Minggu, 16 Agustus 2009

24 Senandung Gerimis

Jarum jam terasa begitu lama berputar. Detik-detik berjalan terasa begitu berat. Matahari terasa lambat berjalan. Dan malah terasa sangat panjang. Azzam merasa menunggu empat hari lagi bagaikan menunggu empat tahun lamanya.

Ya, empat hari lagi Azzam menikah. Semua persiapan telah matang. Berkali-kali ia latihan menjawab akad nikah dengan menggunakan bahasa Arab yang fasih.

Malu kalau lulusan Mesir menjawab akad nikah tidak fasih.” Pikirnya. Ia sudah membayangkan hari bahagianya itu. Ia membayangkan selesai akad nikah akan menggandeng tangan Vivi dengan penuh kasih sayang. Dan malamnya ia akan tidur dengan sangat nyaman di samping seorang isteri yang penyayang.

Pagi itu gerimis turun. Azzam membayangkan jika Vivi sudah jadi isterinya, alangkah indahnya duduk berduaan berpelukan sambil menikmati gerimis yang turun. Dan saat hujan turun dengan lebatnya ia akan mengajak isterinya masuk kamar untuk bercengkerama dan merasakan kehangatan. Astaghfirullahl Azzam membuang jauh pikirannya yang bukan- bukan. Dalam hati ia menghardik dirinya sendiri,

Kamu itu yang sabar tho Zam, tinggal empat hari lagi, sabar!”

Gerimis tipis turun perlahan. Hati Azzam tak bisa diajak tenang. Ingin rasanya ia terbang ke Kudus, dan minta kepada ayah Vivi agar akad nikah diajukan sekarang. Biar ia bersama Vivi bisa menikmati gerimis pagi yang turun perlahan. Entah ada ilham datang dari mana. Hatinya menulis sebuah puisi:

gerimis turun perlahan wajah kekasih membayang dalam daun-daun yang basah diriku resah menanti pertemuan yang tenang cinta kasih dan sayang Tuhan tolong damaikan hatiku yang gamang

Benar kata banyak orang, jika orang jatuh cinta akan mampu menulis syair beratus-ratus bait jumlahnya. Hati Azzam masih ingin mendendangkan puisi lagi. Namun,

Zam ternyata masih ada yang terlupakan.” Suara ibunya membuyarkan lamunannya. Ia tergagap. Bu Nafis berdiri di samping kanannya sambil mengusap-usap rambutnya.

Nanti rambutmu ini dipotong dulu ya biar rapi.” Kata Bu Nafis lagi.

Iya Bu, rencana nanti sore Azzam mau potong di pojok Pasar Kartasura. Apa sih yang terlupakan Bu?”

Nanti itu di hari walimahnya Husna yang juga sekaligus syukuran pernikahanmu rencananya kan ada pengajian singkatnya. Lha kita belum minta siapa pembicaranya. Enaknya siapa ya Zam?”

Siapa ya Bu? Apa Pak Mahbub saja?”

Ya jangan Pak Mahbub lah Zam. Dia kan sudah ibu minta yang bicara mewakili keluarga, masak dia juga yang mengisi pengajian. Cari yang lainnya, yang kalau bicara enak didengarkan banyak orang dan berbobot isinya gitu lho Zam.”

Azzam berpikir sejenak. Wajahnya tiba-tiba cerah.

Bagaimana kalau Pak Kiai Lutfi Hakim Bu, Pengasuh Pesantren Wangen?”

Lha itu boleh Zam. Kalau begitu ayo kita ke tempat beliau sekarang.”

Sekarang Bu?”

Iya. Mau kapan lagi. Acaranya seminggu lagi. Acaramu di Kudus empat hari lagi. Sudah tidak ada waktu ayo kita berangkat sekarang.” Bu Nafis ngotot.

Husna yang mendengar pembicaraan itu dari dapur berseloroh,

Mbok nanti sore saja tho Bu, kan sedang gerimis. Mobilnya Mas Azzam sedang dipinjam Kang Paimo mengantar ibunya ke rumah sakit.”

Nanti sore ibu ke Kartasura, memastikan baju Bue sudah jadi atau belum. Sudah sekarang saja mumpung Bue sedang luang. Ya kalau tidak ada mobil pakai sepeda motor. Gerimis toh cuma air. Bisa pakai jas hujan tho.”

Nanti Bue sakit kalau kehujanan.” Lanjut Husna.

Biar saya saja yang ke tempat Kiai Lutfi Bu.” Sambung Azzam.

Bue harus ikut. Bue yang akan minta langsung pada Kiai Lutfi, jadi lebih menghormati beliau. Seperti ini tugas orang tua. Insya Allah Bue sehat.”

Atau nunggu Kang Paimo, paling tidak lama Bu,”

Ah kamu ini Zam bantah Bue saja. Sudah sekarang siapsiap kita berangkat. Ya kalau Paimo langsung pulang, kalau dia mampir-mampir kesana-kemari nanti malah kelamaan nunggu. Ayo Zam cepat!”

Bue ini ada apa tho kok tidak sabaran sih.” Seloroh Azzam

Sudah, cepat salin kita berangkat!” Hardik Bu Nafis

Dengan berat hati Azzam harus menuruti keinginan ibunya. Ia ganti pakaian dan siap berangkat. Sebelum berangkat Bu Nafis minta dibuatkan teh hangat.

Bue ini aneh-aneh saja, kenapa tidak tadi-tadi tho. Nanti di tempatnya Pak Kiai Lutfi kan pasti dikasih minuman.” Ujar Husna sambil membawa teh hangat.

Teh buatanmu lain rasanya Na. Enak. Ibu ingin meminumnya barangkali untuk kali terakhir.” Sahut Bu Nafis.

Terakhir bagaimana?” Tanya Husna santai.

Ya terakhir sebelum kamu menikah. Besok kamu kan sudah sibuk ngurusi suamimu.”

Kalau Bue mau, Husna bisa tinggal menemani Bue sampai tua.”

Ah Bue sudah tua kok Nak. Ya yang penting kamu nanti jadilah isteri yang baik.”

Bu Nafis lalu minum teh hangat buatan putri tercintanya itu.

Enak sekali Na. Kalau entah kapan nanti ibu tiada, jagalah kakak dan adikmu ya Na.” Pesan Bu Nafis. Azzam yang mendengar langsung menyahut,

Aku, insya Allah yang akan menjaga Husna dan adik-adik”

Iya, iya, ibu tahu, ibu lupa kamu yang mbarep. Ayo kita berangkat Zam.”

Ayo.”

Dengan mengendarai sepeda motor Husna yang sudah tua, Azzam memboncengkan ibunya menerobos gerimis pagi. Sampai di jalan raya Azzam menambah kecepatan.

Pelan-pelan saja Nak.”

Ini pelan Bu. Motornya Husna tidak bisa dibuat cepat.” ”Hati-hati yang penting sampai dan selamat.”

Iya Bu.” Azzam terus memacu kendaraan tua itu. Sampai di Pasar Tegalgondo ia belok kanan. Lalu terus lurus ke barat. Sampai di pertigaan Polanharjo belok kiri. Akhirnya tiba di halaman rumah Anna.

Saat itu Anna sedang membaca buku Dhawabithul Mashlahah yang ditulis oleh Prof. Dr. M. Said Ramadhan Al Buthi. Anna terhenyak melihat Azzam dan ibunya datang. Entah kenapa hatinya bergetar. Ia langsung membungkam suara hatinya dengan mengatakan,

Dia sudah mau menikah dengan seorang dokter dari Kudus. kamu sudah terima undangannya kan?” Anna bangkit menyambut ke beranda.

Aduh Ibu, kok hujan-hujanan sih. Kenapa tidak menunggu nanti kalau sudah reda saja?” Kata Anna halus.

Iya, ibu ini kalau sudah ada kemauan badai saja diterjangnya. Gunung saja mungkin bisa dipindahkannya.” Sahut Azzam sebelum ibunya bicara.

Iya benar Bue memang begitu sejak dulu. Lha sifat itu kan bagus. Sifat ini yang menurun pada dirimu Zam, hingga kamu sampai ke Mesir.” Ujar ibunya sambil tersenyum pada

Azzam. Mendengarnya Anna tersenyum.

Nduk, Abahmu ada?” Tanya Bu Nafis pada Anna.

Oh ya ada, masih di masjid Bu. Ibu sama Mas Azzam masuk dulu saja. Anna akan panggilkan Abah. Ayo silakan!”

Bu Nafis sama Azzam langsung masuk. Begitu duduk Bu Nafis langsung berkata pada Azzam,

Kok ada ya perempuan yang jelita dan halusnya kayak Anna. Andai saja...”

Menantu ibu, Si Vivi, insya Allah juga halus, bahkan nanti akan Azzam buat lebih halus dari Anna.” Azzam memotong perkataan ibunya.

Ya semoga. Tapi ibu itu kenapa tidak tahu. Ketemu Anna ini kok rasanya kayak ketemu sama anak sendiri.”

Ya karena Anna sudah akrab sama Husna saja kali Bu.”

Mungkin.”

Terdengar langkah kaki melepas sandal. Ternyata Kiai Lutfi. Anna mengikut di belakang

Assalamu’alaikum,” Sapa Kiai Lutfi.

Wa’alaikumussalam.” Jawab Azzam dan Bu Nafis hampir bersamaan.

Sudah lama Zam?” Tanya Kiai Lutfi seraya duduk. Anna lurus ke dalam.

Baru saja sampai Pak Kiai.”

Ibu apa kabarnya?” Tanya Pak Kiai pada Bu Nafis.

Alhamdulillah baik Pak Kiai.”

Senang ya Bu, punya anak seperti Azzam ini. Pinter dan ulet!”

Ah Pak Kiai ini bisa saja. Saya justru ingin punya anak seperti Anna. Halus budi bahasanya.”

Kalau begitu bawa saja Anna Bu, diadopsi saja dia, biar tinggal di rumah ibu, biar latihan bikin bakso he... he... he...”

Wah boleh Pak Kiai he... he... he... Pak Kiai ini bisa juga bercanda.”

Dari ruang tengah Anna mendengar canda Abah dan ibunya Azzam dengan hati berdesir tapi geli. Orang-orang tua kalau bercanda kadang memang bisa benar-benar lucu.

Ibu sama Azzam ini kok hujan-hujan kemari, ada keperluan apa, kok kayaknya penting?”

Iya Pak Kiai, ini begini, alhamdulillah anak saya ini, Azzam, insya Allah mau menikah empat hari lagi.”

Ya, saya sudah tahu, saya baca undangannya.”

Terus adiknya yang si Husna itu juga mau menikah, dengan Ilyas, santri Pak Kiai.”

Iya saya juga sudah tahu.”

Azzam menikah di Kudus, tapi nanti akan mengadakan syukuran di Kartasura. Lha syukurannya Azzam ini dibarengkan dengan acara walimatul ursynya Husna.

Rencananya di acara itu akan kami isi dengan pengajian singkat. Kami mohon Pak Kiai yang memberi mau’idhah hasanahnya.” Terang Bu Nafis,

Mendengar permintaan Bu Nafis, Kiai Lutfi langsung menunduk. Ia malu. Pernikahan putrinya gagal, tapi ia harus memberikan mau’idhah pada orang lain. Dengan berat hati Pak Kiai Lutfi menjawab,

Saya merasa tidak layak Bu, maaf.”

Kami mohon Pak Kiai, sampai hujan-hujan saya kemari, mohon.” Desak Bu Nafis.

Mata Pak Kiai berkaca-kaca,

Apa pantas Bu, orang yang pernikahan putrinya saja gagal kok memberi mau’idhah pernikahan pada orang lain.

Itu namanya kabura maqtan ’indallah” Kata-kata Pak Kiai Lutfi membuat Azzam kaget. Bu Nafis belum paham maksudnya. Anna di dalam langsung menangis tertahan.

Saya tidak paham maksud Pak Kiai.”

Putri saya cerai dengan Furqan Bu. Baru kemarin, Sekarang dalam proses sidang. Memang bukan salah Anna. Yang salah saya. Seharusnya sayalah yang memilihkan jodoh buat dia. Saya pilihkan orang yang saya mantap ternyata saya salah. Saya juga tidak menyalahkan Furqan. Tidak! Yang salah adalah saya, yang waktu itu kurang tegas. Kalau saya tegas mungkin putriku sudah mau punya anak dan bahagia. Apa pantas orang seperti saya yang masih harus banyak belajar ini meskipun dipanggil Kiai untuk memberikan nasihat perkawinan. Jangan paksa saya Bu! Saya malu pada Allah juga pada diri sendiri.” Jelas Pak Kiai dengan air mata meleleh.

Azzam jadi tersentuh. Ia tak tahu apa yang terjadi. Tapi ia tak mau berprasangka apa pun baik pada Anna maupun pada Furqan. Di ruang tengah Anna tidak kuat untuk menahan tangisnya. Ia bergegas ke kamar mandi, menyalakan kran dan menangis tersedu-sedu. Ayahnya sedemikian besar jiwanya, dia malah menyalahkan dirinya sendiri bukan orang lain.

Dalam hati Anna berjanji, untuk mencari suami lagi ia akan serahkan semuanya pada ayahnya. Ia akan tutup mata.

Siapa pun yang dibawa ayahnya akan ia terima dengan hati terbuka. Tanpa ia pinta pikirannya berkelebat ke Ilyas. Ah andai dia yang dulu dia pilih. Ilyas adalah murid ayahnya, dan agaknya ayahnya lebih condong ke Ilyas daripada Furqan. Ah! Sekarang Ilyas mau menikah dengan Husna. Rezeki orang memang sudah ada jatahnya.

Melihat lelehan air mata Pak Kiai Lutfi, Bu Nafis terenyuh, tak berani lagi memaksa. Dengan suara lirih, Bu Nafis berkata,

Kami tidak bisa memaksa Pak Kiai. Kalau boleh tanya siapa kira- kira yang sebaiknya kami pinta untuk mengisi pengajian itu menurut Pak Kiai?”

Coba saja Kiai Kamal Delanggu. Kalau sampai pasar langgu tanya saja sama orang-orang di sana pasti tahu. Nanti kalau sampai sana bilang yang minta Kiai Lutfi. Dia dulu santri di sini juga.”

Insya Allah kami ke sana segera.”

Di luar gerimis masih turun. Langit suram. Beberapa kali suara guruh bergemuruh. Anna masih di kamar mandi. Ia harus membuatkan minuman. Ia menyeka mukanya dengan sedikit air, lalu mengusapnya dengan handuk. Ia ke dapur membuat teh hangat. Lalu mengeluarkan ke ruang tamu.

Azzam menunduk sama sekali tidak memandang ke wajah atau ke jari-jari Anna seperti yang pernah ia lakukan dulu. Pikirannya sepenuhnya untuk Vivi, putri Kiai Lutfi itu sudah tidak ada dalam pikirannya sama sekali.

Setelah minum teh itu Azzam dan Bu Nafis mohon diri. Gerimis masih turun dari langit. Bu Nafis memakai jas hujan. Azzam mengelap air yang membasahi jok motor.

Apa tidak ditunggu nanti saja jika sudah benar-benar tidak ada gerimis?” Ujar Pak Kiai.

Kalau gerimis seperti ini biasanya sampai sore, Pak Kiai.” Jawab Azzam.

Atau ibumu biar diantar Anna pakai mobil ke rumahmu. Dan kamu saja yang ke rumah Kiai Kamal.” Usul Pak Kiai.

Ah tidak usah Pak Kiai. Saya juga ingin silaturrahmi ke sana. Delanggu itu tidak jauh kok.” Bu Nafis menukas.

Iya monggo kalau begitu.”

Azzam menyalakan mesin. Ibunya membonceng ke belakang. Keduanya rapat dalam balutan jas hujan. Setelah mengucapkan salam keduanya meninggalkan pesantren dan meluncur ke Delanggu.

Azzam mengendarai motor tua itu dengan tenang. Motor itu melewati jalan raya Solo-Jogja. Bergerak lima puluh kilometer perjam ke selatan. Ke Delanggu. Azzam berjalan di pinggir. Karena bus dan truk melaju dengan sangat kencang. Jalan itu bukan jalan tol tapi mirip jalan tol.

Gerimis masih turun. Alam basah dan muram. Azzam mengendarai motor tua itu dengan tenang. Hatinya bahagia bisa memboncengkan ibunya dengan penuh cinta. Tiba-tiba entah dari mana datangnya hatinya seperti mendendangkan sebuah sajak cinta untuk ibunya:

Ibu, aku mencintaimu seperti laut mencintai airnya tak mau kurang selamanya..

Sepeda motor Azzam melaju tenang di pinggir jalan. Sawah menghijau di kiri jalan, dan pohon-pohon menghitam di kejauhan. Azzam melaju tenang di pinggir jalan. Ia beriringan dengan mobil pick up hitam yang membawa buah pisang. Azzam begitu mencintai ibunya. Hatinya ingin mendendangkan puisi lagi. Namun, tiba tiba dari arah belakang sebuah bus berkecepatan tinggi hendak menyalip mobil pick up. Bus itu membunyikan klakson dengan keras. Azzam minggir sampai di batas akhir aspal. Bus tetap melaju dengan kecepatan tinggi Motor yang dikendarai Azzam. Dan...

Duar!!!

Bemper bus bagian depan menghantam motor yang dikendarai Azzam.

Allah!!” Jerit Azzam spontan.

la terpelanting seketika beberapa meter ke depan. Dan langsung pingsan. Bu Nafis terpelanting lebih jauh dari Azzam. Helm Bu Nafis lepas sebelum kepalanya dengan keras membentur aspal. Darah mengucur dari dua tubuh lemah tak berdaya itu. Darah itu mengalir di aspal bersama air hujan. Bus berkecepatan tinggi itu lari dan langsung dikejar oleh pick up hitam.

Gerimis turun semakin deras, ketika tubuh Azzam dan ibunya ditolong banyak orang. Seorang bapak setengah baya yang kebetulan lewat dengan membawa mobil Kijang dihentikan. Dengan Kijang itu Azzam dan ibunya dilarikan ke rumah sakit terdekat. Darah mengucur semakin deras mengiringi gerimis yang semakin deras.

0 komentar:

Posting Komentar

REVAN NINTANG BLOG. Diberdayakan oleh Blogger.