10 Belajar Dari Jalan
Azzam tidak perlu waktu lama untuk menyatu dengan masyarakat. Tujuh hari di rumah ia telah kembali akrab dengan hampir semua orang di kampungnya. Ia menyatu dengan mereka. Tak ada jarak antara dirinya dan mereka Ia tidak pernah merasa berbeda dengan mereka. Tidak sedikitpun terbersit dalam hatinya bahwa ia adalah seorang mahasiswa dari Mesir yang lebih baik dari mereka. Azzam merasa ia sama dengan mereka. Profesinya tidaklah berbeda dengan orang-orang di sekelilingnya.
Hikmah yang ia dapat dari bertahun-tahun jualan tempe dan bakso adalah bahwa ia merasa hanyalah seorang penjual tempe yang tidak boleh merasa lebih atau lebih baik dari orang lain. Kang Jarwo yang jualan ketoprak keliling. Kang Birin yang buka salon pangkas rambut di pojok pasar Kartasuro. Pak Huri yang buka bengkel motor di depan STAIN. Semua ia anggap sama bahkan lebih baik dari dirinya. Mereka ia anggap lebiKmemiliki pengalaman hidup. Juga Kang Paimo yang waktu kecil dulu sering bermain gobak sodor dengannya kini menjadi sopir truk. la merasa dirinya dengan Kang Paimo sama saja. Kang Paimo sering ke luar kota. Paling sering ke Jakarta. Ia pernah jadi sopir truk ikan di Demak. Majikannya seorang juragan ikan.
Pernah suatu malam, sambil minum kopi panas di gardu ronda Azzam mendengarkan cerita Kang Paimo. Ada empat orang yang ronda malam itu Kang Paim Kang Qadir, Si Badrun dan Azzam. Kang Paimo bercerita dengan penuh semangat. Sementara Azzam, Kang Qadir, dan Si Badrun diam mendengarkan dengan seksama.
"Zam, kamu tahu nggak sopir yang benar-benar sopir adalah sopir truk ikan. Kalau orang belum pernah jadi sopir truk ikan belum menjadi sopir sejati. Orang yang pernah jadi sopir truk ikan berarti ia pernah jadi raja jalanan.
Bayangkan Zam, dulu tiga tahun jadi sopir truk ikan. Tiga kali aku kecelakaan, tapi alhamdulillah selalu selamat." “Apa hebatnya sopir truk ikan Kang?" Tanya Azzam. Kang Paimo menjawab,
“Hebatnya, sopir truk ikan itu harus selalu cepat dan ngebut sepanjang jalan. Harus selalu mendahului dan menyalip mobil lain. Jalan raya ibarat medan lomba balapan. Dan sopir truk ikan harus menang. Sebab mengejar waktu. Bayangkan saya dulu jadi sopir truk ikan milik juragan ikan di Demak. Saya berangkat dari Demak habis shalat maghrib dan harus sampai Pasar Minggu Jakarta pukul tiga pagi. Tidak boleh terlambat. Kalau lerlambat ikannya bisa layu, tidak segar lagi, dan para pembeli sudah pada pergi. Sepanjang jalan itu saya ngebut.
Selalu tancap gas. Belok sekalipun saya tetap tancap gas.
Dan itu memerlukan nyali yang besar. Saya harus jadi raja yakin akan jaya usahanya. Ia yakin dengan inovasi ia akan mampu meraih pelanggan sebanyak-banyaknya. Namun setelah ia pikir dengan seksama lebih baik memulai usaha itu setelah ia benar-benar cukup menguasai medan. Ia harus lebih matang melakukan penelitian. Dengan penelitian yang mendalam ia akan mampu
melihat peluang-peluang bisnis yang lain.
Hari menjelang petang. Azzam baru pulang dari Pabelan. Ia baru saja mengakses internet untuk membuka emailnya. Persis seperti yang ia perkirakan. Dua hari lagi kontainer Pak Amrun Zeinu datang. Sebelum pulang ke Indonesia, ia telah membuat kesepakatan bisnis bahwa ia akan menjadi penanggung jawab pendistribusian buku buku mahasiswa Indonesia yang dikirim lewat Pak Amrun. Ia bertanggung jawab untuk wilayah Jawa Tengah, Jogja dan Jawa Timur.
Dari email yang ia baca, ia harus mengirim buku ke tiga puluh satu alamat. Sore itu setelah mandi ia langsung ke masjid. Habis shalat ia langsung ke rumah Kang Paimo. la mengajak Kang Paimo ke Jakarta untuk mengambil dua ratus sepuluh kardus berisi buku dan kitab, dua hari lagi. Lalu mengantarkannya ke tigapuluh satu alamat. Kang Paimo sangat bahagia mendapat tawaran Azzam. Apalagi Azzam membayarnya dengan profesional.
Dan benar. Dua hari berikutnya Azzam bersiap untuk pergi ke Jakarta. Kepada ibu dan adik-adiknya Azzam pamit untuk empat hari lamanya. Kang Paimo datang menjemput Azzam dengan ditemani Si Kamdun. Si Kamdun adalah teman kerja Kang Paimo yang paling giat dan andal. Si Kamdun juga bisa mengendarai truk, sehingga apabila Kang Paimo capek Si Kamdun bisa menggantikannya.
Mereka bertiga berangkat selepas shalat Ashar. Kang Paimo mengemudikan truknya sambil memberi pengara han kepada Azzam cara mengendarai mobil yang baik. Azzam yang sudah beberapa kali berlatih semakin paham.
"Yang penting praktik bukan teori Zam. Nanti suatu ketika ada kesempatan kamu harus praktik langsung." Kata Kang Paimo.
Azzam menganggukkan kepala sambil tersenyum. Kang Paimo mengendarai truk itu dengan kecepatan sedang. Karena jalan dari Solo ke Jakarta cukup padat. Banyak sekali bus yang beriringan menuju Jakarta. Ketika truk sampai di Batang, Kang Paimo minta Si Kamdun gantian yang duduk di kursi sopir. Truk melaju delapan puluh kilometer perjam. Sampai di Indramayu istirahat di sebuah warung kopi setengah jam. Lalu berjalan lagi.
Gantian Kang Paimo yang mengemudi. Kali ini Kang Paimo mengemudi dengan kecepatan tinggi seperti orang kesetanan.
"Kang tidak usah ngebut! Ini bukan truk ikan!" Protes Azzam
“Oke Zam. Sorry." Sahut Kang Paimo sambil mengurangi gasnya.
Truk itu sampai di rumah Pak Amrun pukul enam pagi. Dua ratus sepuluh kardus ukuran kecil dan besar dinaikkan. Sebelum menata ratusan kardus buku itu Kang Paimo minta daftar alamat yang akan dikirim. la berkata kepada Azzam “Mana Zam alamat-alamatnya?" Azzam lalu
menyerahkan daftar alamat yang dituju.
Kang Paimo memperhatikan dengan serius. Setelah sesaat lamanya menganalisa, Kang Paimo berkata, “Setelah kulihat maka kita akan mengambil rute seperti ini: Tegal, Purwokerto, Cilacap, Jogja, Klaten, Sragen, Ngawi, Madiun, Jombang, Surabaya, Tuban, Rembang, Kudus, Kendal, baru pulang ke Kartasura.
Bagaimana Zam?"
“Aku ikut saja, Kang Paimo kan lebih paham."
“Kalau begitu cara menyusunnya alamat paling akhir
kita masukkan dulu. Sehingga letaknya paling dalam sana.
Begitu seterusnya. Dan alamat yang rencananya paling awal kita datangi kita letakkan di depan. Sehingga kita enak nanti ketika menurunkan."
“Wah benar itu Kang. Cerdas juga sampeyan." “Lho Paimo itu sejak dulu cerdas Zam. Hanya karena nasib saja putus sekolah. Kalau Paimo ini dibiayai sampai lulus kuliah mungkin sudah jadi dosen sekarang. Bukan sopir truk."
“Memang sudah diatur oleh Allah Kang. Kalau sampeyan jadi dosen lha siapa yang akan aku ajak jalan jalan mengantar buku-buku ini? Kang selama kita bersyukur apa pun pekerjaan kita insya Allah diridhai Allah. Dengan ridha Allah jadi barakah. Yang mahal itu barakahnya itu lho Kang."
“Pukul tujuh truk itu kembali berjalan. Kang Paimo membawa truknya ke tempat seorang teman akrabnya di Bekasi Barat. Mereka sampai di sana pukul sembilan. "Kita mandi, makan dan istirahat di sini. Siang ini harus tidur. Nanti sore baru kita lanjutkan. Azzam jadi tambah mengerti dunia para sopir. Siang itu Azzam tidur pulas. Jam dua siang ia bangun. la shalat dengan menjamak dan mengqashar. Lalu tidur lagi. Jam setengah empat bangun mandi dan memulai perjalanan panjang.
Tengah malam mereka sampai di Tegal. Saat melewati kantor polisi Kang Paimo turun dan menanyakan dua buah alamat yang ada dalam daftar itu. Seorang polisi yang sedang berjuang melawan kantuk menjelaskan rute menuju dua alamat itu dengan menguap berkali-kali.
Pukul setengah satu mereka tiba di alamat pertama. Terpaksa membangunkan pemilik alamat yang sedang tidur. Tapi begitu yang punya rumah bangun dan mengetahui yang datang adalah mahasiswa dari Cairo yang mengantar buku-buku anaknya yang masih di Mesir mereka senang. Mereka terus banyak bertanya tentang Mesir. Tentang keadaan anaknya kira-kiranya. Azzam menjelaskan dengan penuh kesabaran. la membayangkan seperti itulah kira-kiranya ibunya dulu bertanya kepada teman-temannya yang ia titipi sesuatu untuk disampaikan pada ibunya.
Pukul setengah dua sampai di alamat kedua. Lalu tancap gas ke Purwokerto dan Cilacap. Mereka sampai di Cilacap saat subuh tiba. Mereka shalat subuh dahulu sebelum menurunkan barang di alamat yang dituju. Kang Paimo sudah tidak kuat maka digantikan oleh Si Kamdun. Langsung tancap gas ke Jogjakarta. Baru sampai Kebumen, Kang Paimo minta berhenti istirahat. "Kita berhenti dulu Zam, istirahat. Di depan ada rumah makan besar yang ada mushallanya. Kita bisa tidur di mushalla itu beberapa jam saja." Azzam mengiyakan usul Kang Paimo. Lebih baik istirahat dulu agar tubuh kembali fit dan segar, daripada memaksakan diri yang bisa berakibat fatal. Mereka istirahat cuma dua jam. Kang Paimo dan Si Kamdun bisa tidur begitu nyenyak dan tenang. Mereka bangun, makan, dan melanjutkan perjalanan.
Pukul tiga sore mereka sampai di Jogja. Ada tiga alamat yang harus mereka datangi. Yaitu di Kotagede, Krapyak, dan Kalasan. Mereka langsung menuju Klaten.
"Coba kamu tengok Zam. Klaten berapa tempat?" Ujar Kang Paimo sambil memindah gigi truk agar melaju lebih cepat.
"Cuma satu Kang."
“Di mana?"
“Pesantren Daarul Qur’an, Polanharjo."
“Oh aku tahu. Itu pesantrennya Kiai Lutfi. Aku dulu sering diajak Pak Mahbub mengaji pada Kiai Lutfi kalau hari Rabu."
“Mengaji apa Kang?"
“Kitab Al Hikam."
“Sekarang masih sering ke sana Kang?"
“Jarang. Aku sering luar kota sih Zam."
“Ya kalau pas di rumah mbok ya disempatkan ngaji Kang."
“Insya Allah, masak ngejar dunia terus ya Zam." “Oh ya Zam. Aku dengar putrinya Kiai Lutfi kan kuliah di Cairo juga tho. kamu kenal?"
“Kenal Kang."
“Kalau belum punya calon, kamu lamar saja Zam. Orang orang bilang, putrinya Pak Kiai Lutfi itu cantik lho Zam."
“Aku tahu itu Kang. Tapi dia sudah tunangan. Minggu depan dia nikah."
“Wah berarti bukan rizkimu Zam."
“Kang Sampeyan tahu tidak jumlah anak Kiai Lutfi. Semuanya berapa?"
“Setahuku cuma dua. Yang pertama laki-laki dan sekarang diambil menantu oleh Kiai Hamzah Magelang. Dan tinggal di Magelang. Yang kedua ya yang kuliah di Cairo itu." Pukul setengah delapan malam, truk itu sampai di Pasar Tegalgondo. Kang Paimo belok kiri ke arah Janti.
Kang Paimo lalu tancap gas. Jalan sepi. Di depan tampak sebuah mobil sedan. Azzam kenal dengan mobil itu.
"Pelan Kang. Kalau tidak salah itu mobilnya Anna, putri Kiai Lutfi." Kata Azzam.
Kang Paimo agak teliti melihat ke depan. Truk itu berjalan hanya sepuluh meter di belakang sedan. Sangat jelas sekali sedan itu Toyota Vios.
“Yang mengendarai kelihatannya perempuan berjilbab Zam."
“Aku yakin itu Anna, Kang." Sedan itu sampai di pertigaan Polanharjo ambil kiri.
Truk terus mengikuti. Sedan Vios itu terus berjalan sampai di pertigaan lagi, ambil kiri. Dan truk itu juga mengikuti.
Masuk di perkampungan desa Wangen. Hati Azzam entah kenapa berdesir, jantungnya berdegup lebih kencang.
Sedan itu masuk gerbang pesantren. Truk juga masuk. Truk parkir tak jauh dari sedan.
Pengemudi sedan keluar. Perempuan tinggi semampai berjilbab biru muda. Azzam terperanjat. la seperti melihat gadis yang ia tolong di Cairo. Perempuan itu menoleh ke arah truk. Dalam terang cahaya lampu truk tampak benar pesona kecantikannya. Perempuan itu memang Anna
Althafunnisa. Azzam turun, lalu dengan hati bergetar melangkah ke arah Anna. Putri Kiai Lutfi itu terhenyak melihat siapa yang datang.
"Assalamu'alaikum, maaf saya mau mengantar buku buku dari Cairo yang dikirim lewat kontainer Pak Amrun." Kata Azzam pada Anna.
"Wa... wa... wa'alaikum salam. Oh ya Mas Azzam. Turunkan saja di rumah." Anna agak gugup dan tidak percaya kalau yang mengantar buku-bukunya adalah Azzam.
Anna bergegas masuk rumah. Ia membuka pintu ruang tamu selebar-lebarnya. Anna lalu bergegas ke masjid memberi tahu ayahnya yang saat itu sedang membacakan kitab Fathul Wahhab pada para pengurus dan santri senior. Azzam membantu Kang Paimo dan Si Kamdun menurunkan kardus-kardus berisi buku dan meletakkan nya di ruang tamu kediaman Kiai Lutfi.Anna dan Kiai Lutfi sampai di samping truk. Mereka berdua melihat kesibukan tiga orang itu. Anna mengamati Azzam dengan seksama. Ada rasa kagum bercampur heran masuk dalam hatinya. Kagum ada pemuda yang ulet dan pekerja keras seperti Azzam. Pemuda yang tidak malu untuk meng angkat kardus-kardus seperti itu demi ibu dan adik adiknya. Dan heran, Azzam sama sekali tidak canggung menyatu bersama dengan kedua orang temannya, yang ia pastikan adalah seorang sopir dan kernetnya.
Begitu melihat Pak Kiai Lutfi, Azzam menurunkan kardusnya lalu beranjak menjabat dan mencium tangan ayahanda Anna itu. Apa yang dilakukan Azzam diikuti dua temannya.
"Azzam ya?" Sapa Pak Kiai.
"Inggih Pak Kiai."
“Aku sudah tahu banyak tentangmu. Ayo kita masuk dulu. Kita duduk dan ngobrol-ngobrol dulu."
“Maaf Pak Kiai, ini biar kami selesaikan dulu."
“Oh ya. Saya tunggu di ruang tamu sana ya?"
“Baik Pak Kiai." Kiai Lutfi dan Anna masuk rumah. Pak Kiai meng hitung jumlah kardus yang telah dimasukkan ke ruang tamu. Sementara Anna ke dapur membuat minuman dan mencari makanan yang bisa dikeluarkan. Tak lama kemudian seluruh kardus milik Anna selesai diturunkan. Keringat Azzam berkucuran, demikian juga dua temannya.
Mereka duduk-duduk di beranda.
"Ayo Zam, masuk! Ajak teman-temanmu itu masuk!" Perintah Pak Kiai.
"Kami masih keringatan Pak Kiai." Jawab Azzam pelan.
"Tidak apa-apa ayo, jangan duduk di situ. Ini sudah ada tempat duduk. Nanti AC-nya aku hidupkan biar sejuk." Desak Pak Kiai.
"Baik Pak Kiai." Azzam dan kedua temannya masuk. Azzam membuka topinya. Rambut dan wajahnya tampak sedikit kusut dan awut-awutan.
"Sudah dari mana saja Zam?" Tanya Pak Kiai. Azzam lalu menceritakan perjalanannya. Sejak berangkat sampai ke Jakarta. Lalu ke Tegal, Purwokerta, Cilacap dan Jogja. Pak Kiai Lutfi mengangguk-anggukkan kepala.
"Terus setelah dari sini mau ke mana lagi Zam?"
“Wah masih banyak lagi Pak Kiai. Perjalanannya masih panjang. Yang kami tempuh baru sepertiga perjalanan. Ada tiga puluh satu alamat. Kami baru mengantarkan di sebelas alamat termasuk sini. Jadi masih ada dua puluh alamat lagi."
“Yang sudah mana saja?" Tanya Pak Kiai lagi.
"Tegal dua. Purwokerto tiga. Cilacap dua. Jogja tiga. Dan Klaten, sini, satu." Jawab Azzam
“Dan yang belum tersebar di Sragen, Ngawi, Madiun, Jombang, Surabaya, Tuban, Rembang, Kudus, dan Kendal Pak Kiai." Lanjut Azzam menjelaskan rute yang akan ditempuhnya sekalian.
"Wah kamu hampir keliling seluruh Jawa Zam."
“Begitulah Pak Kiai, demi mengais rizki Allah."
“Semoga Allah memberkahi." Anna keluar membawa nampan berisi empat gelas minuman segar berwarna kuning. Gadis itu meletakkan gelas ke meja satu per satu dengan hati-hati.Azzam menunduk, tapi kedua matanya tidak bisa untuk tidak memperhatikan jari-jari Anna mengambil dan meletakkan gelas. Jari-jari itu putih bersih dan lancip. Jari-jari yang indah. Azzam beristighfar dalam hati, ia merasa telah melakukan dosa dengan menikmati keindahan jari-jari lentik itu. Anna kembali masuk ke belakang.
"Silakan diminum Nak Azzam. Kalau tidak salah ini sirup Markisa asli Brastagi Medan. Kemarin yang membawa kakaknya Anna yang di Magelang. Dia kan pergi ke Medan mengunjungi adik isterinya yang kuliah di USU. Pulang bawa sirup Markisa ini. Segar lho. Ayo!" Azzam, Kang Paimo, dan Si Kamdun mengambil gelas yang ada di hadapannya dan meminumnya. Minuman itu dingin. Mereka yang kehausan dan kegerahan sangat merasakan kenikmatannya.
"Oh ya ngomong-ngomong kalian sudah makan belum?" Tanya Pak Kiai Lutfi.
"Mm... mm..." Azzam merasa kikuk mau menjawab.
"Aku tahu kalian belum makan. Paling terakhir kalian makan tadi siang. Kalau tidak di Jogja mungkin di Kebumen."
Azzam diam. Pak Kiai Lutfi bisa menebak ke kikukannya.
"Nduk, Anna! Siapkan makan yang enak!" Seru Kiai Lutfi sambil menoleh ke belakang.
"Inggih Bah." Jawab Anna pelan, tapi jelas sampai ke ruang depan.
"Aduh tidak usah repot-repot Pak Kiai." Ucap Azzam basa-basi.
"Tidak. Kalian tidak boleh keluar dari rumah ini kecuali sesudah makan. Biar Anna yang menyiapkan. Aku juga ingin tahu seperti apa masakan putriku. Biasanya kan ada khadimah dan Umminya, jadi dia santai, tidak perlu masak. Katanya sih kalau di Cairo masak sendiri. Aku ingin tahu seperti apa yang akan ia hidangkan. Ini kebetulan dua khadimah yang biasanya membantu sedang tidak ada. Yang satu sedang pulang dan yang satunya ikut sama Umminya Anna ke Magelang, ke rumah kakaknya." Kiai Lutfi
menjelaskan dengan santai ceplas-ceplos pada ketiga tamunya. Suara Kiai Lutfi itu agak keras, sehingga terdengar sampai ke belakang. Anna mendengarnya dengan perasaan malu dan tertantang. Malu seolah-olah selama ini ia hanya anak Ummi, tidak berbuat apa-apa. Semua telah disediakan. Meskipun kenyataannya begitu. Tapi hal itu, entah kenapa membuat dirinya malu. Sebab di sana ada Azzam. Dan ia tertantang, ia akan membukti kan pada ayahnya bahwa ia adalah putri ayahnya yang bisa memasak enak.
"Abah belum tahu kalau aku bisa masak nasi goreng ala Pattani Thailand!" Desis Anna dalam hati sambil tersenyum.
Ia belajar membuat nasi goreng yang unik itu dari Jamilah, gadis asli Pattani saat masih di Alexandria. Tadi sore ia melihat di nasi rice cooker masih penuh dan kulkas ada bahan yang lengkap untuk masak nasi goreng ala Pattani. Ia memang sudah merencanakan membuat nasi goreng untuk dirinya sendiri malam ini.
Lima belas menit kemudian Anna keluar dengan membawa hasil masakannya. Anna mengeluarkan tiga piring yang isinya tampak sebagai telur dadar berbentuk segi empat. Kiai Lutfi mengenyitkan keningnya.
"Silakan Mas Azzam!" Anna mempersilakan.
"Apa ini Nduk, cuma telur dadar begini?" Ucap Kiai Lutfi. Anna hanya tersenyum dan kembali masuk. Ia tidak menjawab pertanyaan Abahnya.
"Setahu saya ini namanya nasi goreng Pattaya. Nasi goreng khas muslim daerah Pattani di Thailand." Justru Azzam yang menerangkan. Azzam mengambil piring itu dan menyendok dadar telur persegi empat. Ternyata di dalamnya ada nasi goreng yang ada cacahan daging ayamnya. Pak Kiai Lutfi jadi takjub.
"Nasinya dibungkus telur ya. Kok bisa ya?" Heran Kiai Lutfi
Azzam menyantap dengan lahap. Ia harus mengakui masakan Anna lezat. Ia jadi iri pada Furqan, ia merasa Furqan benar-benar pria paling beruntung di dunia. Anna tidak hanya cerdas, dan berprestasi secara akademik. Gadis itu ternyata juga jago masak.
Kang Paimo dan Si Kamdun juga makan dengan lahap.
"Wah, luar biasa. Ini enak betul. Gurih! Dan unik Pak Kiai!" Komentar Kang Paimo sambil mengacungkan jempolnya pada Kiai Lutfi. Kiai Lutfi menelan ludahnya. la sangat penasaran pada masakan putrinya itu. Kenapa cuma tiga piring? la malu mau minta pada putrinya. Sementara Anna tersenyum di belakang, mendengar perkataan-perkataan yang memujinya di depan. la sengaja membiarkan Abahnya melihat tamunya makan. la sedikit ingin 'mencandai' ayahnya. Ketika ia yakin ayahnya berada di puncak penasaran dan nafsu makannya, ia keluarkan bagian untuk Abahnya.
"Lha yang ini untuk Abah! Ini namanya nasi goreng Pattaya Bah!" Kata Anna pelan sambil tersenyum. Abahnya tersenyum lalu mencicipi nasi goreng bikinan putrinya. Ia masih penasaran, bagaimana meletakkan nasi dalam balutan telur dadar ini. Ini memang baru kali pertama ia menemukan penyajian masakan seperti itu.
"Ini cara memasukkan nasinya bagaimana ya Zam?" Tanya Kiai Lutfi.
Azzam tersenyum. Azzam mau menjawab, tapi sebelum ia menjawab dari dalam suara Anna terdengar menyahut, “Nanti Anna ajarin cara membuatnya Bah!" Kiai Lutfi tersenyum. Malam itu putrinya membuat kejutan untuknya. Selesai makan Azzam dan kedua temannya berpamitan pada Kiai Lutfi. Azzam dan dua temannya turun ke halaman. Kiai Lutfi mengikuti di belakang. Malam terang. Bulan perak sebesar semangka seperti bertengger di langit, di kelilingi bintang-bintang. Azzam melangkah tenang. "Nak Azzam." Kiai Lutfi memanggil. Azzam menghentikan langkah. Anna memperhatikan dari beranda dengan seksama.
"Iya Pak Kiai."
“Kalau ada waktu senggang sering mampir ke sini ya? Itu anak-anak santri perlu mendengar banyak hal dari orang yang punya pengalaman lebih sepertimu."
“Aduh saya ini juga masih bodoh Pak Kiai. Mohon doa restunya."
“Benar ya sering datang?"
“Insya Allah."
“Oh ya satu lagi. Rabu depan kamu sudah selesai kan mengantarkan buku-bukumu itu?"
“Insya Allah."
“Datang ke sini ya. Pengajian Al Hikam. Untuk umum. Biar kamu srawung dengan banyak orang. Biar nanti dengan silaturrahmi tambah jaringan dan koneksi. Di antara yang ngaji itu banyak juga lho pebisnis-pebisnis muda Solo dan Klaten."
“Iya Insya Allah."
“Terakhir."
“Jangan lupa hari Jumat datang. Itu hari pernikahan Anna."
“Insya Allah."
“Ingat semua insya Allah yang kamu ucapkan itu aku tagih lho."
“Doanya bisa memenuhi Pak Kiai." Cahaya bulan menerangi halaman. Rumput-rumput Jepang di sela-sela paving tampak hijau keperakan. Angin malam mengalir pelan. Azzam naik truk dengan me ngucap salam. Truk yang dinaiki Azzam menderu dan hilang dari pandangan. Kiai Lutfi mengambil nafas panjang. Kiai Lutfi naik ke beranda. Anna masih berdiri di sana. Lalu sambil berjalan masuk rumah ia berkata pada putrinya,
“Abah suka dan kagum pada pemuda itu. Sayang baru tahu dan bertemu sekarang." Ada rasa dingin masuk dalam relung-relung hati Anna.
"Jujur, pemuda seperti Azzam itu kalau boleh Abah berterus terang adalah pemuda yang jadi idaman Abah. Sayang baru bertemu sekarang. Jika Abah masih punya anak putri pasti akan Abah pinta Azzam jadi menantu. Abah tak akan menyia-nyiakan kesempatan. Abah tahu tentang perjuangannya membesarkan adik-adiknya. Dia sungguh pemuda luar biasa!" Ada gemuruh cemburu luar biasa dalam hati Anna.
Lalu perasaan sedih perlahan menyusup ke dalam hatinya.
Mata Anna basah mendengar perkataan Abahnya. Ingin rasanya ia katakan pada Abahnya, bahwa Azzam itulah ternyata pemuda yang dulu menolongnya. Pemuda yang menundukkan pandangannya dan mengatakan namanya Abdullah. Azzam itulah juga pemuda yang dulu sangat mengesan di hatinya. Bukan hanya dulu, bahkan sampai sekarang. Tapi takdir telah memilihkannya jalan. Furqanlah jalannya.
Anna masuk kamarnya. Dan di kamarya ia menangis. Kata-kata Abahnya terus terngiang-ngiang dalam hatinya,
“Jika Abah masih punya anak putri, pasti akan Abah pinta Azzam jadi menantu. Abah tak akan menyia-nyiakan kesempatan."
Di jalan Kang Paimo dan Si Kamdun tiada henti hentinya memuji Anna Althafunnisa. Mereka juga tiada hentihentinya memuji keramahan Pak Kiai Lutfi.
"Aku tidak mengira Pak Kiai ternyata ramah sekali dan bisa sangat cair dengan tamunya. Selama ini kalau aku ikut pengajian Al Hikam beliau kan tampak berwibawa sekali." Kata Kang Paimo.
"Tapi kukira ini semua karena berkahnya Azzam. Kalau tidak bareng Azzam mungkin lain ceritanya. Karena bareng Azzam kita dapat mencicipi masakan putrinya Pak Kiai segala. Tidak sembarang orang lho bisa mendapatkan kemuliaan seperti ini. Memang berkumpul dengan orang baik seperti Azzam ini banyak berkahnya. Sering-seringlah kamu ajak kami ya Zam kalau ada acara apa saja, atau kalau jalan ke mana begitu. Biar kami kecipratan berkahnya." Sahut Si Kamdun.
"Ah kamu ini ada-ada saja Dun. Ini semua karena berkah silaturrahmi. Begitu saja." Azzam meluruskan. Truk itu melaju kencang ke Solo. Ketika masuk perbatasan Kartasura Kang Paimo bertanya, “Mau pulang dulu tidak Zam?" Azzam menggelengkan kepala.
"Kenapa?"
“Nanti malah tidak selesai-selesai. Kalau saya pulang dulu pasti saya akan ditahan ibu dan adik-adik saya. Baru boleh berangkat lagi besok pagi. Itu pun pasti agak siang jika sudah sarapan. Sudah lurus saja. Jika belum saatnya pulang ya tidak usah pulang!" Tegas Azzam.
"Wah kamu bakat jadi pemimpin besar Zam. kamu punya disiplin yang bisa diandalkan!" Sahut Kang Paimo. Truk itu terus melaju melewati Solo, lalu ke Sragen. Sampai di Sragen pukul sebelas malam. Kemudian melanjutkan perjalanan dan mengantarkan buku-buku itu ke Ngawi, Madiun, Jombang, Surabaya, Tuban, Rembang, Kudus, dan Kendal.
Azzam dan kedua temannya pulang kembali ke rumahnya di Sraten, Kartasura, dua hari setelahnya. Azzam memasuki rumahnya dini hari jam empat. la disambut ibu dan kedua adiknya dengan penuh cinta dan kerinduan. Husna langsung menyiapkan air hangat untuk mandi kakaknya. Melalui perjalanan mengantar buku-buku itu Azzam banyak belajar dan mengambil pelajaran. Azzam juga sudah benar-benar bisa mengendarai truk itu karena mengantarkan buku-buku. Dalam perjalanan dari Sragen dan Ngawi Kang Paimo kelelahan, dan Si Kamdun tak kuasa menahan kantuk. Kang Paimo memaksa Azzam untuk mengemudikan. Pertama ia mengemudikan dengan pelan. Lama-lama tambah kecepatan. Dan akhirnya bisa mengemudikan truk itu dengan baik dari Sragen bahkan sampai Madiun. Ia jadi banyak belajar dari jalan.
0 komentar:
Posting Komentar