23 Pertemuan Dua Keluarga
Kiai Lutfi duduk di ruang tamu memandang ke arah pesantren, matanya berkaca-kaca. Ia masih terus teringat kejadian pagi tiga hari yang lalu. Ia sedang shalat dhuha di kamarnya ketika itu, Anna yang baru pulang dari hotel mengajaknya bicara. Anna mencium tangannya sambil menangis. Putrinya itu tersedu-sedu di pangkuannya seperti anak kecil kehilangan mainannya. Putrinya tampak pucat, sedih, gelisah dan takut. Ia bingung apa yang terjadi dengan putrinya.
”Baru bertengkar dengan suamimu ya?”
“Lebih dari itu Bah.”
“Apa itu?”
”Kami telah bercerai. Furqan sudah menceraikan Anna!”
”Apa? Cerai!? Apa Abah tidak salah dengar?”
“Tidak Bah. Ini siingguhan!”
“Kamu jangan main-main ya Nduk!”
“Anna tidak main main Bah.”
“Kalian kan sarjana Timur Tengah, paham agama, tahu syariat, bagaimana mungkin kalian memilih jalan yang dimurkai Allah.”
”Justru jalan ini ditempuh untuk mencari ridha Allah Bah. Untuk kebaikan bersama, untuk kebaikan Anna, kebaikan Abah dan Ummi, juga kebaikan pesantren. Bahkan juga untuk kebaikan Furqan dan keluarganya, maka kami berdua sepakat untuk bercerai! Ikatan pernikahan kami tak mungkin dipertahankan lagi Bah. Anna sudah berusaha yang terbaik tapi tetap saja tak ada jalan lain kecuali pisah.
”Jika ikatan pernikahan kami tetap dipertahankan yang tercipta di antara kami bukanlah ketakwaan Bah, tapi kezaliman. Anna tak ingin ini terjadi, tapi Anna tak bisa apaapa lagi. Perempuan mana yang ingin jadi janda Bah? Tak ada. Tidak juga Anna. Inilah ujian terberat dalam hidup Anna yang harus Anna lalui dengan penuh kesabaran Bah. Sungguh Bah Anna mohon maaf jika ini sangat menyakitkan Abah dan Ummi”
Kalimat putrinya itu sangat mengagetkannya. Kalimat yang diucapkan dengan linangan air mata itu bagaikan keris berkarat yang ditusukkan ke dadanya.
”Apa sebenarnya yang terjadi Nduk?”
”Aku tak tahu bagaimana menceritakannya Bah. Yang jelas kalau pernikahan terus dipertahankan Anna pasti binasa Bah. Dan Anna tidak ingin binasa!”
”Dari kalimatmu ada isyarat bahwa kamu yang meminta cerai pada Furqan. Bukan Furqan yang menceraikanmu!?”
”Iya, benar Bah. Anna yang minta cerai. Dan hukumnya wajib Bah. Bukankah marabahaya menurut ajaran Islam harus ditiadakan Bah? Itulah yang Anna lakukan.”
“Abah tidak paham marabahaya apa yang kamu maksud?”
Anna diam, tak bisa menjawab.
”Suatu hari nanti Abah akan tahu.”
Siangnya Furqan datang. Abah langsung mengajaknya bicara. Dan Furqan membenarkan semua ucapan Anna. Bahkan Furqan berkata,
“Yang salah saya Bah, bukan Anna. Sungguh Anna tidak salah apa- apa. Anna hanyalah korban dari ambisi pribadi saya. Saya mohon maaf jika selama di sini banyak khilaf. Demi kebaikan bersama Anna sudah saya ceraikan. Terserah nanti bagaimana di pengadilan nanti. Jika prosesnya bisa lebih cepat itu lebih baik, sehingga Anna bisa bernafas lega. Selama ini saya sudah membuatnya tersiksa. Saya yang salah dan saya mohon maaf.” Ucapan Furqan yang jujur dan apa adanya justru membuat Kiai Lutfi terenyuh.
Ia tak tahu harus bagaimana dan harus di pihak siapa. Yang jadi masalah ia tidak tahu apa yang sebenamya terjadi di antara mereka. Ketidakcocokan seperti apa yang membuat perkawinan mereka harus hancur berantakan? Repotnya Anna dan Furqan tidak mau ada yang menjelaskan apa yang terjadi sebenamya.
”Kami sama sekali tidak perlu ishlah. Malah akan semakin menyiksa dua keluarga saja. Insya Allah keputusan kami sudah final. Namun demikian semoga tali kekeluargaan di antara kita tetap terjalin.” Jelas Furqan tegas. Hari itu juga Furqan mengemasi seluruh barangnya dan pergi meninggalkan pesantren dengan Fortunernya. Furqan benar- benar meninggalkan rumah mertuanya itu. Ia tidak kembali, jadwalnya mengajarkan tafsir Jalalain dan yang lain kepada para santri kosong tidak ada yang mengisi. Kiai Lutfi duduk di ruang tamu memandang ke arah pesantren, matanya berkaca-kaca. Ia masih terus teringat kejadian tiga hari yang lalu. Kejadian yang membuat perasaannya remuk redam. Kejadian yang membuat isterinya, yaitu Bu Nyai Nur sempat pingsan, dan sekarang badannya demam. Perceraian Anna dengan suaminya baginya adalah aib yang memalukan. Keluarga Kiai semestinya bisa menjadi suri tauladan akan terbentuknya keluarga yang sakinah, mawaddah wa rahmah. Perceraian itu tak lama lagi akan jadi omongan masyarakat dan dia sebagai panutan masyarakat harus bilang apa?
Ia ingin dengan segala daya upaya agar rumah tangga putrinya itu terselamatkan. Ia terus membujuk putrinya agar cerita masalah yang sebenamya terjadi. Namun putrinya itu selalu saja menjawab,
“Abah, pokoknya kami berdua telah sepakat untuk bercerai! Ikatan pernikahan kami tak mungkin dipertahankan lagi Bah. Anna sudah berusaha menjadi isteri yang baik, tapi tetap saja tak ada jalan lain kecuali pisah. Jika tetap dipertahankan maka sama saja mempertahankan kezaliman?”
Ia lalu mengejar,
“Bentuk kezalimannya apa Nduk?”
”Maaf Bah, Anna tidak bisa menceritakannya dengan detil. Takut nanti timbul fitnah. Kalau Abah percaya sama Anna, maka relakanlah kejadian ini Bah. Dan kuatkanlah hati Anna. Saat ini Anna sebenamya juga remuk redam. Anna perlu orang yang menguatkan.”
la percaya pada putrinya. Tapi ia belum juga bisa bernafas lega karena belum mengetahui pangkal masalah sebenarnya. Ia ingin putrinya itu bercerita saja apa adanya terus terang. Sekiranya ia tahu apa bentuk kezalimannya mungkin ia akan punya pandangan lain atau jalan keluar lain yang bisa menyelamatkan rumah tangga putrinya. Selain tes darah ia juga minta divisum untuk mengecek selaput daranya. Dan ia bersyukur bahwa selaput daranya benar-benar masih utuh. Furqan memang sama sekali belum menyentuh mahkota paling berharga baginya. Ia bernafas lega. Ia masih bisa menatap masa depan yang cerah. Ia yakin itu. Setelah urusan perceraiannya dengan Furqan selesai di pengadilan agama, ia akan konsentrasi tesisnya. Ia perlu waktu untuk kembali memikirkan pernikahan. Anna siap masuk mobil ketika panggilan dari Umminya berdering di hand phonenya. Ia diminta pulang. Bu Maylaf dan suaminya akan datang. Ia yakin mereka akan bersama Furqan. Dalam perjalanan ia membayangkan apa yang akan terjadi di rumahnya nanti. Mungkin akan terjadi perdebatan panas. Ia tidak ingin Abah dan Umminya bertengkar dengan kedua orang tua Furqan. Menurutnya itu semua tergantung Furqan. Jika Furqan sebelumnya bisa menjelaskan dengan baik masalah perceraiannya kepada orang tuanya, hal itu tak akan terjadi. Namun jika Furqan malah memprovokasi dan minta pembelaan mereka bisa saja akan ada perang.
Jika sampai terjadi pertengkaran antara orang tuanya dengan orang tuanya lantas kedua orang tuanya disalahkan habis-habisan, maka ia harus bicara! Ia harus bicara apa adanya biar semuanya menilai dengan pikiran dan kesadaran masing-masing. Ia tidak gentar, semua senjata ia punya. Ia akan diam menjaga rahasia Furqan jika Furqan bisa juga menjaga kehormatan bersama.
Ia merasa dirinya dan kedua orang tuanya hanyalah korban. Korban dari ambisi pribadi Furqan yang ia duga menikahi dirinya karena kecantikan dirinya. Ah, ia sendiri tidak pernah merasa dirinya cantik. Dan ia tidak mau sebenarnya dinikahi orang karena kecantikan dirinya. Sebab ia tahu kecantikan fisik itu pada saatnya nanti akan hilang. Jika ada orang menikahi dirinya karena kecantikan fisiknya maka bagaimana nanti jika kecantikan fisiknya hilang? Apakah ia akan dicampakkan begitu saja? Anna mengendarai Viosnya dengan lebih cepat. Azan telah berkumandang. Kalau bisa ia harus lebih dulu datang dari orang tua Furqan. Di depan pasar Kartasura ia nyaris menabrak becak yang seenaknya memotong jalan.
“Masyarakat bangsa ini belum tahu disiplin!” Desisnya marah.
Anna sampai halaman rumahnya saat jamaah Isya sedang didirikan. Ia mendengar suara ayahnya membaca awal surat Al Anbiya’. Rumah sepi, semuanya sedang jamaah di Masjid. Cepat-cepat ia mengambil air wudhu dan menyambar mukena, meskipun terlambat masih bisa mendapat beberapa rakaat. Dalam sujud Anna minta kepada Allah, agar semua urusan dimudahkan, dan agar semua jalan setan yang mengajak permusuhan dijauhkan.
Pukul setengah sembilan kedua orang tua Furqan datang. Wajah Bu Maylaf agak kurang ramah. Pak Andi Hasan meskipun agak dingin tapi berusaha untuk tetap cair. Pak Kiai Lutfi tetap menyambut ramah. Ia berusaha kuat menjaga hatinya agar tetap bening dan tenang. Sementara Bu Nyai Nur begitu melihat wajah Bu Maylaf langsung dingin. Sementara Furqan menunduk diam.
Pak Kiai mencairkan suasana dengan berbasa-basi menanyakan keadaan. Menanyakan kapan berangkat dan kapan sampai di Solo. Menanyakan menginap di mana? Juga menanyakan perkembangan bisnisnya. Pada akhirnya pembicaraan tentang perceraian Furqan dan Anna tidak terelakkan.
Pak Andi Hasan yang membukanya.
”Maaf Pak Kiai, ini tentang anak-anak kita. Furqan menyampaikan kepada kami kabar yang membuat kami sedih. Katanya dia telah menceraikan Anna. Namun ketika kami tanya sebabnya dia agak berbelit. Jadi untuk itulah kami datang kemari. Terus terang perceraian tidak menjadi tradisi keluarga kami. Kami ingin tahu mungkin sedikit penjelasan bagi kami. Karena mungkin Pak Kiai sebagai orang yang bisa dikatakan tinggal satu rumah dengan mereka lebih tahu. Kalau ikatan perkawinan itu bisa kita usahakan dipertahankan kenapa tidak?”
Pak Kiai Lutfi sudah menduga ia akan dimintai semacam pertanggungjawaban seperti itu. Ia mendesah. Ia bingung harus menjelaskan apa. Dengan agak tergagap Kiai Lutfi bicara,
”Pak Andi, saya me...”
”Abah biar Anna yang bicara!” Tegas Anna memotong. Anna sudah bertekad untuk tidak membuat orang tuanya dipojokkan atau diserang. Pertanyaan Pak Andi ia rasakan seperti minta pertanggungjawaban ayahnya.
”Begini Pak Andi dan Ibu Maylaf, masalah yang ada dalam kamar kami berdua. Abah dan Ummi sama sekali tidak tahu menahu. Kami sudah dewasa. Kami sudah bisa berpikir. Dan Abah saya ini bukan tipe orang tua yang selalu menyuapi anaknya sampai tua. Tidak! Yang jadi perhatian ayah selama ini adalah pesantren. Sebab beliau percaya kepada saya. Bahwa saya bisa mengurus diri saya, suami saya dan rumah tangga saya. Kalau Pak Andi sama Ibu mau bertanya sebab kenapa kami bercerai alangkah bijaknya sekarang bertanya dulu kepada putra Bapak tercinta. Kalau juga dia masih berbelit- belit, dan ruwet kayak benang kusut. Barulah Bapak tanya pada saya. Akan saja jelaskan semuanya sejelas-jelasnya, seterang-terangnya seperti terangnya matahari di siang bolong.”
Dengan nada agak emosi Anna berbicara panjang kepada Pak Andi dan Bu Maylaf. Pak Kiai Lutfi tak mengira putrinya yang selama ini halus dan penurut ternyata bisa juga menyengat seperti lebah yang diganggu sarangnya.
Mendengar perkataan Anna itu Pak Andi agak mengukur diri dengan siapa berhadapan. Anna bagaikan induk betina yang bisa bicara dengan cerdas. Mau tidak mau Pak Andi harus bertanya pada putranya,
”Fur, tolong jelaskan kepada kami semua. Yang jelas, jangan berbelit-belit lagi! Apa sebenarnya yang terjadi?”
Furqan memutar otaknya, ia harus punya penjelasan yang tepat. Ia melihat bara dalam mata Anna. Jika ia tidak membuat semua yang ada di ruangan itu memaklumi kenapa ia harus menceraikan Anna, maka Anna pasti akan membuka apa yang terjadi sebenarnya. Senjata pamungkas ada di tangan Anna. Senjata yang jika digunakan oleh Anna, ia rasa akan binasa.
Dengan suara serak menahan sesak di dada Furqan bicara,
“Ayah dan ibu, Pak Kiai dan Bu Nyai, sebelumnya saya mohon maaf jika peristiwa ini membuat sedih. Jika Ayah dan ibu sedih, saya lebih sedih. Karena, jujur saja, faktor satusatunya, saya ulangi lagi faktor satu-satunya yang membuat saya dan Anna harus bercerai menurut saya adalah diri saya sendiri. Kelemahan dan penyakit dalam diri saya sendiri.”
Furqan mengambil nafas. Sesaat ia berhenti bicara. Matanya berkaca- kaca.
”Bisa lebih dijelaskan lagi faktor itu apa? Kelemahan itu apa?” tanya Pak Andi tidak sabar dengan nada agak jengkel pada anaknya.
”Saya mau tanya pada Bapak, maaf ya Pak sebelumnya, tanpa mengurangi rasa hormat dan ta’zhim sedikitpun sama Bapak. Saat Bapak menikah dengan ibu dulu. Kapan Bapak bisa -maaf- menyentuh selaput dara ibu?”
Pak Andi tersentak kaget. Juga Bu Maylaf. Anna tidak rnenyangka Furqan akan bertanya seperti itu. Pak Andi seperti bingung. Wajahnya memerah. Ia diminta untuk membuka rahasia yang hanya dia dan isterinya yang tahu. Pak Kiai Lutfi tahu besannya itu bingung. Maka ia bicara dengan santai,
”Nak Furqan, kalau saya dulu sama ibunya Anna siangnya akad nikah, malamnya saya sudah mengoyak selaput dara ibunya Anna. Saya tidak bisa sabar menunda hari berikutnya. Saya ingin menunjukkan pada ibunya Anna bahwa dia tidak salah memilih saya. Saya jelaskan ini karena kayaknya masalahmu berhubungan dengan hal seperti ini. Saya tidak perlu malu menjelaskan ini di sini di forum yang kita ingin tahu kejelasan semuanya.
“Pak Andi jadi tersindir. Ia jadi tidak malu untuk berterus terang dengan nada kagok,
“Kalau saya melakukan itu baru berhasil satu minggu setelahnya.”
Bu Maylaf tersenyum mendengarnya.
”Coba ayah dan ibu, juga Pak Kiai dan Bu Nyai bayangkan, saya sampai sekarang tidak berhasil melakukan hal itu. Anna sampai sekarang masih perawan!”
Kata-kata Furqan itu membuat yang ada di ruangan itu kaget bagai disambar halilintar, kecuali Anna.
“Apa Fur? kamu jangan bohong?” Kata Bu Maylaf nanar.
”Saya tidak bohong Bu. Selama enam bulan Furqan tidak mampu melakukan itu.”
”Kau bohong Fur! kamu bersandiwara kan?” Bu Maylaf masih tidak percaya. Anna langsung menyahut,
“Ibu, Furqan tidak bohong. Selama enam bulan masih utuh keperawanan saya. Kami sebenarnya tidak ingin membuka rahasia ini. Tapi kalian semua ingin kejelasan. Apakah setelah jelas juga tidak dipercaya? Ini saya ada visum baru saja saya ambil dari rumah sakit, saya masih perawan. Kalau ibu masih tidak percaya dengan visum ini, saya siap divisum ulang!”
Anna menyerahkan kertas visum yang baru diambilnya pada Bu Maylaf. Furqan tertegun. Ia kaget sampai sedetil itu Anna meyakinkan dirinya bahwa dirinya masih perawan. Bu Maylaf membaca dengan mata berkaca-kaca. Pak Sofyan ikut baca. Pak Lutfi dan Bu Nyai Nur baru tahu apa yang menimpa putrinya.
”Tapi ibu kok sering lihat kamu mandi sebelum Subuh nduk?” Tanya Bu Nyai Nur tiba-tiba.
”Banyak orang yang mandi sebelum Subuh tanpa melakukan hal itu. Apa ada dalam kitab kuning yang memastikan bahwa kalau ada orang mandi sebelum Subuh pasti jinabat, pasti baru saja melakukan hal itu?” Jawab Anna.
”Tapi kelemahanmu itu bisa disembuhkan Fur? Bisa kita obatkan, ke Singapura kalau perlu.” Kata Pak Andi.
”Iya benar.” Imbuh Bu Maylaf sambil menyeka airmatanya.
”Furqan sudah berusaha Bu, sudah setengah tahun. Tapi sia-sia. Ayah dan ibu jangan selalu melihat sisi saya dong. Cobalah empati pada Anna juga. Kalau ibu jadi Anna bagaimana? Sudah enam bulan ternyata punya suami yang tidak juga mampu menyentuhnya. Kalau berobat juga tidak tahu berhasil dan tidaknya. Menurut Furqan yang terbaik, agar tidak ada kezaliman adalah bercerai. Biar Anna mencari suami baru. Sementara itu Furqan berobat. Jika sudah sembuh Furqan akan cari isteri lagi. Toh masih banyak perempuan di muka bumi ini.” Jelas Furqan pada kedua orang tuanya.
Kiai Lutfi merasa sudah saatnya dia bicara.
“Jadi apa yang Pak Andi tadi tanyakan sudah jelas semua. Sekarang menurut Pak Andi bagaimana. Kita bicara dengan nurani orang tua yang mencintai anak-anak kita.”
“Sungguh Pak Kiai, saya sama sekali tidak mengira ternyata masalahnya seperti ini. Maka dengan ini kami mohon maaf, jika anak saya ini telah membuat cahaya kehidupan di keluarga Pak Kiai semacam ternodai. Kami juga mohon maaf telah punya prasangka yang kurang baik pada Pak Kiai. Kalau begini, ya memang kesalahan ada pada Furqan. Kami kira apa yang terakhir disampaikan Furqan cukup bijak. Jalan terbaik memang ya cerai. Biar tidak ada kezaliman. Semoga ini adalah perceraian yang menjadi obat bersama.”
”Amin.”
Malam itu akhirnya tercapai kesepakatan secara damai. Pengajuan masalah ke pengadilan agama akan dipercepat. Saat sidang agar tidak berlarut-larut orang tua Furqan dan orang tua Anna akan ikut bicara dan jadi saksi. Malam itu juga disepakati untuk tetap menjalin tali persaudaraan. Ketika Bu Maylaf pamit, Anna mencium tangan ibu Furqan itu. Dengan linangan air mata Bu Maylaf berkata pada Anna,
“Anakku maafkan Furqan ya, maafkan kami yang mungkin telah menyakitimu.”
”Sama-sama Bu.” Jawab Anna dengan hati terenyuh.
0 komentar:
Posting Komentar