Minggu, 16 Agustus 2009

2 Ikatan Batin

Sore itu dengan pembacaan surat Al Fatihah ikatan pertunangan Anna Althafunnisa dengan Furqan resmi sudah. Peristiwa itu disaksikan oleh tokoh-tokoh terpenting dari dua keluarga, belasan Kiai pengasuh pesantren dan para pemuka masyarakat desa Wangen.
Anna tampak anggun dengan dalam balutan jilbab dan jubah panjangnya berwarna biru muda. Kecantikannya dipuji oleh keluarga Furqan. Nyonya Maylaf, ibu Furqan, yang tergolong wanita yang tidak mudah memuji kecantikan orang lain, saat itu tidak mampu untuk menahan pujiannya.
Pa, calon menantu kita ini kecantikannya sungguh alami ya." Bisik Bu Maylaf pada Pak Andi Hasan, suaminya.
Pak Andi Hasan mengangguk pelan.
Furqan tampak gagah dengan koko biru tuanya. Jika disandingkan dengan Anna pastilah pakaian keduanya akan tampak sangat serasi. Sore itu Furqan mampu menyembunyikan segala muramnya.
Padahal tidak ada kesepakatan kok baju Anna dan Nak Furqan bisa serasi ya." Seru Kiai Lutfi Hakim, ayah Anna
Althafunnisa sambil tersenyum.
Ini namanya benar-benar jodoh Pak Kiai." Sahut Bu Maylaf.
Sudah ada kontak batin yang memadukan, bukankah begitu Fur?" Sambung Pak Andi Hasan sambil melirik Furqan.
Furqan hanya tersenyum. Anna menunduk memandang lantai. Kalimat-kalimat itu semakin meneguhkan keyakinannya bahwa inilah sejarah hidupnya. Bahwa Furqan adalah bagian dari sejarah masa depannya.
Sore itu juga disepakati hari, waktu, dan tempat akad nikah. Setelah dialog penuh kehangatan tercapai kesepakatan bahwa akad dan pesta walimah diadakan di desa Wangen. Di Pesantren Daarul Qur’an. Sementara di Jakarta hanya acara semacam syukuran yang akan diadakan di sebuah hotel berbintang di bilangan Cikini.
Akad nikah akan dilangsungkan pada hari Jumat kedua bulan Agustus. Lalu disambung walimah selama dua hari yaitu, hari Sabtu dan Ahad.
Yang menarik sebelum hari akad dan walimah disepakati, Anna Althafunnisa mengajukan syarat kepada Furqan jika tetap ingin menikahinya. Syarat yang sempat membuat perdebatan sengit antara Anna dan Furqan.
Saya punya syarat yang syarat ini menjadi bagian dari sahnya akad nikah. Artinya farji saya halal diantaranya jika syarat saya ini dipenuhi oleh Mas Furqan." Kata Anna di majelis musyawarah itu.
Apa itu syaratnya?" Tanya Furqan.
Pertama, setelah menikah saya harus tinggal di sini. Saya tidak mau tinggal selain di lingkungan pesantren ini. Kedua, saya mau dinikah dengan syarat selama saya hidup dan saya masih bisa menunaikan kewajiban saya sebagai isteri Mas Furqan tidak boleh menikah dengan perempuan lain!" Dengan tegas Anna menjelaskan syarat yang diinginkannya.
Kalimat yang diucapkan itu cukup membuat kaget Furqan dan keluarganya.
Apa syarat-syarat itu tidak mengada-ada?" Kata Pak Andi Hasan, ayah Furqan.
Tidak. Sama sekali tidak. Para ulama sudah membahasnya panjang lebar. Dan syarat yang saya ajukan ini sah dan boleh." Jawab Anna. Pak Kiai Lutfi diam saja. Dia percaya bahwa putrinya pasti bisa memperjuangkan apa yang menjadi maslahat bagi masa depannya.
Maaf, untuk syarat pertama saya rasa tidak ada masalah. Itu sah dan boleh-boleh saja. Tapi untuk syarat kedua, apa tidak berarti kamu mengharamkan poligami?" Gugat Furqan.
Mohon Mas Furqan melihat dan meneliti dengan seksama, dibagian mana dan di teks mana saya mengharamkan poligami yang dihalalkan oleh Al Qur’an. Tidak, sama sekali saya tidak mengharamkan. Kalau Mas Furqan menikah dengan selain saya, Mas mau menikahi langsung empat wanita juga saya tak ada masalah. Itu hak Mas Furqan. Syarat itu sama dengan syarat misalnya saya minta setelah menikah Mas Furqan tidak makan Jengkol, karena saya tidak suka. Jengkol itu bau. Baunya saya tidak suka.
Apa itu berarti saya mengharamkan Jengkol? Saya meminta syarat untuk sesuatu yang menurut saya bermanfaat bagi saya dan anak-anak saya. Dan dengan syarat ini Mas Furqan sama sekali tidak dirugikan, sebab saya mengatakan tidak boleh menikah dengan perempuan lain selama saya hidup dan saya masih bisa menunaikan kewajiban saya sebagai isteri. Kalau saya sakit menahun dan tidak bisa menunaikan kewajiban saya ya silakan menikah. Syarat yang seperti ini dibolehkan oleh ulama." Anna beragumentasi membela syarat yang diajukannya.
Maaf saya belum pernah membaca ada ulama membolehkan syarat seperti itu." Tukas Furqan.
Baiklah. Tunggu sebentar!" Kata Anna. Gadis itu masuk ke kamarnya dan mengambil sebuah kitab. Pada halaman yang ditandainya ia membukanya dan langsung menyodorkannya pada Furqan,
Ini juz 7 dari kitab Al Mughni karya Ibnu Qudamah, silakan baca di halaman 93!" Furqan menerima kitab itu lalu membaca pada bagian yang diberi garis tipis dengan pensil oleh Anna. Saat membaca kening Furqan berkerut. Ia lalu mendesah. Ia diam sesaat. Wajahnya agak bingung.
Jelas sekali, para ulama sepakat bahwa suatu syarat yang menjadi sebab akad nikah terjadi harus dipenuhi.
Maka syarat saya tadi harus dipenuhi kalau ingin akad nikah dengan saya terjadi. Selama syarat itu tidak bertentangan dengan tujuan pernikahan dan tidak menghilangkan maksud asli pernikahan. Saya tidak mensyaratkan misalnya saya hanya boleh disentuh satu tahun sekali. Tidak! Syarat ini bertentangan dengan maksud pernikahan. Dan ulama juga banyak yang memilih pendapat bahwa perempuan boleh mengajukan syarat sebelum akad nikah bahwa suaminya tidak akan menikahi perempuan lain. Dan sang suami wajib memenuhi syarat itu selama dia menerima syarat itu ketika akad nikah.
Imam Ibnu Qudamah ketika berbicara tentang syarat dalam nikah sebagaimana termaktub dalam kitab Al Mughni yang Mas Furqan pegang itu berkata: 'Yang wajib dipenuhi adalah syarat yang manfaat dan faidahnya kembali kepada isteri. Misalnya sang suami tidak akan mengeluarkannya dari rumahnya atau dari kampungnya, tidak bepergian dengan membawanya atau tidak akan menikah atasnya. Syarat seperti ini wajib ditepati oleh suami untuk isteri, jika suami tidak menepati maka isteri berhak minta dihapuskan nikahnya. Hal seperti ini diriwayatkan dari Umar bin Khattab ra, dan Saad bin Abi Waqqash, Mu'awiyah, dan Amru bin Ash ra. Hal ini juga difatwakan oleh Umar bin Abdul Aziz, Jabir bin Zaid, Thawus, Auzai dan Ishaq.'
Dan ayat yang meminta kita untuk memenuhi janji adalah Al Maidah ayat 1, Allah berfirman, 'Hai orang-orang yang beriman penuhilah janji-janji!" Dan dalam sebuah hadits riwayat Imam Bukhari dan Muslim, Rasulullah saw. bersabda, “Sesungguhnya syarat yang paling berhak untuk kalian penuhi adalah syarat yang membuat suatu farji jadi halal untuk kalian!' Saya hanya ingin seperti Fatimah yang selama hidupnya berumah tangga dengan Ali bin Abi Thalib tidak dimadu oleh Ali. Dan saya ingin seperti Khadijah yang selama hidupnya berumah tangga dengan Rasulullah juga tidak dimadu. Sungguh saya sama sekali tidak mengharamkan poligami. Tapi inilah syarat yang saya ajukan.
Jika diterima ya akad nikah bisa dirancang untuk dilaksanakan. Jika tidak, ya tidak apa-apa. Silakan Mas Furqan mencari perempuan lain yang mungkin tidak akan mengajukan syarat apa-apa!" Papar Anna panjang lebar Menghadapi argumentasi Anna, akhirnya Furqan dan keluarganya menyerah. Mereka akhirnya menerima dua syarat yang diajukan Anna Althafunnisa.
Sore itu juga berita telah resminya Anna Althafunnisa putri Pengasuh Pesantren Daarul Qur’an bertunangan dengan Furqan Andi Hasan dari Jakarta langsung menyebar di seantero desa Wangen. Beberapa santri senior, beberapa ustadz muda dan beberapa pemuda desa yang menaruh hati dan harap menelan ludah kekecewaan. Impian mereka bisa bersanding dengan putri Kiai Lutfi yang terkenal cantik, cerdas dan shalihah itu hilang.
Seorang pemuda desa Wangen yang tidak bisa menyembunyikan kekecewaannya berkata,
Aku kecewa pada Pak Kiai. Kenapa Pak Kiai memilih calon menantu dari Jakarta! Kenapa mesti Jakarta yang diutamakan? Kenapa tidak memilih menantu orang sini saja. Menantu yang sudah beliau kenal, dan sudah mengaji dan belajar pada beliau sejak masih balita!"
Masalahnya bukan orang Jakarta atau orang sini.
Bukan itu kukira. Aku yakin karena yang dipilih sekarang ini adalah yang terbaik menurut Pak Kiai dan putrinya yaitu
Anna Althafunnisa. kamu boleh saja kecewa. Tapi jodoh sudah ada yang menentukannya." Sahut pemuda yang lebih tua.
Bu Maylaf belum mengganti gaun yang ia kenakan dalam acara pertunangan putranya. Selepas maghrib ia langsung mengajak Furqan jalan-jalan mengelilingi kota Solo. Mereka hanya berdua. Pak Andi Hasan dan yang lain memilih istirahat di hotel. Mobil Toyota Fortuner berplat B itu melaju tenang di jalan Slamet Riyadi.
Jalan utama kota Solo itu lebar dan ramai. Di kanan kiri berdiri bangunan-banguan metropolis; mall, hotel, bank, butik, rumah makan, pusat elektronik dan lain sebagainya. Meskipun bukan sebuah ibu kota provinsi, Solo bisa disebut kota yang kesepuluh terbesar di Indonesia setelah Jakarta, Surabaya, Bandung, Medan, Semarang, Makassar, Denpasar, Palembang, dan Jog-yakarta.
Bu Maylaf minta Furqan menuju kraton.
Aku ingin tahu suasana kraton dan Pasar Klewer di malam hari." Gumam Bu Maylaf.
Aku juga ingin, Bu." Sahut Furqan.
Fur, kamu bahagia?" Tanya Bu Maylaf sambil memandang gurat wajah putranya yang tidak benar-benar cerah.
Iya bahagialah Bu. Ibu ini ada-ada saja."
Tapi ibu amati begitu pulang dari pesantren tadi wajahku muram."
Ah tidak. Ibu saja yang terlalu berperasaan."
Tidak Anakku, ibu serius. Ibu amati kamu masih saja murung. Sejak kamu pulang dari Cairo sampai sekarang kamu kok sepertinya punya masalah serius? Apa kamu sebenarnya tidak suka pada gadis itu? Merasa salah pilih? Karena kamu sudah terlanjut melamar dia sejak di Cairo dan terlanjur bilang sama ibu dan ayah, kamu jadi menanggung beban, begitu?"
Tidak ibu. Aku tidak ada masalah apa-apa kok. Aku suka gadis itu dan sama sekali tidak salah pilih."
Terus kenapa kamu muram seperti tertekan sesuatu?"
Tidak ada kok Bu. Sungguh!"
Fur, firasat seorang ibu pada anaknya tidak pernah salah. Ibu tahu kamu sejak kamu lahir. Kalau kamu senang ibu hafal wajah kamu. Kalau kamu marah, kamu kesal, kamu kecewa, ibu hafal semua. Juga kalau kamu memendam masalah. Ayo ceritakanlah pada ibu, Nak!" Desak Bu Maylaf.
Mendengar kata-kata ibunya itu Furqan ingin menangis, ingin rasanya meledakkan tangisan di pangkuan ibunya sambil dielus-elus kepalanya seperti saat masih kecil dulu. Ia ingin menceritakan musibah yang menimpanya beberapa hari sebelum kepulangan-nya. Tentang dirinya yang tanpa ia ketahui dosanya digarap agen Mossad di Meridien Hotel. Tentang Miss Italiana yang menghancurkan dirinya dengan virus HIV.
Tentang janjinya pada Kolonel Fuad untuk tidak menyebarkan virus HIV yang diidapnya pada orang lain.
Dan kini ia telah bertunangan dengan Anna Althafunnisa.
Gadis terbaik yang pernah ia kenal dan ia ketahui.
Haruskah ia meneruskan sampai ke pelaminan? Ia ingin mengungkapkan semua pada ibunya. Ia sangat mencintai Anna, tapi ia tidak ingin merusak Anna. Ia tidak tahu harus bagaimana? Jika ia berterus terang pada ibunya, pada keluarganya.
Ia khawatir akan itu menyakit hati mereka berdua dan merusak hidup mereka. Sebab ia tahu betapa sayang mereka berdua padanya. Ia satu-satunya anak lelaki mereka. Kakak dan adiknya perempuan. Ia tiga ber-saudara. Ia anak tengah. Kakaknya telah menikah dan kini sedang hamil tua. Sementara adiknya hanya selesai D3 dan tidak mau melanjutkan kuliah lagi. Ialah yang meraih pendidikan tertinggi, maka ialah putra kebanggaan keluarga. Apa jadinya
jika ayah dan ibunya mengetahui anak kebanggaan mereka mengidap virus HIV.
Fur kenapa kamu diam!" Teguran ibunya menyadarkan dirinya dari lamunan.
Ia berusaha menahan air matanya agar tidak keluar. Ia mencoba untuk menormalkan keadaan.
Oh tidak Bu. Aku tidak memendam masalah. Aku hanya tegang saja akhir-akhir ini. Tegang karena akan punya isteri. Akan benar-benar hidup sendiri. Hidup berumah tangga. Itu yang mungkin ibu lihat aku agak muram. Hanya tegang mau hidup berumah tangga Bu." Furqan menjawab diplomatis. Jawaban yang bisa menutupi segala galau dan kacau yang terus menteror perasaan dan jiwanya.
O, begitu. Kalau itu ya memang biasa. Sebagian orang yang akan berumah tangga mengalaminya. Ibu dulu juga begitu. Tapi percayalah dengan berjalannya waktu semua akan baik-baik saja. Membangun rumah tangga tidak semenakutkan yang kamu bayangkan. Dengan kerjasama yang baik antara suami isteri nanti rumah tangga itu akan sangat menyenangkan dan membahagiakan. Semoga rumah tanggamu nanti kokoh dan barakah, Fur."
Amin." Malam itu mereka menikmati panorama malam di kawasan kraton. Furqan minta ibunya menemaninya minum wedang ronde di pojok barat alun-alun utara, tak jauh dari masjid Agung.
Wah wedang rondenya enak ya Fur." “Iya Bu."
Nanti kalau kamu pengantin baru. Ajaklah Anna minum wedang ronde di sini. Akan terasa sangat romantis Fur. Setelah itu ajaklah jalan-jalan keliling kota. Lalu ajaklah bermalam di hotel berbintang lima. Pasti itu akan membuat Anna tambah berlipat cintanya padamu Fur." Kata Bu Maylaf sambil tersenyum pada putra kesayangannya.
Ah ibu, sudah membayangkan yang indah-indah."
Ya, bayangkanlah yang indah-indah itu. Karena memang yang indah-indah itu adalah hak para pengantin baru. Saya dengar dari Pak Kiai yang mengajar di masjid kita, bahwa Rasulullah meminta kepada pada pejaka agar menyertai isterinya yang selama tujuh hari saat pengantin baru. Jika isterinya itu seorang gadis. Tujuannya ya katanya agar bisa mereguk keindahan-keindahan bersama sedalamdalamnya, seromantis-romantisnya, agar cinta di antara keduanya benar-benar berakar mendarah daging. Dan dengan itu mawaddah dan rahmah lebih mudah tercipta."
Wah ibu kayak Ustadzah saja."
Lho, begini-begini kan ibu ini ibundanya Ustadz Furqan, lulusan S2 Mesir." Keduanya tersenyum. Sesaat wajah murung Furqan hilang. Imajinasi keindahan berkelebat-kelebat dalam pikirannya. Keanggunan Anna dalam balutan serba biru kembali hadir di pelupuk matanya.
Sementara itu, di sebelah barat Kota Surakarta.
Tepatnya dalam rumah papan di sebuah kampung di pinggir Kartasura, tampak tiga orang perempuan sedang beraktifitas di ruang tamu yang sekaligus adalah ruang tengah, ruang makan dan ruang kerja. Seorang perempuan tampak sudah berumur. Kira-kira lima puluh tahunan.
Sedangkan dua perempuan lainnya masih muda.
Perempuan setengah baya itu sibuk bekerja di depan mesin jahit tuanya. Ia sedang menjahit korden seorang pelanggan-nya. Berkali-kali perempuan itu menjahit sambil terbatuk-batuk. Perempuan setengah baya itu tak lain adalah ibunda Khairul Azzam. Namanya Ibu Malikatun Nafisah. Di dukun Sraten ada yang memanggil Bu Lika. Ada yang memanggil Bu Nafis dan Bu Isah. Panggilannya yang paling lazim dan masyhur adalah Bu Nafis.
Bu’e, jangan memaksakan diri tho. Kalau sudah capek ya istirahat. Besok pagi dilanjutkan lagi. Nanti sakit lagi." Ucap perempuan muda berjilbab cokelat sambil menghentikan aktifitas membacanya. Perempuan berjilbab coklat itu lalu bangkit dari tempat duduknya dan beranjak menuju ibunya. Ia lalu memijit pundak ibunya yang masih sesekali batuk dengan penuh kasih sayang.
Ya keras sedikit Na. Ke arah tengkuk Na. Pegel rasanya. Ini biar Bu’e teruskan sedikit lagi ya. Biar selesai sekalian. Masalahnya ibu sudah janji besok pagi bisa diambil. Kalau besok belum jadi terus yang pesan datang kan mengecewakan." Lirih Sang Ibu sambil terus melanjutkan pekerjaannya.
Kalau Husna bisa menjahit, pasti Husna bantu. Biar Bu’e istirahat saja. Bu’e kan sudah tua, tidak perlu memaksamaksakan diri bekerja." Sahut perempuan berjilbab cokelat itu sambil terus memijit Sang Ibu.
Ah ini kegiatan ringan saja kok Na. Ya Bu’e kan perlu kegiatan tho. Mosok nganggur. Ukh... ukh... ukh!" Kata Sang Ibu sambil terbatuk-batuk.
Dik Lia, maaf bisa nggak bantu Bu’e. Biar Bu’e istirahat saja. Ini Bu’e sudah batuk terus!" Seru perempuan berjilbab cokelat sambil menengok ke arah adiknya yang sedang bergelut dengan tumpukan buku di kanan-kirinya.
Aduh Mbak Husna, tidak bisa. Ini kerjaan sekolah menumpuk. Malam ini harus beres. Bu’e sih, sudah dibilangin tidak usah terima orderan, masih terus saja terima. Bu’e tidak melihat kondisi diri sendiri. Kalau sakit kan yang repot kita Bu. Anak-anaknya Bu’e." Jawab sang adik sewot.
Kalau tidak bisa ya sudah tho Dik, nggak perlu ceramah." Sahut sang kakak.
Mbak Husna tidak tahu sih, Lia ini lagi pusing plus repot banget. Apa Mbak nggak lihat kerjaan Lia! Setumpuk nih! Lia harus lembur malam ini Mbak. Kalau luang pasti tanpa diminta juga sudah Lia bantu kerjaan Bu’e." Timpal sang adik.
Sudah-sudah! Bu’e yang salah. Bu’e terlalu memaksakan diri. Husna, jangan ganggu adikmu. Dia kalau luang seperti biasa, pasti sudah bantu Bu’e.
Ya sudah, Bu’e istirahat dulu. Besok habis subuh baru akan Bu’e lanjutkan. Tinggal sedikit saja kok. Ukh... ukh!" Ucap sang ibu menengahi sambil bangkit.
Perempuan berjilbab cokelat yang tak lain adalah Ayatul Husna, mengantarkan ibunya ke kamarnya. Sampai di kamar ia menunggu ibunya rebahan. Lalu menye-limutinya dengan penuh kasih sayang.
Ibu mau Husna buatkan jahe tambah madu hangat.
Biar badan ibu hangat dan segar?" Sang ibu mengangguk.
Husna beranjak ke dapur.
Sang ibu merasakan keharuan luar biasa. Tanpa bisa ia cegah air matanya meleleh membasahi pipinya.
Sedemikian sayang dan perhatian kedua putrinya itu pada dirinya. Lirih ia menyampaikan rasa syukur sedalamdalamnya kepada Allah atas karunia yang sangat mahal ini. Meski ia membesarkan anak-anaknya tanpa didam-pingi sang suami, namun Allah selalu menurunkan pertolongannya. Keempat anaknya ia rasakan sangat berbakti dan sangat mencintainya.
Anak pertamanya, Khairul Azzam, sejak kecil telah menunjukkan baktinya. Prestasi-prestasinya mengharum-kan nama orang tua. Saat kuliah di Al Azhar, ia juga meraih nilai sangat baik di tahun pertamanya. Dan ketika sang ayah tiada, Azzam menunjukkan tanggung jawabnya sebagai anak sulung dan satu-satunya anak lelakinya.
Azzam bekerja keras di Mesir sana. Ia tahu anaknya itu bekerja dan berwirausaha dengan membuat bakso dan tempe di sana. Tiap bulan mengirimkan uang demi menghidupi dan menyekolahkan adik-adiknya. Sebagai ibu, ia sangat bangga pada anak pertamanya itu. Di saat sang ayah tiada dan ia sakit-sakitan, nama keluarga tetap terjaga. Seluruh adik-adiknya tetap lanjut kuliah.
Ia jadi sangat merindukan Azzam.
Segeralah pulang Nak. Bu’e sangat rindu padamu. Bu’e ingin tahu seperti apa wajahmu. Seperti apa baumu. Bu’e ingin memelukmu." Lirihnya dalam hati didera kerinduan dan keharuan luar biasa.
Anak keduanya, Ayatul Husna, sangat halus tutur bahasanya. Dan sangat mencintainya. Husna seolah tidak pernah rela ada nyamuk sekalipun menyentuh kulit ibunya. Ia dulu pernah merasa Husna adalah anak yang nakal. Ia ingat anak keduanya itu sewaktu kecil paling sering bikin ulah. Paling sering berkelahi dengan anak tetangga. Paling sering merebut mainan temannya. Dan saat kelas tiga SMP justru ikutan karate sebagai kegiatan ekstra kurikuler. Ia ingat bagaimana dulu Husna pernah memukul kakaknya dengan gagang sapu sekeras-kerasnya.
Gara-garanya Husna disiram kakaknya karena sampai pukul enam pagi belum juga bangun pagi.
Anak perempuan kok kebluk3!3 Kebluk (jawa.): Bangun kesiangan/tidur di waktu pagi sampai siang. kamu ini sudah akil baligh Na! Dosa kalau kamu shalat subuh selalu kesiangan apalagi tidak shalat subuh!" Seru kakaknya dengan nada marah saat itu. Husna sangat marah diperlakukan seperti itu oleh kakaknya. Ia bangkit lalu mengambil sapu. Dan memukul kakaknya dengan sekeras-kerasnya meng-gunakan gagang sapu. Sampai gagang sapu itu patah.
Husna memukul tepat di pelipis. Tak ayal, pelipis Azzam berdarah.
Azzam tidak membalas. Azzam diam dengan amarah yang meluap-luap. Oleh ayahnya Azzam dilarikan ke dokter terdekat untuk diobati. Sang ayah lalu menghukum Husna dengan menghajarnya. Tapi Husna melawan, Husna malah memukul dan menendang sang ayah. Sang ayah kalap, Husna nyaris dipatahkan tangannya oleh sang ayah, tapi
Azzam mencegah,
Jangan ayah! Mungkin tadi Azzam yang salah. Azzam terlalu keras pada Dik Husna." Sang ayah mengurungkan niatnya. Akhirnya Husna dihukum dengan diikat di dapur satu hari penuh. Husna berontak tapi tidak bisa. Kenakalan dan kebengalan Husna saat itu dikenal hampir oleh semua orang di kampung.
Namun kenakalan itu perlahan hilang sejak Husna masuk SMA dan Azzam terbang ke Mesir. Husna berubah seratus delapan puluh derajat sejak ayahnya meninggal dunia. Sejak itu Husna disiplin mengenakan jilbab. Sangat santun. Penyabar dan penyayang. Ia tahu bahwa di antara yang punya andil mengubah Husna adalah kakaknya, Azzam. Hampir setiap bulan sejak di Mesir Azzam selalu mengirimkan surat ke Indonesia. Husna dan Lia mendapat surat khusus.
Sekarang Husna, sudah selesai S1. Bahkan sudah selesai sekolah profesinya sebagai psikolog. Ia sekarang dipercaya untuk menjadi nara sumber tetap rubrik psikologi remaja di Radio Jaya Pemuda Muslim Indonesia (JPMI) Solo. Juga mengajar di UNS sebagai asisten dosen.
Husna sekarang bukanlah Husna yang badung seperti dahulu. Husna sekarang adalah bidadari yang sangat penyabar dan penyayang. Sangat berhati-hati dalam berbicara dan berperilaku. Tidak mau sedikitpun menyakiti orang.
Anaknya yang nomor tiga adalah Lia. Lengkapnya Lia Humaira. Sudah selesai D3 PGSD dan sekarang mengajar di SDIT Al kautsar di Kadipiro Solo. Sambil mengajar Lia melanjutkan pendidikannya untuk meraih S1 di STAIN Surakarta.
Lia lebih cantik dari kakaknya. Sudah ada beberapa orang yang melamarnya, tapi Lia menolak. Ia ingin kakaknya duluan menikah. Memang Lia lebih putih kulitnya dibandingkan kakaknya, Husna. Sebenarnya tidak putih, tapi kuning langsat. Karena itulah banyak orang mengatakan Lia lebih cantik dari kakaknya. Namun sebenarnya Husna tidak kalah cantik. Kulit Husna sawo matang seperti kulit ayahnya.
Azzam dan Husnalah yang warna kulitnya mengikuti ayahnya. Sedangkan Lia dan si bungsu berkulit kuning langsat seperti ia, ibunya.
Lia tidak kurang baktinya. Sebisa mungkin ia berusaha menyenangkan hati ibu. Lialah yang paling sering pergi ke Kudus untuk menengok si bungsu yang sedang belajar di sebuah pesantren Al Qur’an di Kudus.
Perempuan setengah baya itu kembali batuk.
Ia teringat si bungsu. Sedang apa si kecil Sarah malam ini. Apakah ia sedang mengaji? Ataukah masih belajar?
Ataukan sedang lelap dalam tidurnya. Jika teringat si kecil Sarah ia sering tidak bisa menahan rasa haru. Anak itu baru berusia sembilan tahun sekarang. Sudah satu tahun ini dia di pesantren. Di pesantren Al Qur’an untuk anak-anak. Ia laksanakan sesuai dengan wasiat sang ayah beberapa bulan sebelum meninggal. Sang ayah berwasiat agar anak bungsunya dimasukkan ke pesantren Al Qur’an supaya hafal Al Qur’an.
Beberapa waktu yang lalu ia, Husna dan Lia mengantarkan si kecil kembali ke pesantren setelah beberapa hari liburan. Saat itu sudah hafal juz 27, 28,dan 30. Si kecil begitu bahagia diantar oleh ibu dan kakak-kakaknya. Dan saat diajak rekreasi ke pantai Kartini sebelum ke pesantren si kecil sempat berkata,
Kalau ada Mas Azzam pasti lebih lengkap bahagianya ya Bu’e."
Ia hanya menganggukkan kepala.
Ia jadi kembali teringat Azzam. Ia tidak bisa menging-kari bahwa Husna bisa selesai S1, Lia bisa selesai D3 dan si kecil Sarah bisa masuk pesantren adalah karena kerja keras Azzam, putra sulungnya yang sampai saat ini belum juga lulus kuliah di Al Azhar.
Perempuan itu meneteskan air mata kembali. Sebuah doa ia panjatkan,
Ya Allah mudahkanlah semua uruasan putraku Azzam. Aku titipkan keselamatannya pada-Mu ya Allah.
Engkau Dzat Yang Maha Pengasih dan Penyayang. Ya Allah berkahilah umur dan langkahnya ya Allah. Amin." Ia mengatupkan pelupuk matanya dan menangis. Ibu mana yang tidak menangis bila teringat anaknya yang sudah sembilan tahun tidak dilihatnya. Anaknya yang selama bertahun-tahun memeras keringat, darah dan air mata untuk kesejahteraan adik-adiknya. Ibu mana tidak menangis dan lunak hatinya.
Bu’e menangis ya?" Suara Husna menyadarkannya. Ia mengusap air matanya lalu membuka pelupuk matanya.
Ah tidak kok Na."
Maafkan jika ada kata-kata Husna dan Lia yang tidak berkenan bagi Bu’e ya."
Tidak kok Na. Tidak ada yang salah dari kalian. Ibu teringat kakakmu di Mesir dan adikmu di Kudus."
O begitu. Husna kalau teringat Kak Azzam juga sering menangis kok Bu. Ia kakak yang sedemikian baik pada adikadiknya. Insya Allah sebentar lagi Kak Azzam pulang Bu."
Kapan Na?"
Semoga bulan Agustus nanti. Makanya Bu’e jaga kesehatannya ya. Biar nanti pas Kak Azzam pulang kita bisa
jalan-jalan bersama. Kak Azzam pasti akan sangat bahagia melihat ibu sehat dan ceria."
Ya baik Na. Aku tidak sabar menunggu hari itu. Hari anak lelakiku pulang. Aku juga ingin melihat dia nikah dan punya anak. Aku ingin menggendong cucu."
Ah Bu’e ini terus ke mana-mana. Ya semoga dikabulkan Allah. Amin."
Bu’e mau tidur. Sudah sana teruskanlah pekerjaanmu Na.”
Baik Bu." Husna kembali ke ruang tamu. Ia kembali membaca.
Ia harus menuntaskan buku yang dibacanya. Ia sedang mencari pengkayaan bahan yang akan ia gunakan untuk mengajar mata kuliah psikologi dasar di Universitas Negeri Sebelas Maret Surakarta.
Ruang tamu itu senyap. Husna tenggelam dengan bacaannya dan Lia berkutat dengan tugas-tugasnya. Di luar puluhan jangkrik mendendangkan lagu malam. Bersahutsahutan di tengah kegelapan.
Rumah sederhana itu terletak di sebuah dusun kecil bernama Sraten. Sebuah dusun yang berada di desa Pucangan, Kartasura. Letaknya di sebelah barat jalan raya Solo-Jogja. Tak jauh dari markas Kopasus, Kandang Menjangan, Kartasura.
Sebuah dusun yang damai. Sawah-sawahnya mulai disulap jadi perumahan. Posisi dusun itu sebenarnya sangat strategis. Terlelak tak jauh dari pusat peradaban dan budaya.
Tak jauh dari pusat belanja dan pendidikan. Transportasi juga mudah. Dari jalan raya besar letaknya hanya ratusan meter saja. Ke jalan raya bisa jalan kaki. Dari pasar Kartasura bisa dikatakan dekat. Kira-kira dua kilo saja. Dari kampus STAIN Surakarta juga dekat. Ke bandara juga dekat. Ke kampus UMS tidak terlalu jauh. Ke pusat kota Solo sangat mudah.
Dusun Sraten sebuah dusun di pinggir kota yang sebenarnya sudah mulai hidup dengan cara kota. Tidak lagi menggunakan cara dusun yang sebenarnya. Dusun yang sudah tidak orisinil dan perawan kedusunannya.
Gadis-gadis dan para pemudanya tidak lagi lugu dan polos.
Sudah banyak yang bertingkah mengada-ada dan sok kota.
Sebagian mereka bahkan tidak mau dicap sebagai orang desa. Mereka ingin dianggap sebagai orang kota.
Memang beberapa perumahan yang menjadi ciri perubahan masyarakat dari desa ke kota sudah mulai hadir di samping mereka. Di sebelah barat mereka telah berdiri Perumahan Pucangan I. Di desa Pucangan sendiri sudah banyak perumahan bermunculan.
Perumahan-perumahan itulah yang menghadirkan cara hidup ala kota. Dimulai dari bentuk rumah dan cara interaksi penduduknya yang tidak lagi cara desa.
Dua gadis itu masih larut dengan pekerjaannya di ruang tengah ketika tiba-tiba pengeras suara dari masjid Al Mannar mengumumkan kabar yang mengagetkan seluruh penduduk Sraten,
Inna lillahi wa irina ilaihi raaji'un. Ngaturi kawuningan dumateng bapak saha ibu sekalian 44 Memberitahukan kepada bapak dan ibu sekalian. . Telah menghadap Allah
Swt. pada malam ini tepat jam sembilan malam lebih sepuluh menit Bapak Haji Masykur ketua RW sekaligus bendahara takmir masjid Al Mannar. Jenazah insya Allah akan dikebumikan besok pagi jam sembilan pagi ..." Husna dan Lia kaget.
Inna lillahi wa inna ilaihi raaji'un." Hampir bersa-maan mereka berdua membaca istirja 55 Istirja' adalah kalimat inna lillahi wa inna ilaihi raaji'un '. Dua perempuan kakak
beradik itu beradu pandang dengan wajah kaget.
Kita takziah ke sana sekarang Mbak?" “ Terus Bu’e bagaimana?"
Kita bangunkan saja. Kita ajak ke sana sekalian." “Beliau kelelahan, Dik. Kasihan. Biar istirahat saja." “Kalau begitu kita berdua ke sana."
Sebaiknya ada yang di rumah nungguin Bu’e. Kalau tiba-tiba Bu’e bangun dan mencari kita bagaimana? Nanti bikin beliau bingung dan cemas. Biar aku saja ya yang ke sana malam ini. Kalau selesaikan saja kerjaanmu itu. Besok baru kamu ke sana bersama Bu’e."
Iya. Begitu juga baik Mbak. Apalagi kerjaanku ini belum rampung juga."
Kalau begitu Mbak pergi dulu ya Dik." “Jangan lama-lama ya Mbak."
Ya." Husna membuka pintu dan melangkah ke arah masjid.
Lia menutup dan mengunci kembali pintu. Masjid itu hanya seratus meter dari rumah Husna. Dan rumah Pak Masykur tepat ada di belakang masjid. Di jalan Husna bertemu Bu RT dan Pak RT yang juga bergegas ke rumah duka.
Bu RT, kayaknya Pak Masykur sehat-sehat saja tho ya Bu? Tadi pagi saya ketemu beliau di warung Bu War. Malah beliau pakai sepeda dan sempat berbincang
sebentar dengan saya." Tanya Husna pada Bu RT.
Iya. Tadi siang juga masih sehat. Masih jamaah di masjid dan sempat mampir ke rumah menanyakan persiapan kegiatan tujuhbelasan." Jawab Bu RT.
Saya tadi menjelang Isya' dapat sms dari Pak Mahbub, Ketua Takmir Masjid, kata beliau Pak Masykur kena serangan jantung dan dilarikan ke Solo." Pak RT ikut nimbrung.
Ya itulah kematian, Dik Husna. Kematian itu misteri.
Kita tak tahu kapan datangnya. Tak bisa diajukan. Dan jika sudah datang tak bisa diundurkan." Tukas Bu RT.
Dan kematian bisa datang pada siapa saja. Tidak pilihpilih. Lha Mbah Hadi sekarang umurnya sudah sembilan puluh delapan. Tapi masih segar dan masih bisa ke masjid sendirian meskipun pakai tongkat. Sementara bulan lalu Si
Jasman yang baru lulus SMA mati karena demam berdarah." Pak RT menyambung lagi.
Husna diam mendengarkan. Kematian selalu menjadi ibrah baginya. Karena satu sebuah kematianlah ia berubah.
Kematian ayahnya delapan tahun yang lalu menjadi pelajaran yang tak mungkin terlupakan baginya. Pelajaran yang menjadikannya mengenal dirinya sebagai manusia, ciptaan Allah Azza wa Jalla.
Itu Pak Mahbub sudah ada di sana." Gumam Pak RT. Husna melihat sudah banyak orang di rumah duka. Suasana terasa menyedihkan. Ia mendengar raungan tangis Bu Masykur dan anak-anaknya.
Pak jangan tinggalkan aku Paak...! Kasihan anak-anak Paak...! Bagaimana nanti aku membesarkan mereka tanpa Sampean Paak...!" Bu Masykur terus meraung. Bu Mahbub yang tak lain adalah kakak kandung Bu Masykur mencoba menenang-kan dan menghibur. Tapi usaha Bu Mahbub seperti tak ada gunanya. Bu Masykur terus meraung. Husna tertegun.
Ia berhenti melangkah. Sementara Pak RT dan Bu RT terus masuk ke rumah duka.
Husna jadi teringat saat ayahnya meninggal karena kecelakaan. Ibunya sempat menangis meskipun tidak setragis Bu Masykur. Ia sendiri menangis. Saat itu ia menangis karena sedih dan menangis karena penyesalan.
Sebuah penyesalan yang sampai saat ini masih bercokol di hatinya. Sebab ia merasa dirinyalah penyebab kematian ayahnya.
Saat itu ia ngambek kabur dari rumah karena minta dibelikan sepeda motor tapi tidak dibelikan. Ayahnya berkata,
Nak, ayah tidak bisa beli sepeda motor baru.
Kalau kamu mau sekolah memakai sepeda motor pakailah motor ayah. Biar ayah kerja pakai sepeda saja." Ia masih ingat betul apa yang ia katakan pada ayahnya saat itu,
Aduh Yah, gengsi dong. Masak Husna pakai sepeda motor butut tahun tujuh puluhan begitu. Apa kata temanteman Husna nanti. Baiklah, kalau ayah tidak mau membelikan maka Husna akan minggat!" Ayahnya tetap tidak membelikan. Karena memang tidak punya uang. Ia lalu minggat. Pergi dari rumah. Tiga hari ia tidak pulang ke rumah. Ia tidur numpang dari rumah teman ke rumah teman yang lain. Rupanya ayah dan ibunya bingung dan terus mencarinya. Hari ke empat ia tidur di rumah temannya yang paling jauh. Rumahnya di desa Begajah yang terletak di sebelah selatan kota Sukoharjo.
Ayahnya mendapat informasi dari seorang temannya bahwa ia ada di Begajah. Sore itu di tengah hujan deras, dengan mengendarai sepeda motor butut, ayahnya menyusulnya ke Begajah. Di tengah jalan, satu kilometer sebelum masuk kota Sukoharjo sebuah mobil sedan berkecepatan tinggi menabrak ayahnya dari depan.
Rupanya sopir mobil sedan itu sedang stres dan mabuk.
Ayahnya terpelanting sejauh lima belas meter dan tewas seketika.
Saat diberi tahu ayahnya meninggal mulanya ia tidak percaya. Dan setelah melihat sendiri jenazah ayahnya ia menjerit dan menangis sejadi-jadinya. Ia merasa menjadi anak paling durhaka di dunia. Ia merasa ialah sebenarnya yang menabrak ayahnya hingga terpelanting lima belas meter dan tewas seketika. Ia sangat menyesal. Tapi penyesalannya tidak akan pernah mengembalikan nyawa ayahnya. Satu hal yang paling membuatnya semakin menyesal adalah ketika ia tahu bahwa sang ayah siangnya baru saja pinjam uang di bank untuk membayar uang muka membeli sepeda motor baru. Ayahnya ingin menjemputnya dan keesokan harinya akan diajak ke dealer agar ia sendiri yang memilih kendaraan yang ia inginkan. Selanjutnya ayah akan membayar setiap bulan dengan cara kredit. Ia sangat menyesal. Betapa sebenarnya ayahnya sangat mencintai dan menyayanginya. Dan ia merasakan itu ketika ayahnya sudah meninggal dunia. Sejak itu ia berubah.
Air mata Husna meleleh. Ia teringat dosa-dosanya.
Ya Allah ampunilah dosa hamba-Mu ini." Ia mengatupkan kedua pelupuk matanya.
Dik Husna, ayo masuk, jangan berdiri di kegelapan sendirian begitu. Cobalah ikut menghibur Bu Masykur dan anak-anaknya." Panggilan Bu RT membuatnya tergagap sesaat. Ia mengusap lelehan air matanya.
Husna beranjak masuk. Bu Mahbub masih terus menghibur adik kandungnya. Husna mendekati anak-anak Bu Masykur yang semuanya putri. Jumlah anak Pak Masykur empat. Yaitu Zumrah, Zaimah, Zuhriah, dan Zahrah. Husna hanya mendapati tiga dari mereka. Husna tidak menemukan Zumrah.
Zaimah, Zuhriah dan Zahrah semuanya menangis tersedu-sedu. Zaimah pingsan berkali-kali. Sementara si bungsu Zahrah terus memanggil-manggil nama ayahnya.
Semuanya sudah dihibur para tetangga dan sanak saudara.
Bu RT, saya kok tidak melihat Si Zumrah. Apa dia belum diberi tahu kalau ayahnya meninggal?" Lirih Husna bertanya pada Bu RT.
Bu RT mendekatkan mulutnya ke telinga Husna, “Ssst! Kamu jangan membicarakan Zumrah. Sensitif.
Tadi saya tanya begitu sama Bu War. Ternyata Zumrahlah penyebab ayahnya kena serangan jantung. Menurut Bu War tadi sore Zumrah pulang kuliah. Habis maghrib katanya Zumrah cerita pada ayahnya sudah hamil. Dan yang menghamili katanya pacarnya yang bukan seagama.
Dan katanya Zumrah sudah pindah agama. Zumrah langsung diusir Pak Masykur. Seketika itulah Pak Masykur
jatuh kena serangan jantung."
Astaghfirullah!" Desis Husna.
Dan katanya Zumrah sedang diburu sama Si Mahrus pamannya yang anggota Serse. Si Mahrus marah besar.
Katanya Zumrah mau didor!" Lanjut Bu RT sambil tetap mendekatkan mulutnya pada telinga Husna.
La haula wa laa quwwata illa billah! Harus dicegah itu, jangan sampai hal itu terjadi Bu." Kata Husna setengah berbisik,
Karena itulah sekarang ini para pemuka sedang musyawarah di rumah Pak Joyo. Pak RT sebentar lagi juga mau ke sana!" Balas Bu RT.
Husna menghela nafas panjang. Gadis berjilbab cokelat itu memejamkan mata. Ia merasakan betapa besar musibah yang dirasakan Bu Masykur. Lebih-lebih jika anak sulungnya itu benar-benar pindah agama, menjadi penyebab kematian ayahnya, dan berakhir tragis di tangan pamannya sendiri yang terkenal tegas dan tak kenal takut pada siapa.
Dalam hati Husna berharap bahwa semua yang ia dengar tidak benar adanya. Ia tidak percaya bahwa Zumrah yang sampai lulus SD menjadi teman mengajinya di masjid sampai berbuat seperti itu. Zumrah yang oleh ayahnya diharapkan akan menjadi isteri Azzam kakaknya jika sudah pulang nanti. Ia belum bisa mempercayai apa yang baru ia saja ia dengar. Ia berharap apa yang ia dengar sama sekali tidak benar.

0 komentar:

Posting Komentar

REVAN NINTANG BLOG. Diberdayakan oleh Blogger.