13 Pertemuan Di Klewer
Ada yang mengatakan, bahwa Pasar Klewer adalah pasar tekstil terbesar di Indonesia, bahkan Asia Tenggara. Sebagian orang-orang Solo meyakini hal itu. Meskipun orang-orang Jakarta selalu bilang pasar tekstil terbesar adalah Tanah Abang Jakarta.
Yang jelas Pasar Klewer sebagai pasar batik dan lurik terbesar di Indonesia hampir tidak ada yang membantahnya. Dan pasar Klewer dikenal sebagai pasar aneka sandang terlengkap di Jawa Tengah juga diakui siapa saja.
Pasar Klewer adalah urat nadi perekonomian masyarakat Solo.
Terletak tepat di sebelah barat Keraton dan tepat di selatan Masjid Agung. Tiga tempat itu seolah satu kesatuan yang tidak bisa dipisahkan. Karena letaknya yang sangat strategis Pasar ini tak pernah sepi dari hiruk pikuk pembeli dan pedagang. Bahkan pelancong.
”Semakin padat saja ya Na Klewer sekarang?” Kata Azzam pada Husna. Ia sudah berada di sebuah lorong Pasar Klewer. Depan belakang dan kiri kanannya adalah kios pedagang sandangan. Mulai dari pakaian bayi, anak anak, sampai kakek-kakek dan nenek-nenek dijual di situ. Mulai yang murah sampai yang mahal. Mulai batik sampai jeans. Mulai baju pesta sampai baju takwa. Semua ada.
”Sangat padat Kak. Menurut data yang saya ketahui jumlah pedagang resminya saja tak kurang dari 1467 pedagang. Dari pedagang sebanyak itu transaksi yang berjalan tak kurang dari lima sampai enam milyar setiap harinya.” Husna menjelaskan.
”Kau mau beli apa Na?”
“Beli jaket dan jilbab buat Si Sarah Kak. Oh ya kapan ya kita ke Kudus Kak? Dia belum kita beri tahu kalau Kakak sudah pulang.”
“Bagaimana kalau Ahad depan. Kakak akan sewa mobil lagi satu hari.”
“Boleh.”
“Ibu dan Lia mana?”
“Di atas Kak. Ibu lagi milih mukena dan Lia lagi mencari seprai untuk kado pernikahan temannya.”
“Wah kok menikah terus ya di mana-mana.”
“Memang lagi musimnya Kak. Mumpung tidak musim hujan.”
“Ayo kita temui mereka.”
“Ayo.”
“O ya kalian sudah shalat zuhur?”
“Sudah. Tadi kita mampir ke kios temannya Lia. Dan kita shalat di sana.”
Azzam dan Husna bergegas menemui ibunya. Di sepanjang lorong Azzam banyak menjumpai pedagang kaki lima yang dagangannya memenuhi lorong, sehingga cukup mengganggu para pengunjung, termasuk dirinya. Di lantai dua, di Kios Sumber Rejeki, Azzam menemui ibunya yang sedang memilih-milih kemeja.
”Zam Bu’e pilihkan kemeja buat kamu.”
“Wah yang mana Bu?”
“Ini. Bu’e suka warnanya.”
“Kalau Bu’e suka Azzam juga suka.”
“Coba kamu lihat ukurannya.”
Azzam mengambil kemeja dari tangan ibunya. Ia melihat ukurannya dan mengukur ke badannya.
”Kurang besar sedikit Bu.” Ujar Azzam pada ibunya.
”Ukuran di atasnya Mbak!” Pinta Bu Nafis pada penjaga kios Sumber Rejeki. Penjaga itu perempuan yang masih sangat muda mungkin masih gadis. Penjaga itu berjilbab sangat rapi dan modis.
”Iya Bu, ini.” Penjaga itu mengulurkan kemeja yang berwarna sama.
”Coba ini Zam.”
Azzam melihat dan mengukurkan ke badannya. ”Lha kalau ini pas.”
“Ada lagi yang kamu inginkan Nak?”
“Sudah Bu.”
“Kalau begitu Bu’e mau total semua. Berapa semuanya Mbak?”
“Seratus enam puluh lima Bu.”
“Dipaskan saja Mbak?”
“Aduh ibu, tadi kan masing-masing sudah dikorting. Sudah dipaskan. Jujur saya cuma mengambil untung sedikit kok Bu. Kalau dikorting lagi saya dapat apa?”
“Dipaskan seratus lima puluh saja ya Mbak semuanya.”
Aduh nyuwun sewu sanget2222 Mohon maaf sekali Bu, tidak bisa.” Azzam menengahi,
“Sudahlah Bu, dibayar saja. Rasulullah itu suka pada penjual yang mempermudah dan juga suka pada pembeli yang mempermudah. Sudah dibayar saja semoga barakah.”
Perkataan Azzam didengar sang penjaga. Spontan ia berkata,
“Baik untuk ibu saya diskon lagi lima ribu. Jadi seratus enam puluh Bu.”
“Baik. Terima kasih ya Mbak.”
“Sama-sama Bu.”
Sebelum meninggalkan kios itu ketika Husna, Azzam dan Bu Nafis sudah berjalan, Lia iseng bertanya pada penjaga kios itu,
“Eh maaf Mbak, Mbak sudah menikah belum?”
“Kenapa memangnya?” Jawab Mbak itu.
”Cuma mau nanya aja. Penampilan Mbak menarik sih.”
“Kebetulan saya belum menikah. Kalau Mbak?”
“Sama. Saya juga belum.” Jawab Lia.
”Eh, itu kakakmu ya?”
“Iya Mbak. Mbak tertarik?”
“Boleh juga. Kerja di mana?”
“Masih menganggur Mbak.”
“Suruh kerja di sini saja sama aku.”
“Ih, Mbak ini ada-ada saja. Kalau bukan mahram kan tidak boleh berduaan di kios sempit seperti ini.”
“Ya dihalalkan dulu biar tidak dosa.” Ucap gadis penjaga kios itu santai.
”Mbak bisa saja. Eh kalau boleh tahu siapa nama Mbak.”
“Kartika Sari. Panggil saja Tika. Kalau Mbak?” “Lia.”
“Mau makan di mana kita Bu?” Tanya Azzam.
“Bu’e kangen sama nasi Timlo Mbok Yem yang ada di dekat Sriwedari itu. Banyak kenangan dengan ayahmu disana.
”Kalau begitu kita ke sana.” Azzam membawa mobilnya ke barat ke arah Coyudan. Azzam berkeringat, kelihaiannya mengemudi benar-benar diuji. Jalan dari Klewer ke Coyudan begitu padat dan semrawut. Tukang becak memarkir becaknya sembarangan. Angkutan umum ngetem seenaknya memotong jalan. Mobil box bongkar pasang muatan. Kendaraan bermotor yang jalan pelan namun tiba-tiba berzigzag dengan cepat tanpa perhitungan. Hampir saja Azzam menabrak becak yang tadinya parkir, tiba-tiba nylonong masuk jalan.
”Hati-hati Kak.”
“Itu tukang becak nyawanya rangkap kali. Nylonong sembarangan. Dasar!” Umpat Azzam spontan.
”Nak, kalau ngomong jangan kasar begitulah. Tidak enak didengar.” Tegur Bu Nafis.
”Astaghfirullah. Iya Bu. Kadang setan memang ada di mulut juga.”
Azzam melewati kawasan Singosaren. Dan terus ke barat, hingga akhirnya sampai Pasar Kembang. Husna memandang para pedagang yang duduk menunggu pembeli datang. Ada seorang ibu tua yang duduk termangu, pandangan matanya kosong. Husna merasa iba.
Entah apa yang sedang dilamunkan ibu tua itu. Tiba-tiba kedua mata Husna menangkap sosok yang ia kenal.
”Kak pelan Kak!”
“Ada apa?”
“Itu seperti Zumrah. Dik Lia coba lihat itu Zumrah kan?” Lia memandang ke arah yang ditunjuk Husna. ”Iya benar Mbak.”
“Kak Azzam berhenti sebentar!”
Husna sendirian. Ia berjalan cepat menuju sebuah kios penjual kembang. Zumrah tampak duduk di sana melamun. Di sampingnya seorang ibu setengah baya yang gemuk badannya sedang makan jagung godog dengan lahapnya.
”Hei Zum!” Sapa Husna. Zumrah ternganga. Kaget. “Husna! Lia!”
“Hei, assalamu’alaikum.” “Wa ’alaikumussalam.”
“Sedang apa kamu di sini? Kamu aku cari-cari ke mana mana!”
“Aku tak tahu harus bagaimana. Aku...”
“Sudah ayo ikut kami makan siang. kamu sudah makan?”
“Belum.”
“Ayo. Sekalian ketemu kakakku. Dia sudah pulang. Dulu waktu kecilkan kamu selalu bilang mau jadi manten sama kakakku.”
“Ah, kamu Na. Semua kenangan masa kecil kamu ingat semua. Jadi Mas Azzam sudah pulang?”
“Iya. Itu di mobil.”
“Wah keren sudah punya mobil.”
“Itu mobil orang. Ayo!” Husna setengah memaksa. ”Yuk.”
Zumrah dan Husna menyapa ibu gemuk itu lalu bergegas ke mobil.
”Assalamu’alaikum Bu Nafis, Lia dan Mas Azzam.” Sapa Zumrah pelan.
”Wa ’alaikumussalam.” Jawab Bu Nafis, Lia dan Azzam hampir bersamaan.
Mobil kembali berjalan. Dari kaca spion di dalam mobil sekilas Azzam melihat wajah Zumrah. Wajah yang murung dan mengguratkan kesedihan. Azzam membawa mobilnya terus ke barat sampai di perempatan Baron. Lalu belok kanan. Sampailah di kawasan Sriwedari. Azzam lalu membawa mobilnya ke arah jejeran toko-toko buku loakan. Di sela-sela toko buku loakan ada sebuah warung makan kecil. Warung itu milik ibu tua namanya Mbok Yem.
Tepat di depan warung itu mobil Azzam berhenti dan semua penumpangnya turun. Azzam mengamati took toko loakan dengan hati bahagia luar biasa. Rasa bahagia yang tidak bisa dilukiskan dengan kata-kata. Ia juga punya kenangan indah di sebuah toko buku itu. Dulu waktu masih SD ia memang sering diajak ayahnya ke toko loakan itu untuk mencari buku-buku pelajaran bekas yang masih bisa dipakai. Ia sangat bersemangat memilih buku-buku pelajaran bekas.
Dengan buku-buku bekas itulah ia bisa meraih prestasi yang baik.
Tak hanya itu, ia juga sering minta pada ayahnya untuk membeli majalah Bobo. Untuk buku dan masalah baca membaca ayahnya memang tidak pernah berpikir panjang mengeluarkan uang. Sejak SD ia sudah keranjingan membaca. Lain dengan Husna, waktu SD sampai SMP ia lebih suka main dan dolan dengan teman-temannya.
Itu dulu, sekarang Husna sudah 180 derajat berubah. Sekarang Husna adalah predator buku, pelahap buku yang dahsyat. Hampir buku apa saja yang diberikan kepada Husna pasti habis dibacanya. Kecuali buku berbahasa Arab yang Husna tidak tahu artinya.
”Warung ini tempat aku dan ayahmu dulu sering makan bersama ketika ayahmu beli buku-buku loakan untuk dibacabaca. Sering kali dulu juga mengajak anak anak.” Kata Bu Nafis mengenang masa lalunya.
“Iya Bu saya masih ingat.” Sahut Azzam. ”Semoga tempat penuh kenangan ini tidak hilang.” “Ya nggak lah Bu. Masak hilang.”
“Bisa saja Zam, kalau dibuang sama pemerintah kan bisa hilang.”
“Iya bener juga.”
“Kau mau pesan apa Zam?” “Aku ikut ibu saja.”
“Semua ikut ibu?”
Husna, Lia dan Zumrah menganggukkan kepala.
”Timlo lima Mbok. Es Tehnya juga lima.” Kata Bu Nafis pada Mbok Yem yang duduk seperti menunggu aba aba. Mbok Yem langsung bangkit dari duduknya dan meracik pesanan pembelinya.
”Mungkin aku bunuh diri saja!” Kata Zumrah serak. Semua yang mendengar kaget dibuatnya.
”Aduh Nduk, jangan! Itu dosa besar! Bisa masuk neraka selamanya kamu nanti!” Ucap Bu Nafis seketika.
”Apa yang bisa kami bantu untuk menghilangkan keputusasaanmu Zum?” Lirih Husna.
”Aku tak tahu. Aku seperti tidak punya siapa-siapa Na. Aku merasa seluruh keluargaku membenciku, menginginkan kematianku! Hiks... hiks...” Serak Zumrah tersedu.
Kau punya kami Zum. Aku kan sudah bilang sama kamu agar jika ada apa-apa temuilah aku di radio. kamu malah menghilang entah ke mana. Zum, aku sudah cerita ke ibumu. Ibumu sudah memaafkanmu dan juga adik adikmu. Mereka menginginkan kamu kembali Zum.
Hanya pamanmu saja yang masih marah. Itu kalau kamu mohon maaf dan menangis di kakinya juga pasti akan luluh.” Dengan penuh cinta Husna menenangkan dan membesarkan hati Zumrah.
”Benarkah ibu sudah memaafkanku?” “Demi Allah Zum. Iya.”
“Tapi aku tak pantas dimaafkan Na. Aku khilaf lagi. Aku sepertinya sangat susah keluar dari lumpur setan ini. Setelah ketemu denganmu di pesantren aku ke Jogja. Dan di sana, maaf, aku kepergok germoku lagi. Aku tak berkutik. Aku dipaksanya melakukan maksiat lagi.
Meskipun aku sedang hamil Na. Sudah kujelaskan dia tidak ambil peduli. Aku diancam akan dibunuhnya jika tidak mau Na! Aku harus bagaimana?”
“Kalau kamu ingin bersih, kamu harus tidak lagi dekatdekat dengan dunia itu Zum! Kenapa pula kamu ke Jogja? Pasti kan juga ke daerah yang dikenal mereka dan kamu kenal tho?”
“Iya Na. Aku memang bingung saat itu. Aku akhirnya ke kos-kosan temanku. Kok pas germo itu ada di sana!”
“Begini saja Zum. Aku sarankan kamu pulang saja ke Sraten. Hidup sama keluargamu itu lebih aman.”
“Aku malu Na.”
“Terserah kamu Zum kalau begitu! Mau bunuh diri ya bunuh diri sana! Dulu kamu melakukan maksiat itu tak pernah malu! Ini untuk kebaikanmu, yang ini tidak maksiat malah malu!” Husna jengkel.
Zumrah diam. Ia tahu Husna marah.
”Zum anakku, kalau kamu mau, ibu akan menemanimu menemui ibumu. Dia pasti senang menerima kedatanganmu. Orang-orang Sraten masih banyak yang sayang padamu kok Nduk.”
Zumrah menghela nafasnya. Ia memandang Bu Nafis yang mengelus-elus kepalanya.
“Aku khawatir jika kedatanganku menerbitkan kembali amarah ibuku. Aku tahu dosaku terlalu besar.”
Menu yang dipesan sudah siap. Mbok Yem mengeluarkan nasi Timlo lima pasang. Nasi putih dan sayur Timlonya yang mantap rasanya. Di Solo, selain nasi Timlo, makanan khas yang juga sangat dikenal di antaranya adalah nasi liwet, thengkleng, soto lembu, sate buntel, bakso Solo, garang asem, cabuk rambak, pecel ndeso, gado-gado, tahu kupat, nasi gudangan dan nasi sambal tumpang. Itu semua adalah jenis makanan yang sangat dirindukan oleh Azzam. Karena yang seperti itu di Cairo tidak ada. Kalau pun ada yang mencoba membuatnya rasanya pasti beda. Sebab bumbunya tidak sama.
Sesaat masalah Zumrah tidak dibicarakan. Semua diam menikmati hidangan masing-masing. Azzam masih bingung dengan apa yang baru saja didengarnya. Ia sama sekali tidak tahu apa masalah yang mendera Zumrah sebenarnya. Husna tidak cerita banyak padanya.
Dan ketika ia sholat di masjid atau ronda orang-orang juga tidak banyak membicarakannya. Yang ia tahu Kang Paimo pernah cerita Pak Masykur ayah Zumrah meninggal karena serangan jantung akibat bertengkar dengan Zumrah. Dan Zumrah diusir dari rumah.
Setelah itu tidak pernah kembali. Bahkan di hari pemakaman ayahnya juga tidak kembali.
”Bagaimana Zum?” Tanya Husna selesai makan.
Zumrah diam. Ia gamang mau mengambil jalan yang mana. Jalan pulang atau jalan pengembaraan panjang yang gelap dan tidak tahu mana ujungnya. Jalan pulang adalah jalan yang ia inginkan, tapi entah kenapa jalan yang gelap itu seperti telah begitu akrab dengannya. Jalan yang selama ini ia lalui dengan darah dan air matanya.
”Mbak Zum, sebagaimana orang untuk jahat dan berbuat dosa perlu keberanian, perlu nyali, maka orang untuk baik dan berbuat benar juga perlu keberanian, perlu nyali yang kuat!” Lia menguatkan.
Azzam yang mendengar kata-kata adiknya itu jadi kagum. Ia heran dari mana adiknya itu mendapat ilham untuk mengatakan kalimat yang dalam maknanya itu.
”Baiklah akan aku coba untuk pulang. Aku ikut kalian!” Ucap Zumrah serak. Husna langsung maju memeluk sahabatnya itu.
”Bantu aku untuk kuat ya Na. Aku masih sangat rapuh Na.” Pinta Zumrah.
”Tenanglah Zum, jika kamu merasa tidak punya siapa siapa, maka kamu masih punya Allah.”
Mereka lalu naik mobil dan bergerak ke dukuh Sraten, Kartasura.
Azzam bertemu kembali dengan Zumrah. Teman Husna waktu masih kecil. Zumrah yang dulu bersama Husna sering main ke rumah dan sering main petak umpet dengannya. Zumrah yang dulu oleh anak anak yang ngaji di masjid sering dijodohkan dengannya. Zumrah yang pernah bilang ke ibuibu di Warung Bu War bahwa ia mau jadi manten dengan kak Azzam saja. Ah masa kecil yang indah itu telah berlalu! Ia kini bertemu Zumrah dalam keadaan yang jauh dari bayangannya.
Dari pembicaraan di warung Mbok Yem tadi sedikit banyak ia bisa meraba apa yang dilakukan dan dialami Zumrah selama ini. Namun ia tidak mau berprasangka yang tidak-tidak. Sampai di rumah ia yakin Husna akan menjelaskan semuanya.
0 komentar:
Posting Komentar