18 AIRMATA CINTA
Fadhil mengambil gelas berisi teh Arousa lalu menyeruputnya perlahan. Cut Mala melakukan hal yang sama.
"Insya Allah , kakak sudah baik. Tak ada yang perlu dikuatirkan. Kakak akan segera konsentrasi untuk ujian. Kakak ingin lulus S.1 kalau bisa dengan predikat jayyid jiddan atau mumfaz," kata Fadhil pada adiknya. Tangan kanannya masih memegang gelas berisi teh. Ia kembali menyeruput isi gelas itu perlahan.
"Syukur alhamdulillah. Untuk ujian Al-Qurannya kakak sudah siap?" tanya Cut Mala.
"Siap insya Allah . Sejak awal tahun pelajaran kakak sudah siap."
"Selesai S.1 rencana kakak bagaimana? Mau pulang ke Indonesia atau bagaimana?"
Fadhil mengambil nafas panjang.
"Abah dulu berpesan agar kakak dan kamu menuntut ilmu setinggi mungkin. Ilmulah yang membuat derajat seseorang dan derajat suatu bangsa terangkat. Sebenarnya kakak ingin lanjut S.2 ke Sudan, atau ke Malaysia. Tapi biayanya, kau tahu sendiri, tidak ada. Mungkin kakak akan bertarung mati-matian untuk melanjutkan S.2 di Al Azhar, sembari menunggu kamu selesai kuliah. Kalau menurutmu sebaiknya bagaimana Dik?"
"Menurutku apa yang menurut kakak baik adalah baik. Kalau ada biaya memang S.2 di Sudan lebih cepat. Dan kakak bisa lebih cepat mengabdi dan mengamalkan ilmu di Tanah Air. Tapi menyelesaikan S.2 di Al Azhar jika bisa jauh lebih baik. Meskipun sedikit lebih lama. Walau bagaimanapun Al Azhar adalah universitas tertua di dunia. Wibawa dan kualitasnya sangat diakui di dunia."
"Kau sendiri persiapanmu bagaimana Dik?" "Doakan prestasi Mala tidak menurun Kak. O ya Kak,
biaya rumah sakit kemarin bagaimana. Kakak dapat uang dari mana?"
"Alhamdulillah. Semua telah dibayarkan oleh Kang Azzam. Meskipun Kang Azzam tidak minta dikembalikan, suatu saat nanti jika ada rezeki pasti akan kakak kembalikan. Kang Azzam terlalu baik bagi anggota rumah ini. Terkadang aku iri padanya. Iri akan kebaikan dan sifat pemurahnya."
"O jadi Kang Azzam yang menutup semuanya."
"Iya. Kemarin dia baru bekerja keras dapat order bikin bakso. Mungkin uang hasil dia bikin bakso itu yang digunakan untuk menutup biaya rumah sakit kakak."
"Dia tingkat berapa Kak?"
"Sudah tingkat empat. Tapi kelihatannya sengaja tidak ia luluskan."
"Kenapa?"
"Ia masih ingin bertahan di Mesir, demi adikadiknya." "Saya tidak paham maksud kakak."
"Kang Azzam itu sama seperti kita, seorang anak yatim. Dia anak sulung. Adik perempuannya ada tiga. Dialah yang selama ini bekerja keras menghidupi adikadiknya. Terutama membiayai sekolah adik -adiknya. Ya dengan membuat tempe dan bakso. Ia ingin adiknya semua sekolah, maka ia korbankan dirinya. Sebenarnya Kang Azzam itu sangat cerdas. Tak kalah dengan dirimu. Dulu, tahun pertama di Al Azhar ia jayyid jiddan. Ia juga dapat beasiswa dari Majlis A'la. Namun tahun kedua ayah beliau meninggal. Sementara ibunya sering sakit sakitan. Ia akhirnya mengalihkan konsentrasinya. Dari belajar ke bekerja. Ia di Cairo ini untuk bekerja sambil belajar. Sejak itu prestasinya menurun. Beberapa kali tidak naik tingkat. Ia sudah sembilan tahun di Mesir tapi masih juga belum lulus S.1. Tapi kakak sendiri tidak merasa lebih baik dari dia.
"Dalam hal prestasi akademik mungkin orang mengatakan Kang Azzam gagal, atau tidak bisa dikatakan bisa dibanggakan. Namun kakak bisa melihat sendiri, dalam hal meresapi kehidupan real dia sangat bisa dibanggakan. Kakak sangat salut padanya. Kakak pernah hendak mengikuti jejaknya, bekerja. Tapi dia memberi nasihat untuk konsentrasi belajar saja. Dia bilang, 'Adik kamu kan cuma satu. Dan masih bisa ditanggung oleh ibumu. Lebih baik kamu menunaikan amanah abahmu agar kamu belajar dan menuntut ilmu dengan serius. Setiap orang memiliki kondisi yang berbeda -beda.' Nasihat Kang Azzam itu sangat berarti bagi kakak. "
"Umurnya sudah berapa kak?"
"Kira-kira 28 tahun."
Cut Mala lalu diam. Ia tidak menyangka orang yang tadi du-duk di sampingnya dengan wajah begitu lelah adalah seorang petarung yang mati -matian menghidupi keluarganya jauh di Indonesia sana. Tak banyak orang tahu bahwa di Cairo ada seorang mahasiswa seperti Azzam.
"Kenapa dia tidak segera menyelesaikan S.1 -nya dan segera pulang ke Indonesia?" tanya Cut Mala.
"Kang Azzam menurutku memiliki strategi hidup yang jenius. Jika pulang ke Indonesia, belum tentu bisa dapat ma sukan sebesar ketika dia bekerja keras di Cairo. Dia mentar getkan begitu ada salah satu adiknya selesai S.1, ia akan segera menyelesaikan studinya dan pulang. Bebannya lebih ringan. Dan dengan tetap di Cairo, dia masih bisa menimba ilmu. Setiap pagi bakda Subuh Kang Azzam selalu ikut belajar qira'ah riwayat Hafs dan Warasy pada Syaikh Abdul Adhim di masjid. Dengan tetap di Cairo, ia bisa lebih baik dalam memotivasi adikadiknya berprestasi. Saya pernah mendengar dari Kang .Azzam, adiknya yang kuliah di UNS terpilih sebagai mahasiswi teladan tingkat nasional. Lebih dari itu Kang Azzam kelihatannya memang cinta sekali pada Mesir."
Cut Mala mengangguk-angguk mendengar penjelasan kakak -nya.
"Jangan pernah kau ceritakan hal ini kepada siapapun ya Dik. Kalau Kang Azzam tahu aku menceritakan dirinya pada mu, dia pasti akan sangat marah. Ia tidak ingin jati dirinya dikenal. Ia ingin dirinya hanya dikenal sebagai mahasiswa kawakan yang tidak lulus, dan dikenal sebagai pembuat tempe dan bakso. Itu saja. Ini amanah lho Dik!"
Cut Mala kembali mengangguk. Mendengar kata kata amanah ia jadi teringat sesuatu
"Oh ya Kak, nyaris lupa, aku dapat amanah dari Kak Tiara untuk Kakak."
"Amanah apa Dik?"
"Begini Kak, beberapa hari yang lalu aku diajak Kak Tiara ke Hadiqah Dauliyah. Dia menceritakan masalah yang saat ini dihadapinya kepadaku. Kak Tiara cerita, ia sedang menghadapi masalah serius. Aku diminta untuk tidak membu ka hal ini kepada siapapun juga. Kak Tiara mendapat telpon dari ayah-nya di Aceh yang memberitahu bahwa Kak Tiara dilamar oleh seorang Ustadz. Namanya Ustadz Zulkifli. Dia adalah salah seorang ustadz di pesantren Kak Tiara dulu. Namun tidak pernah mengajar Kak Tiara. Karena ketika ustadz itu masuk pesantren, Kak Tiara sudah kelas dua aliyah. Sedangkan Ustadz itu mengajar di kelas satu. Jadi Kak Tiara tidak tahu persis bagaimana sebenarnya ustadz itu. Ayah Kak Tiara memberitahu, Ustadz Zulkifli itu pernah satu pesantren dengan Kak Fadhil. Kak Tiara minta masukan dan saran. Keputusan apa yang sebaiknya diambil Kak Tiara? Diterima atau tidak lamaran itu? Kak Tiara minta saran kepada Kak Fadhil keputusan apa yang harus ia ambil. Itulah amanahnya Kak. Bagaimana Kak?"
Fadhil mendengarkan penjelasan adiknya yang panjang lebar itu dengan nafas tertahan. Dadanya sebenamya terasa sesak mendengar Tiara dilamar oleh Zulkifli. Ia kenal benar dengan nama itu. Zulkifli adalah teman akrabnya di pesantren dulu. Teman satu kamar. Ia memang sangat mengenalnya. Orang-nya baik dan cerdas. Meskipun ada sedikit sifat som bongnya. Dan ia pernah tersakiti oleh sifat sombongnya.
Namun telah ia maafkan. Tidak ada manusia yang sempuma di atas muka bumi ini kecuali Rasulullah Saw.
Ia yakin, setelah menjadi seorang ustadz, Zulkifli pastilah sudah jauh lebih arif. Yang membuat dadanya sesak sebenarnya, karena ia sejatinya menyimpan harapan hendak melamar Tiara selepas ujian selesai. Ternyata telah didahului oleh orang lain. Dan orang lain itu adalah temannya sendiri saat di pesantren dulu, yaitu Zulkifli. Ada rasa nyeri menusuk -nusuk ulu hatinya. Sakit dan pedih rasanya. Memendam rasa cinta memang menyakitkan. Lebih menyakitkan lagi jika cinta itu tidak kesampaian. Begitulah para pujangga berkata. Dan begitulah keadaan Fadhil sepertinya. Tapi ah, benarkah begitu? Bisa jadi belum tentu?
Fadhil terdiam sesaat lamanya. Cut Mala memperhatikan kakaknya dengan seksama.
"Bagaimana Kak? Apa saran kakak untuk Kak Tiara?" Cut Mala tidak sabar.
Fadhil tersadar. Ia harus berani menghadapi realita. Rea litanya gadis yang diam -diam telah ia rancang hendak ia lamar selesai ujian—padahal ujian tinggal satu bulan lagi—telah dilamar orang. Ia merasa sangat jahat jika meminta kepada Tiara menolak lamaran itu, agar ia bisa melamarnya setelah ujian. Ia merasa jika melakukan hal itu, ia seperti menikam temannya sendiri. Ia merasa kebesaran jiwa dan kesabarannya benar-benar sedang diuji. Ia harus bisa memberikan jawaban sebagai seorang Muslim sejati.
Ya, seorang Muslim sejati. Yaitu Muslim yang gentle, yang berani melepaskan Muslimah yang dicintainya kepada saudara Muslim lainnya yang lebih siap darinya dalam urusan menikah.
"Katakan pada Tiara, Ustadz Zulkifli itu teman baik kakak selama di pesantren dulu. Ia orang yang baik. Susah dicari ala -san untuk menolak lamaran orang sebaik Ustadz Zulkifli. Itu pendapat kakak. Namun semuanya tentu kembali kepada Tiara. Sebaiknya dia shalat Istikharah dulu. Walau bagai-manapun dialah yang nanti akan menjalani apa yang diputus -kannya." Jawaban Fadhil jelas, tegas dan tanpa ragu. Meski jauh di lubuk hatinya, ada jenis getar-getar suara aneh yang susah diartikan maknanya. Orang yang pemah jatuh cinta, pastilah bisa mendengar getar-getar suara itu.
Cut Mala menangkap ketegasan dari ucapan kakaknya itu. Ia tidak menangkap sedikit pun keraguan dari kata -kata nya. Ia sedikit kecewa kakaknya mengata kan hal itu. Ia sesungguhnya berharap kakaknya menunjukkan satu isyarat bahwa Tiara ada di hatinya. Namun dari sikap dan kata -kata kakak -nya itu ia tidak menemukan isyarat yang ia cari itu sama sekali. Ia menyimpulkan bahwa Tiara sama sekali tidak terpikir oleh kakaknya. Meskipun kecewa diam-diam ia bangga dan salut pada kakaknya. Kakaknya adalah pemuda yang tegas, yang selalu mengutamakan ilmu dan belajar di atas segalanya. Cut Mala benar-benar tak bisa menangkap getar getar suara aneh yang ada di relung hati terdalam kakaknya. Tidak pernahkah Cut Mala terselubungi selimut cinta yang merindu dendam dalam dada seperti kakaknya? Sehingga ia tak bisa menangkap getar-getar suara aneh yang ada di relung hati terdalam kakaknya itu? Ah, entahlah!
Setelah mendengar jawaban kakaknyar Cut Mala minta diri. Hari sudah mulai sore. Ia harus segera pulang ke Masakin Utsman untuk menyampaikan jawaban dan saran kakaknya kepada Tiara agar bisa segera mengambil keputusan.
Tepat pukul lima lebih lima sore, Cut Mala sampai di flatnya. Cut Mala langsung masuk ke kamarnya diikuti Tiara. Tiara sepeffi tidak sabar mendengar berita yang dibawa Cut Mala. Setelah menutup pintu Tiara langsung mencercar Cut Mala dengan sebuah pertanyaan,
"Bagaimana Dik, sudah kausampaikan pada Kak Fadhil?" Cut Mala mengangguk dan berkata lirih, "Sudah." "Apa sarannya?"
"Intinya Kak Tiara diminta Istikharah dan memutuskan sendiri."
"Tentang Ustadz Zulkifli bagaimana?"
"Kata Kak Fadhil, dia orangnya baik." Agaknya Tiara belum juga puas dengan jawaban singkat Cut Mala. Tiara mengajak Cut Mala duduk lalu berkata,
"Tolong Dik, ceritakan dengan detil apa yang disampaikan Kak Fadhil padamu. Tolong kau ulangi kata -katanya. Jangan kau kurangi dan kautambahi kalau bisa."
"Apa tadi kurang jelas Kak?"
"Jelas Dik, tapi aku perlu yang lebih jelas." Kata Tiara dengan nada sedih.
Cut Mala menatap dalam-dalam wajah kakak kelasnya. Ia merasa ada sesuatu yang dipendam oleh kakak kelasnya itu. Sambil memandang wajah Tiara, ia berkata,
"Baiklah Kak. Saya akan berusaha tidak mengurangi dan menambahi apa yang disampaikan Kak Fadhil. Setelah aku sampaikan semua amanah kakak, panjang lebar. Kak Fadhil terdiam sesaat, lalu tanpa keraguan ia berkata begini, 'Katakan pada Tiara, Zulkifli itu teman baik kakak selama di pesantren dulu. Ia orang yang baik. Susah dicari alasan untuk menolak lamaran orang sebaik Ustadz Zulkifli. Itu pendapat kakak. Namun semuanya tentu kembali kepada Tiara. Sebaiknya dia shalat Istikharah dulu. Walau bagaimanapun dialah yang nan ti akan menjalani apa yang diputuskannya.' Begitulah kata Kak Fadhil. Masih ada yang kurang jelas?"
"Jadi dia mengatakan: Susah dicari alasan untuk menolak lamaran orang sebaik Ustadz Zulkifli?"
Cut Mala mengangguk.
"Itu berarti dia menyarankan saya untuk menerima lamaran -nya," kata Tiara parau.
"Kak Tiara jangan salah paham. Menurut pemahamanku kok Kak Fadhil tidak menyarankan apa-apa berkaitan menolak atau menerima. Kak Fadhil berusaha objektif menilai Ustadz Zulkifli. Bahkan Kak Fadhil tetap meminta Kak Tiara untuk shalat Istikharah," tanggap Cut Mala.
"Dengan mengatakan, susah dicari alasan untuk menolak lamaran orang sebaik Ustadz Zulkifli, itu sama saja memberi saran jangan menolak lamaran Ustadz Zulkifli," tukas Tiara pelan dengan mata berkaca -kaca.
"Sepertinya Kak Tiara kecewa ya mendengar apa yang dikata -kan Kak Fadhil?" raba Cut Mala.
Tiara diam. Matanya yang berkaca -kaca terpejam dalam. Dari sikap Tiara itu, Cut Mala bisa menyimpulkan apa yang dirasa kakak kelasnya itu.
"Kenapa Kak Tiara tidak terus terang kepada Mala!?" kata Cut Mala sedikit keras.
"Terus terang apa Dik?" tukas Tiara parau . "Berterus terang kalau Kak Tiara mencintai Kak Fadhil,"
tegas Cut Mala.
Tiara kaget mendengar kata -kata Cut Mala.
"Bagaimana kau bisa berkata begitu Dik?" tanya Tiara dengan nada mengingkari apa yang ia dengar.
"Karena kedua mata Kak Tiara yang berkaca -kaca dan peng-ingkaran Kak Tiara atas apa yang dikatakan Kak Fadhil. Kak, jujurlah Kak! Kak Tiara mengharap Kak Fadhil kan? Jujurlah Kak?"
Tiara mengangguk kemudian menutupi mukanya dengan kedua tangannya dan menangis lirih. Cut Mala melihat hal itu. Ia meneteskan air mata. Ia sendiri tidak tahu kenapa hatinya terasa perih dan sedih. Ia merasa tak bisa banyak membantu Tiara. Kakaknya sudah mengatakan dengan tegas, jelas dan tanpa keraguan bahwa susah dicari alasan untuk menolak lamaran orang sebaik Ustadz Zulkifli. Ia tahu persis watak kakaknya yang tidak mungkin mencabut apa yang dikata kannya. Tapi benarkah ia tahu persis watak kakaknya? Termasuk dalam hal cinta -mencinta? Kita lihat saja nanti kisah selanjutnya.
Dalam hati Cut Mala berpikir, bahwa kejadiannya akan berbeda jika sejak awal Tiara berterus terang padanya. Ia akan berusaha bagaimana caranya agar kakaknya bisa bertemu hati dengan Tiara. Sebab, sejak dulu sejatinya terbersit sebuah harap di dalam hatinya, Tiara bisa menjadi pendamping hidup kakaknya. Tiara, meskipun tidak secantik Masyithah. Namun memiliki akal budi yang memesona.
Dalam haru Cut Mala masih menaruh harap mereka berdua akhirnya bisa bertemu dalam akad penuh barakah. Ia hanya bisa menaruh harap dan catatan takdirlah yang pada akhirnya akan menentukan segalanya.
Selesai shalat Maghrib, Cut Mala langsung menghubungi kakaknya lewat telpon. Panjang lebar ia menjelaskan perasaan Tiara yang sesungguhnya, juga harapan Tiara sebenarnya. Namun persis seperti yang ia duga, kakaknya telah kukuh dengan pendiriannya Bahkan kakaknya mengatakan lebih tegas lagi tepatnya lebih ditegas -tegaskan lagi, "Memang sebaiknya Tiara menerima lamaran Zulkifli. Itu yang lebih baik secara syariat daripada mengharap cinta seorang lelaki yang belum jelas iya dan tidaknya!"
Cut Mala kecewa dengan jawaban kakaknya, tapi ia tidak punya kuasa apa -apa. Ia hanya bisa menyampaikan apa yang baru saja dikatakan kakaknya itu pada Tiara. Setelah mendengar penuturan Cut Mala, Tiara berkata lirih dengan mata nanar berkaca -kaca,
"Baiklah, akan aku turuti saran kakakmu itu. Semoga di kemudian hari kakak kandungmu itu tidak menyesal memberikan saran itu!"
Hati Cut Mala bergetar mendengarnya. Ia tidak tahu harus berbuat apa. Ia hanya bisa menghela nafas dan memejamkan mata. Ia merasa tak ada yang lebih misterius dalam hidup ini melebihi cinta. Ia pernah mendengar bahwa cinta bukanlah apa yang kita pikirkan, tetapi ia adalah suratan takdir, suratan nasib. Benarkah demikian?
0 komentar:
Posting Komentar