Rabu, 12 Agustus 2009

23 PERIKSA DARAH

Seluruh mahasiswa Al Azhar, termasuk yang dari Indonesia sibuk mempersiapkan diri menghadapi ujian akhir tahun. Ujian kenaikan tingkat. Bagi yang tingkat empat berarti ujian kelulusan S. 1.

Azzam benar-benar belajar dengan serius. Ia meringkas materi Tafsir Tahlili, sama seperti ketika ia tingkat satu dulu. Ringkasannya itu telah ia kuasai di luar kepala. Ia benar-benar siap menyongsong ujian. Ia benar-benar siap untuk lulus. Teman-teman satu rumahnya, semuanya su-dah sampai pada tahap konsentrasi penuh. Sudah siaga satu menghadapi ujian.

Fadhil sudah bisa menguasai dirinya untuk sementara waktu. Masalahnya dengan Tiara sementara terlupakan dengan sendirinya. Nasir sudah sering di rumah. Ia sudah lebih tenang. Kasusnya berkaitan dengan Wail El Ahdali tak lagi mengganggu pikirannya. Seorang maba-hits telah menemuinya di rumahnya dan tidak bisa membuktikan ia terkait dengan jaringan yang dicurigai pemerintah Mesir. Nanang berjuang keras menghafalkan muqarrar Al-Qurannya. Ia harus lancar enam juz. Sementara Ali seperti biasa, jika menghadapi ujian, sering itikaf di Masjid Musa bin Nushair Hayyu Sabe'. Berangkat jam sembilan pagi pulang jam delapan malam. Sementara nun jauh di Katamea sana, Hafez sudah meringkas hampir semua materi mata kuliah yang diujikan. Hafez sudah menemukan kembali jati dirinya.

Di Masakin Utsman, Cut Mala dan teman-temannya su dah jarang keluar rumah. Mereka sibuk dengan diktat masingmasing.

Semua sibuk menghadapi ujian. Semua tegang. Kecuali Furqan. Ia sibuk menata barang-barangnya ke dalam kopernya. Lusa dia akan terbang ke Indonesia. Keluarganya sudah menunggunya. Mereka akan menjemputnya di Bandara Soekarno-Hatta. Ibunya bahkan mengabarkan telah mempersiapkan syukuran besar -besar atas prestasi-nya meraih predikat summa cumlaude untuk gelar masternya.

Furqan sangat berbunga -bunga. Rasanya ia tidak sabar menunggu satu hari saja. Ia ingin segera sampai ke Indonesia. Jumpa keluarga. Syukuran. Lalu terbang ke Jogja dan berkun jung ke rumah Anna Althafunnisa di Klaten sana.

Biasanya, orang yang mau pulang ke Tanah Air dida tangi oleh banyak teman. Baik yang cuma sekadar menjenguk untuk memberikan sekadar doa selamat, maupun yang datang untuk menitip sesuatu. Namun suasana di rumah Furqan sangat sepi. Di rumah itu ia cuma sendiri. Rumah tiga kamar itu hanya dihuni oleh tiga orang. Masing-masing menempati satu kamar. Tiga orang itu adalah Furqan, Abduh dan Maftuh. Ketiganya orang Jakarta. Dan ketiganya anak orang kaya. Abduh sedang ke Dokki. Adapun Maftuh sedang ke Thub Ramli.

Tak ada yang datang hari itu. Mungkin karena para mahasiswa sedang konsentrasi belajar. Atau mungkin karena Furqan sangat sering pulang. Tiap tahun pulang dua kali. Jadi tidak ada yang istimewa dengan kepulangannya. Mereka menganggapnya hal yang biasa. Berbeda jika mahasiswa lain yang pulang. Yang lima tahun tidak pernah pulang terus mau pulang ke Tanah Air untuk selamanya. Terasa istimewa. Maka banyak yang menjenguknya.

Setelah selesai mengemasi barang -barangnya, Furqan merapikan kamarnya. Ia sangat berharap secepatnya kembali lagi ke Cairo dengan membawa Anna Altha-funnisa sebagai isterinya. Ia dan kedua temannya sudah sepakat bahwa siapa yang duluan menikah berhak menempati rumah itu. Dan yang tidak menikah terpaksa harus pindah. Ia yakin ialah yang akan menempati rumah itu. Tiba -tiba ia teringat sesuatu.

"Masya Allah, aku belum membeli mushaf khusus untuk mahar," lirihnya pada diri sendiri. "Insya Allah nanti bakda Ashar aku akan ke Darussalam dan membeli mushaf untuk mahar yang terbaik dan termahal untuk Anna," gumamnya.

Sayup -sayup ia mendengar bel rumahnya berbunyi . Ya. Benar. Ia membuka pintu kamarnya dan keluar untuk mem buka pintu. Begitu pintu terbuka ia agak kaget. Seorang berpakaian polisi. Setelah memberi salam polisi itu bertanya,

"Anda yang bernama Furqan?"

"Ya benar. Ada apa ya?"

"Saya diminta oleh Kolonel Fuad untuk membawa Anda ke kantornya sekarang. Penting!" Kata polisi itu dengan nada tegas dan terasa kurang ramah. Furqan jadi bertanya-tanya dalam hati; ada apa gerangan? Apa yang ter-jadi?

"Sekarang?!" Furqan meminta ketegasan ulang. "Ya sekarang juga! Saya tunggu!" jawab polisi itu. "Baiklah."

Furqan masuk ke kamarnya untuk ganti pakaian. Lalu keluar dan meluncur ke Abbasea bersama polisi itu.

Sampai di Abbasea ia disambut oleh Kolonel Fuad.

"Maaf mengganggumu Furqan.Tapi ini prosedur standar dan ini penting," kata Kolonel Fuad sambil mengisyarat-kan Furqan untuk duduk.

"Saya tidak paham dengan yang Kolonel maksud," tukas Furqan bingung.

"Aku tahu kau besok pagi mau pulang ke Indonesia. Tapi sayang rencana kepulanganmu agaknya harus tertunda."

"Apa maksud Kolonel! ?"

"Kau harus periksa darah dulu!"

"Kenapa untuk pulang saja harus periksa darah. Kalian jangan membuat peraturan yang mengada -ada. Mentang mentang ini negara kalian ya!" Furqan emosi mendengar perintah Kolonel Fuad yang baginya sangat tidak masuk akal.

"Tenanglah dulu Furqan. Akan aku jelaskan duduk persoalannya. Aku sebenarnya tak ingin merepotkan siapa saja. Atau mencegah seseorang pulang ke negaranya. Tapi untuk kebaikan bersama, kebaikan bagi kamu, teman-teman kamu, negara kamu dan negara kami, maka prosedur ini harus dija lani. Begini Furqan, penyelidikan kami menemukan hal yang sangat tidak kita inginkan bersama. Perempuan brengsek yang mengaku sebagai Miss Italiana itu memang benar-benar orangnya Mosad. Selain dikirim ke Mesir ini sebagai mata mata, ternyata ia juga ditugaskan untuk merusak masyarakat negeri ini. Korbannya ternyata sudah puluhan. Ada yang jadi korban amoralnya dalam arti yang sesungguhnya. Ada yang cuma menjadi korban intimidasinya. Lha kami tidak tahu kamu ini termasuk jenis yang mana. Kamu tergolong yang menjadi korban intimidasinya saja atau juga korban amoralnya?"

Furqan diam di tempat duduknya. Mendengar penjelasan Kolonel Fuad itu tiba-tiba ada aliran kecemasan yang menyusup ke dalam dadanya.

"Bisa lebih jelas lagi maksud Kolonel dengan korban amoral dan korban intimidasi?" tanyanya.

Kolonel Fuad mengusap mukanya lalu menjawab.

"Aku harap kau tidak kaget dengan penjelasanku ini. Perempuan bule itu nama aslinya adalah Golda Olmetz. Ia seorang pelacur profesional di Tel Aviv yang diambil Mosad sebagai tentaranya. Perempuan itu seorang peng-idap AIDS. Ia ditugaskan ke Mesir memang untuk menu -larkan virus itu pada penduduk Mesir."

Mendengar hal itu muka Furqan langsung pucat pasi. Bibirnya biru.Badannya dingin. Tulang-tulangnya seperti dilolosi. Ia diam seribu bahasa. Kolonel Fuad melanjutkan keterangannya,

"Sudah puluhan orang yang menjadi korban kebejatan dan kejahatan Golda Olmetz ini. Hampir semuanya yang pernah difoto bugil bersamanya terkena AIDS. Namun kami juga menemukan ada empat orang yang tidak tertulari AIDS, hanya menjadi korban intimidasi saja. Saya tidak tahu kamu masuk kriteria korban yang mana. Sebab menurut ceritamu, saat itu, kamu tidur tidak merasakan apa -apa, tiba -tiba bangun dalam keadaan nyaris tak berbusana, dan menemukan foto itu. Lha saat kamu tidur itu apa yang dilakukan perempuan itu kepadamu kan kita tidak tahu. Untuk memastikan, kamu harus periksa darah dulu."

Tubuh Furqan seperti lumpuh. Dunia terasa sangat menakutkan. Langit seolah mau runtuh menimpanya. Tanpa terasa airmatanya mengalir di pipinya. Kolonel Fuad menatap wajah Furqan yang sayu kehilangan harapan hidupnya. Maka ia berusaha sedikit menenangkan,

"Aku tahu berita ini sangat berat bagimu Furqan. Tapi kamu harus tegar menghadapinya. Aku percaya sepenuh-nya kau orang baik. Kau hanya korban. Semoga kau tetap bersih tidak tertulari virus AIDS itu. Jika ternyata kau terkena AIDS, kau adalah orang yang beriman. Itulah takdirmu. Kau harus sabar menerimanya. Kau akan diantar Sersan Shabur ke Ru mah Sakit Ains Syams untuk periksa darah. Semua biaya kami yang menanggung. Tiga hari lagi akan ketahuan hasilnya. Sekarang kau boleh berangkat." Kata Kolonel itu lalu memanggil anak buahnya. Lalu Furqan dibawa ke Rumah Sakit Ains Syams untuk diambil darahnya guna diperiksa. Tiga hari lagi ia diminta datang untuk mengambil hasilnya. Dari rumah sakit Furqan langsung diantar pulang ke flatnya.

Begitu ia tiba di kamarnya, Furqan tak kuasa menahan tangisnya. Ia menangis meraung-raung seperti anak kecil. Untunglah saat itu hanya ia sendiri yang ada di rumah itu. Ia merasakan kecemasan yang paling hebat. Kecemasan yang belum pernah ia alami sebelumnya. Ia juga merasakan keta kutan yang luar biasa. Ketakutan yang juga belum pernah ia alami sebelumnya. Dan ia juga mengalami kesedihan yang nyaris membinasakannya. Ia merasa menjadi manusia paling sengsara di dunia. Ia menangis sambil menyebut-nyebut nama Allah.

"Ya Allah, ya Allah, ya Allah! Ya Allah kasihanilah ham ba-Mu yang lemah ini ya Allah!"

Ia tak tahu harus berbuat apa saat itu. Dan ia tidak kuat membayangkan jika hasil test darah itu memvonisnya positif terkena HIV. Hancur sudah masa depannya. Jika itu yang terjadi, ia merasa akan menjadi bangkai yang berjalan. Ia akan dianggap lebih menjijikkan dari kotoran dan lebih busuk dari sampah yang paling busuk. Jika itu yang terjadi, ia merasa riwayatnya telah tamat sebelum ia mati.

Ia terus meratap kepada Allah.

Ia baru merasa betapa lemah, kerdil dan tiada berdaya dirinya. Semua rasa optimisnya lenyap. Kalkulasi -kalkulasi dan prediksi-prediksinya yang selarna ini ia agungkan sebagai pilar paling vital untuk menentukan hukum-hukum takdir yang diyakininya sama sekali sirna. Tak ada lagi kalkulasi ma tematis. Tak ada lagi hitung-hitungan strategis. Tak ada lagi prediksiprediksi logis. Semua lenyap di hadapan rasa cemas, takut dan sedih tia-da terkira. Semuanya lenyap di hadapan kenyataan yang dialaminya.

Begitu cepat kondisi berubah. Baru saja ia merasa sangat optimis, sangat yakin akan memboyong Anna Althafun -nisa sebagai isterinya ke Cairo dan menempati rumahnya, ia bahkan merencanakan akan membeli mushaf mahar paling baik dan paling mahal untuk Anna, tiba-tiba semua berubah.

Rasa optimisnya tak tersisa sedikit pun. Yang ada hanya rasa takut dan sedih tiada terkira.

Ia merasa begitu kecil dan kerdil. Begitu tidak ada artinya. Ia baru merasa bahwa manusia sesungguhnya tidak bisa menentukan takdirnya. Manusia sama sekali tidak bisa som bong bisa menentukan takdirnya. Kewenangan yang diberikan Tuhan untuk manusia hanyalah berikhtiar dan berusaha. Adapun takdir sepenuhnya ada-lah hak dan keputusan Tuhan Yang Maha Kuasa. Tuhan-lah yang berhak memutuskan segala -galanya. Dan Dialah Yang Maha Pemberi keputusan lagi Maha Mengetahui. 68 68 QS. Saba' (Kaum Saba') [34]: 26.

0 komentar:

Posting Komentar

REVAN NINTANG BLOG. Diberdayakan oleh Blogger.