Rabu, 12 Agustus 2009

27 RESEP CINTA IBNU ATHAILLAH
Pulang dari main bola Azzam langsung mencari Fadhil untuk membicarakan masalah Hafez. Ia kuatir jika tidak dibi carakan segera nanti terlupa. Ternyata Fadhil tidak ada. Kata Nanang sedang menghadiri rapat di KMA. Azzam langsung membersihkan badan. Maghrib tak lama lagi akan datang. Ia berharap bisa berbicara dengan Fadhil nanti malam.
Maghrib sampai Isya, Azzam tidak pulang. Ia belajar tartil Al Quran pada Imam Adil Ramadhan. Imam masjid yang masih perjaka itu sebenarnya adalah kakak kelasnya di Fa kultas Ushuluddin, dan usianya sama dengannya. Adil Rama dhan lulus S.1 dengan predikat terbaik di angkatannya. Dan sekarang sudah diangkat sebagai asisten dosen di Al Azhar.
Azzam tidak malu untuk belajar pada orang yang seusia dengannya. Ia sudah dua tahun belajar pada imam masjid yang berasal dari pelosok desa di Mesir utara itu. Tinggal satu juz lagi. Ia memang minta waktu khusus. Biasanya hanya setelah Subuh. Ia menjelaskan kepada Adil satu bulan lagi pulang. Adil Ramadhan siap mengajarnya secara intensif. Beliau berharap sebelum Azzam pulang, belajarnya membaca Al-Quran dengan disiplin qira'ah riwayat Imam Hafs bisa khatam. Qira'ah riwayat Imam Hafs adalah qira'ah yang lazim dipakai di dunia Islam termasuk di Indonesia.
Azzam belajar dengan penuh semangat. Ia ingin khatam. Ia merasa prestasi akademisnya yang tidak cemerlang harus ditutup dengan menuntaskan ilmu paling pokok dalam Islam. Yaitu ilmu membaca Al-Quran dengan baik dan benar. Dengan ilmu itu ia bisa mengajarkan cara membaca Al-Quran dengan benar, tidak asal-asalan. Adapun ilmu untuk mema hami Al Quran, ia telah mendapatkannya dari kampus Al Azhar.
Bakda shalat Isya ia tetap di masjid untuk mengaji kitab Al Hikam karya Ibnu Athaillah As Sakandari dengan Adil Ramadhan. Malam itu ia mendapat pencerahan sangat berharga dari kitab Al Hikam tentang hal yang sangat penting baginya sebagai seorang penuntut ilmu. Ibnu Athaillah mengatakan,
"Khairul ilmi ma kaanatil khasyyah ma'ahu. Ilmu yang paling baik adalah yang disertai khasyyah."
Adil Ramadhan menjelaskan bahwa khasyyah adalah rasa takut kepada Allah yang disertai mengagungkan Allah. Maka segala jenis ilmu yang tidak mendatangkan rasa takut kepada Allah dan juga tidak mendatangkan pengagungan kepada Allah tiada kebaikannya sama sekali. Adil Ramadhan berpesan pada Azzam,
"Untuk mengetahui ilmumu bermanfaat atau tidak cu kuplah kau lihat bekasnya. Jika dengan itu kau semakin takut kepada Allah dan semakin baik ibadahmu kepada-Nya, maka itulah tanda ilmumu benar -benar bermanfaat. Jika sebaliknya maka berhati-hatilah, Saudaraku!"
Pulang dari masjid Azzam langsung mencari Fadhil. Ternyata anak itu belum juga pulang. Ia langsung beranjak ke kamarnya. Malam itu kegiatan membuat tempe di rumah libur. Rio dan teman-temannya sedang ikut mukhayyam 73 73 Perkemahan. yang diadakan oleh Universitas Al Azhar di Alexandria.
Azzam kembali membaca ulang surat dari adiknya. Ia tersenyum. Pesan terakhir Husna yang membuatnya tersenyum. Ia jadi memikirkan dirinya sendiri. Jika ia hendak menikah dengan siapa sebaiknya ia menikah ya? Ia tidak punya bayangan sama sekali. Dan ia sendiri merasa tidak perlu untuk mencari bayangan itu saat itu. Sebentar lagi ia akan pulang. Biarlah masalah itu ia pikirkan setelah ia pulang. Bukankah Allah telah menjelaskan bahwa Allah menciptakan makhluk nya di alam semesta ini berpasang-pasangan? Ia yakin pasangan hidupnya telah ada, telah tersedia. Jadi ia tak perlu mengkuatirkannya.
Malam itu untuk pertama kalinya setelah sekian tahun lamanya ia tidur benar -benar di awal malam. Dalam tidurnya ia kembali bermimpi bertemu ibu dan adik -adiknya.
Dalam perjalanan dari sekretariat Keluarga Mahasiswa Aceh di Makram Abied sampai Mutsallats, Fadhil tak kuasa menahan sesak di dadanya. Airmatanya terus meleleh tanpa bisa ditahannya. Ia baru saja menghadiri rapat pembentukan panitia pernikahan Tiara dengan Zulkifli. Seperti yang ia duga, ia pasti diminta terlibat jadi panitia. Ia bahkan sempat diminta untuk jadi ketua panitianya. Dengan berat hati ia menolaknya.
Namun akhirnya ia tidak bisa menolak untuk jadi penanggung jawab acara akad nikah dan walimah. Fadhil benar benar tersiksa. Ia akan melihat orang yang dicintainya diam-diam dengan sangat mendalam akan menikah dengan orang lain. Menikah di depan matanya, dan ia jadi panitianya.
Yang membuat dadanya sangat sesak, ia juga harus memimpin tim nasyid yang dipimpinnya untuk meramaikan pesta pernikahan itu. Selain pemimpin, ia adalah vokal utama di tim nasyid itu. Ia akan menjadi penghibur dalam pesta pernikahan itu. Ia tidak bisa membayangkan seperti apa penampilan dirinya nanti. Sanggupkah ia melaksanakan ini semua.
Saat ini, belum apa -apa dirinya sudah terbakar oleh api cemburu, api penyesalan dan kesedihan yang luar biasa panas baranya. Ia meratapi nasibnya. Alangkah ruginya dirinya, tidak mendapatkan orang yang dicintainya. Tidak mendapatkan gadis sebaik Tiara yang sudah lama ia damba. Dan alangkah bahagia temannya itu, Zulkifli yang akan menyunting gadis selembut Tiara.
Yang membuatnya semakin tersiksa adalah, Tiara dalam rapat tadi tampak murung. Ia jadi teringat katakata adiknya, Cut Mala, beberapa waktu yang lalu, "Namun entah kenapa ia sepertinya murung saja Kak. Kayaknya ia kecewa pada Kakak. Mala tahu persis kalau Kak Tiara itu memang menaruh harap pada Kakak."
Ia yakin Tiara juga mengalami kesedihan yang sama. Seperti yang dialaminya. Kesedihan seorang pencinta yang dipisahkan dengan orang yang dicintainya. Kesedihan seorang pencinta yang diputus harapannya tmtuk bisa bersanding dan hidup bersama dengan orang yang dicintainya.
Tiba-tiba entah kenapa, ia merasa memang benarbenar sangat mencintai gadis yang pernah menjadi muridnya itu. Ia merasa akan kehilangan sesuatu yang paling berharga untuk selamanya. Ia kembali meratapi nestapanya. Ia adalah juga manusia biasa dengan segala kelemahannya.
Sampai di rumah Fadhil langsung merebahkan tubuhnya di atas tempat tidurnya. Matanya sedikit pun tak mau terpejam. Airmatanya terus meleleh. Hatinya pilu. Tubuhnya seperti remuk redam.
Di Masakin Utsman Tiara juga didera nestapa yang sama. Bahkan lebih dalam sakitnya. Gadis itu seperti kehi langan daya hidupnya. Ia merasa menjadi makhluk paling malang di jagad raya. Ia benar -benar tersiksa oleh perasaan hatinya. Ia belum bisa menerima kenyataan bahwa ia telah menerima lamaran orang yang tidak diharapkannya. Ia belum bisa menerima kenyataan bahwa ia akan menikah tidak dengan orang yang selama ini dikaguminya, dihormatinya dan dicin tainya. Yaitu Fadhil, kakak Cut Mala. Orang yang ia kagumi sejak di pesantren dulu.
Ia belum bisa menerima kenyataan bahwa ia pada akhirnya akan hidup bersama dengan orang yang sama sekali asing baginya. Ia harus melayani dan mengabdi dengan jiwa terpak sa. Ia menahan perih di dadanya. Hatinya menjerit sekeras kerasnya.
Ooo alangkah bahagianya perempuan yang mendapatkan cintanya.
Ooo alangkah bahagianya perempuan yang melayani suami yang dicintainya dan mencintainya.
Ooo alangkah bahagianya membangun rumah tangga dengan sepenuh cinta. Cinta dari sang isteri dan cinta dari sang suami. Kedua cinta itu bertemu jadi satu dan menjelma menjadi kekuatan cinta yang berselimutkan ibadah kepada Tuhan Yang Maha Memberi Cinta.
Itulah sepenuh cinta yang didamba -damba Tiara. Menikah dengan orang yang dicintainya, dan orang yang dicintai nya itu juga mencintainya. Menikah dengan perasaan bahagia. Mengabdi pada suami dengan perasaan bahagia dan mela hirkan buah cinta dengan perasaan bahagia dan bangga.
Hati Tiara perih luar biasa mendapati kenyataan bahwa kebahagiaan seperti itu tidak ia dapat. Ia sudah mendapat keterangan banyak tentang calon suaminya. Namun belum juga ada api cinta terpercik di dalam jiwanya. Hatinya masih diisi rasa cinta pada Fadhil, orang yang ia rasakan pernah rmengajarnya dengan penul1 kelembutan dan cinta. Sekaligus orang yang selama ini begitu baik padanya.
Yang lebih menyiksanya adalah, ia sadar bahwa perasaan seperti itu dilarang dalam agama. Ia tahu persis akan hal itu. Ia seorang mahasiswi Al Azhar. Ia sangat tersiksa. Seharusnya ketika ia menerima pinangan seseorang dalam hatinya, hanya ada nama orang yang meminangnya dan bukan orang lain. Ia sudah matimatian untuk membersihkan hatinya dari yang tidak pantas dan dicela. Ia sudah mati-matian melupakan Fadhil. Namun entah kenapa ia tidak bisa.
Ia berusaha mencari-cari alasan untuk membenci Fadhil, tapi tidak berhasil. Yang ada justru sebaliknya, setiap kali ia menekan hatinya untuk membuang Fadhil, tiba-tiba muncul rasa kehilangan yang menyakitkan dan menyiksanya. Sebagai seorang Muslimah yang tahu adab dan akhlak, seharusnya ia tidak merasa demikian. Seharusnya ia bisa menerima kenya taan yang dihadapinya. Akal sehatnya menyadarkannya akan hal itu. Namun betapa susah menghapus rasa cinta yang terlanjur menghujam ke dalam jiwa.
Jam tiga, Fadhil belum juga memejamkan mata Dunia ini sangat tidak nyaman ia rasa. Ia masih memikirkan nasibnya. Arakah ia masih kuat bertahan di Cairo untuk melanjutkan S.2 seperti yang ia rencana, jika setelah menikah Tiara dan Zulkifli tinggal satu kota dengannya, dan ia pasti akan sering bertemu mereka di KMA dan di mana -mana?
Jika mereka memerlukan bantuan pastilah ia yang akan diminta. Minta siapa lagi? Bukankah ia yang paling dekat dengan mereka. Dialah teman satu pesantren Zulkifli, dan dialah yang selama ini minta Tiara membimbing Cut Mala adiknya? Di Cairo tak ada yang lebih dekat dengan mereka selain dia. Sanggupkah ia menunaikan kewajibannya sebagai seorang sahabat, seorang saudara seiman, sebangsa, sedaerah, bahkan sealumni dengan penuh keikhlasan?
Hanya airmatanya yang menjawab. Kalau ia jauh dari mereka atau mereka jauh darinya tak akan terasa berat. Namun mereka akan sangat dekat dengannya, dan ia akan terus diminta dekat dengan mereka.
Di negeri orang, kawan satu bangsa beda pulau ibarat saudara. Apalagi kawan satu daerah dan satu alumni. Fadhil merasa, jika ia tetap bertahan di Cairo, hidupnya akan terasa berat. Kecuali jika ia menemukan pengganti Tiara, pengganti yang lebih ia cintai dan ia sayangi. Dan di Cairo ini adakah yang bisa melebihi Tiara dalam menawan hati dan jiwanya? Ia sama sekali belum bisa menemukannya.
Fadhil menghela nafas. Ia merasa benar -benar tidak berdaya. Ia tak tahu lagi harus berbuat apa. Hidup terasa hampa. Terasa ada sesuatu bagian paling berharga yang terenggut darinya.
Jam beker di kamar Azzam berdering-dering, Fadhil mendengarnya. Ia melihat jam di dinding kamarnya. Jam tiga lebih dua puluh lima. Sejurus kemudian Fadhil mendengar suara beker itu mati, pintu berderit dibuka, dan gemericik suara air di kamar mandi. Tiba -tiba Fadhil merasa iri dengan Azzam. Azzam yang di matanya begitu tegar menghadapi hidupnya. Azzam yang selalu ia lihat bekerja dan bekerja. Ia tak pernah mendengar Azzam berbincang-bincang tentang perempuan.
Setahunya, Azzam tak mengenal perempuan kecuali ketiga adik dan ibunya. Merekalah yang menjadi segala galanya baginya. Ia ingin seperti Azzam, tapi ternyata ia tidak bisa mengingkari bahwa selain ibunya dan Cut Mala adiknya, ternyata ada Tiara di dalam hatinya.
Fadhil bangkit mengambil air wudhu lalu shalat. Hatinya tidak bisa khusyuk, tapi ia tetap shalat. Selesai shalat ia ke kamar Azzam. Azzam sedang membaca kitab Al Hikam.
"Ee kau Dhil, sudah bangun?"
"Bukan sudah bangun Kang, tapi aku memang tidak bisa tidur!"
"Kenapa tidak bisa tidur?"
"Aku mau cerita, tapi tolong ini jadi rahasia di antara kita berdua saja ya."
"Baik."
"Begini Kang. Aku sedang menghadapi masalah psikologis yang pelik Kang."
"Pelik bagaimana Dhil?"
Fadhil lalu menceritakan semuanya. Tentang Tiara yang meminta pendapatnya karena dilamar Zulkifli yang tak lain adalah temannya sendiri di Indonesia. Tentang saran yang ia berikan. Tentang segala perasaan cintanya pada Tiara. Tentang kekecewaan Tiara. Tentang pernikahan Tiara yang akan segera diadakan. Tentang hasil rapat di KMA yang memin tanya jadi penanggung jawab acara . Tentang dirinya yang harus mendendangkan nasyid di hadapan mempelai berdua. Tentang segala rasa cinta pada Tiara yang membuatnya tersiksa. Tentang kesedihan dan nestapanya yang menyesak dada. Fadhil menceritakan itu semua dengan mata berkaca kaca.
"Bayangkan Kang, kalau boleh jujur, aku sudah bersimpati padanya sejak mengajarnya di Madrasah Aliyah. Dulu aku tidak merasakannya. Tapi sejak dia tiba di Cairo ini, aku diam diam sudah merencanakan hendak mengkhitbahnya begitu aku lulus. Aku sangat mencintainya. Namun herannya ketika dia minta saran kenapa aku bisa memberi saran demikian. Kenapa aku sok jadi pahlawan dengan mengutamakan orang lain? Sekarang aku seperti terpanggang oleh api cemburu dan penyesalan yang sangat menyakitkan. Aku harus bagaimana Kang?"
Azzam tersenyum. Entah kenapa mendengar kisah Fadhil ia ingin tertawa, tapi tidak dilakukannya. Ia takut membuat Fadhil semakin tersiksa. Dengan tenang, ia berniat menghibur dan memberikan jalan yang lebih terang kepada Fadhil. Ia menanggapi,
"Dhil, Fadhil, masalah yang kau hadapi itu masalah kecil. Tak usah kaubesar -besarkan. Nanti semuanya akan baik -baik saja. Ini kebetulan aku baru saja membaca perkataan Imam Ibnu Athaillah yang sangat dahsyat tentang cinta. Dan perkataan beliau ini bisa jadi terapi yang tepat untuk penyakit cintamu. Ya, aku katakan apa yang kau simpan di hatimu itu adalah penyakit. Cinta sejati itu menyembuhkan tidak menyakitkan."
Dengar baik -baik ya perkataan Ibnu Athaillah, saya baca kan langsung dari kitab aslinya. Beliau mengatakan: la yukhriju asy syahwata illa khaufun muz'ijun aw syauqun muqliqun! Artinya tidak ada yang bisa mengusir syahwat atau kecintaan pada kesenangnn duniawi selain rasa takut kepada Allah yang menggetarkan hati, atau rasa rindu kepada Allah yang membuat hati merana!
"Coba resapi baik-baik kata -kata ulama besar dari Iskandaria ini. Kecintaanmu pada Tiara itu syahwat. Hampir semua orang yang jatuh cinta itu merasakan apa yang kau rasakan. Dan perasaan seperti itu tidak akan bisa kaukeluarkan, kauusir dari hatimu kecuali jika kau memiliki dua hal.
"Pertama, rasa cinta kepada Allah yang luar biasa yang menggetarkan hatimu. Sehingga ketika yang ada di hatimu adalah Allah, yang lain dengan sendirinya menjadi kecil dan terusir. Kedua, rasa rindu kepada Allah yang dahsyat sampai hatimu merasa merana. Jika kau merasa merana karena rindu kepada Allah, kau tidak mungkin merana karena rindu pada yang lain. Jika kau sudah sibuk memikirkan Allah, kau tidak akan sibuk memikirkan yang lain.
"Karena hatimu miskin cinta dan rindu kepada Allah, jadinya kau dijajah oleh cinta dan rindu pada yang lain. Saat ini yang menjajah hatimu adalah rasa cinta dan rindumu pada Tiara. Itulah yang membuatmu tersiksa Padahal kau sudah tahu kalau dia sudah dilamar dan dikhitbah saudaramu sendiri. Kau harus tahu perasaan seseorang tidak bisa mengubah hukum syariat. Seberapa besar rasa cintamu kepada Tiara dan seberapa besar perasaan cintanya kepadamu, tidak akan mengubah hukum dan status Tiara, bahwa ia telah dikhitbah oleh saudaramu. Apalagi Tiara telah menerimanya.
"Panitia pernikahan telah ditata. Kau sama sekali tidak boleh merusaknya. Kalau kau mau jadi pahlawan jangan setengah-setengah. Jadilah pahlawan yang benar benar pahlawan, meskipun harus mengorbankan sesuatu yang kau anggap paling berharga. Tidak ada pahlawan yang tidak berkorban apa apa! "
Kedua mata Fadhil basah mendengar kata -kata Azzam yang membukakan jalan lebih terang baginya. Tapi Tiara masih juga tertulis dengan jelas di hatinya.
"Terima kasih Kang. Cinta memang bukan segala -galanya, tapi kehilangan cinta seperti kehilangan segala-galanya."
Azzam tersenyum dan berkata dengan suara pelan,
"Benar. Mencintai makhluk itu sangat berpeluang menemui kehilangan. Kebersamaan dengan makhluk juga berpeluang mengalami perpisahan. Hanya cinta kepada Allah yang tidak. Jika kau mencintai seseorang ada dua kemungkinan diterima dan ditolak. Jika ditolak pasti sakit rasanya. Namun jika kau mencintai Allah pasti diterima. Jika kau mencintai Allah, engkau tidak akan pernah merasa kehilangan. Tak akan ada yang merebut Allah yang kaucintai itu dari hatimu. Tak akan ada yang merampas Allah. Jika kau bermesraan dengan Allah, hidup bersama Allah, kau tidak akan pernah berpisah dengannya. Allah akan setia menyertaimu. Allah tidak akan berpisah darimu. Kecuali kamu sendiri yang berpisah dari Nya. Cinta yang paling membahagiakan dan menyembuhkan adalah cinta kepada Allah 'Azza wa Jalla."
Mendengar hal itu ada kesejukan yang mengaliri jiwanya. Kesejukan yang membuat hatinya sedikit terhibur dan lega. Jiwanya perlahan mulai menemukan ketenangan.

0 komentar:

Posting Komentar

REVAN NINTANG BLOG. Diberdayakan oleh Blogger.