5 MEMINANG
Siang itu sebelum jam dua belas, semua orang dalam rombongan "Pekan Promosi Wisata dan Budaya Indonesia di Alexandria" sudah keluar dari hotel. Tepat jam setengah satu mereka sudah bergerak meninggalkan Alexandria menuju Cairo. Rombongan yang terdiri atas empat puluh lima orang itu meluncur ke Cairo dengan dua mobil mewah KBRI, satu bus dan satu mobil barang.
Azzam duduk di samping Romi. Pak Ali mengendarai BMW bersama Pak Dubes dan teman Pak Dubes. Mobil mewah satunya dikendarai oleh Atase Pendidikan dan Atase Perdagangan. Yang lainnya ikut dalam bus yang tak kalah nyaman. Baru keluar dari Alexandria Romi sudah harus ke toilet. Ia tidak sempat membersihkan perutnya sebelum berangkat sebab tergesa gesa. Ia tadi terlalu asyik berenang di pantai dan nyaris lupa waktu. Kalau saja Pak Atase Perda gangan tidak mengabsen semua orang di lobby, bisa jadi Romi akan ketinggalan.
Saat Romi pergi ke toilet itulah Eliana yang duduk agak di belakang maju dan duduk di tempat duduk Romi yang kosong. Azzam dan Eliana belum sempat berbincang sejak peris tiwa pemutusan pembicaraan tadi malam. Eliana mendahului percakapan,
"Eh Mas Khairul, terima kasih atas kiriman habasy takanat-nya ya? "
"Oh sama-sama. Oh iya, sama minta maaf atas sikap saya yang mungkin tidak berkenan tadi malam. Mungkin itu mem buat Mbak Eliana marah. Saya dengat dari Romi tadi pagi Mbak marah."
"Ah tidak. Hanya sedikit emosi saja. Kita lupakansaja itu semua. Ini kalau boleh sayatanya, kenapa kau menjawab mendapat ciuman Prancisitu musibah. Saya yakin Mas Khairul tadi malam mengatakan dengan serius."
Azzam tersenyum. Ia geli sendiri mendengar perkataan Eliana. Katanya lupakan saja semuanya, tapi masih bertanya tentang jawabannya tadi malam. Namun ia tidak mau mengungkit hal itu. Ia ingin langsung menjawab pertanyaan Eliana. "Setiap orang punya prinsip. Dan prinsip seseoran itu biasanya berdasar pada apa yang diyakininya. Iya kan Mbak?" Kata Azzam mengawali jawabannya.
"Iya." Kata Eliana sambil mengangukkan kepala. Saat itu ia sama sekali tidak memandang Azzam sebagai tukang ma sak, tapi memandang Azzam sebagai seorang mahasiswa yang memiliki satu sikap dan pendirian.
"Saya juga memiliki prinsip. Prinsip hidup. Prinsip hidup Saya itu saya dasarkan pada Islam. Sebab saya paling yakin dengan ajaran Islam. Di antara ajaran Islam yang saya yakini adalah ajaran tentang menjaga kesucian. Kesucian lahir dan kesucian batin. Kenapa dalam buku -buku fikih pelajaran pertama pasti tentang thaharah. Tentang bersuci. Adalah agar pemeluk Islam senantiasa menjaga kesuciar lahir dan batin. Di antara kesucian-kesucian yang dijaga oleh Islam adalah kesu cian hubungan antara pria dan wanita. Islam sama sekali tidak membolehkan ada persentuhan intim antara pria dan wanita kecuali itu adalah suami isteri yang sah. Dan ciuman gaya Prancis itu bagi saya sudah termasuk kalegori sentuhan sa ngat intim. Yang dalam Islam tidak boleh dilakukan kecuali oleh pasangan suami isteri. Ini demi menjaga kesucian. Kesu cian kaum pria dan kaum wanita.
"Ketika saya mengatakan bahwa jika sampai saya mela kukan ciuman itu dengan wanita yang tidak halal bagi saya, maka saya telah menodai kesucian saya sendiri dan menodai kesucian wanita itu. Dan itu bagi saya adalah suatu musibah yang luar biasa besarnya. Saya telah kehilangan kesucian bibir saya. Tidak hanya itu, saya juga kehilangan kesucian jiwa saya. Jiwa saya telah terkotori oleh dosa yang entah bagaima na cara menghapusnya. Jika bibir ini kotor oleh gincu bisa dibersihkan dengar air atau yang lainnya. Tapi jika terkotori oleh bibir yang tidak halal, kotor yang tidak tampak bagai mana cara membersihkannya. Meskipun bisa beristighfar, meminta ampun kepada Allah tetap saja bibir ini pernah kotor, pernah ternoda, pernah melakukan dosa yang menjijikkan. Saya tidak mau melakukan hal itu. Saya ingin menjaga kesu cian diri saya seluruhnya. Saya ingin menghadiahkan kesucian ini kepada isteri saya kelak. Biar dialah yang menyentuhnya pertama kali. Biar dialah yang akan mewangikan jiwa dan raga ini dengan sentuhan-sentuhan yang mendatangkan pahala."
"Itulah prinsip yang caya yakini. Mungkin saya akan dikatakan pemuda kolot. Pemuda primitif. Pemuda kampungan. Pemuda tidak tahu perkembangan dan lain sebagainya. Tapi saya tidakpeduli. Saya bahagia dengan apa yang saya yakini kebenarannya. Dan saya yakin Mbak Eliana yang pernah belajar di negeri yang mengagungkan kebebasan berpendapat itu akan bisa menghargai pendapat saya."
Azzam menjelaskan panjang lebar. Eliana mendengarkan dengan seksama. Tak terasa air matanya berkaca -kaca. Ia belum pernah mendengarkan penjelasan tentang kesucian seperti itu sebelumnya.
"Aku mengerti." Lirih Eliana.
"Terima kasih atas penjelasannya. Lanjutnya. Saat itu Romi keluar dari toilet. Eliana lalu kembali ke
tempatnya semula. Penjelasan Azzam masih membekas dalam hatinya. Tiba-tiba ia merasa dirinya sangat kotor. Bibirnya entah berapa kali bercium dengan pria yang belum menjadi suaminya. Ia tidak bisa menghitungnya. Untuk pertama kalinya ia merasa menjadi perempuan yang tidak berharga. Ia teringat dengan saudara sepupunya yang tinggal di pelosok Lumajang. Namanya Nurjanah. Sejak kecil selalu memakai jilbab. Saat diajak salaman ayahnya saja tidak mau. Ayahnya sempat tersinggung. Tap sepupunya yang sekarang menjadi pengajar di sebuah Madrasah Ibtidaiyyah itu bersikukuh dengan pendiriannya. Tidak mau bersentuhan kecuali dengan lelaki yang halal baginya. Sekarang baru ia tahu rahasianya. Itu karena ajaran kesucian itu. Nurjanah bersikukuh mempertahankan kesucian dirinya secara utuh. Tiba -tiba ia merasa gadis seperti Nurjanal alangkah lebih muliamya. Ia merasa tidak ada apa apanya dibanding Nurjanah. Ada yang merem bes dari ujung kedua matanya.
Bus terus melaju membelah padang sahara yang luas. Sejauh mata memandang yang tampak adalah hamparan pa dang pasir kecoklatan. Ada yang rata, ada yang bergelom bang seperti berbukit-bukit. Eliana memandang ke jendela. Ia melihat debu-debu berhamburan di pinggi jalan. Angin berhembus sangat kencang. Namum bus terus melaju dengan tenang.
Sampai di Cairo. Azzam langsung meluncur pulang kerumahnya di Hay El Asher. Tepat menjelang Maghrib ia sampai di rumah. Teman satu rumahnya menyambutnya dengan penuh kerinduan. Ia minta mereka untuk membuka kardus berisi oleh-olehnya. Isinya kurma isi kacang. Buah Zaitun. Kacang Arab berwarna hijau. Dan Makaronah untuk dimasak. Tak ada yang istimewa Sernua adalah makanan Mesir yang sebenarnya ada di Cairo. Namun mereka tetap menyambut oleh -oleh itu dengan penuh antusias dan gembira.
Azzam langsung mandi. Setelah itu ia langsung pamitan pergi.
"Ceritanya nanti saja ya. Aku ada urusan penting sekali malam ini." Kata Azzam pada mereka. Mereka pun mengangguk paham.
Azzam meluncur ke Hay El Sabe'. Ia shalat Maghrib di Masjid Ridhwan. Tujuannya setelah itu hanya satu, yaitu ke rumah Ustadz Saiful Mujab, untuk melamar Anna Althafun nisa. Ia sampai ke masjid itu saat imam sudah rakaat kedua. Ia bahagia melihat Ustadz Mujab ada. Di shaf kedua. Ia takbir di shaf ketiga. Selesai shalat ia bertemu dengan Ustadz Mujab. Dan Ustadz Mujab tersenyum gembira berjumpa dengannya.
"Lho, aku dengar kau ikut rombongan KBRI ke Alexandria. Kok sudah di sini, Rul?" Sapa Ustadz Mujab.
"Iya Ustadz. Baru pulang menjelang Maghrib tadi dan langsung meluncur kesini." Jawab Azzam.
"Ada urusan apa? Kok kelihatannya penting sekali sampai tidak istirahat segala. Malah langsung kemari?"
"Saya ada urusan pribadi yang sangat penting. Saya ingin membicarakannya pada Ustadz. Ustadz ada waktu?"
"O begitu. Boleh -boleh. Ayo kita ke rumah" Mereka lalu pergi ke rurnah Ustadz Mujab yang tak jauh
dari Masjid Ridhwan itu. Ustadz Mujab yang sedang S. 2 di Institut Liga Arab itu hidup di Cairo bersama keluarganya. Bersama anak dan isterinya. Rumahnya sederhana. Namun rurnah itu membuat betah siapa saja yang berkunjung ke sana. Tak lain dan tak bukan, karena keramahan pemilik rumahnya. Yaitu Ustadz Mujab dan isterinya.
Setelah duduk diruang tamu beberapa saat, dan teh panas dikeluarkan bersama satu piring roti cokelat, ustadz Mujab bertanya pada Azzam dengan mata memandang lekat-lekat,
"Ada urusan apa? Apa yang bisa kubantu?"
"Saya sebenarnya malu Ustadz. Saya tidak tahu dari mana saya harus memulai." JawabAzzam.
"Tidak usah malu. Jika kebaikan yang dicari tidak usah malu."
"Baiklah Ustadz. Saya ingin minta bantuan Ustadz untuk melamar seseorang untuk saya." Kata Azzam dengan suara bergetar.
"Oh itu. Begitu saja kok malu. Kamu memang sudah saatnya kok Rul." Ustadz Mujab biasa memanggilnya ‘Rul’ kependekan dari ‘Khairul’ yang diambil dari namanya ‘Khairul Azzam’. Jadi di Cairo ada yang memanggilnya ‘Mas Khairul’, ‘Mas Insinyur’, ‘Rul’, ‘Irul’ dan ada yang memanggil dengan nama belakangnya yaitu ‘Azzam’. Yang memanggil dengan panggilan Azzam hanya orang orang satu rumahnya saja. Itu pun atas permintaannya. Sedangkan di luar rumah banyak yang memanggil ‘Khairul’ dan ‘Insinyur’.
"Aku akan membantu sebisanya. Siapa nama gadis yang kaupilih itu. Dan siapa nama orang tuanya. Orang mana? Kalau di Al Azhar, tingkat berapa?" Ustadz Mujab melan jutkan.
Dengan mengumpulkan semua keberaniannya ia menjawab dengan suara bergetar. Dan dengan hati bergetar pula,
"Namanya Anna Althafunnisa Putri Pak Kiai Luffi Ha kim. Asal Klaten. Kalau tidak salah sekarang sedang program pascasarjana di Kuliyyatul Banat, Al Azhar."
Ustadz Mujab kaget mendengar kata -kata yang keluar dari mulut Azzam. Ia seperti mendengar suara petir yang nya ris merobohkan apartemen di mana dia dan keluarganya tinggal.
"Anna Althafunnisa?" Tanya Ustadz Mujab tidak percaya.
Azam mengangguk dengan tetap menundukkan kcpala.
Ustadz Mujab menghela nafas panjang. Ia seperti hendak mengeluarkan sesuatu yang menyesak di dadanya.
"Siapa yang mengabarkan kamu tentang Anna Altha funnisa?"
"Ada. Tapi dia tidak mau disebut-sebut namanya Ustadz," Ustadz Mujab kembali menghela nafas panjang. "Allahlah yang mengatur perjalanan hidup ini. Sungguh
aku ingin membantumu Rul. Tapi agaknya takdir tidak menghendaki aku bisa membantumu kali ini. Anna Althafunnisa itu masih terhitung sepupu denganku. Aku tahu persis keadaan dia saat ini. Sayang kau datang tidak tepat pada waktuya. Anna Althafunnisa sudah dilamar orang. Ia sudah dilamar oleh temanmu sendiri.
"Sudah dilamar temanku sendiri? Siapa?"
"Furqan! Ia sudah dilamar Furqan satu bulan yang lalu."
Mendengar hal itu tulang-tulang Azzam bagai dilolosi satu per satu. Lidah dan bibirnya terasa kelu. Furqan lagi. Ia berusaha keras mengendalikan hati dan perasaannya untuk bersabar.
"Maafkan aku Rul. Aku sarankan kau mencari yang lain saja. Mahasiswi Indonesia di Al Azhar kan banyak . Dunia tidak selebar daun kelor." Ustadz Mujab berusaha menenteramkan.
"Iya Ustadz. Tapi saya akan mencari yang sekualitas Anna Althafunnisa."
Ustadz Mujab terhenyak mendengar jawaban Khairul Azzam. Begitu mantapnya ia memasang standar. Ia seolah lah sudah tahu persis Anna Althafunnisa.
"Apa kamu sudah pernah ketemu Anna?" "Belum."
'Sudah pernah tahu wajahnya?" "Belum."
"Aneh. Bagaimana mungkin kau begitu mantap memilih Anna Althafunnisa? Bagaimana mungkin kau menjadikan Anna sebagai standar."
"Firasat yang membuat saya mantap Ustadz." "Tapi menikah tidak cukup memakai firasat Rul. Jujur
Rul aku sangat kaget dengan standarmu ini. Baiklah aku buka sedikit. Anna adalah bintangnya Pesantren Daaru Quran. Sejak kecil ia menghiasi dirinya dengan prestasi, dan prestasi selain dengan akhlak mulia tentunya. Ia menyelesaikan S.1 nya di Alexandria dengan predikat mumtaz. Kalau ingin memiliki isteri seperti dia. Cobalah kau menstandarkan dirimu dulu seperti dia. Kalau aku jadi orang tuanya, dan ada dua maha siswa Al Azhar yang satu serius belajarnya yang satu hanya sibuk membuat tempe. Maaf Rul, pasti aku akan memilih yang lebih serius belajamya. Kau tentu sudah paham maksudku. Bukan aku ingin menyinggungmu, tapi aku ingin kau mem perbaiki dirimu. Aku ingin kau lebih realistis. Cobalah kauraba apa opini di Cairo tentang dirimu."
"Iya Ustadz. Terima kasih. Ini akan jadi nasihat yang sangat berharga bagi saya." Jawab Azzam dengan mata berlinang. Kalimat Ustadz Saiful Mujab sangat berat ia terima. Ia sangat tersindir. Tapi ia tidak bisa berbuat apa apa. Dengan bahasa lain, sebenamya Ustadz Mujab seolah ingin menga takan bahwa dia sama sekali "tidak berhak" melamar Anna. Atau lebih tepatnya sama sekali "tidak layak" melamar Anna. Hanya mereka yang berprestasi yang berhak dan layak melamarnya.
Dan lagi-lagi, prestasi yang dilihat adalah prestasi aka demis. Dan di mata orang orang yang mengenalnya di dunia akademis, ia sangat dipandang remeh karena tidak juga lulus dari Al Azhar. Padahal sudah delapan tahun lebih ia menja laninya.
Azzam lalu minta diri. Dalam perjalanan ke rumahnya ia meneteskan air mata. Ia berusaha tegar dan sabar. Namun setegar-tegarnya ia adalah manusia biasa yang memiliki air mata. Ia bukan robot yang tidak memiliki perasaan apa -apa. Ia mengusap air matanya. Ia tidak bisa menyalahkan siapa saja jika ada yang meremehkannya. Karena memang kenyataannya ia belum juga lulus. Ia berusaha meneguhkan hatinya bahwa hidup ini terus bergulir dan berproses.
"Baiklah saat ini aku belum berhasil menunjukkan prestasi. Tapi tunggulah lima tahun kedepan. Akan aku buktikan bahwa, aku, Khairul Azzam berhak melamar gadis salehah yang mana saja."
Sampai di rumah ia langsung ke kamarnya untuk istirahat. Diatas meja masih tergeletak surat dari Husna, adiknya di Indonesia yang mengabarkan bahwa si kecil Sarah perlu operasi amandel. Dan perlu biaya seragam pondok pesantren. Ia langsung teringat akan tanggung jawabnya sebagai kakak tertua. Ia menangis. Ia merasakan betapa sayangnya Allah kepadanya. Allah masih ingin ia fokus pada tanggung jawabnya membiayai adik-adiknya. Inilah hikmah yang ia da pat dari peristiwa kekecewaannya karena Anna telah dilamar orang lain.
"Allah belum mengijinkan aku menikah. Aku masih harus memperhatikan adik -adikku sampai ke gerbang masa depan yang jelas dan cerah. Kalau aku menikah saat ini, perhatianku pada adik-adikku akan berkurang." Ia berbisik pada dirinya sendiri. Ia bertekad untuk menutup semua pintu hatinya. Dan akan ia buka kembali saat nanti sudah pulang ke Indonesia. Setelah ia sudah selesa S.1 dan adik -adiknya sudah bisa ia percaya mampu meraih masa depannya.
Tiba-tiba ia tersenyum.
"Bodohnya aku kenapa aku memasukkan Eliana dan Anna ke dalam hati. Bodohnya aku. Tugas yang jelas di mata menuntut tanggung jawab saja masih panjang kok malah tergoda dengan yang tidak jelas." Gumamnya lagi pada diri sendiri.
Ia menancapkan tekadnya untuk bekerja lebih keras lagi. Dan ia akan belajar lebih keras. Ia ingin sukses dua duanya. Ia lalu teringat harus segera mengirimkan uang ke Indonesia. Ke rekening Husna, agar si Sarah bisa belajar dengan tenang di pesantrennya. Ia ingin adik bungsunya itu menghafal AlQuran. Tiba -tiba ia rindu seperti apa adik bungsunya itu. Ia tidak tahu seperti apa wajah adiknya itu sebenarnya. Ia hanya tahu wajahnya yang ada di foto. Sebab ia belum pernah bertemu dengannya sama sekali. Saat ia meninggalkan Indonesia dulu, Sarah masih berada dalam kandungan ibunya.
"Ah semua sudah ada yang mengatur. Yaitu Allah Subhanahu wa Ta'ala . Jika saatnya ketemu nanti akan ketemu juga." Gumamnya dalam hati.
0 komentar:
Posting Komentar