17 PERTEMUAN YANG MENGGETARKAN
Hari berikutnya Fadhil boleh dibawa pulang. Untuk membayar biaya rumah sakit, Azzam harus merelakan uang hasil kerja kerasnya berjualan bakso. Begitu Fadhil sampai di Mutsallats, Azzam langsung pergi ke Abbasea. Tujuannya satu, yaitu ke kantor mabahits mencari Letnan Kolonel Hosam Qatimi. Ia mau minta pertanggung jawaban. Sesampainya di sana semua pertugas keamanan di sana tak ada yang merasa mengenal nama Hosam Qatimi. Dan ia memang sama sekali tidak melihat Hosam Qatimi dan anak buahnya di sana.
"Maaf, tidak ada nama Hosam Qatimi di sini. Kamu salah alamat, Orang Indonesia!" Ucap seorang petugas berpakaian seragam persis dengan seragam Hosam Qatimi.
Azzam meninggalkan kantor itu dengan perasaan marah dan kesal. Marah, karena ia merasa dipermainkan oleh Letnan Kolonel itu. Dan kesal, karena meskipun ia dipermainkan, ia tidak bisa berbuat apa-apa kecuali pasrah, menerima yang sudah terjadi. Ya sudahlah. Ia tidak punya kekuatan untuk mengusut apalagi sampai memaksa Letnan Kolonel itu bertanggung jawab. Ia hanya mengatakan dalam hati bahwa kezaliman sekecil apapun akan ada hisabnya kelak. Biarlah pengadilan Allah kelak yang memutuskan.
Ia melangkah pergi. Di luar gerbang ia berpapasan dengan sedan Fiat putih yang dikendarai oleh Furqan. Ia tidak tahu yang mengendarai mobil itu Furqan. Sebab ia memang tidak memperhatikan. Furqan pun tidak tahu kalau yang baru saja disimpanginya itu adalah Azzam teman satu pesawat saat berangkat ke Mesir sembilan tahun yang lalu.
Azzam melangkahkan kakinya menuju Mahattah Abasea. Ia mau mencari bus ke Sayyeda Zaenab. Kembali belanja daging sapi. Ia harus membuatkan bakso untuk Bu Faizah yang punya hajatan syukuran. Syukuran menempati rumah baru. Sudah satu bulan yang lalu Bu Faizah pesan padanya. Ia harus menepatinya. Meskipun sebenarnya ia ingin istirahat.
Sementara ia melaju di atas bus menuju Sayyeda Zaenab, Furqan telah berada di salah satu ruang kantor yang baru saja didatangi Azzam. Furqan berbincang bincang dengan seorang lelaki gagah berkulit putih bersih. Lelaki setengah baya itu memakai kemeja biasa. Tangannya biasa, tidak terlihat begitu kekar. Ia lebih mirip direktur sebuah perusahaan daripada anggota Mabahits Amn Daulah.
"Bagaimana kejadiannya?" tanya lelaki itu.
Furqan lalu menjelaskan dengan detil segala hal yang diala -minya di hotel. Lelaki itu mendengarkan dengan sek sama sambil memandangi wajah Furqan lekat-lekat. Begitu Furqan selesai bercerita, lelaki itu bertanya,
"Jadi penjahat itu menamakan dirinya Miss Italiana?" "Ya," jawab Furqan.
"Baiklah, seperti janjiku dulu. Aku akan membantumu agar kau nyaman belajar di Mesir ini. Tapi terus terang, ini kasus yang cukup rumit. Perlu kerja keras. Terus terang, aku juga akan minta bantuan beberapa anak buahku. Dan terus terang, mereka perlu uang lelah."
Furqan langsung paham apa yang dimaksudkan lelaki yang menduduki jabatan menentukan dan sangat disegani kawan-kawan dan anak buahnya itu.
"Baiklah, kolonel, saya akan kasih seribu pound jika berhasil menangani kasus ini."
"Itu untuk anak buahku. Lha yang untuk aku?" "Itu sudah termasuk untuk kolonel."
"Wah kayaknya tidak bisa. Aku tak sanggup, kalau cuma segitu. Jika kami berhasil mengatasi ingatlah nominal 200.000 USD yang seharusnya kau keluarkan."
Furqan diam sesaat. Ia menghitung segala yang ia miliki. Ia tidak ingin minta uang ke Tanah Air. Uang di rekeningnya masih seribu dollar, dan itu ia cadangkan untuk beli tiket pu lang setelah sidang tesis magisternya . Kalau seribu dollar ia lepas berarti untuk pulang ia harus minta kiriman. Tiba-tiba ia teringat mobilnya. Mobil Fiat putihnya yang kondisinya ma sih sangat bagus.
"Baiklah kolonel, bagaimana kalau mobil Fiat saya?" "Kau mau memberiku hadiah mobil?"
"Ya, jika kolonel berhasil. Mobil Fiat saya di depan itu akan menjadi milik kolonel."
"Boleh saya lihat mobilnya, saya tidak mau mobil rongsokan."
"Mari kita lihat kolonel."
Keduanya lalu keluar melihat mobil Fiat putih. Sang kolonel melihat dengan teliti. Bahkan mencoba menyalakan mesin segala. Ia mengangguk -anggukkan kepala dan mengajak Furqan kembali masuk ke ruangannya.
"Baik, saya setuju. Saya akan bekerja keras menuntaskan kasus ini. Kau tenang-tenang sajalah belajar."
"Kapan laporannya bisa saya terima." "Paling lama satu minggu."
"Baiklah. Saya percaya pada kolonel. Saya pulang dulu. Mobil saya bawa dulu. Minggu depan mobil itu akan jadi milik Kolonel Fuad, jika saya telah melihat penjahat itu tertangkap dan meringkuk dalam penjara."
"Insya Allah."
"Bagaimana keadaan kakakmu Dik?" Tanya Tiara pada Cut Mala. Saat itu hanya mereka berdua yang ada di dalam rumah. Yang lain sedang kuliah. Mereka berdua duduk di sofa sambil makan kwaci. Di Mesir makan kwaci adalah salah satu budaya yang sangat merakyat.
"Sudah baik. Sudah dibawa pulang. Dia masih perlu istirahat beberapa hari," jawab Cut Mala.
"Jadi tentang yang aku sampaikan di Hadiqah itu belum kamu sampaikan kepadanya?"
"Sudah saya sampaikan lewat telpon. Sebelum Kak Fadhil sakit. Kak Fadhil minta agar aku menjelaskannya panjang lebar secara langsung, tidak lewat telpon. Kami sudah janjian mau bertemu di Masjid Nuri Khithab. Namun manusia hanya bisa berencana sedangkan yang menentukan adalah Tuhan. Belum sempat bertemu Kak Fadhil sudah sakit duluan. Jadinya saya belum menjelaskan dengan detil. Dan otomatis Kak Fadhil belum memberikan saran atau masukan."
"Kau tahu kira -kira kenapa kakakmu minta penjelasan panjang lebar?" Tiara penasaran. Ada secercah cahaya harap an di hatinya. Ia berharap bahwa Fadhil memang menaruh perhatian padanya, bahkan menaruh hati padanya.
"Saya tidak tahu persis, Kak. Tapi memang kakak saya sering begitu. Seringkali jika saya minta saran, minta ketemu langsung untuk menjelaskan dengan detil panjang lebar."
"Kalau kau menemuinya hari ini dan menjelaskan panjang lebar tentang yang aku hadapi bisa tidak Dik? Nanti malam ayahku mau menelpon lagi. Kemarin beliau menelpon dan aku janjikan nanti malam. Sampai sekarang aku belum punya pegangan untuk mengambil sikap. Tolonglah Dik."
"Tapi kakak masih belum sehat benar Kak. Apa tidak bisa menunggu dua atau tiga hari lagi?"
Tiara menghela nafas. Ia memejamkan kedua mata. Haruskah ia menjelaskan lebih dalam tentang perasaannya yang selama ini ia simpan di dalam dada kepada Cut Mala? Tak terasa matanya basah. Airmatanya tanpa bisa ia bendung keluar perlahan membasahi pipi. Cut Mala menangkap dengan jelas yang terjadi pada kakak kelasnya itu.
"Kak Tiara menangis? Maafkan saya Kak, jika katakata saya tidak berkenan." Lirih Cut Mala.
"Tidak apa-apa Dik. Kakak hanya merasa berat meresapi masalah ini. Kakak ingin segera jelas. Kakak ingin segera konsentrasi ujian. Hari -hari ini kakak sulit tidur. Tapi kau memang benar. Dua hari lagi tidak lama. Atau kakak akan ambil keputusan tanpa perlu saran dan penjelasan dari kakakmu. Suatu saat nanti kamu akan tahu kenapa kakak menangis." Jawab Tiara sambil tetap memejamkan mata.
Cut Mala diam . Dari kalimat yang disamp aikan Tiara, ia bisa menangkap bahwa kakak kelasnya itu memendam sesua tu. Ia hanya bisa meraba bahwa Tiara susah untuk mengambil keputusan karena kelihatannya Tiara mengharapkan kakak nya, Fadhil. Namun Cut Mala tidak mau terlalu jauh menduga dan berprasangka. Bukankah sebagian pra-sangka adalah dosa? Untuk menenangkan hati Tiara, ia berkata,
"Sore nanti saya akan menjenguk Kak Fadhil di rumahnya. Saya akan melihat keadaannya, jika mau mungkinkan saya akan jelaskan semuanya padanya."
Mendengar kalimat itu Tiara langsung membuka mata. Ada binar bahagia di wajahnya.
"Benarkah Dik? Tolong ya Dik, jelaskan pada kakakmu, usahakan!" tukas Tiara penuh harap.
"Insya Allah Kak. Sekali lagi jika keadaan memungkinkan."
"Semoga memungkinkan."
Melihat reaksi Tiara, Cut Mala memiliki sedikit petunjuk bahwa kakak kelasnya itu menaruh hati pada kakak kandungnya. Ia akan berusaha menjelaskan masalah kakak kelasnya itu pada kakak kandungnya. Namun ia tidak akan menceritakan segala petunjuk yang ia dapat bahwa Tiara diam -diam menaruh hati pada kakaknya. Ia ingin semuanya berjalan alamiah. Ia akan menceritakan apa adanya persis seperti yang diceritakan Tiara padanya di Hadiqah Dauliyah.
Dari Pasar Sayyeda Zaenab Azzam naik bus 65. Ia memilih duduk di bangku paling belakang. Karena barang bawa annya agak banyak. Begitu bus merangkak berjalan, Azzam mulai memejamkan mata. Rasa kantuknya tak bisa ia tahan. Sepanjang perjalanan ia tidur. Pulas. Bahkan ketika bus yang ditumpanginya telah memasuki kawasan Nasr City ia tak juga bangun.
Bis 65 itu melintas di depan Masjid Ar Rahmah . Di sebuah halte tak jauh dari situ bus berhenti menurunkan dan menaikkan penumpang. Seorang penumpang turun, dan seorang gadis berjilbab putih naik. Gadis itu membayar ongkos. Lima puluh piaster. Gadis itu mencaricari tempat duduk. Semua telah terisi. Kecuali satu kursi di bagian belakang. Tepat di samping Azzam yang sedang pulas tidur. Gadis itu ragu untuk duduk. Sang kondektur mempersilakan untuk duduk. Akhir nya gadis itu duduk.
Azzam yang sedang tidur sama sekali tidak sadar, ada seorang gadis yang duduk di sampingnya. Ia sangat pulas. Wajah lelahnya tergurat jelas. Gadis itu memperhatikan wajah Azzam.
"Benar kata kakak, dia seorang pekerja keras. Wajahnya ada -lah wajah lelah pekerja keras," kata gadis itu dalam hati. Gadis itu tak lain adalah Cut Mala, yang hendak menjenguk Fadhil kakaknya.
Sampai di ENPI, kondektur bus berteriak keras, "Enpi! Enpi Enpi!"
Azzam terbangun. Ia mengucek -ucek kedua matanya. Cepat-cepat ia melihat ke jendela. Ia ingin tahu sampai di mana dirinya sebenarnya. Begitu melihat gedung Enpi ia lega. Ia tidak kebablasan. Ia berusaha keras menahan kantuknya. Ia tidak mau ketiduran dan kebablasan sampai akhir terminal. Ia harus turun di halte Mutsallats. Ia menggerak-gerakkan kepa lanya yang pegal. Ia melihat ke depan dan ke sampingnya. Ia baru sadar ada seorang gadis duduk tepat di sampingnya. Ia terperanjat.
"Mala ya?" lirihnya.
Gadis itu memandang ke arahnya dengan tersenyum. Kedua tangannya menelungkup di dada. Isyarat mengulurkan salam.
"Iya Kang Azzam. Dari belanja ya Kang?"
"Iya seperti biasa. Belanja kacang kedelai di Sayyeda Zaenab. Mala mau ke mana? Ke Mutsallats ya?"
"Iya Kang. Mau nengok Kak Fadhil."
"Oh iya. Insya Allah kondisi Fadhil sudah baik kok. Jangan cemas."
"Ya semoga segara pulih seperti sedia kala. Sebentar lagi kan mau ujian. Saya kuatir kalau mengganggu ujiannya."
"Jangan kuatir. Kakakmu itu termasuk orang cerdas yang bisa meresapi soal ujian dengan baik. Dia selalu naik tingkat dengan predikat jayyid tiap tahun. Semoga sakitnya kali ini menjadi penebus dosanya sehingga ia bisa lulus ujian akhir dengan nilai terbaik."
"Amin."
Keduanya lalu diam. Azzam tidak menemukan tema untuk dibicarakan. Demikian juga Cut Mala. Di samping itu rasa segan menghalangi mereka berdua untuk terus berbicara.
Cut Mala sangat segan pada Azzam yang sangat dihormati oleh kakaknya. Cut Mala juga tahu jika selama ini kakaknya sering mendapat banyak bantuan dari orang yang duduk di sam-pingnya. Azzam segan pada Cut Mala, karena prestasi dan pesonanya. Ia sudah sering mendengar prestasi-prestasi nya. Tahun pertama di Al Azhar gadis itu langsung lulus naik tingkat dua dengan predikat jayyid jiddan. Dan mendapat penghargaan dari Bapak Atase Pendidikan. Suaranya yang halus sedikit menggetarkan syaraf-syarafnya.
Ia jadi teringat Hafez. Ia bisa membayangkan jika Hafez yang duduk di tempatnya saat itu, seperti apa rasa gembira nya. Segera ia mencegah hatinya untuk merasakan simpati berlebihan pada gadis Aceh itu. Ia teringat tiga adik perem puannya di Indonesia. Husna, Lia dan Sarah. Ia harus menghormati Cut Mala. Ia ingin orang lain menghormati tiga adiknya.
Bus terus melaju. Sampai di Mutsallats. Bus berhenti. Cut Mala turun. Azzam menurunkan barang-barangnya. Cut Mala menunggu Azzam. Azzam meminta kepada Cut Mala agar duluan. Cut Mala langsung melangkah meninggalkan Azzam. Azzam istirahat sesaat. Ia melihat ke arah penjual buah. Ia ingin beli jeruk Abu Surrah. Ia memanggul kacang kedelainya. Tangan kanannya menenteng plastik hitam berisi bumbu. Ia berhenti di tukang buah dan membeli jeruk satu kilo. Lalu ia berjalan pelan-pelan ke arah rumahnya. Cut Mala sudah tidak kelihatan. Mungkin ia telah masuk flat-dan bertemu dengan kakaknya.
Di pintu gerbang, Nanang telah menunggunya.
"Kedelainya biar saya angkat Kang." Nanang menawarkan diri. Azzam yang sangat lelah menurunkan karungnya yang berisi kedelai. Nanang langsung memanggulnya. Mereka berdua menaiki tangga.
"Ada siapa saja di rumah Nang?" tanya Azzam.
"Semua ada Kang," jawab Nanang sambil tetap menaiki tangga satu per satu.
"Hafez juga ada?"
"Ya ada. Dia pulang jam satu siang tadi. Dia sempat marah-marah karena tidak diberitahu kalau Fadhi masuk ru mah sakit."
"Si Mala, adiknya Fadhil sudah masuk?"
"Sudah Kang. Dia yang tadi memberitahu kalau Sampeyan sedang berjalan. Katanya tadi satu bus Kang."
"Iya."
Azzam membayangkan bahwa telah terjadi pertemuan antara Hafez dan Cut Mala. Ia bisa membayangkan seperti apa kira -kira perasaan Hafez. Ia pasti sedang panas dingin. Hanya ia yang tahu. Tentang Cut Mala, ia yakin gadis itu biasa-biasa saja. Sebab kepentingan gadis itu sangat jelas, yaitu menjenguk kakaknya.
Saat Azzam masuk flat, yang ada di ruang tamu hanya Fadhil dan Cut Mala. Keduanya sedang berbincang-bincang. Ia mendengar suara minuman diaduk. Ia masuk dapur. Hafez sedang membuat teh.
"Jangan sampai kurang manis. Dan jangan sampai terlalu manis lho Fez," ujar Azzam sambil meletakkan barang yang dibawanya. Nanang meletakkan karung di tempat biasanya, pojok dapur.
"E e iya Kang," jawab Hafez gugup. Wajahnya memerah. "Jangan lupa itu ada buah. Setelah mengantar minuman. Antar juga buahnya ya. Setelah itu kembali ke kamar. Jangan menganggu kenyamanan pembicaraan kakak beradik itu ya." Kata Azzam santai sambil berlalu merunggalkan Hafez yang bersiap dengan dua gelas di atas nampan. Azzam masuk ke kamarnya. Nanang melakukan hal yang sama. Sementara Ha fez membawa nampan ke ruang tamu dengan tangan bergetar.
"Wah jadi merepotkan Kak Hafez," kata Cut Mala kala melihat Hafez datang membawa minuman.
"Ah tidak kok, sudah ada," jawab Hafez dengan nada sebiasa mungkin. Ia tidak ingin tubuhnya yang gemetar dan panas dingin diketahui oleh Fadhil maupun Cut Mala
"Mari silakan diminum," Hafez mempersilakan. "Terima kasih Kak," sahut Cut Mala sambil menatap
wajah Hafez. Pada saat yang sama Hafez juga sedang meman dang ke arah Cut Mala. Cut Mala tersenyum lalu memandang kakak -nya.
"Kak Fadhil, Kak Hafez kan orang Palembang ya. Berarti dia bisa bikin empek -empek ya?"
Fadhil menjawab dengan tersenyum, "Ya iyalah. Dia jagonya kalau bikin empek -empek. Kalau mau dia bisa bisnis empek -empek di Cairo ini, tapi dia tidak mau. Katanya takut ku-liahnya terganggu."
Hafez yang mendengar dirinya dipuji Fadhil di hadapan Cut Mala merasa sangat berbahagia. Kedua kakinya seperti tidak menginjak bumi. Ia seperti melayang. Ia segera mengua sai diri.
"Sebentar ya," kata nya sambil melangkah ke dapur. Ia mengambil buah yang masih ada di dalam kantong plastik, meletakkannya di atas piring dan membawa ke ruang tamu.
"Iya keluarkan semuanya Fez. Nanti kalau tidak habis biar dibawa pulang Mala," ujar Fadhil santai.
"Iya nggak apa -apa. Siapkan sekalian kantong plastiknya biar nanti saya bawa pulang," tukas Cut Mala santai.
Hafez kembali mencuri pandang ke wajah Cut Mala . Ia seperti tersengat listrik. Ada perasaan sangat indah yang sa ngat susah dilukiskan. Kakinya seperti mau lumpuh . Keringat dinginnya keluar. Wajahnya memerah. Cepat-cepat ia memba likkan badan.
"Mau ke mana Fez? Masih ada lagi?" celetuk Fadhil. Hafez sudah menguasai keadaan, ia langsung membalik
kan badan dan menjawab dengan guyonan,
"Masih. Di dapur masih ada banyak buah. Mala mau bawa?"
"Boleh. Masih ada apa aja?" Spontan Hafez menjawab,
"Kubis, lombok, kentang, terong, wortel dan buncis. Mau?"
"Ah Kak Hafez punya rasa humor juga ya. Kalau itu sih di kulkas kami sudah penuh. Berlebih malah. Terima kasih deh," tukas Cut Mala santai.
Hafez tersenyum. Ia punya kesempatan memandang Cut Mala lagi. Hatinya benar-benar bergetar. Tubuhnya panas dingin.
"Sama-sama," jawabnya seraya melangkah, langsung menuju kamar Azzam. Itu adalah pertemuan yang sangat mengesan dan menggetarkan jiwanya.
0 komentar:
Posting Komentar