8 Kecerdasan Eliana
Dukuh Sraten Kartasura gempar! Husna dan Azzam masuk televisi! Hampir seluruh penduduk Sraten menyaksikannya. Husna tampak sesaat di berita infotainment seputar selebritis. Yaitu saat Eliana diwawancarai di Bandara. Penduduk dukuh Sraten seolah tidak percaya bahwa Azzam dekat dengan bintang film terkenal Eliana Pramesti Alam. Mereka terhenyak ketika Eliana mengaku bahwa pria paling dekat dengannya adalah Azzam. Ditambah dengan opini narasi berita yang menggiring pembaca bahwa Azzam adalah pacar Eliana.
Tayangan kedua adalah acara di Graha Bhakti Budaya TIM yang disiarkan secara live se-Indonesia. Meskipun banyak bintang dan artis, namun bintang sesungguhnya adalah Ayatul Husna. Kata sambutannya dan puisinya yang ditujukan untuk sang kakak membuat Husna menjadi latunya para artis dan bintang malam itu. Usai acara Husna dan
Azzam diwawancarai. Lalu tampak Eliana mengucap-kan
selamat pada Husna. Keduanya berpelukan akrab. Hal itu semakin mengukuhkan, bahwa Eliana seolah sudah sangat kenal dengan keluarga Azzam. Bahkan sudah sangat akrab dengan adiknya.
Pagi harinya beberapa Koran ibu kota dan daerah mengulas berita itu. Profil Husna dimuat di sebuah Koran yang bernuansa islami di ibu kota. Foto Azzam tampak berdua dengan Eliana muncul di beberapa koran.
Tak terkecuali Ibu Nafis, Ibu kandung Azzam juga menyaksikan itu semua dari televisi bersama Lia.
Perempuan setengah baya itu matanya berkaca-kaca. Haru dan bahagia. Dua anaknya sudah masuk televisi. la sempat waswas Azzam diberitakan sebagai pacar Eliana. Tapi ia sangat yakin dengan kualitas akhlak putranya itu. Ia jadi bangga. Ia akan merestui jika putranya itu misalnya menikah dengan Eliana. Ibu mana yang tidak suka putranya menikah dengan gadis yang sedemikian cantiknya. Gadis yang menjadi pujaan pemuda se-Indonesia. Begitulah cara berpikir Bu Nafis. Sederhana saja.
Matahari menuju tengah petala langit.
Lia sudah pulang dari mengajar. Ia pulang jam setengah sebelas. Ia ijin pada kepala sekolah unruk pulang lebih awal hari itu. Sampai di rumah ia langsung menyalakan televisi.
Dan kembali ia menyaksikan wawancara Eliana saat tiba di Bandara. Dalam dua hari ini, entah sudah berapa kali wawancara itu ditayangkan di televisi. Tapi anehnya ia tidak bosan-bosan juga menontonnya. Entah kenapa, meskipun ia tidak suka dengan perempuan yang tidak memakai jilbab, tapi ia merasa bangga kakaknya dekat dengan Eliana.
Lia memperhatikan serius wawancara itu,
“Siapa pria paling dekat dengan Eliana saat ini?" Seorang wartawan bertanya.
"Em... siapa ya. Yang paling dekat saat ini seorang mahasiswa di Cairo namanya Khairul Azzam!" Jawab Eliana.
Lalu kelihatan wajah Azzam yang kaget.
“Orang itu sekarang ada di mana?" Kejar wartawan itu.
“Ini di samping saya." Jawab Eliana santai.
Seketika moncong kamera dan belasan alat perekam mengarah ke Azzam. Berondongan pertanyaan mengarah ke Azzam,
“Sejak kapan Anda kena! Eliana?"
“Aduh ini apa-apaan!" Seru Azzam panik.
“Santai saja Mas. Kita kooperatif saja jadi enak. Sejak kapan Anda kenal Eliana?"
“Aduh, gimana ini. Mbak Eliana, bicara dong. Wah kok jadi rumit begini sih!" Kata Azzam pada Eliana.
“Dia tidak biasa menghadapi wartawan. Kami kenal sejak satu tahun yang lalu." Sahut Eliana dengan tenang.
“Benar Anda dekat dengan Eliana?" seorang wartawan mencercar.
“Kebetulan tadi kami satu pesawat dan tempat duduknya berdekatan. Saya di F, dia di E. Jadi kami memang dekat."
Jawab Azzam.
“Apa profesi Mas saat ini?"
“Jualan bakso."
“Ah, jangan bergurau Mas."
“Sungguh. Tanya saja pada Eliana!" Wartawan itu langsung bertanya pada Eliana,
“Benarkah dia berjualan bakso?"
“Ya benar. Para diplomat adalah para pelanggannya." Jawab Eliana.
Klik. Selesai.
Layar kaca menampilkan berita selebritis lain. Lia langsung mematikan televisinya itu.
"Berita wawancara itu lagi ya?" Tanya Bu Nafis pada putrinya sambil membawa sepiring mendoan14 14 Mendoan; Tempe yang digoreng dengan dibalut adonan tepung yang diberi bumbu
"Iya. Kak Azzam jadi terkenal sekarang Bu. Eh Bu’e...
Bu’e... apa benar ya, Kak Azzam itu pacarnya Eliana? Kok bisa ya? Aku kok belum ketemu nalarnya?" Cerocos Lia.
“Bu’e kok tidak yakin. Besok saja kita tanyakan langsung pada kakakmu. Mereka katanya akan sampai di Kartasura jam enam pagi besok." Jawab Bu Nafis.
Sepiring mendoan goreng itu masih mengepulkan asap. Bu Nafis baru saja mengangkatnya dari dapur. Aromanya merasuk hidung Lia yang sedang lapar. Air liurnya seperti mau keluar. Wajah Bu Nafis tampak cerah. Ia meletakkan mendoan itu di meja tepat di hadapan Lia. Karena memang itulah satu-satunya meja di ruang tamu. Meja serbaguna.
Lia tersenyum pada ibunya. Lesung pipinya membuatnya lebih mempesona. Mendoan goreng yang masih panas atau hangat memang kesukaannya sejak kecil. Seminggu paling tidak tiga kali ia membuat mendoan. Ibunya juga suka mendoan seperti dirinya. Dalam anggapannya, di dunia ini tak ada makanan ringan yang lebih nikmat dari mendoan.
“Bu’e, Bu’e... ingat nggak makanan apa yang paling disukai Kak Azzam?" Tanya Lia sambil mencomot mendoan satu
“Ingat."
“Apa coba?"
“Mendoan." “Salah!"
“Masak salah?"
“Iya salah. Kak Azzam memang suka mendoan, tapi ada yang lebih ia sukai."
"Apa itu?"
“Bakwan."
“O ya benar Bakwan, sama seperti ayahmu dulu. Suka sekali mereka sama Bakwan."
“Bu’e kalau Kak Azzam benar dekat sama Eliana. Terus nanti mau menikahi Eliana, Bu’e setuju tidak?"
“Kalau Eliana itu muslimah. Mau mengaji. Mau menutup aurat dengan baik dan taat pada suami ya ibu setuju saja. Siapa tho yang tidak ingin punya menantu cantik dan kaya seperti Eliana?"
“Kalau Eliana tidak mau menutup aurat dengan baik. Terus kalau main film cium-ciuman sama lawan mainnya, bagaimana Bu?"
“Wah kalau seperti itu ya lebih baik menikah dengan gadis tetangga yang baik dan shalehah. Apa gunanya punya menantu yang suka ciuman sama lelaki lain. Ih, itu tidak bisa menjaga kehormatan namanya."
“Tapi artis sekarang rata-rata begitu Bu."
“Semoga Eliana tidak seperti itu."
Sementara itu, di sebuah kamar hotel Sofyan Azzam mengingat puisi yang dibaca adiknya untuknya. Puisi yang begitu tulus. Husna sekarang bukanlah Husna si anak nakal yang dulu memukul pelipisnya sampai berdarah. Bukanlah Husna yang sering membuat onar dan membuat jengkel banyak orang. Husna sekarang adalah penulis cerpen yang baik, psikolog dan dosen di UNS yang dicintai teman-teman dan anak didiknya.
Manusia bisa berubah. Demikian juga Husna. la telah berubah setelah melewati proses yang sangat panjang.
Seorang nabi sekalipun menjadi matang sehingga mampu memikul risalah setelah melalui proses panjang. Setelah melalui tempaan-tempaan. Sebelum menjadi nabi, seorang Yusuf harus dibuang di dalam sumur. Lalu dijual sebagai budak. Diuji fitnah Zulaikha. Dipenjara. Barulah dimuliakan oleh Allah.
Sebelum menjadi manusia yang dijamin masuk surga, Umar bin Khattab pernah jahiliyyah. Pernah melakukan perbuatan keji, membunuh anak perempuannya yang baru lahir dengan menanamnya hidup-hidup. Ia juga memusuhi dakwah Nabi. Bahkan berniat membunuh Nabi! Namun Umar terus berproses dengan mengikuti nuraninya yang fitri. Umar terus berusaha lebih baik dari hari ke hari dengan mengikuti petunjuk nabi.
Ia teringat satu baik puisi adiknya yang sangat menyentuhnya itu.
Kau mencintaiku
Seperti matahari Mencintai titah Tuhannya Tak pernah lelah Membagi cerah cahaya Tak pernah lelah Menghangatkan jiwa..
Ingin rasanya membalas puisi adiknya itu. Tapi ia bukanlah seorang penyair yang pandai memintal kata-kata indah penuh makna. Ia ingin mengatakan kepada adiknya bahwa ia memang benar-benar mencintainya dengan sepenuh jiwa. Adik-adik dan ibunya adalah segalanya baginya. Dengan bahasa seadanya, akhirnya ia goreskan pena untuk menulis puisi pendek yang akan ia sampaikan pada Husna. Ia menulis beberapa kalimat saja,
“aku mencintaimu seperti bumi mencintai mataharinya..“
Selesai menulis puisi itu, Azzam jadi teringat janjinya pada Hafez. Ia telah menyanggupi untuk memberi tahu Fadhil tentang keinginan Hafez mengkhitbah Cut Mala.
Kesanggupannya adalah amanah. Amanah yang sangat penting sebab berkaitan dengan cinta anak manusia.
Alangkah bahagianya jika seseorang bisa menikah dengan orang yang dicintainya. Dan alangkah bahagianya jika setelah menikah itu cintanya terus berkembang dari masa ke masa.
Azzam memutuskan untuk menulis surat kepada Fadhil saat itu juga. Mumpung ada waktu dan semuanya tersedia. Setiap hotel biasanya menyediakan surat dan amplop surat di tiap-tiap kamarnya. Azzam menulis surat i atas kertas berkop Hotel Sofyan. Dengan penuh khidmat Azzam menulis dengan penanya, la melipat surat itu hati-hati dan memasukkan amplop yang juga berkop Hotel Sofyan. la berniat mengirim surat itu siang itu juga. la akan bertanya pada resepsionis apakah hotel juga bisa membantu pengiriman surat sebagaimana lazimnya hotel berstandar Internasional.
Telepon di kamarnya berdering. la yakin itu Husna, adiknya. la angkat.
“Hallo?"
“Ya hallo. Ini siapa?"
“Ini Eliana, Mas."
“Oh Mbak Eliana. Ada apa Mbak?"
“Bisa ngobrol sebentar."
“Mbak ada di mana?"
“Saya ada di lobby hotel. Bareng paman saya. Mas ada waktu untuk turun?"
"Ada. Tunggu sebentar ya?"
“Baik." Hatinya bertanya-tanya ada urusan apa siangsiang Eliana datang menemuinya. Tadi malam selesai acara di TIM Eliana sempat mengajak makan malam bersama. la dan Husna menolak tidak bisa. Sebab selain sudah cukup malam, Husna ingin makan malam di hotel berdua saja dengan dirinya. Husna ingin memuaskan diri ngobrol dengannya. Maka selesai semuanya ia dan Husna kembali ke hotel. Sementara Rina dan Luna pulang ke rumah mereka dengan taksi. Husna mengajak mereka tidur di kamarnya beramai-ramai. Tapi mereka menolak. Mereka merasa harus pulang malam itu juga.
Azzam menghubungi kamar Husna. Langsung diangkat.
“Kakak ya?"
“Iya Dik."
“Ada apa Kak?"
“Di bawah ada Eliana. Kita turun yuk nemui dia."
“Ayuk." Sejurus kemudian mereka berdua turun bersama.
Eliana menyambut dengan senyum menawan di bibirnya.
Siang itu putri Dubes Indonesia di Mesir itu memakai kaos panjang merah jambu yang dipadu dengan celana jeans merah tua. Rambutnya dia kucir kuda. Apa saja yang dipakai Eliana dan apa saja gaya rambutnya selalu saja menjadikannya tampak jelita.
“Sudah lama?" Sapa Azzam.
“Ah tidak. Baru sampai terus telpon Mas Irul melalui resepsionis. Oh ya kenalkan ini pamanku. Namanya Pak Marjuki. Lengkapnya Marjuki Abbas. Di Indonesia beliaulah yang selalu mengawalku." Eliana mengenalkan pamannya. Lelaki setengah baya itu mengulurkan tangannya pada Azzam sambil tersenyum ramah.
"Saya Azzam, Pak. Dan ini adik saya Husna."
“Ya. Saya sudah tahu sejak kemarin ketemu di bandara." Kata Paman Eliana.
“Mbak Eliana tidak ada kegiatan siang ini, kok sempatsempatnya datang ke sini?" Tanya Husna.
“Siang ini kebetulan kosong. Baru jam tiga nanti ada acara ketemu sutradara." Jawab Eliana.
“Katanya Mbak mau syuting di Solo ya?"
“Iya. Eh, kapan rencana kalian pulang?" “Nanti sore."
“Mau naik apa?"
“Awalnya sih mau naik bis. Tapi setelah dipikir-pikir kayaknya lebih nyaman naik kereta. Karena Gambir kan dekat dari sini. Jadi rencana naik kereta dari Gambir ke Balapan Solo. Dari Balapan baru naik taksi ke Kartasura." Husna menjelaskan.
“Bagaimana kalau aku ikut?" “Mbak Eliana ikut?"
“Iya. Aku ingin melihat-lihat kota Solo dan setting yang akan digunakan untuk syuting. Sekalian aku mau bersilaturrahmi menemui Bude di Gemolong."
“Mbak Eliana punya Bude di Gemolong?"
“Iya. Sudah dua puluh tahun beliau di sana. Dia guru SMP.
Bagaimana, aku boleh ikut?"
“Boleh saja. Iya Kak?" Ucap Husna sambil menengok wajah kakaknya.
“Iya boleh saja. Kenapa tidak." Jawab Azzam sambil mengangkat alisnya.
“Tapi jangan naik kereta ya. Aku sering mabuk kalau naik kereta." Pinta Eliana.
“Lha terus naik apa? Kalau pesawat maaf kami tidak bisa." Azzam berterus terang.
"Naik mobil pribadiku saja ya. Kita pakai mobil ke Solo. Biar aku nanti juga mudah kalau mau jalan-jalan di Solo. Bagaimana?"
“Boleh." Sahut Azzam.
“Kalau begitu kalian tunggu saja di sini sampai aku datang. Aku ketemu sutradara cuma setengah jam. Setelah itu aku jemput kalian. Terus kita ke rumahku sebentar.
Baru kita jalan." Terang Eliana bersemangat.
“Sebentar El, kalau menurutku tidak begitu." Pak Marjuki mengajukan pendapat. Azzam jadi tahu kalau Eliana juga bisa dipanggil “El".
“Nanti kalian akan terjebak macet. Sebaiknya begini. Itu sutradara kita samperin sekarang saja. Terus kamu pulang ke rumah berkemas. Terus ke sini lagi. Dan kira-kira jam tiga kita sudah meluncur meninggalkan kota Jakarta ke Solo. Jadi kita berangkat lebih siang supaya tidak terjebak macet." Lanjut Pak Marjuki memberi usul yang menurutnya lebih baik.
“Ya benar Paman. Tapi bagaimana kalian? Siap berangkat jam tiga?" Tanya Eliana memandang Azzam dan Husna.
“Siap saja." Jawab Azzam singkat.
“Baiklah kalau begitu aku pergi dulu nemui sutradara. Jam tiga aku kemari. Kuharap kalian sudah siap."
“Insya Allah." Sahut Husna.
Sore itu tepat jam tiga Eliana menjemput dengan Toyota Fortunernya. Eliana hanya ditemani sang paman.
Azzam dan Husna telah siap di lobby hotel. Barangbarang dinaikkan. Azzam duduk di depan menemani Pak Marjuki. Husna dan Eliana di belakangnya. Doa safar dipanjatkan, mereka berempat memulai perjalanan panjang. "Kenapa tidak pakai Camry Pak?" Tanya Azzam sambil memandang ke depan. Sesekali ia melihat kiri dan kanan.
Fortuner itu meluncur di tol dengan kecepatan di atas seratus kilometer perjam.
“Kebetulan itu Camry sudah saatnya diservis dan belum diservis. Kalau tadi nyervis dulu ya tidak cukup waktunya. Dan saya lebih mantap pakai Fortuner kalau keluar kota." Jelas Pak Marjuki.
“O iya Pak, kira-kira kita sampai di Solo pukul berapa ya. Biar Husna sms adiknya?"
“Insya Allah, sekitar pukul empat pagi." Sementara belakang Husna nampak asyik berdiskusi dengan Eliana. Putri Dubes Mesir itu ternyata tahu banyak tentang teori psikologi. Husna sangat menikmati berdiskusi dengan mahasiswi jebolan EHESS Prancis itu.
Di mata Husna Eliana sangat berbeda dengan artis pada umumnya. Eliana benar-benar memiliki kelas tersendiri.
Cerdas dan berwawasan luas.
“Menurut Mbak Eliana, kenapa ada negara lebih maju dari negara lain. Dan ada negara yang ketinggalan dari negara lain." Tanya Husna.
“Sejarah mencatat bahwa prestasi-prestasi besar dilahirkan oleh mereka yang hampir tidak punya waktu untuk istirahat. Mereka yang bekerja keras dengan pikiran cerdas. Kenapa ada negara lebih maju dari negara lain, dan ada negara yang ketinggalan dari negara lain? Jawabannya menurutku sederhana saja. Suatu negara lebih maju dari negara lain karena negara itu lebih hebat kerja kerasnya dari negara lain. Dan jika ada suatu negara ketinggalan jauh di belakang negara lain, itu karena negara itu sangat parah malasnya.
“Benyamin Franklin mengatakan bahwa malas adalah pangkal kemiskinan. Sedangkan Leonardo Da Vinci mengisyaratkan bahwa malas adalah pangkal kebodohan. Da Vinci pernah mengatakan, 'Sama seperti besi yang bisa berkarat karena jarang digunakan, maka berdiam diri bisa merusak kesehatan.'
“Jika bangsa kita masih dikategorikan bangsa yang ketinggalan dari bangsa lain menurutku ya karena mayoritas penduduk kita adalah para pemalas. Lihatlah para pelajar yang malas-malasan. Pegawai negeri yang banyak bermalasmalasan. Aku pernah menjenguk seorang kerabat yang sakit di sebuah rumah sakit umum di kota S. Pelayanannya sangat buruk. Para perawat acuh tak acuh. Ketika pasien mengerang kesakitan, para perawat itu malah asyik nonton televisi. Jika kita bandingkan dengan Jepang misalnya sangat jauh. Di Jepang, tidak ada kursi di ruang perawat, apalagi televisi. Dan perawat di sana itu malu kalau terlihat menganggur tidak melakukan apa-apa.
“Kau tahu apa yang terjadi akibat malasnya perawat itu? Pasien lebih lambat sembuhnya. Padahal tidak sedikit pasien yang sangat diperlukan tenaga dan pikirannya untuk membangun negara. Misalnya kerabatku itu, dia seorang dosen di sebuah perguruan tinggi di sana. Di kota S. Seharusnya mungkin dia cuma dirawat di rumah sakit selama tiga hari. Gara-gara perawatnya yang malas dan acuh tak acuh dia harus dirawat selama lima hari. Jadi ada dua hari yang hilang sia-sia.
“Hari adalah kumpulan waktu. Dan waktu adalah modal paling berharga yang dimiliki oleh ummat manusia. Dua hari yang sia-sia itu jika diproduktifkan akan sangat besar andilnya dalam memajukan bangsa. Kita jangan melihat waktu sia-sia dari satu orang saja. Kita bayangkan jika yang mengalami nasib seperti kerabatku itu jumlahnya dua juta orang dari total jumlah penduduk Indonesia. Jadi dua kali dua juta. Berarti empat juta hari yang terbuang sia-sia karena malas.
“Coba renungkan empat juta hari ini kalau dimanfaatkan secara optimal akan menghasilkan apa? Oh, jadi tak terbayang betapa ruginya kita karena malas. Bukan saja kita rugi karena malasnya diri kita, tapi kita juga sering dirugikan karena kemalasan orang lain. Ini baru kita lihat yang terjadi di rumah sakit. Belum di pasar. Belum di jalan raya. Belum di lembaga pendidikan. Belum di instansi-instansi pemerintahan dan Iain-lain." Eliana menjawab panjang lebar. Husna terperangah dibuatnya. Husna diam sesaat lalu kembali bertanya,
“Aku punya tetangga yang menurutku sangat giat dan rajin. Jam tiga sudah bangun untuk menyiapkan dagangannya sampai subuh tiba. Setelah subuh dia langsung menata dagangannya di pinggir jalan. la jualan nasi sambel tumpang. Pukul sembilan ia selesai jualan. Lalu pulang dan menyiapkan dagangannya yang lain. Yaitu ayam goreng. Pukul dua siang dagangannya itu baru siap.
Ia istirahat kita-kita satu jam. Lalu jam tiga sudah mulai membuka warungnya sampai jam sepuluh malam. Begitu setiap hari. Tapi kenapa dia kok tetap miskin dan banyak hutang. Ini cara menganalisanya bagaimana Mbak?"
“Menurutku begini," Jawab Eliana,
“Rajin dan giat saja tidak cukup. Ada yang lebih penting sebelum rajin dan giat, yaitu alasan kenapa harus rajin dan giat. Ada giat yang lebih banyak menimbulkan letih saja namun ada giat yang melahirkan hasil luar biasa. Banyak orang tidak dapat membedakan antara sibuk dan produktif.
Mereka yang hanya sibuk tapi tidak produktif dalam bahasa Caroline Donnelly adalah ibarat kincir angin berwujud manusia.
Bekerja keras tapi sedikit hasilnya." Mobil itu terus melaju kencang meninggalkan kota Jakarta. Terbersit dalam benak Husna jika gadis yang ada di sampingnya itu berjilbab dan pikiran cerdasnya digunakan untuk membela agama Allah alangkah dahsyatnya. Ia berdoa kepada Allah semoga suatu saat nanti hal itu benar-benar terjadi.
0 komentar:
Posting Komentar