18 Dari Mila Hingga Seila
“Membaca data dan melihat fotonya sih ibu cocok.” Kata Bu Nafis setelah membaca data dan foto diri gadis muda nan manis bernama Milatul Ulya, S.E. dari Surabaya
“Wah ini lumayan cantik Kak Azzam, meskipun ya belum sekelas Eliana. Tapi boleh kok.” Komentar Lia.
Azzam tersenyum mendengarnya.
“Sekarang pendapat Kak Azzam sendiri bagaimana?” Tanya Husna.
Kalau dia mau jadi isteri kakak, kapan pun dia mau menikah boleh. Bahkan sekarang dia mau mengajak akad nikah pasti akan kakak langsungkan!.
”Wah! Mantap sekali Kak Azzam ini. Baru kali ini aku dengar jawaban seorang lelaki semantap ini. Kalau Si Mila ini dengar, pasti hatinya akar bergetar hebat berhari-hari.” Sahut Lia.
”Kalau begitu cepatlah diatur bagaimana kakak kalian itu bisa bertemu Mila.” Pinta Bu Nafis pada Husna dan Lia.
”Tenang Bu, sudah Husna atur sama kakaknya Mila. Ahad depan Mila akan dolan ke rumah kakaknya di Perumahan Gentan. Kira-kira pukul sembilan pagi saya dan Kak Azzam akan dolan ke sana. Kakaknya akan minta Si Mila yang membuat minuman dan mengeluarkannya. Kakaknya juga akan pura-pura keluar sebentar membeli sesuatu dan Mila akan diminta menemui kami sebentar. Setelah pertemuan itu barulah nanti kakaknya kan tanya Si Mila mau tidak sama Kak Azzam. Begitu..
”Bagus sekali skenarionya Mbak. Mbok saya sama Bue ikut.” Pinta Lia.
”Jangan dulu nanti malah jadi berantakan rencananya. Kalau sudah matang saja. Saat lamaran baru kita semua ke Surabaya.” Cegah Husna.
”Bue sepakat. Semoga yang ini benar-benar jodoh.” Lirih Bu Nafis penuh harap “Amin.” Doa Azzam dalam hati.
Pagi itu langit tertutup awan. Angin bertiup kencang. Sesekali kilat menyambar. Guntur menggelegar. Azzam melihat arlojinya, jam delapan. Husna mengambil jemuran yang masih basah di halaman.
Gerimis mulai turun perlahan.
”Jadi berangkat Zam?” Tanya Bu Nafis.
”Ya harus tetap berangkat Bu. Kalau tidak kapan ketemu jodohnya.” Jawab Azzam mantap. Wajah Bu Nafis cerah seketika mendengarnya. Husna meletakkan pakaian yang masih basah di ember besar hitam. Gadis yang sudah berpakaian rapi itu lalu ke kamarnya mengambil tas cokelat tuanya. Lalu keluar dengan senyum mengembang.
”Siap?” Kata Husna pada kakaknya.
”Siap! Janaka dari Kartasura siap melihat Dewi Dersanala dari Surabaya.” Canda Azzam seraya melangkah mencium tangan ibunya minta restu.
”Nanti kalau pulang, dan hujan belum juga reda. Coba tengok Lia di sekolahnya ya. Biar dia ikut kalian saja.” Pesan Bu Nafis pada Azzam dan Husna. Dua orang kakak beradik itu mengangguk lalu bergegas masuk mobil Carry Hijau tahun 1995.
Mobil itu bergerak pelan meninggalkan halaman, menelusuri jalan dan meninggalkan dukuh Sraten. Mobil bergerak ke Perumahan Gentan. Hujan turun sangat deras. Jalan-jalan penuh air bagaikan anak sungai dadakan. Hujan masih lebat ketika mobil itu sampai di sebuah rumah mungil bergaya minimalis. Azzam memarkir mobil di tepi jalan tepat di depan rumah itu. Hujan masih mengguyur deras. Azzam membunyikan klakson beberapa kali. Husna menurunkan kaca jendela mobil. Yang punya rumah melongok keluar. Seorang perempuan muda berjilbab hijau tua. Umurnya kira-kira tiga puluhan tahun. Perempuan itu cepatcepat menyongsong dengan membawa dua payung. Satu ia pegang dan satunya ia serahkan Husna. Husna turun dari mobil disambut perempuan itu yang begitu hati-hati melindungi Husna dengan payung yang mengembang di tangannya.
Mereka berdua berjalan dalam satu payung. Azzam turun dan langsung melindungi dirinya dengan payung. Guntur menggelegar.
Azzam merasa kerdil di tengah keagungan Tuhan.
Azzam meletakkan payungnya di teras. Lalu menata Kemejanya dan masuk.
”Assalamu’alaikum.” Sapa Azzam
”Wa’alaikumussalam. Silakan duduk Mas.” Jawab perempuan muda yang sudah duduk berhadapan dengan Husna. Azzam mengambil tempat di sisi Husna.
”Mbak Yuni, ini kakakku namanya Azzam.” Husna memperkenalkan.
”O yang kuliah di Mesir itu?” Tanya perempuan muda.
”Iya..
”Kenalkan Mas, saya Yuni teman kerja Husna di radio JPMI Solo..
”Iya Mbak. Suaminya mana Mbak?.
”Itu di belakang sedang membetulkan genteng yang melorot..
”Iya deras sekali hujannya ya Mbak. Anginnya juga besar.” Kata Husna
“Benar. Malah ada pohon di jalan dekat perumahan sebelah tumbang.” Kata perempuan bernama Yuni itu.
“Sebentar ya.” Lanjutnya lalu masuk ke dalam. Ketika tuan rumah masuk, Husna berbisik pada Azzam,
“Yang akan ditemukan dengan kakak adalah adik suaminya Mbak Yuni ini. Kakak santai saja. Biasa saja..
Tak lama kemudian seorang gadis berjilbab putih keluar dengan membawa nampan berisi teh hangat. Azzam memandang wajah gadis itu, biasa saja nuansa hatinya, tidak ada desir aneh seperti ketika ia melihat Anna atau Eliana dulu. Gadis itu berwajah oval.
Alisnya tipis. Ada tahi lalat di pelipis kanannya. Tangannya lentik meletakkan gelas dari nampan ke meja.
”Silakan Mbak, Mas diminum.” Kata gadis itu dengan suara serak- serak basah. Mirip suara Zumrah.
”Terima kasih, Mbak ya. Eh Mbak siapa kalau boleh tahu namanya?” Husna bertanya pada gadis itu.
”Mila. Lengkapnya Milatul Ulya.” Jawab gadis itu,
“Maaf saya ke belakang ya.” Sambungnya lalu bergegas ke belakang.
”Bagaimana Kak. Setelah melihat sekilas.” Bisik Husna pada Azzam setelah gadis itu hilang di balik tembok.
”Biasa saja. Tapi sudah masuk standar. Jilbabnya rapat dan panjang. Kakak suka itu.” Jawab Azzam.
Tak lama kemudian muncul seorang pria muda berkaos panjang biru tua dan memakai celana jeans biru muda. Kepala pria itu agak botak. Rambutnya tipis. Wajahnya segar dan ramah.
”Assalamu’alaikum, kenalkan saya Edy. Suami Yuni.” Kata pria itu sambil menjabat tangan Azzam lalu duduk.
”Nama saya Azzam Mas. Lengkapnya Khairul Azzam. Kakak kandung Husna ini?.
”O ini tho kakaknya Husna. Bisa nulis juga seperti adiknya?.
”Bisa, tapi nulis surat he... he... he...” Jawab Azzam.
Edy juga tertawa. Husna tersenyum saja. Ruangan itu jadi cair dan hangat.
”Berapa lama di Mesir?.
”Aduh jadi malu kalau ditanya itu. Saya sembilan tahun di Mesir. Tapi masih bodoh tidak bisa apa-apa..
”Ah jangan merendah begitu..
”Sungguh. Bisanya malah bikin bakso. Sekarang saya usaha bakso di UMS. Bakso cinta..
’O bakso cinta itu ya. Yang bentuknya tidak bulat tapi berbentuk lambang cinta?.
”Iya..
”Itu milik Anda?.
”Benar..
Katanya mantap. Itu teman-teman saya di kantor yang cerita kalau mantap. Nanti kapan-kapan saya coba..
”Datang saja Mas. Kalau ingin bertemu saya ya yang di samping UNS..
”Ya baik..
Kemudian Yuni dan Mila keluar. Yuni membawa sepiring pisang goreng dan Mila membawa dua toples berisi kacang kulit dan rempeyek. Piring dan toples itu diletakkan di meja.
”Wah ini kayak lebaran saja Mbak Yun.” Ujar Husna.
“Biar. Adanya cuma itu. Tidak ada apa-apa.” Sahut Yuni.
Saat Mila mau masuk lagi ke dalam Yuni memegang tanggannya seraya berkata,
“Jangan masuk. Ini temani kakakmu. Aku mau ke tempat Bu RT kemarin lupa iuran seragam PKK. Mumpung aku ingat. Nanti kalau lupa lagi tidak enak sama Bu RT..
Mila jadi kikuk. Ia lalu duduk di kursi yang ada di samping kakaknya. Yuni melangkah keluar mengambil payung dan menerobos hujan. Hujan masih turun dengan lebatnya. Gelegar guruh dan guntur berkali-kali terdengar.
”Oh ya Mas Azzam, Mas dulu di Mesir ambil jurusan apa?.
”Saya kuliah di Fakultas Ushuluddin, Jurusan Tafsir. Kalau Mas Edy dulu kuliah di mana?.
”Saya dulu di ITS. Terus kerja di Telkom, saya ditempatkan mulanya di Salatiga terus dipindah di Solo. Saat di Solo itulah saya ketemu Yuni. Kok tertarik. Langsung saya temui orang tuanya. Dia mau. Orang tuanya boleh. Lalu kami nikah.” Cerita Edy ke mana-mana menjawab pertanyaan Azzam.
”Mas Azzam sudah menikah?.
”Belum..
”Kenapa?.
”Belum ketemu jodoh..
”Wah apa mungkin ini kebetulan. Adik saya Mila ini iuga belum menikah lho.” Milatul Ulya salah tingkah mendengar perkataan kakaknya Mukanya memerah. Saat memerah itulah pesonanya bisa menyihir siapa saja. Azzam melihat perubahan muka itu dan melihat pesonanya. Azzam merasakan sihirnya. Barulah hatinya berdebar dan berdesir.
”Bagaimana Mas, apa sama adik saya saja, malah tidak usah pusing-pusing cari jodoh?.
Azzam menjawab dengan tenang. Ia harus menguasai keadaan,
“Kalau saya sih mudah saja Mas. Siapa sih yang tidak mau sama gadis cantik berjilbab seperti Mila. Persoalannya adalah Mila mau tidak sama saya. Saya yang degil, dan hanya seorang penjual bakso..
Mendengar kalimat itu Mila semakin menunduk. Kedua pipinya memerah. Jari-jarinya memilin-milin jilbab besarnya. Ia diam seribu bahasa.
”Eh Mbak Mila masih kuliah?” Tanya Husna pada Mila.
Perlahan Mila mengangkat muka memandang wajah Husna.
”Saya sudah selesai kuliah Mbak..
”Di mana kuliahnya?.
”Di FE UI Depok..
”Sekarang aktivitasnya apa?” ’ “Kerja sama aktif di dakwah.. ”Kerja di mana?”
“Di sebuah bank syariah di Surabaya.. ’Ke Solo dalam rangka apa?” “Ya main ke rumah kakak saja.. Berapa bersaudara sih Mbak?.
”Empat bersaudara. Kakak ini yang nomor dua. Nomor satu di Malang. Saya nomor tiga dan nomor empat masih kuliah di UNEJ. Oh ya tadi Masnya bilang kuliah di Mesir ya?” Mila berani bertanya pada Azzam meskipun dengan wajah tetap menunduk memandang meja.
”Iya.” Jawab Azzam.
”Saya dulu di SMP punya teman, namanya Nanang. Dia setahu saya kuliah di Mesir. Apa Mas kenal?.
”Sebentar, apa namanya Nanang Sukamtono?” “Iya..
”Yang alisnya tebal. Terus ada kayak tompel di anak telinga kanannya..
”Iya benar. Ia sama teman-teman dulu malah kadang dipanggil Nanang Tompel..
”Kebetulan saya kenal baik. Nanang itu adik kelas saya. Dia satu rumah dengan saya.. Spontan pria bernama Edy berkata,
“Masya Allah, dunia ternyata sempit sekali. Wah lha kok kebetulan. Apa ini tanda-tanda berjodoh ya?.
Kembali wajah Mila memerah. Gadis itu diam tidak menanggapi kalimat kakaknya dengan kata-kata tapi dengan diamnya dan perubahan wajahnya. Satu jam lamanya Azzam dan Husna berbincang-bincang dengan Mila dan kakaknya. Ketika Yuni kembali hujan mulai reda. Azzam dan Husna lalu pamit minta diri.
”Wah gadis itu masih sangat alami Kak. Meskipun dia kuliah di UI tapi jiwa dan hatinya sama sekali masih benar benar alami. Kak Azzam lihat tidak tadi perubahan mukanya. Diamnya. Salah tingkahnya. Kalau sudah terkena budaya kota dan budaya metropolis itu tak akan terjadi.” Husna menjelaskan penilaiannya dalam perjalanan pulang ke Wangen.
”Begini saja Na. Terserah kamu mengaturnya bagaimana. kamu sampaikan saja lamaranku pada kakaknya atau langsung pada Si Mila. Kalau kira-kira okay, kita berangkat ke Surabaya..
”Baik Kak..
”Semoga dia memang jodohku.” Ucap Azzam penuh harap.
”Semoga kak. Amin. Kalau dari salah tingkahnya aku yakin dia menerima Kak. Sembilan puluh lima persen sudah okay, tinggal yang lima persen kakak harus banyak doa.” Kata Husna.
Suatu siang Azzam dan Husna bertemu dengan Yuni di sebuah rumah makan di dekat pasar Kleco. Yuni datang sendirian dengan bersepeda motor. Perempuan muda itu hendak menjelaskan hasil lamaran Azzam.
”Alhamdulillah, untuk Mila tidak ada masalah.” Kata Yuni.
”Artinya dia menerima?.
”Iya. Bahkan begitu kalian pulang dari rumahku itu, Mila bertanya minta pada kakaknya agar serius mengejar Azzam. Tidak hanya guyonan.” Kata Yuni yang membuat hati Azzam bagai ditetesi embun dingin.
”Tapi masalahnya justru ada pada ibu mertuaku, yaitu ibunya Mila.” Lanjut Yuni.
”Apa masalahnya?.
”Masalah yang saya sama Edy sampai judeg dan bingung harus bagaimana menghendaki perempuan tua kolot. Masalah yang sangat mengherankan masih saja ada di zaman modern. Masalahnya adalah Azzam anak pertama dan Mila anak ketiga. Ibu mertua itu sangat percaya itu namanya lusan. Tidak boleh anak ketiga menikah dengan anak pertama. Terus katanya kalau me...
“Ya kalau menikah maka salah satu dari orang tua pengantin, baik itu pengantin lelaki atau pengantin perempuan akan ada yang binasa. Akan ada yang meninggal dunia. Begitu kan?.
”Iya. Edy sama saya sampai berdebat keras sama ibu mertua. Edy malah sampai marah. Tapi ibunya tetap bersikukuh. Dan dia bilang, ’Kalau sampai Mila jadi menikah dengan lelaki itu maka aku tidak rela dunia akhirat. Dan Edy yang membawa lelaki itu dan keluarganya juga tidak aku ridhai!’ Begitulah kami tidak bisa berkutik apa-apa. Edy tidak berani ikut karena malu sama Azzam. Kalau kalian ada saran silakan. Terus terang kami telah kehabisan cara berhadapan dengan ibu mertua yang sangat kolot dan masih kuat memegang kejawen..
”Ibu mertuamu di Surabaya masak masih begitu. Surabaya kan kota santri?.
”Ibu mertua memang di Surabaya, tapi aslinya kan Karanganyar.”
“Lha bapak mertuamu bagaimana?.
”Dia selalu ikut apa kata ibu mertua. Ah yang kasihan Mila..
”Kenapa dengan Mila?” Tanya Husna penasaran.
”Mila tidak bisa menerima kenyataan ini. Dia sangat sedih. Ia bilang ke saya, ’Kalau Mas Azzam mau mengajak dia kawin lari pun dia siap. Nanti biar Mas Edy yang jadi walinya.’ Tapi suamiku itu tidak berani. Ia takut membuat ibunya benar-benar murka dan menyumpahinya tujuh keturunan..
”Terus apa yang seharusnya kami lakukan?”
“Aku juga tidak tahu. Tapi kalau Azzam mau mencoba menghadapi ibu mertuaku langsung juga tidak apa. Siapa tahu di tangan Mas Azzam ibu mertuaku takluk..
Mendengar penjelasan Yuni itu Azzam hanya bisa geram. Kenapa mitos-mitos yang penuh kebohongan itu tetap saja jadi keyakinan.
Berapa banyak korban yang sengsara karena mitos seperti itu. Dulu di dukuh Sraten, Sriani anak perempuan Bu War gagal kawin dengan anak pedagang sapi dari Karanggede Boyolali gara-gara masalah hitungan hari kelahiran. Menurut orang-orang Karang gede hitungan keduanya yang tidak cocok. Kalau tetap dikawinkan akan selalu mendatangkan huru hara rumah tangga. Perkawinan dibatalkan. Dan anak Bu War jadi linglung sampai sekarang.
Sampai di rumah semua keterangan Yani dimusyawarahkam dengan Bu Nafis dan Lia.
”Kak Azzam, nekat saja ke Surabaya. Labrak saja ibunya Mila yang kolot itu. Kalau tetap bersikukuh bawa saja si Mila kawin di sini. Kalau Edy kakaknya tidak mau jadi wali bisa pakai wali hakim. Kalau seperti ini diterus teruskan yang kasihan kan kaum perempuan. Selalu jadi korban, kayak Si Mila itu. Apa salah Si Mila coba!?” Sengit Lia dengan mata menyala-nyala.
”Jangan! Kalau Azzam tetap nekat terus ibunya Mila tetap bersikukuh dan Azzam tetap membawa Mila nikah, ibu kok yakin ibunya Mila itu akan meninggal dunia!” Kata Bu Nafis.
”Benarkah Bu?” Heran Lia. Azzam dan Husna juga heran.
“Benar. Ibu agak yakin..
Berarti ibu juga berpendapat sama dengan ibunya Mila bahwa anak ketiga tidak boleh menikah dengan anak yang nomor pertama?” Kata Lia dengan nada agak sinis.
“Tidak begitu.”
Terus kenapa ibu begitu?.
Kalau Azzam tetap menikahi Mila. Ibu itu akan mati karena marah! Mati karena serangan jantung dan sakit hati yang luar biasa yang dihembuskan oleh setan yang menjaga mitos menyesatkan itu!.
“O begitu.” Lia lega. Menurut Bue Kak Azzam harus bagaimana?.
”Cari yang lain saja! Kayak tidak ada gadis lain saja di muka bumi ini. Masih ada yang lebih baik dari Mila. Soal Mila itu urusan keluarga mereka!” Tegas Bu Nafis.
Sebenarnya Azzam sangat berat menerima kenyataan ini. Inilah kali keempat ia berniat menikahi seorang gadis tapi tidak berjodoh. Yang pertama ia melamar Anna lewat Ustadz Mujab ternyata sudah didahului Furqan. Kedua, ia cocok dengan Rina, ibunya tidak cocok.
Ketiga, ia juga cocok dengan Tika, ibunya yang tidak cocok.
Keempat dengan Mila. Ia dan Mila sama-sama cocok, tapi ibu Mila yang ternyata jadi penghalang. Sudah empat kali!
“Jangan sedih Kak. Ayo Kak cari yang lain! Lia dan Mbak Husna juga akan bantu!” Lia berusaha menghibur kakaknya.
”Kak Azzam sendiri apa tidak punya kenalan gitu? Kan kakak juga mengajar ngaji di pesantren siapa tahu ada di antara jamaah yang punya anak putri yang cocok buat Kakak.” Ujar Husna. Kata-kata Husna itu mengingatkannya pada seorang bapak setengah baya yang pernah memberikan kartu nama kepadanya. Bahkan bapak itu menawarkan putrinya. Ia merasa untuk mendapatkan jodoh segala jalan yang halal dan terhormat harus ditempuh.
”Ya kakak ada kenalan, kakak ingat! Beliau pernah memberi kartu nama!” Seru Azzam.
”Iya Kak, coba saja! Siapa tahu memang jodohnya.’ Lia menyemangati.
Azzam langsung beranjak ke kamarnya mencari kartu nama yang ia yakin ia letakkan di dalam almari di kamarnya. Sejurus kemudian Azzam berteriak,
“Ya ada”. Lalu keluar.
”Namanya Pak Ahmad Jazuli. Alamatnya di Batur, Ceper, Klaten.
Pemilik perusahaan cor besi dan baja Jayakusuma Logam.” Kata Azzam.
”Ketemu sama Bapak itu di mana Zam?” Tanya Bu Nafis.
”Di pesantren Wangen Bu. Saat Azzam mengisi pengajian Al Hikam yang pertama dulu..
”O begitu.”
“Wah kalau ini jodoh, bisa jadi lebih baik dari Mila dong Kak. Kan orang Batur itu banyak yang kaya karena punya pabrik logam.” Celetuk Lia.
”Bukan kekayaan yang kakak cari kok Lia. Tapi isteri yang shalehah..
”Iya Lia tahu..
Hari berikutnya Azzam langsung meluncur ke Batur, Ceper, Klaten.
Jam sepuluh pagi Azzam sampai di alamat yang ada dalam kartu nama itu. Ia sampai di sebuah rumah yang besar. Dengan pagar bumi tinggi. Halamannya luas, dan rumahnya menjorok ke dalam. Dua orang satpam menjaga pintu gerbang. Ia memperkenalkan diri dan menjelaskan keperluannya. Pintu gerbang dari besi dibuka. Azzam membawa mobilnya masuk. Ia melihat rumah yang mewah.
Garasinya terbuka. Ada tiga mobil terparkir di sana. Kijang kapsul, BMW hitam. dan Nissan X-Trail.
Begitu Azzam keluar dari pintu mobilnya. Seorang lelaki berusia kira-kira lima puluh tahun keluar dari pintu rumah dan menyambutnya. Lelaki itu memakai sarung dan koko putih. Tanpa peci. Rambutnya sebagian mulai memutih.
“Masya Allah, ada tamu agung tho. Nakmas Azzam. Marimari silakan masuk Nak.” Lelaki itu menyambutnya dengan sangat hangat. Azzam masuk, lantai rumah itu sepenuhnya adalah yang tebalnya kira-kira dua senti. Ada satu dinding yang sepenuhnya adalah aquarium. Ikan-ikan emas itu seperti naik turun berlari dan bergerak di dinding. Dinding itu seperti dasar laut.
”Apa kabarnya Nak?. ”Alhamdulillah baik Pak..
”Apa kegiatan Nakmas sekarang?.
”Anu Pak, latihan bisnis kecil-kecilan..
”Apa itu?. ”Jual bakso..
”Bagus itu. Bapak dulu waktu masih muda pernah jualan garam pakai sepeda. Ternyata itu bisa jadi latihan untuk menggembleng mental bisnis. Teruskan bisnismu Nakmas, Bapak doakan semoga barakah..
”Amin..
”Ngomong-ngomong, ada keperluan apa ini Nakmas kok tiba-tiba tidak ada angin, tidak ada guntur sampai di sini?.
”Ya sowan saya ke sini pertama untuk niatan menyambung tali silaturrahmi. Kedua ya untuk bertemu bapak, mengetahui kesehatan bapak. Kan Bapak pernah memberi kartu nama kepada saya agar saya datang kemari. Ketiga, terus terang untuk menjawab tawaran bapak waktu itu. Bapak bilang punya anak putri siapa tahu berjodoh.” Jawab Azzam dengan tenang dan lancar.
Bapak pemilik rumah mewah itu menunduk, lalu menghembuskan nafasnya. Matanya berkaca-kaca. Raut mukanya berubah sedih.
”Maafkan saya kalau saya lancang Pak.” Lirih Azzam.
”Tidak Nak. kamu tidak lancang. Bapak sangat berterima kasih kamu berkenan datang. Sungguh bapak sangat bangga denganmu. Dan bapak sangat berharap saat itu begitu kamu membaca kartu nama bapak langsung datang kemari. Itu foto anak Bapak. Namanya Afifatul Qana’ah.” Lelaki itu menunjuk ke sebuah foto wisuda di dinding. Azzam melihat. Dan hati Azzam berdesir.
”Itu waktu dia wisuda di ITB. Setelah itu dia S2 Matematika di Belanda. Saat aku bertemu denganmu dia baru pulang dua minggu dan minta dicarikan jodoh yang bisa membimbingnya baca Al Qur’an dan bisa mengimaminya shalat. Bapak anggap ketika bertemu denganmu engkaulah orangnya. Cocok. Sama-sama lulusan luar negeri. Bapak tunggu dari hari ke hari dan minggu ke minggu, kamu tidak datang. Bapak punya pikiran kamu mungkin sudah ada calon.
Bapak merasa salah terlalu berharap pada orang yang bertemu sepintas lalu.
”Sementara Afifa terus mendesak bapak. Umurnya sudah dua puluh enam. Akhirnya bapak menyerahkan jodohnya padanya, asal baik dan shaleh kalau dia punya calon bapak merestui. Dia bilang dulu punya teman di ITB, orang asli Cirebon. Dia cari informasi ternyata temannya itu masih lajang. Punya usaha toko komputer di Bandung. Satu bulan yang lalu dia menikah Nakmas. Sekarang diboyong suaminya ke Bandung. Kedatanganmu membuat Bapak sedih. Sedih kenapa Bapak tidak sabar menunggumu datang..
Azzam meneteskan air mata. Ia tidak berlama-lama. Ia pulang dengan rasa haru membuncah di dada. Kenapa ia meremehkan silaturrahmi? Ia memaki dirinya sendiri. Kenapa ketika diberi kartu nama dan diminta silaturrahmi dia tidak datang. Coba kalau datang. Anak Pak Jazuli itu tidak kalah jelita dibanding Eliana dan Anna. Ia lulusan Matematika S2 Belanda. Sebelumnya di ITB. Dari keluarga santri. Ia memukul kepalanya sendiri. Penyesalan selalu datang belakangan. Meremehkan hal-hal kecil bisa rnembuat seseorang akan menyesal berkepanjangan. Gagal mendapatkan putri Pak Jazuli tidak membuat Azzam putus asa dalam berikhtiar mencari jodohnya.
Setiap ada informasi yang ia rasa menarik dikejarnya.Saat ronda malam Kang Paimo cerita bahwa di Singopuran ada jurangan beras yang kaya, namanya Pak H Darmanto. Biasa dipanggil Haji Dar.
Kang Paimo menceritakan bahwa Haji Dar memiliki putri yang cantik. Ia pernah bilang padanya bahwa siapa yang mau menikahi anaknya secepatnya akan dinaikkan haji seluruh keluarganya.
Azzam tertarik. Suatu sore, saat langit terang benderang, matahari masih bersinar cerah, Azzam mencari rumah Haji Dar. Dan ketemu.
Rumah itu dekat dengan pabrik tembakau. Haji Dar melihat Azzam datang. Tanpa basa-basi Azzam mengutarakan niatnya menyunting putri Haji Dar itu. Haji Dar luar biasa senangnya. Seketika Haji Dar kebelakang mencari isterinya. Saat Haji Dar kebelakang ia melihat ada anak gadis berkulit putih muncul dari samping rumah. Ia perkirakan gadis itu mahasiswi semester tiga atau empat. Ia kaget, tiba tiba gadis itu duduk begitu saja di halaman seperti anak kecil.
Lalu ia main karet yang ia bawa dengan plastik hitamnya.
Belum hilang kagetnya isteri Haji Dar muncul.
“Ini Bu namanya Nak Azzam. Dia yang melamar mau menikahi Eva.” Terang Pak Dar pada istrinya.
”Kau sudah mantap Nak?”
“Insya Allah Bu..
Tiba-tiba ia dikagetkan oleh gadis itu yang menangis meraung-raung di halaman sendirian. Gadis itu jalan dan masuk rumah. Lalu menangis di pangkuan ibunya.
“Ibu Eva mau mimik susu!” Kata gadis itu. Seketika seluruh badannya gemetar. Gad is itu memang cantik tapi ternyata gadis itu punya kelainan yaitu keterlambatan perkembangan pikirannya. Ia mau pingsan rasanya saat itu. Ia langsung buru-buru minta diri dan minta maaf pada Pak Haji Dar. Ia bilang bahwa dirinya salah alamat. Ingin rasanya ia menjitak Kang Paimo.
Azzam belum juga menyerah.
Adiknya Lia mencoba mengenalkannya dengan anak Pak Badri.
Menurut Lia, Pak Badri ini adalah wali murid seorang anak didiknya.
Pak Badri pernah bercerita bahwa dia memiliki anak perempuan yang sedang menghafalkan Al Qur’an di Wonosobo.
”Kata Pak Badri namanya Seila Oktaviana. Dulu sekolah di MAN I Surakarta. Begitu lulus MAN, Seila langsung nyantri di Wonosobo.
Tahun ini katanya khatam hafal 30 juz. Mungkin yang santriwati hafal Al Qur’an seperti ini yang jadi jodoh Kakak..
”Rumah Pak Badri di mana?” Tanya Azzam penasaran. ”Dekat Kak. Di daerah Banyudono situ.. Tak harus menunggu lama, hari berikutnya ia ke Banyudono. Pak Badri ternyata juga ikut pengajian Al Hikam yang diasuhnya. Pak Badri sangat senang mendengar pengakuan Azzam yang ingin menyunting putrinya. Azzam langsung diajaknya ke Wonosobo.
”Kita langsung saja ke sana. Langsung ketemu Seila. Biar semuanya jadi enak dan terbuka.” Kata Pak Badri. Azzam ditemukan dengan Seila yang terus menundukkan kepala.
Pak Badri juga menjelaskan kepada Seila maksud kedatangannya membawa Azzam. Seila melihat Azzam sesaat. Seila tidak langsung memberi jawaban. Seminggu setelah itu surat Seila dari Wonosobo datang ke Banyudono. Surat itu singkat sekali. Surat itu oleh Pak Badri diberikan kepada Azzam untuk dibaca,
Ayahanda tercinta di Banyudono Assalamu ’alaikum Wr Wb
Ananda dengan surat ini mohon tambahan doa restunya. Pun Ananda berdoa semoga Ayahanda dan Ibunda, juga adikadik semuanya selalu dikasihi dan dicintai oleh Allah. Amin. Ayahanda berkenaan dengan maksud ayah menjodohkan ananda dengan pemuda yang bernama Azzam, itu adalah hal yang sepatutnya ananda syukuri. Memang kewajiban seorang ayah mencarikan jodoh untuk putrinya.
Namun ayah, menurut ananda rumah tangga yang tidak didasari cinta akan hampa tiada bermakna. Jujur, saat bertemu Azzam itu hati ananda tidak menerbitkan sedikit pun cahaya cinta. Ananda mohon maaf. Ananda tidak bisa menerimanya. Lagi pula ananda masih akan cukup lama di pesantren. Ananda belum tuntas betul menghafalkan 30 juz. Ananda tidak mau gara-gara memikirkan nikah terus konsentrasi Ananda berantakan.
Setelah hafal pun ananda juga masih ingin di pesantren satu tahun untuk mematangkan hafalan dengan cara mengabdi pada pesantren.
Sama sekali ananda tidak bermaksud mengecewakan ayahanda atau siapa saja. Ananda hanya menyampaikan terutama yang menjadi pendapat ananda, dan yang menurut ananda terbaik untuk ananda.
Demikian mohon maaf jika ada khilaf.
Wassalamu ’alalkum
Ta’zhim ananda,
Seila
Membaca surat itu Azzam malah terharu. Seila benar. Seila harus memilih suami yang dicintainya. Dan Seila harus menyelesaikan hafalan Qur’annya. Ia sama sekali tidak mau
penghalang bagi keberhasilan seseorang menghafalkan Al Qur’an.
Suatu malam ketika semua orang sedang tidur nyenyak, Azzam menangis dalam sujud shalat tahajjudnya. Ia adukan semua keluh kesah dan lelahnya kepada Allah,
“Ya Allah, Engkau Dzat Yang Maha Melihat dan Mendengar.
Engkau melihat segala ikhtiar hamba untuk bertemu dengan makhluk yang Engkau jodohkan untuk menjadi pendamping hidupku. Sudah berhari-hari hamba berikhtiar mengetuk setiap pintu rumah yang hamba yakin ada jodoh hamba. Mulai dari Anna, Rina, Tika, Mila, Afifa, Eva, dan Seila sudah hamba datangi. Engkau Mahatahu kenapa hamba mendatangi mereka ya Allah.
”Ya Allah hamba memohon temukanlah hamba dengan pendamping hidup yang terbaik untuk hamba menurut-Mu ya Allah. Yang terbaik untuk dunia dan akhirat hamba ya Allah. Hamba lelah ya Allah, namun lautan rahmat dan cintaMu membuat hamba selalu merasa segar dan tegar. Jangan tinggalkan hamba dalam kesia-siaan ya Allah. Jadikanlah semua langkah hamba senantiasa mendatangkan ridha dan rahmatMu. Amin..
0 komentar:
Posting Komentar