Minggu, 16 Agustus 2009

13 TAMU TAK DIUNDANG

Malam itu Anna tidak bisa tidur gara-gara pertanyaan Laila tentang lamaran Furqan itu. Pikirannya tidak tenang. Sudah tiga bulan lamaran itu disampaikan Mbak Zulfa kepada nya, tapi ia belum juga bisa mengambil keputusan. Ini adalah waktu terlama baginya dalam menimbang sesuatu. Entah kenapa kali ini tidak mudah baginya untuk mengatakan "tidak", seperti sebelum-sebelumnya.

Ia benar-benar belum menemukan alasan untuk menolak lamaran Mantan Ketua PPMI yang terkenal cerdas dan tajir itu. Juga tidak mudah untuk mengatakan "ya". Ia belum mera sakan kemantapan hati untuk menjadi pen-damping hidupnya.

Ia sendiri tidak mengerti kenapa tidak juga merasakan keman tapan hati. Ia tidak mungkin melangkah tanpa kemantapan hati. Baginya menerima lamaran seseorang kemudian menikah adalah ibadah. Dan ibadah tidak sempurna jika tidak disertai keman-tapan hati dan jiwa.

Jarum jam dinding di kamarnya menunjukkan pukul dua dini hari. Matanya tidak mau terpejam. Bagaimana jika Fur qan, atau Mbak Zulfa mendesaknya lagi untuk segera mem beri kepastian? Ia bangkit dari kasur. Duduk dan menunduk . Kedua matanya yang sedikit merah menggu -ratkan kelelahan. Namun sama sekali tidak mengurangi pesona kecantikannya. Dari kamar sebelah sayup -sayup ia mendengar suara detak keyboard komputer. Dari kamar Wan Aina. Mahasiswi asal Selangor Malaysia yang pernah belajar di Diniyah Putri Padang Panjang itu memang seorang pekerja keras.

Anna tahu persis gadis Melayu pecinta lagu-lagunya Ummi Kultsum itu benstirahat hanya dua jam. Ia sangat salut padanya. Wajar, jika tahun pertama di S.2 Al Azhar dilaluinya dengan mudah. Tak ada satu mata kuliah pun yang tertinggal. Anna beranjak ke kamar Wan Aina. Mengetuk pintunya pelan.

"Masuk saja!" Suara Wan Aina dari dalam kamar. Anna membuka pintu dan masuk perlahan. Wan Aina

duduk di depan komputer tanpa jilbab. Rambutnya dipotong pendek. Sedikit di atas bahu. Matanya terfokus pada buku yang ia letakkan di samping kanan monitor komputernya. Sementara sepuluh jarinya yang lentik menari-nari indah di atas tuts -tuts keyboard komputer Anna mendekat berdiri di sampingWanAina.

"Nerjemah apa Wan?"

"Ini Kak, nerjemah cerpennya Ibrahim Ashi," jawab Wan Aina. Ia memang biasa memanggil Anna kakak, "Nak ku -kirim ke majalah sastra miliknya Dewan Bahasa dan Pustaka di KL," lanjut Wan Aina sambil sesekali membe-tulkan tulisan yang salah.

"Apa judulnya Wan?"

"'Alal Mughtasal. Sebuah cerpen yang penuh kritik sosial. Ada kalimat dari Ibrahirn Ashi yang menggelitik sekali." Jelas Wan Aina sambil tetap mengetik.

"Kalimat apa itu Wan?"

"Ibrahim Ashi menulis: Orang-orang kaya tidak mati mati... Orang-orang kaya bisa menyuap Izrail."

"Ada-ada saja sastrawan itu. Eh Wan, ngomong ngomong kamu pernah nggak dikhitbah seseorang?"

"Apa Kak? Dikhitbah?" Wan Aina menghentikan jari jemarinya. Ia memalingan wajahnya ke Anna.

"Ya. Dikhitbah. Dilamar. Pernah nggak kamu dilamar seseorang untuk dijadikan isterinya." Anna mengulang perta nyaannya dengan lebih jelas.

"Ya pernah lah. Sudah dua kali. Tapi dua -duanya aku tolak mentah -mentah!"

"Kenapa?"

"Sebab aku tidak yakin bisa mencintai dia." "Meskipun agamanya baik?"

"Ya. Yang kucari adalah yang agamanya baik dan aku yakin bisa mencintainya. Aku bisa berbakti padanya dengan penuh rasa suka, rasa cinta dan ikhlas. Kenapa Kak Anna tiba tiba bertanya khitbah padaku? Apa ada yang mengkhitbah lagi?"

"Iya. Tapi yang ini membuatku susah."

"Kenapa?"

"Aku belum yakin bisa mencintainya. Namun aku juga masih merasa berat jika menolaknya." Terang Anna pada WanAina. Selama ini Wan Aina adalah teman yang pa-ling aman diajak bicara dari hati ke hati. Ia sangat dewa -sa dan bisa menjaga rahasia.

"Menurutku kakak tidak usah tergesa -gesa. Kak Anna tunggu dulu sampai benar -benar siap mengambil kepu-tusan yang matang. Jika yang mengkhitbah tidak sabar, ya biar mundur. Jangan tergesa -gesa memutuskan Kak. Tergesa-gesa itu datangnya dari setan. Menentukan siapa yang jadi pasangan hidup kita itu ibarat sama dengan menentukan nasib kita selanjutnya. Harus benar benar matang dan penuh pertimbangan. Oh ya Kak , ba-gaimana tiketnya? Sudah beres?"

"Besok saya bayar insya Allah . Dua hari lagi bisa saya ambil."

"Baguslah. Tiket Aina sudah Aina ambil. Kita jadi ke Kuala Lumpur awal pekan depan, insya Allah Hari Ahad kita ikut seminar sehari tentang Ulama Perempuan di Asia Tenggara yang diadakan PMRAM, HW, PPMI, Wihdah dan ICMI di Auditorium Shalah Kamil. Hari Seninnya kita terbang ke KL. Keluarga saya akan menanti kita di air port. Kak Anna tak usah kuatir. Saya sudah cerita semua pada mereka. Mereka sangat berbahagia dengan kedatangan Kakak."

"Terima kasih Wan. Mungkin dengan pergi ke Malaysia pikiranku bisa lebih jernih dan tenang. Dan kupikir ma-salah khitbah ini perlu aku musyawarahkan dengan abah dan ummiku di Indonesia."

"Itu lebih baik Kak."

"Kau sudah Tahajud Wan?" "Belum Kak."

"Kita Tahajud bareng yuk. Kita gantian jadi imam biar sekalian muraja'ah." 56 56 Mengulang hafalan (Al -Quran).

"Boleh Kak. Tapi aku selesaikan satu halaman ini dulu ya. Kakak ambil wudhu dan shalat dulu saja di kamar kakak. Nanti saya ke sana."

"Baiklah." Jawab Anna dan langsung bergegas mengambil wudhu.

Jam beker di kamar Azzam terus berdering. Azzam masih saja pulas. Jarum menunjukkan pukul dua empat puluh menit. Tak lama kemudian jam beker itu berhenti. Lima menit kemudian jam beker yang satunya berdering. Sudah menjadi kebiasaan Azzam memasang dua beker untuk mengamankan dirinya agar bisa bangun malam. Ia masih ingat pesan ibunya sebelum berangkat ke Mesir, Jangan tinggalkan shalat malam!"

Jam beker kedua sudah dua menit berdering, Azzam tidak juga bangun. Tiba -tiba...

Dar... dar... dar..!

Azzam tersentak. Seluruh penghuni rumah itu juga terbangun kaget! Dan...

Dar..dar..dar...!

Iftahil baab! If tahil baab! 57 57 Buka pintu! Buka pintu!

Ada suara mengetuk pintu dengan keras disertai perintah untuk membuka pintu juga dengan suara keras Mata Azzam masih berkunang-kunang. Kepalanya masih tera-sa sangat berat. Namun telinganya bisa menangkap jelas suara perintah membuka pintu itu. Ia bisa menangkap dengan jelas itu adalah suara orang Mesir. Belum sempat beranjak dari tempat tidur. Gedoran keras kembali terde-ngar.

Dar..dar..dar...!

Iftahil baab! Iftahil baab!

Ia tersadar dengan membawa kemarahan di ubun ubun kepalanya.

"Orang Mesir tak tahu adab dan sopan-santun! Malammalam menggedor-gedor rumah orang seenaknya. Me-mang rumah mbahnya apa!" Sengitnya pada diri sendiri seraya berjalan cepat ke ruang tamu. Teman temannya yang lain sudah bangun. Nanang mengikutinya di bela -kang. Ketika ia hendak membuka pintu, gedoran di pintu mengagetkannya,

Dar..dar..dar...!

Iftahil baab! Iftahil baab!

Spontan ia berteriak keras: "Na'am ya alilal adab! " 58 58 Ya, hai orang yang kurang ajar!

Lalu membuka pintu. Begitu pintu terbuka ia kaget bukan kepalang. Seorang berpakaian serangam hitam lang-sung menodongkan senjata kepadanya dan membentak,

"Mana Wail!"

Ia mundur. Ali menyalakan lampu. Seketika tiga orang berseragam hitam menerjang masuk dan langsung me-nutup pintu. Azzam berusaha tenang, meski nyalinya ciut saat itu.

"Di rumah ini tak ada yang bernama Wail! Kami juga tidak mengenal Wail kecuali Wail Kafuri penyanyi pop yang terkenal itu." Jawab Azzam tenang dengan suara sedikit bergetar.

"Jangan bohong! Kami yakin Wail El Ahdali ada di rumah ini! Kami akan periksa. Jika ia ada di rumah ini, ka-lian 59 59 Inteljen.semua akan kami bawa! Kami mabahits dari amn daulah! " 60 60 Keamanan Negara. Orang Mesir tinggi besar dan berkumis tipis itu menjelaskan siapa mereka dengan nada ancaman yang membuat Azzam tersadar dengan siapa dia berhadapan.

Azzam langsung pasrah. Jika Nasir mengabaikan perintahnya dan Wail masih ada di situ, menginap di situ, maka habislah orang satu rumah. Ia sangat berharap Nasir mema tuhi perintahnya. Entah kenapa, ia yakin Wail tidak ada di situ, maka dengan tegas ia menjawab,

"Kapten, meskipun kalian mabahits , kalian tidak bisa seenaknya masuk rumah kami tanpa ijin. Tidak bisa seenaknya menginjak-injak kehormatan kami. Kami tidak kenal siapa itu Wail yang kalian maksud. Di rumah ini tidak ada yang bernama Wail. Sebaiknya kalian segera keluar dari rumah ini. Karena kami tidak mengijinkan kalian masuk!"

"Sebaiknya kau diam saja di tempatmu. Jangan macammacam!" bentak si Kumis Tipis pada Azzam, lalu memerintahkan tiga anak buahnya untuk memeriksa seluruh sudut ruangan.

Ali, Nanang dan Fadhil berdiri gemetar. Bibir mereka biru. Tak sepatah kata pun mereka ucapkan. Tak terasa ada yang membasahi celana Fadhil. Anak Aceh itu didera keta kutan yang amat sangat. Trauma beberapa tahun silam langsung hadir kembali. Kejadian saat itu langsung mengingatkannya pada kejadian tujuh tahun silam di Aceh, saat rumah nya didatangi tentara berseragam tengah malam. Mereka menuduh ayahnya sebagai anggota gerakan pengacau keamanan yang dianggap paling menyengsarakan rakyat Aceh dan dianggap membaha-yakan Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Ayahnya yang hanya seorang guru ngaji biasa, dan peda gang biasa, jadi bulan-bulan tentara-tentara itu. Ayahnya lalu dibawa pergi. Satu bulan kemudian tentara -tentara itu datang lagi membawa ayahnya ke rumah dalam kondisi antara hidup dan mati. Satu hari berikutnya ayahnya meninggal di pangkuannya dengan mening-galkan pesan singkat,

"Jangan menyimpan dendam. Jadilah Muslim sejati! Jadilah orang Aceh sejati!"

Tiba-tiba Fadhil merasa tulang-tulangnya seperti hilang. Ia merasa seperti lumpuh. Lalu ingatannya hilang. Ia pingsan. Tubuhnya ambruk di lantai. Azzam kaget. Demikian juga Ali dan Nanang. Azzam terpaku sesaat di tempatnya. Ia ragu untuk mendekati Fadhil. Namun sebagai kepala rumah tangga ia harus bertanggung jawab. Maka dengan cepat ia melihat kondisi Fadhil. Ali dan Nanang masih mematung di tempatnya.

"Jika ada apa-apa dengan temanku ini, kalian harus bertanggung jawab. Jika misalnya ia terkena serangan jantung dan mati, maka kalianlah pembunuhnya dan itu akan diselesai kan secara diplomatik!" Geram Azzam sambil memandang si Kumis Tipis. Ia lalu memeriksa denyut nadinya. Masih. Si Kumis Tipis ikut memeriksa lalu berkata,

"Dia hanya kaget. Tak apa -apa. Nanti juga bangun!"

Tiga orang intelijen berseragam hitam masih memeriksa di kamar. Mereka meneliti kondisi kamar dengan seksama.

Termasuk buku-buku yang ada di semua kamar. Lima belas menit kemudian, mereka keluar dan membe-rikan laporan pada si Kumis Tipis,

"Komandan, yang kita cari tak ada di rumah ini. Setelah kami periksa juga tak ada yang mencurigakan . Buku buku yang mereka baca biasa saja!"

"Hmm begitu ya! Tapi aku kok masih merasa laporan ke kita bahwa Wail ke sini adalah benar. Tukang sayur itu sangat tajam dan jarang meleset!" Kata si Kumis Tipis yang ternyata adalah komandan operasi mabahits itu.

Azzam mendengar dengan seksama. Kalimat yang terakhir disampaikan sang komandan menjadi catatan baginya. Tukang sayur yang mana yang menjadi anggota mabahits itu. Azzam meminta Ali dan Nanang mengangkat Fadhil ke tempat tidurnya. Dalam hati ia bersyukur, Nasir dan Wail yang beberapa jam yang lalu ada di situ, saat itu tidak ada di situ.

Komandan berkumis tipis itu melakukan pemeriksaan ulang dengan lebih teliti. Ia juga melihat ke kolong tempat tidur, kamar mandi dapur dan dua balkon. Ia tidak menemu kan apa yang ia cari. Ia lalu mengorek -ngorek tempat sampah. Dan menemukan sesuatu. Beberapa biji tusuk kabab, dan bungkus roti. Ia bawa barang bukti yang membuatnya merasa menang.

Di kamar Fadhil, Azzam memberitahu kepada Ali dan Nanang agar lebih banyak diam. Biar dia nanti yang bicara menghadapi para mabahits itu. Mereka diminta mengiyakan apa yang dikatakannya dan menidakkan apa yang ditidak kannya. Azzam menduga komandan mabahits itu akan melaku kan penyelidikan serius dan akan menginterogasi dirinya dan teman-temannya untuk mendapatkan apa yang dicari. Ia sendiri tidak mau tahu apa urusan mabahits Mesir itu dengan Wail, pemuda yang dibawa Nasir. Yang paling penting baginya adalah menyelamatkan dirinya dan seluruh anggota keluarganya dari bahaya yang sedang mengancam mereka.

Dugaan Azzam benar.

"Kalian bertiga keman! Temanmu yang pingsan itu biar ditunggui anak buahku. Tenang, aku akan bertanggung jawab jika ada apa -apa dengan temanmu yang penakut itu!" Kata komandan itu pada Azzam, Ali dan Nanang tegas.

Azzam bangkit ke ruang tamu diikuti Ali dan Nanang. Meskipun ia sebenarnya sangat marah dan jengkel, tapi ia sadar bahwa dirinya tinggal di negeri orang.

Azzam duduk di hadapan sang komandan. Ali dan Na nang duduk di sampingnya. Sang komandan memegang tusuk kabab sambil tersenyum,

"Tolong jawab, siapa yang membeli kabab dan roti ini? " Azzam langsung sadar akan digiring ke mana ia dan teman-temannya. Maka dengan tegas Azzam menjawab,

"Saya!" Dalam hati ia meneruskan: "tidak membelinya." Sebab ia tahu yang membeli adalah orang yang dicari mabahits itu.

"Kamu?!" Komandan itu kaget dengan ketegasan Azzam. "Ya." tegas Azzam. Ali dan Nanang tegang.

"Benarkah perkataannya? Hei kau, siapa namamu?" tanya komandan kepada Ali.

"Nama saya Ali. Jika dia yang mengatakan ya berati ya." Jawab Ali pelan.

"Apa kau tahu kapan dia belinya?"

"Persisnya saya tidak tahu. Saya tidur awal tadi. Dan dia selalu tidur paling akhir. Bisa jadi saat saya tidur dia membeli kabab dan roti itu untuk mengisi perutnya yang lapar. Sebab dia tidak bisa tidur jika perutnya lapar."

Komandan itu mengerutkan dahi. Dengan sedikit mengejek Azzam berkomentar santai,

"Malam ini adalah malam yang takkan kami lupakan. Selama ini kami merasa berada di sebuah negara yang sangat menjaga sopan santun. Dugaan kami ternyata keliru. Malam ini kami dibangunkan dengan paksa hanya untuk ditanya tentang siapa yang membeli tusuk kabab. Kenapa tidak memerin tahkan kepada semua penjual kabab agar setiap pembelinya menyerahkan tanda pengenal untuk didata. Sehingga dengan mudah akan diketahui siapa saja yang membeli kabab."

Kata -kata Azzam itu membuat telinga komandan mabahits panas. Serta merta ia menunjukkan bahwa dialah sebenarnya sang tuan rumah.

"Tolong tunjukkan paspor kalian! Saya ingin tahu apa kalian legal berada di negeri ini!" Kata sang komandan dengan nada marah.

"Sebentar. Kami ambilkan!" Jawab Azzam. Ia lalu bangkit menuju kamarnya untuk mengambil paspor. Hal yang sama dilakukan oleh Ali dan Nanang. Mereka bertiga menyerahkan paspor kepada komandan itu. Sang komandan lalu memeriksa paspor-paspor itu dengan seksama. Tak ada yang tidak beres. Namun komandan itu masih belum puas.

"Kalian satu rumah ini berapa orang?" Selidik komandan itu.

Dengan tegas Azzam menjawab, "Lima orang, ditambah saya jadi ada enam orang! " Azzam tidak berani bohong. Sebab ia yakin komandan itu akan mencari kepastian dengan melihat akad kontrak sewa rumah. Yang biasanya, di akad kontrak itu, tertera berapa orang yang mengisi rumah itu.

"Jadi enam orang ya?" Ulang komandan. "Ya."

"Berarti dua orang tidak ada di rumah?" "Ya."

"Di mana mereka?"

Azzam pura -pura bertanya pada Ali, "Di mana mereka Li?”

Ali menjawab jujur seperti yang ia ketahui "Yang satu sedang di Tanta dan yang satunya di Katamea."

"Di Tanta dan Katamea?" Ulang komandan. "Ya!" Jawab Ali tegas.

"Untuk apa kira -kira teman kamu pergi ke Tanta? Dan untuk apa pergi ke Katamea," tanya komandan dengan tetap mengarahkan pandangan ke Nanang.

"Ya, biasa berkunjung ke rumah teman. Sesama orang Indonesia. Mahasiswa Indonesia kan tidak hanya di Cairo."

"Siapa nama teman kalian yang ke Tanta itu?" "Nasir."

"Yang ke Katamea?" "Hafez."

"Tolong saya ingin lihat surat akad perjanjian sewa rumah ini!" Pinta Sang Komandan.

Dugaan Azzam kembali benar. Azzam langsung bergegas mengambil surat yang diminta. Sejurus kemudian surat akad sewa rumah itu telah ada di tangan sang komandan berkumis tipis. Surat itu diteliti dengan seksama terutama nama nama penghuni rumah. Semua sesuai dengan keterangan Azzam. Komandan itu mengangguk-anggukkan kepala.

"Mungkin benar kata anak buah saya, kami salah rumah. Kami minta maaf atas kelancangan kami malam ini. Kami minta diri!" Kata sang komandan dengan wajah lebih bersahabat.

"Bagaimana dengan teman kami yang kalian buat pingsan. Kami minta pertanggung jawaban!" tukas Azzam.

"Dia tidak apa -apa. Hanya ketakutan saja. Kau lihat kan dia sampai kencing. Nanti dia akan bangun dan baik kembali. Anggap saja ini latihan membina mental dia." jawab koman dan itu diplomatis.

"Kalau ada apa-apa dengan dia bagaimana? Apa kalian akan lepas tangan begitu saja? Kalau kalian tidak mau bertanggung jawab, kasus ini akan kami angkat ke permukaan. Akan kami tulis di koran-koran dunia. Kami akan minta wartawan yang bisa menulis untuk menulisnya." Azzam tak mau kalah, sebab ia merasa benar. Sudah menjadi watak Azzam untuk sebuah kebenaran ia siap berduel sampai mati.

"Baiklah. Jika ada apa-apa temui saya di kantor mabahits Abbasea. Nama saya Hosam. Lengkapnya Letnan Kolonel Hosam Qatimi. Saya akan urus semua. Sekarang kau rawat dulu. Jangan banyak berbuat ulah di Mesir. Ijin kalian di sini hanya untuk belajar. Ingat itu!"

Tanpa menunggu jawaban Azzam, komandan itu bangkit dan mengajak ketiga anak buahnya meninggalkan rumah itu. Ali dan Nanang cepat-cepat ke kamar Fadhil. Azzam mengucap hamdalah dalam hati. Ia tidak bisa membayangkan apa yang akan dialaminya jika Wail El Ahdali jadi menginap di situ. Ia menyandarkan punggungnya ke kursi. Tiba-tiba ia teringat sesuatu: Nasir dalam bahaya. Dalam bahaya jika terus bersama Wail. Tetapi di mana Nasir berada malam itu? Ia tidak tahu. Yang jelas ia harus secepatnya tahu di mana Nasir berada. Baru ia bisa mengambil langkah.

Azzam melihat jam dinding. Sudah jam setengah empat lebih dan ia belum shalat malam. Ia pernah mendengar dari seorang ulama bahwa shalat malam dapat menghapus kegelisahan dan mendatangkan ketenangan. Ia ingin shalat beberapa rakaat saja, baru ikut mengurus Fadhil yang masih pingsan.

0 komentar:

Posting Komentar

REVAN NINTANG BLOG. Diberdayakan oleh Blogger.