermanfaat. Ia menguatkan azzam untuk lulus tahun itu juga. Tinggal satu mata kuliah, Tafsir Tahlili. Dan ia akan mempelajarinya dengan penuh konsentrasi. Selesai ujian ia akan fokus mencari dana untuk pulang. Hatinya tiba-tiba riang dan bahagianya membuncah-buncah. Dengan penuh penghayatan ia berdoa, "Ya Allah kabulkan harapanku untuk lulus dan pulang tahun ini . "

Malam itu Azzam tidur dengan penuh kedamaian. Ia bermimpi dirinya telah berada di Indonesia makan pagi bersama ibu dan adik-adiknya. lbunya membuat bubur dengan sambel tumpang yang sangat sedap. Sementara Husna mem buat bakwan dan mendoan. Lia membuat teh tubruk kesu kaannya. Dan Sarah bercerita tentang pengalaman indahnya selama berada di Pesantren Al-Quran. Pagi itu ia makan bubur buatan ibunya dengan sangat lahap. Ibunya memperhatikan dengan kedua mata bersinar-sinar bahagia.

"Iyo Le. mangano sing akeh. Ben awakmu seger. Trus ndang cepet kawin."62 62 Iya, Nak, makanlah yang banyak. Biar badanmu segar. Terus segera menikah. Kata ibunya yang disambut tawa riang adik adiknya.

Azzam lalu ikut juga tertawa. Rasanya sangat bahagia. "Kawin sama siapa tho Bu." Sahut Azzam.

"Ya sama mahasiswi Indonesia yang cantik-cantik itu tho. Apa kau kira ibu tidak tahu. Ada Cut Mala, ada Laila, Masyi thah, ada Cut Rika, ada Hilda, ada Erna, dan ada Anna. Kau tinggal pilih salah satu dari mereka." Jawab ibunya, menyebut nama-nama mahasiswi Indonesia di Cairo yang ia ketahui. Ia tidak mengerti dari mana ibunya tahu nama-nama itu.

"Kok ibu tahu nama mereka?" Tanyanya heran. "Lho kamu ini bagaimana tho, kan mereka semua kemarin

ke sini menemui ibu. Mereka menginap di pesantrennya Anna. Dan sebentar lagi mereka mau datang ke sini?"

"Datang ke sini? Ke rumah kita ini?"

"Iya. Kamu itu bagaimana tho. Katanya kamu ingin ketemu mereka. Kamu ingin menunjukkan gadis yang kamu pilih pada ibu dan adik -adikmu."

Azzam sama sekali tidak bisa mengerti dengan apa yang didengarnya. Bagaimana mungkin mahasiswi mahasiswi itu bisa datang ke rumahnya. Kapan mereka pulang dari Mesir. Belum hilang keheranannya. Tiba -tiba ada suara memberi salam sambil mengetuk pintu. Itu suara Cut Mala, ia hafal betul dengan suara itu.

"Lha itu mereka datang!" Seru ibunya dengan wajah bahagia. Ketiga adiknya juga menampakkan wajah sangat bahagia. Ia masuk terpaku di tempatnya. Sementara ibu dan adik -adiknya bergegas ke ruang tamu. Sayup-sayup ia mendengar ibunya menanyakan kabar pada mereka. Tak lama kemu dian, Husna, adiknya memintanya untuk ke ruang tamu. Ia berjalan dengan kaki gemetar.

Ia masuk ke ruang tamu dengan menundukkan kepala. Ia lalu duduk di samping ibunya. Pelan-pelan ia mengangkat kepala -nya. Di depannya duduk tujuh orang gadis dengan pesona masing-masing. Ya ada Cut Mala, Erna, Masyithah, Cut Rika, Hilda, Laila dan seseorang memakai cadar. Ia tidak tahu siapa dia.

Ibunya berkata, "Yang pakai cadar ini namanya Anna. Anna Althafunnisa."

"Anna Althafunnisa?" Kagetnya.

Perempuan bercadar itu mengangguk. Ia semakin pena saran dan bingung. Selama ini ia hanya mendengar berita kecantikan Anna Althafunnisa, tapi tidak pernah tahu seperti apa. Dan saat itu, ketika Anna ada di hadapannya pun masih juga menyembunyikan wajahnya. Dan ia bingung, kenapa Anna Althafunnisa ikut datang, bukankah ia telah dilamar Furqan? Terus Cut Mala, kenapa juga ikut datang. Bukankah Cut Mala seharusnya telah dikhitbah Hafez, teman satu rumahnya.

"Apakah kau ingin aku membuka cadarku? Agar kau bisa melihat wajahku?" Kata Anna seolah tahu rasa penasarannya.

Dengan suara bergetar ia menjawab, "I...iya."

"Baiklah."

Perlahan Anna menyingkap cadar penutup wajahnya. Baru seperempat yang disingkap, tiba-tiba ia merasakan tubuhnya melayang. Wajah itu bercahaya. Anna tidak langsung me-nyingkap semua. Anna menahan sesaat. Lalu kembali meng-gerakkan tangannya untuk menyingkap. Tiba-tiba...

Kriing... kriing... kriiing...

Jam bekernya berbunyi keras sekali. Ia terkesiap bangun. Ia sangat kecewa, itu semua hanya mimpi belaka. Lebih kecewa lagi, ia belum sepenuhnya melihat wajah Anna Althafunnisa.

"Yah hanya mimpi." Lirihnya pada diri sendiri.

Ia lalu berpikir, mana mungkin ia bisa memiIih salah satu dari tujuh mahasiswi Cairo itu. Mana mungkin mereka datang ke rumahnya. Mana mungkin mereka mau menjadi pendam ping hidup penjual tempe seperti dirinya.

"Ah mimpi itu ada -ada saja."

Tiba-tiba ia tersenyum sendiri.

Ia bersyukur masih bisa memimpikan hal yang indah. Ia ber-syukur doanya minta bertemu dengan ibunya dalam mimpi benar -benar terkabul. Tiba -tiba ia berpikir: "Bisa jadi kalau aku berdoa, meminta dijodohkan dengan salah satu dari tujuh gadis dalam mimpiku itu juga akan terkabul. Apa salahnya berdoa?"

Ia tersenyum. Saatnya Tahajud dan bermunajat pada Tuhan yang Maha Pengasih dan Penyayang.

Dan pada sebahagian malam hari bersembahyang tahajudlah kamu sebagai suatu ibadah tambahan bagimu: mudah-mudahan Tuhan-mu mengangkat kamu ke tempat yang terpuji 63 63 QS. Al Israa'(Memperjalankan di Malam Hari) [17]: 79


0 komentar:

Posting Komentar

REVAN NINTANG BLOG. Diberdayakan oleh Blogger.