1 SENJA BERTASBIH DI ALEXANDRIA
Di matanya, Kota Alexandria sore itu tampak begitu memesona. Cahaya mataharinya yang kuning keemasan seolah menyepuh atap-atap rumah, gedung-gedung, menara-menara, dan kendaraan-kendaraan yang lalu lalang di jalan. Semburat cahaya kuning yang terpantul dari riak gelombang di pantai menciptakan aura ketenangan dan kedamaian.
Di atas pasir pantai yang putih, anak-anak masih asyik bermain kejar-kejaran. Ada juga yang bermain rumah-rumahan dari pasir. Di tangan anak -anak itu pasir pasir putih tampak seumpama butir-butir emas yang lembut berkilauan diterpa sinar matahari senja.
Di beberapa tempat, di sepanjang pantai, sepasang muda mudi tampak bercengkerama mesra. Di antara mereka masih ada yang membawa buku-buku tebal di tangan. Menandakan mereka baru saja dari kampus dan belum sempat pulang ke rumah. Suasana senja di pantai rupanya lebih menarik bagi mereka daripada suasana senja di rumah. Bercengkerama dengan pujaan hati rupanya lebih mereka pilih daripada bercengkerama dengan keluarga; ayah, ibu, adik dan kakak di rumah.
Di mana-mana muda-mudi yang sedang jatuh cinta sama. Senja menjadi waktu istimewa bagi mereka. Waktu untuk bertemu, saling memandang, duduk berdampingan dan bercerita yang indah-indah. Saat itu yang ada dalam hati dan pikiran mereka adalah pesona sang kekasih yang dicinta. Tak terlintas sedikit pun bahwa senja yang indah yang mereka lalui itu akan menjadi saksi sejarah bagi mereka kelak. Ya, kelak ketika masa muda mereka harus dipertanggungjawabkan di hadapan Sang Pencipta Cinta. Dan jatuh cinta mereka pun harus dipertanggung jawabkan kepada-Nya: Di hadapan pengadilan Dzat Yang Maha Adil, yang tidak ada sedikit pun kezaliman dan ketidakadilan di sana.
Di matanya, Kota Alexandria sore itu tampak begitu indah.Ia memandang ke arah pantai. Ombaknya berbuih putih. Bergelombang naik turun. Berkejar kejaran menampakkan keriangan yang sangat menawan. Semilir angin mengalirkan kesejukan. Suara desaunya benar-benar terasa seumpama desau suara zikir alam yang menciptakan suasana tenteram.
Dari jendela kamarnya yang terletak di lantai lima Hotel Al Haram, ia menyaksikan sihir itu. Di matanya, Alexandria sore itu telah membuatnya seolah tak lagi berada di dunia. Namun di sebuah alam yang hanya dipenuhi keindahan dan kedamaian saja.
Sesungguhnya bukan semata -mata cuaca dan suasana menjelang musim semi yang membuat Alexandria senja itu begitu memesona. Bukan semata-mata sihir matahari senja yang membuat Alexandria begitu menakjubkan. Bukan semata-mata pasir putihnya yang bersih yang membuat Alexandria begitu menawan. Akan tetapi, lebih dari itu, yang membuat segala yang dipandangnya tampak menakjubkan adalah karena musim semi sedang bertandang di hatinya. Matahari keba hagiaan sedang bersinar terang di sana. Bunga bunga kesturi sedang menebar wanginya. Tembang tembang cinta menga lun di dalam hatinya, memperdengarkan irama terindahnya. Dan penyebab itu semua, tak lain dan tak bukan adalah seorang gadis pualam, yang di matanya memiliki kecantikan bunga mawar putih yang sedang merekah. Gadis yang di matanya seumpama permata safir yang paling indah.
Gadis itu adalah kilau matahari di musim semi. Sosok yang sedang menjadi buah bibir di kalangan mahasiswa dan masyarakat Indonesia di Mesir. Gadis yang pesonanya dika gumi banyak orang. Dikagumi tidak hanya karena kecantikan fisiknya, tapi juga karena kecerdasan dan prestasi-prestasi yang telah diraihnya. Lebih dari itu, gadis itu adalah putri orang nomor satu bagi masyarakat Indonesia di Mesir.
Dialah Eliana Pramesthi Alam. Putri satu-satunya Bapak Duta Besar Republik Indonesia di Mesir. Hampir genap satu tahun gadis itu tinggal di Mesir. Selain untuk menemani kedua orangtuanya, keberadaannya di Negeri Pyramid itu untuk melanjutkan S.2 -nya di American University in Cairo (AUC).
Belum begitu lama menghirup udara Mesir, gadis yang memiliki suara jernih itu langsung menunjukkan prestasinya. Kontan, ia langsung jadi pusat perhatian . Sebab baru satu bulan di Cairo, tulisan opininya dalam bahasa Inggris sudah dimuat di koran Ahram Gazzette. Opininya menyoroti peran Liga Arab yang mandul dalam memperjuangkan martabat anggota -anggotanya. Liga Arab yang tak punya nyali berha dapan dengan Israel dan sekutunya. Liga Arab yang hanya bisa bersuara, tapi tidak bisa berbuat apa -apa. Tulisannya rapi runtut, berkarakter, tajam dan kuat datanya. Orang dengan pengetahuan memadai, akan menilai tulisannya merupakan perpaduan pandangan seorang jurnalis, sastrawan dan diplomat ulung.
Karena opininya itulah ia langsung diminta jadi bintang tamu di Nile TV. Di layar Nile TV ia berdebat dengan Sekjen Liga Arab. Hampir seluruh masyarakat Indonesia di Mesir menyaksikan siaran langsung istimewa itu. Baru kali ini ada anak Indonesia berbicara di sebuah forum yang tidak sembarang orang diundang. Sejak itulah Eliana menjadi bintang yang bersinar di langit cakrawala Mesir, terutama di kalangan mahasiswa Indonesia.
Terhitung, gadis yang menyelesaikan S.l-nya di EHESS Prancis itu sudah tiga kali tampil di layar televesi Mesir. Sekali di NileTV. Dua kali di Channel 2. Wajahnya yang tak kalah pesonanya dengan diva pop dari Lebanon, Nawal Zoughbi, dianggap layak tampil di layar kaca. Selain karena ia memang putri seorang duta besar yang cerdas dan fasih berbahasa Inggris dan Prancis.
Eliana, Putri Pak Dubes itulah yang membuatnya berada di Alexandria dan tidur di hotel berbintang lima selama satu pekan ini. Meskipun ia sudah berulangkali ke Alexandria, namun keberadaannya di Alexandria kali ini ia rasakan begitu istimewa. Ia tidak bisa mengingkari dirinya adalah manusia biasa, bukan malaikat. Ia tak bisa menafikan dirinya adalah pemuda biasa yang bisa berbunga -bunga karena merasa dekat dan dianggap penting oleh seorang gadis cantik dan terhormat seperti Eliana. Gadis yang membuat matahari keba hagiaan sedang bersinar terang di hatinya.
Awalnya adalah Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) yang mengadakan acara "Pekan Promosi Wisata dan Budaya Indonesia di Alexandria". Beberapa acara pagelaran budaya digelar di Auditorium Alexandria University selama satu pekan. Selama itu juga ada promosi masakan dan makan an khas Indonesia. Ada empat makanan yang dipromosikan yaitu Nasi Timlo Solo, Sate Madura, Coto Makassar, dan Empek-empek Palembang. Dan Elianalah yang menjadi penanggung jawab promosi makanan khas Indonesia itu. Sementara ia, dikenal sebagai mahasiswa paling mahir memasak. Dan ia dikontrak KBRI untuk membuka stand Nasi Timlo Solo. Mulanya ia menolak. Sebab, dengan begitu ia harus meninggalkan bisnisnya membuat tempe selama semingu. Ia khawatir langganannya kecewa. Namun Putri Dubes itu terus mendesak dan memohon kesediaannya. Akhirnya ia luluh dan bersedia.
Sejak itulah hatinya berbunga -bunga. Sebab sebelum berangkat ke Alexandria ia sering ditelpon Eliana. Dan saat di Alexandria hampir tiap hari Eliana datang ke standnya untuk mengontrol, melihat-lihat, atau hanya sekadar untuk menga jaknya bicara apa saja.
"Aku salut Iho ada mahasiswa yang mandiri seperti Mas Insinyur." Puji Eliana. Hatinya tersanjung luar biasa.
Bagaimana tidak, gadis jelita itu seolah begitu menghormatinya. Ia dipanggil dengan panggilan "Mas Insinyur", bu kan langsung memanggil namanya, atau dengan kata ganti "kamu" atau "Anda". Orang-orang memang biasa memanggilnya "Mas Khairul", karena namanya Khairul Azzam, atau "Mas Insinyur" karena ia memang dikenal sebagai "Insinyur"nya dunia masak memasak di kalangan mahasiswa Indonesia di Cairo. Entah kenapa, mendengar pujian dari Eliana itu, ia merasakan kebahagiaan dengan nuansa yang sangat lain. Kebahagiaan yang belum pernah ia rasakan sebelumnya.
Ia tersenyum sendiri. Kedua matanya memandang ke arah pantai. Dua orang muda -mudi Mesir berjalan mesra menyusuri Pantai Cleopatra yang berada tepat di depan hotel.
Ia tersenyum sendiri. Entah kenapa tiba -tiba berkelebat pikiran, andai yang berjalan itu adalah dirinya dan Eliana. Alangkah indahnya.
Astaghfirullal! la beristighfar.
Ia merasa apa yang berkelebat dalam pikirannya itu sudah tidak dianggap benar.
Ia mengalihkan pandangannya jauh ke tengah laut Mediterania. Nun jauh di sana ia melihat tiga kapal yang tampak kecil dan hitam. Kapal-kapal itu ada yang sedang menuju Alexandria, ada juga yang sedang meninggalkan Alexandria. Sejak dulu Alexandria memang terkenal sebagai kota pelabuhan yang penting di kawasan Mediterania. Pela buhan utama Alexandria saat ini ada di kanan dan kiri kawasan Ras El Tin dan kawasan El Anfusi. Dua kawasan itu terletak di semenanjung Alexandria lama. Di ujung semenanjung itu berdiri dua benteng bersejarah Yaitu Benteng Qaitbai dan Benteng El Atta.
Dari jendela kamarnya ia bisa melihat Benteng Qaitbai itu di kejauhan. Kedua matanya kembali mengamati tiga kapal yang letaknya berjauhan satu sama lain. Ia edarkan pan dangannya ke kiri dan ke kanan. Laut itu terlihat begitu luas dan kapal itu begitu kecil. Padahal di dalam kapal itu mungkin ada ratusan manusia. Ia jadi berpikir, alangkah kecilnya manu sia. Dan alangkah Maha Penya -yangnya Tuhan yang menjinakkan lautan sedemikian luas supaya tenang dilalui kapal kapal berisi manusia. Padahal, mungkin sekali di antara manu sia yang berada di dalam kapal itu terdapat manusia -manusia yang sangat durhaka kepada Tuhan. Toh begitu, Tuhan masih saja menunjukkan kasih sayangNya. Ia jinakkan lautan, yang jika Ia berkehendak,Ia bisa menitahkan ombak untuk menenggelamkan kapal itu dan bahkan meluluh-lantakkan seluruh isi Kota Alexandria. Ia teringat firman-Nya yang indah,
"Tidakkah engkau memperhatikan bahwa sesungguhya kapal itu berlayar di laut dengan nikmat Allah, agar diperlihatkan-Nya kepadamu sebagian dari tanda-tanda kebesaran-Nya. Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat tanda- tanda kebesaranNya bagi setiap orang yang sangat sabar lagi banyak bersyukur." 1 1 OS. Luqman (Luqman) [311]: 3 1
Ia terus memandang ke laut Mediterania. Laut itu telah menjadi saksi sejarah atas terjadinya peristiwa peristiwa besar yang menggetarkan dunia. Perang besar yang berkobar karena memperebutkan cinta Ratu Cleopatra terjadi di laut itu. Pertemuan bersejarah yang diabadikan dalam Al-Quran an tara Nabi Musa dan Nabi Khidir, konon, juga terjadi di salah satu pantai laut Mediterania itu.
"Laut yang indah, penuh nilai sejarah," lirihnya pada dirinya sendiri. "Akankah aku juga akan mencatatkan sejarahku di pantai laut ini?" Ia berkata begitu karena nanti malam ada jadwal makan malam bersama seluruh staf KBRI di Pantai El Mumtazah. la yakin akan bertemu lagi dengara Eliana disana.
Matahari terus berjalan mendekati peraduannya. Sinarnya yang kuning keemasan kini mulai bersulam kemerahan. Ombak datang silih berganti seolah menyapa dan menciumi pasir-pasir pantai yang putih nan bersih. Terasa damai dan indah. Menyaksikan fenomena alam yang dahsyat itu Azzam bertasbih, "Subhanallah. Maha Suci Allah yang telah mencip takan alam seindah ini."
Ya, alam bertasbih dengan keindahannya. Alam bertasbih dengan keteraturannya. Alam bertasbih dengan pesonanya. Segala keindahan, keteraturan dan pesona alam bertasbih, menjelaskan keagungan Sang Penciptanya . Bertasbih, menyu cikan Tuhan dari sifat kurang. Keindahan senja sore itu menjelaskan kepada siapa saja yang menyaksikannya bahwa Tuhan yang menciptakan senja yang luar biasa indah adalah Tuhan Yang Maha Kuasa, Yang Maha Sempurna ilmu-Nya.
Siang malam, senja, dan pagi bertasbih. Matahari, udara. laut, ombak dan pasir bertasbih. Semua benda yang ada di alam semesta ini bertasbih, menyucikan asma Allah Semua telah tahu bagaimana cara melakukan shalat dan tasbihnya. Dengan sinarnya, matahari bertasbih di peredarannya. Dengan hembusannya udara bertasbih di alirannya. Dengan gelombangnya ombak bertasbih di jalannya. Semua telah tahu bagaimana cara menunjukan tidak ada Tuhan selain Allah Yang Maha Kuasa.
Keteraturan alam semesta, langit yang membentang tanpa tiang, pergantian siang dan malam, lautan luas membentang, gunung gunung yang menjulang, awan yang membawa air hujan, air yang menumbuhkan tanam-tanaman, proses penciptaan manusia sembilan bulan di rahim , binatang-bina tang yang menjaga ekosistem dan keteraturar-keteraturan lainnya, itu semua menuniukkan bahwa ada Dzat Yang Maha Kuasa dan Maha Sempurna. Dzat yang kekuasaan-Nya tidak ada batasnya. Dzat yang menciptakan itu semua. Dan Dzat itu adalah Tuhan Penguasa alam semesta. Dan jelas Tuhan itu hanya boleh satu adanya. Tak mungkin dua, tiga dan seterusnya. Tak mungkin.
Sebab, jika Tuhan itu lebih dari satu pastilah terjadi kerusakan di alam semesta ini. Sebab masing-masing akan merasa paling berkuasa. Masing-masing akan memaksakan keinginan Nya. Mereka akan berkelahi. Misalnya satu menghendaki ma tahari terbit dari timur, sementara yang satu menghendaki matahari terbit dari barat. Terjadilah perseteruan. Dan rusak lah alam.
Ternyata matahari terbit dari timur dan tenggelam di barat, dengan sangat teraturnya. Matahari tak pernah terlam bat terbit. Matahari juga tak pernah bermain main, belari-lari ke sana kemari di langit seperti anak kecil bermain bola atau petak umpet. Ia beredar di jalan yang ditetapkan Tuhan untuknya. Dan selalu tenggelam di ufuk barat tepat pada waktunya. Keteraturan ini menunjukkan, Tuhan Yang Menciptakan alam semesta ini adalah satu. Yaitu ‘Allah Wa Jalla, Tuhan Yang Maha Kuasa.
Tuhan yang menciptakan alam semesta ini, yang tak terbatas kekuasaan-Nya itu memang tak mungkin berjumlah lebih dari satu. Sebab seandainya Tuhan lebih dari satu, lalu mereka sepakat menciptakan matahari, misalnya. Maka ada dua kemungkinan di sana. Pertama, Tuhan yang satu menciptakan,sementara Tuhan yang lain berpangku tangan. Tidak berbuat apa -apa. Dengan begitu, bisa berarti bahwa Tuhan yang tidak berbuat apa apa itu tidaklah Tuhan yang berkuasa. Sia-sia saja ia jadi Tuhan. Sebab, pada saat matahari diciptakan ia tidak berperan menciptakannya. Ia menganggur. Sama seperti makhluk yang menganggur. Jadi ia bukan Tuhan dan tidak bisa disebutTuhan.
Atau kemungkinan kedua, Tuhan-tuhan itu bekerja sama menciptakan matahari. Matahari diciptakan dengan keroyok an. Jika demikian, jelas jelas mereka bukanlah Tuhan Yang Maha Kuasa. Sebab mereka lemah. Bagaimana tidak. Untuk menciptakan matahari saja mereka harus bekerja sama. Tidak bisa menciptakan sendiri. Kekuasaan-Nya tidak mutlak. Yang terbatas kekuasaanya berarti lemah dan tidak layak disebut sebagai Tuhan.
Jika Tuhan itu lebih dari satu, bisa saja terjadi pembagian tugas. Ada yang bertugas mencipta matahari, ada yang bertu gas mencipta bumi, ada yang bertugas mencipta langit dan seterusnya. Jika demikian, mereka bukan Tuhan Yang Maha Kuasa. Sebab pembagian tugas itu menunjukkan kelemahan, menunjukkan ketidak-mahakuasaan. Tuhan yang sesungguhnya adalah Tuhan Yang menciptakan dan menguasai seru sekalian alam. Tuhan yang menciptakan alam semesta ini dengan kekuasaan-Nya yang sempurna. Tuhan yang ilmu-Nya meliputi segala sesuatu. Dan yang memiliki sifat maha sem purna seperti itu hanya ada satu, yaitu Allah Swt. Dialah Tuhan yang sesungguhnya. Sebab tidak ada yang memprok lamirkan diri sebagai pencipta alam semesta ini kecuali hanya Allah Swt.
"Seandainya pada keduanya (di langit dan di bumi) ada tuhan-tuhan selain Allah, tentu keduanya telah binasa. Maha suci Allah yang memiliki ‘Arsy dari apa yang mereka sifatkan”2 2 QS. Al Anbiyaa’ (Nabi-nabi) [21]: 22
Pemuda bemama Khairul Azzam itu masih menatap ke arah laut. Matahari masih satu jengkal di atas laut. Sebentar lagi matahari itu akan tenggelam. Warna kuning keemasan bersepuh kemerahan yang terpancar dati bola matahari menampilkan pemandangan luar biasa indah. Ia jadi ingat sabda Nabi, ''Sessungguhnya Allah itu indah dan mencintai keindahan."
"Subhanallah !" Kembali ia bertasbih dalam hati.
Ia terus menikmati detik -detik pergantian siang dan malam yang indah itu. Cahaya matahari seperti masuk ke dalam laut yang perlahan menjadi gelap. Siang seolah olah masuk ke dalam perut malam. Matahari hilang tenggelam. Lalu perlahan bulan datang. Subhanallah. Siapakah yang mengatur ini semua? Siapakah yang mampu memasukkan siang ke dalam perut malam? Seketika azan berkumandang menjawab pertanyaan itu dengan suara lantang: Allaahu Akbar! Allaahu Akbar! Allah Maha Besar. Allah Maha Besar. Ya, hanya Allah Yang Maha Besar kekuasaan-Nyalah yang mampu memasuk-kan siang ke dalam perut malam. Dan memasukkan malam ke dalam perut siang.
"Tidakkah engkau memperhatikan, bahwa Allah memasukkan malam ke dalam siang dan memasukan siang ke dalam malam dan Dia menundukkan matahari dan bulan, masing-masing beredar sampai kepada waktu yang ditentukan. Sungguh Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan." 3 3 QS. Luqman ~Luqman) [31]: 29.
Malam mulai membentangkan jubah hitamnya. Lampulampu jalan berpendaran. Alexandria memperlihatkan sihirnya yang lain. Sihir malamnya yang tak kalah indahnya. Kelap kelip lampu kota yang mendapat julukan "Sang Pengantin Laut Mediterania" itu bagai tebaran intan berlian. Khairul Azzam menutup gorden jendela kamarnya. Ia bergegas untuk shalat di masjid yang jaraknya tak jauh dari hotel.
Saat tangannya menyentuh gagang pintu hendak keluar, telpon di kamarnya berdering. Ia terdiam sesaat. Ia menatap telpon yang sedang berdering itu sesaat dan terus membuka pintu lalu melangkah keluar. “Kalau dia benar-benar perlu, nanti pasti nelpon lagi setelah shalat. Apa tidak tahu ini saatnya shalat," lirihnya menuju lift.
Ia membenarkan tindakannya itu dengan berpikir bahwa datangnya azan yang memanggilnya itu lebih dulu dari datangnya dering telpon itu. Dan ia harus mendahulukan yang datang lebih dulu. Ia harus mengutamakan undangan yang datang lebih dulu. Apalagi undangan yang datang lebih dulu itu adalah undangan untuk meraih kebahagiaan akhirat. Padahal kehidupan akhirat itu lebih baik dan lebih kekal. 4 4 QS . Al A’la (Yang Paling tinggi) [871]: 17.
Saat pulang dari masjid, Azzam bertemu Eliana didepan pintu masuk lobby hotel. Melihat Azzam wajah Eliana tampak riang.
"Hei ke mana saja? Aku sudah mencari Mas Khairul ke mana-mana? Sudah dua puluh tujuh kali aku ngebel ke kamar Mas Khairul! Ada hal penting! Ayo kita bicara di lobby saja!" Eliana nerocos tanpa memberi kesempatan menjawab. Gadis berpostur tubuh indah itu berbalut kaos lengan panjang ketat berwarna merah muda dan celana jeans putih ketat. Balutan khas gadis -gadis aristokrat Eropa itu membuatnya tampak langsing, padat, dan berisi. Parfumnya menebarkan aroma bunga -bungaan segar dan sedikit aroma apel. Wajahnya yang putih dengan mata yang bulat jernih memancarkan pesona yang mampu menghangatkan aliran darah setiap pemuda yang menatapnya.
Azzam masih berdiri di tempatnya. Entah kenapa begitu ia mencium parfum yang dipakai Putri Pak Dubes itu ia mera sakan nafasnya sedikit sesak, jantungnya berdegup lebih kencang, dan ada sesuatu yang tiba -tiba datang begitu saja mengaliri tubuhnya.
"Lho kok diam saja, ayo Mas, kita bicarakan di lobby! Ini penting!" Eliana kembali mengajak Azzam masuk ke lobby hotel. Azzam tergagap. Ia mengangguk. Dan mau tidak mau Azzam mengikutinya. Sebab ia berada di Alexandria karena kontrak kerja dengannya.
"Mbak Eliana sudah shalat?" tanya Azzam pelan. Ia mencoba menguasai dirinya, yang sesaat sempat oleng. Ia memanggilnya 'Mbak', meskipun ia tahu Eliana lebih muda tiga tahun dari dirinya. Tak lain, hal itu karena rasa hormatnya pada gadis itu sebagai Putri Pak Duta Besar.
"Ah shalat itu gampang! Yang penting itu. Ada tugas penting untuk Mas Khairul malam ini. Tugas terakhir. Aku janji!" sahut Eliana nyerocos tanpa rasa dosa karena menggampangkan shalat.
“Tu... tugas?"
“Ya."
"Untuk saya!?"
"Ya, untuk siapa lagi kalau bukan untuk Mas Khairul?" "Tugas dari siapa?"
"Ya dariku."
"Dari Mbak?" "Iya."
Azzam menghirup nafas. Detak jantungnya sudah normal. Ia sudah menguasai dirinya sepenuhnya. Dengan mimik serius ia berkata,
"Sebentar Mbak, bukankah tugas saya sudah selesai tadi sore Mbak? Dengan berakhirnya acara Pekan Promosi Wisata tadi sore berarti tugas saya kan sudah selesai. Dalam kesepakatan yang kita buat, saya bertugas membuat dan menjaga Nasi Timlo Solo selama enam hari. Dari jam sepuluh pagi sampai jam empat sore. Menunggu stand enam jam setiap hari. Berarti tugas saya sudah selesai dong. Jika ada tugas lagi ini jelas di luar kesepakatan. Jelas saya tidak bisa menerimanya Mbak, maaf! Apa hubungannya Mbak dengan saya sehingga dengan seenaknya Mbak memberi tugas kepada saya!? Apa saya bawahan Mbak!? Maaf saya tidak bisa Mbak!"
Meskipun ia di kalangan mahasiswa Cairo dikenal sebagai penjual tempe, ia tidak mau diperlakukan seenaknya. Ia sangat sensitif terhadap hal-hal yang terasa melecehkan harga diriya. Memberi perintah seenaknya kepadanya adalah bentuk dari penjajahan atas harga dirinya. Azzam adalah orang yang sangat menghargai kemerdekaannya sebagai manusia yang hanya mengham-ba kepada Allah Swt.
Eliana yang pernah sekian tahun tinggal di Prancis agaknya langsung menyadari kekhilafannya. Ia buru buru meralat ucapannya dan meminta maaf.
"Maafkan aku Mas Khairul. Mas benar. Sesuai dengan kesepakatan kontrak kita, tugas Mas sudah selesai. Tetapi ini ada masalah penting yang sedang aku hadapi. Dan aku rasa yang bisa membantu adalah Mas. Baiklah, ini di luar kontrak. Ini antara aku dan Mas sebagai sahabat. Ya sebagai sahabat yang harus saling tolong menolong. Saling bantu membantu.
"Begini, acara makan malam nanti jam delapan di Pantai El Muntazah. Aku sudah pesan menunya ke Omar Khayyam Restaurant. Masalahnya, dalam acara makan malam nanti secara mengejutkan kita kedatangan Bapak Duta Besar Indonesia untuk Turki yang datang tadi siang. Beliau teman kuliah ayahku di FISIPOL UGM dulu. Ayah ingin menyuguh kan menu istimewa untuk -nya. Menu yang mengingatkan akan kenangan masa lalu. Menu itu adalah nasi panas dengan lauk ikan bakar dan sambal pedas khas Jogja. Ayah dulu sering makan menu itu bareng beliau di Pantai Parangtritis. Sebelum Maghrib tadi ayah memintaku untuk menyiapkan menu ini. Aku pusing tujuh keliling. Yang jelas aku sudah memerintahkan Pak Ali, sopir KBRI itu untuk mencari ikan yang segar. Ikan apa saja yang penting layak dibakar. Pak Ali membeli enam kilo dan sekarang sudah ada di dalam kulkas di kamamya. Dan aku datang menjumpai Mas untuk minta tolong kepada Mas menyiapkan ikan bakar itu. Mas Insinyur, tolong ya? Please, ya?" Kata Eliana dengan nada memelas.
Azzam diam saja. Sesaat lamanya dia diam tidak menjawab apa -apa.
"Sungguh Mas, tolong aku ya. Please tolonglah. Aku janji nanti Mas akan aku kasih hadiah spesial. Please tolong aku. Ini masalah kredibilitasku dihadapan ayahku. Kalau ngurusi ikan bakar saja aku tidak bisa, beliau akan susah percaya pada kredibilitasku mengorganisir sesuatu yang lebih penting. Tolong aku, Mas, please. Aku tahu ini waktunya sangat mepet. Tapi aku yakin Mas bisa. Ayolah please ya?"
Eliana meminta dengan nada memelas sambil menangkupkan kedua tangannya di depan hidungnya. Gadis itu benar-benar memelas di hadapan Azzam. Melihat wajah memelas di hadapannya Azzam luluh. Sosok yang sangat tersinggung jika harga dirinya direndahkan itu adalah juga sosok yang paling mudah tersentuh hatinya.
"Baiklah akan saya bantu sebisa saya. Tapi sebelum membantu Mbak Eliana, saya ingin hak saya atas apa yang sudah saya kerjakan selama enam hari di sini dibayar.” Jawab Azzam tenang.
"Sekarang?" "Ya, sekarang."
"Apa Mas Khairul tidak percaya padaku?"
“Siapa yang tidak percaya? Saya hanya menuntut hak saya.”
“Baiklah.” Eliana mengeluarkan dompet dari celana jeannya. Lalu mengeluarkan lembaran dolar pada Azzam.
"Ini tiga ratus dollar. Seperti kesepakatan kita satu harinya lima puluh dollar."
"Terima kasih." Azzam menerima uang itu sambil tersenyum.
"Nanti kuitansinya menyusul ya. Nah, sekarang bisa membantu saya?"
"Baiklah, sekarang masalah bantu membantu. Bukan bisnis. Saya ingin murni membantu, jadi saya tidak akan mengharapkan apapun dari Mbak."
"Tapi aku tadi sudah bilang akan memberi hadiah spesial."
"Itu tak penting. Karena waktunya sudah mepet yang paling penting saat ini adalah mencari bumbu untuk ikan bakar itu dan untuk sambalnya. Bumbu yang masih tersisa dari Nasi Timlo tidak mencukupi. Di tempat saya juga sudah tidak ada lombok satu bijipun." Jawab Azzam.
"Kalau begitu sekarang juga kita berangkat mencari apa yang Mas butuhkan. Sebentar aku panggil Pak Ali dulu, ia lebih paham seluk beluk Alexandria." Sahut Eliana bersema ngat. Gadis itu langsung menghubungi Pak Ali dengan telpon genggamnya.
"Kita diminta ke depan. Kebetulan Pak Ali sudah ada di mobil. Memang tadi saya berpesan akan pergi setelah shalat Maghrib. Ayo kita berangkat!" Kata Eliana usai menelpon.
"Sebentar. Apa tidak sebaiknya Mbak shalat Maghrib dulu kalau belum shalat?"
“Aduh, shalat lagi, shalat lagi. Shalat itu gampang!"
"Lho jangan meremehkan shalat dong Mbak. Kalau bak belum shalat mending Mbak shalat saja. Biar saya dan Pak Ali saja yang belanja."
"Tidak, saya harus ikut. Tidak tenang rasanya kalau saya tidak ikut. Tentang shalat yang Mas Khairul ributkan itu tenang saja Mas. Aku memang sedang tidak shalat. Kalau shalat malah dosa. Tahu sendiri kan perempuan ada saat-saat dia tidak boleh shalat. Ayo kita berangkat. Kita harus cepat, wak tunya sempit!"
"Kalau begitu ayo." Azzam bangkit.
Mereka berdua berjalan tergesa ke luar hotel. Tepat di depan pintu hotel Pak Ali telah menunggu dengan mobil BMW hitam. Petugas hotel membukakan pintu mobil. Azzam duduk di depan, di samping Pak Ali dan Eliana duduk di bangku belakang. Eliana memberi instruksi kepada Pak Ali agar membawa ke kedai penjual bumbu secepat mungkm. Pak Ali langsung tancap gas melintas di atas El Ghaish Street menuju ke arah pusat perbelan-jaan di kawasan El Manshiya. Azzam menikmati perjalanan itu dengan hati nyaman dan bahagia. Meskipun sebenarnya ia sangat lelah, namun rasa bahagia itu mampu mengatasi rasa lelahnya. Entah kenapa ia merasa malam itu terasa begitu indah. Berjalan di sepanjang jalan utama Kota Alexandria dengan mobil mewah bersama seorang Putri Duta Besar yang pualam. Ia merasa kebahagiaan itu akan sempurna jika mobil BMW itu adalah miliknya, ia sendiri yang mengendarainya dan Eliana duduk di sampingnya sebagai isterinya dengan busana Muslimah yang anggun memesona.
"Hayo, Mas Insinyur melamun ya?" Suara Eliana menga getkan lamunannya.
"E ti. . tidak! Saya hanya takjub dengan suasana malam kota ini. Dan saya bertanya kapan bisa memiliki mobil semewah ini, dan mengendarainya bersama isteri di kota ini?" Jawab Azzam sedikit gugup.
"Wah impian Mas Insinyur tinggi juga ya? Saya yakin jarang ada orang yang bermimpi seperti Mas. Anak muda Indonesia yang punya impian mengendarai mobil BMW saya rasa tidak banyak. Apalagi yang bermimpi mengendarainya bersama isterinya di kota ini. Jangankan bermimpi seperti itu, BWM saja mungkin ada yang belum tahu apa itu dan ada yang belum pernah lihat bentuknya. Lha bagaimana bisa bermimpi? Bahkan, mungkin di antara anak muda Indonesia, terutama di daerah terbelakang masih ada yang beranggapan bahwa BMW itu merk sepeda, sejenis dengan BMX."
Azzam tersenyum mendengar komentar Eliana. Komentar yang baginya terasa memandang rendah anak muda Indonesia. Tapi dulu saat ia masih di Madrasah Aliyah dan menga dakan camping dakwah di ujung tenggara Wonogiri, ia bertemu dengan jenis anak anak remaja dan anak muda yang masih sangat terbelakang cara berpikirnya. Mereka merasa cukup dengan hanya lulus SD saja. Bahkan banyak yang tidak lulus SD. Mereka lebih suka mencari kayu bakar di hutan. Atau menggembalakan kambing di hutan. Mimpi mereka adalah bagaimana dapat kayu bakar yang banyak. Atau kambing mereka cepat beranak pinak. Itulah mimpi anak-anak muda yang ada dipedalaman daratan pulau Jawa. Ia bayangkan bagaimana dengan yang berada di tengah hutan Kalimantan dan Papua? Mereka yang berpikiran memakai baju yang layak saja belum. Yang untuk menjamah mereka saja harus menem puh perjalanan yang sangat sulit. Ia langsung membandingkan mereka dengan anak muda seperti Eliana yang sudah selesai kuliah di Prancis di usia yang masih belia. Sudah pernah merasakan tidur di hotel paling mewah di Eropa. Sudah pernah debat dengan Sekjen Liga Arab dengan bahasa Inggris yang fasih. Alangkah jauh bedanya.
"Ya, yang kau katakan mungkin ada benarnya. Memang tidak banyak dari mereka yang memiliki impian tinggi." Komentarnya ringan. Dalam hati Azzam menambah, "Apalagi yang bermimpi bisa menyunting Putri Dubes yang sekuler seperti dirimu dan bisa menjadikannya Muslimah yang baik pastilah sangat sangat sedikit jumlahnya."
"Karena pemudanya tidak banyak yang punya impian tinggi dan besar itulah, maka Indonesia tidak maju-maju. Kalau yang kau impikan selama ini apa Mas? Bukan yang tadi lho. Yang selama ini kau impikan." Tanya Eliana.
"Kira-kira apa, coba, kau bisa tebak tidak?" Sahut Azzam. "Mm... mungkin mendirikan pesantren."
“Salah.”
“Terus apa?" Jadi orang paling kaya di pulau Jawa he he he..."
"Wow...gila! It's great dream, man! Tak kuduga Mas Khairul punya impian segede itu. Impian yang aku sendiri pun tidak menjangkaunya. Gila! Boleh... Boleh! Kali ini aku boleh salut pada Mas Khairul."
BMW itu terus melaju dengan tenang dan elegan. Beberapa menit kemudian mobil itu berhenti di depan kedai penjual bumbu-bumbu di El Hurriya Street. Dengan cepat dan cermat Azzam membeli bumbu. Azzam tidak lupa mengajak ke kedai penjual sayur-mayur.
"Untung saya ingat, ikan bakar itu harus ada lalapannya." Kata Azzam pada Eliana. Ia bergegas masuk ke kedai penjual sayur mayur dan membeli ketimun, kubis, dan tomat untuk dibuat lalapan. Setelah itu mereka meluncur kembali ke hotel dengan perasaan lega. Dan yang paling lega tentu saja Eliana. Jika bahan baku telah didapat, bumbu telah didapat, dan koki yang akan menggarap bisa diandalkan, apakah tidak layak baginya untuk merasa lega.
Dalam perialanan ke hotel, Pak Ali memilih menelusuri El Hurriya Street. Terus ke arah timur laut. Mereka me-lewati Konsulat Amerika Serikat. Terus melaju tenang. Sampai di kawasan Ibrahimiya sebelum Sporting Club belok kiri. Lalu belok kanan melaju di El Amir Ibrahim Street. Dari dalam mobil, Azzam melihat trem listrik yang penuh penumpang. Kereta itu melaju ke arah El Manshiya. Gadis-gadis Mesir tampak berdiri di dalam trem. Tangan kanan mereka menggenggam erat pegangan seperti gelang, sedangkan tangan kiri mereka memegang buku.
“Sepertinya gadis-gadis itu baru pulang dari kampus ya." Eliana kembali membuka suara. Eliana seperti tahu apa yang diperhatikan Azzam.
"Iya." Pelan Azzam.
“Gadis Mesir itu cantik -cantik ya. Langsing langsing." "Iya."
"Tapi saya lihat kalau sudah jadi ibu -ibu kok gemuk gemuk sekali ya?"
“Iya. Setahu saya memang adat di Mesir itu seorang suami malu kalau isterinya tidak gemuk. Malu dianggap tidak bisa memberi makan dan tidak bisa mensejah-terakan isterinya."
"Aneh. Apa sejahtera itu berarti harus gemuk?"
"Tidak juga. Ada juga kan orang merana, orang stres malah gemuk. Tapi masyarakat Mesir modern agaknya sudah mulai meninggalkan adat itu. Kita juga mudah menemui ibu ibu Mesir yang tetap langsing."
“Ngomong-ngomong apa Mas Insinyur punya impian menikah dengan gadis Mesir?"
"Menikah dengan gadis Mesir?" Spontan Azzam mengulang pertanyaan Eliana.
"Iya. Pernah terbersit dalam hati?” "Pernah."
"Punya kenalan gadis Mesir?" “Punya."
“Cantik?” “Pasti.”
"Wow. Tak kusangka. Mas Insinyur ternyata benar-benar pemuda berselera tinggi. Eh Mas, jujur ya, kalau gadis seperti diriku ini menurut Mas cantik tidak?"
Muka Azzam memerah mendengar pertanyaan itu. Seandainya ada cahaya yang terang pasti perubahan wajahnya akan tampak. Namun keadaan malam itu menutupi perubahan wa jahnya. Ia sama sekali tidak menduga akan mendapat perta nyaan seperti itu. Tiba tiba rasa tinggi hatinya muncul. Ia tidak mau mengakui begitu saja kecantikan Putri Duta Besar itu. Ia tidak mau menyanjungnya sebagaimana orang-orang banyak me-nyanjungnya.
"Kok diam Mas? Bagaimana Mas, orang seperti aku ini menurut Mas cantik tidak?" Eliana kembali mengulang perta nyaannya.
"Bilang aja cantik! Gitu aja kok mikir!" Sahut Pak, Ali sambil terus berkonsentrasi menjalankan mobil ke arah El Ghaish Street. Sebentar lagi mereka sampai.
“Jangan dipengaruhi Pak. Biar dia jujur menilainya. Cantik tidak?" Tanya Eliana ketiga kalinya.
“Tidak! " Jawab Azzam sambil tersenyum. Azzam lalu memandang bulan purnama yang bersinar terang di atas laut. Purnama itu seolah tersenyum dan bertasbih bersama bin tang-bintang dan angin malam. Azzam tak mau tahu apa pera saan Eliana saat itu, yang penting ia merasa menang.
"Ah. Kau tidak jujur itu Mas! Ayo jujur sajalah!" Protes Pak Ali dengan suara agak keras.
Azzam hanya tersenyum. Dan diam. Cukup dengan diam ia sudah menang. Dan Eliana pun diam. Ia belum menemukan kata -kata yang tepat untuk bicara. Maka ia memilih diam. Sesaat lamanya Azzam dan Eliana saling diam. Mobil terus bergerak ke depan. Tak terasa mereka sudah sampai di halaman Hotel El Haram.
0 komentar:
Posting Komentar