Rabu, 12 Agustus 2009

21 RATAPAN HATI

Pada saat Furqan menghadapi sidang munaqasah tesisnya, Anna terbang meninggalkan Cairo. Furqan kecewa ketika ia tahu Anna tidak menghadiri sidang munaqasah tesisnya. Para penguji yang terdiri atas tiga guru besar dari dalam dan satu guru besar dari luar universitas memberi nilai mumtaz atau summa cumlaude pada Furqan.

Puluhan mahasiswa Indonesia yang menghadiri sidang munaqasah itu meneriakkan takbir. Furqan menangis haru. Ia berdiri memeluk satu per satu guru besar yang mengujinya. Di antara guru besar itu adalah Prof. Dr. Sa'duddin, orang yang oleh Sara diaku sebagai ayahnya, tapi Furqan meragu kannya. Ketika memeluk Prof. Dr. Farhat Shahin, yang tak lain adalah pembimbing utamanya ia menangis terisak -isak sambil mengucapkan terima kasih tiada terhingga.

Selesai acara munaqasah Furqan didekati Prof.Dr. Sa'duddin

"Maaf, Anakku, di Indonesia kau tinggal di mana?" tanya Profesor Sa'duddin.

"Di Jakarta, Profesor. Ada yang bisa saya bantu? Kelihatannya agak penting." Jawab Furqan.

"Saya sebenarnya ingin banyak menggali informasi tentang kondisi sosial dan budaya Jakarta. Beberapa hari yang lalu saya minta putri saya, Sara, untuk mengundangmu makan malam. Tapi mungkin kamu sedang tidak ada waktu."

"Jadi Sara itu benar putri profesor?"

"Iya.Benar. Ia suka sekali dengan orang-orang Indonesia. Katanya ramah -ramah. Ia pernah ke Jakarta dan Malang. Ia sangat terkesan."

Furqan baru tahu bahwa sikapnya yang meragukan Sara sebagai putri penulis terkenal itu sama sekali tidak bisa dibenarkan.

"Maafkan saya,saat itu saya tidak bisa menerima undangan profesor. Tapi, insya Allah , saya siap membantu profe-sor sebatas kemampuan saya."

"Terima kasih sebelumnya. Nanti kapan-kapan saya akan menghubungimu. Kau ada kartu nama?"

Furqan meraba sesuatu di saku celananya. Ia mengambil dompetnya dan mengeluarkan kartu namanya.

"Ini profesor. Sekali lagi maafkan saya. Salam buat Sara, juga sampaikan beribu-ribu maaf saya padanya . "

"Sudahlah kau tidak melakukan kesalahan apapun pada kami. Tak ada yang harus dimaafkan. Oh ya saya perlu banyak informasi mengenai Indonesia dan Jakarta karena saya akan dikirim untuk bertugas di Kedutaan Republik Arab Mesir di Jakarta."

"Benarkah?"

"Iya. Insya Allah saya berangkat ke Indonesia bulan depan."

"Wah, saya senang mendengarnya. Selamat datang di Indonesia profesor. Semoga nanti betah di sana dan bisa menu naikan tugas dengan baik. Sara ikut?"

"Tentu. Dia yang paling senang mendengar kabar ini. " "Yah sekali lagi ahlan wa sahlan di Indonesia. Jika ada

yang bisa saya bantu akan saya bantu, insya Allah," jawab Fur qan dengan hati gembira.

Hari itu Furqan sangat bahagia, sesaat ia melupakan ma salahnya. Malam harinya ia mengadakan syukuran di rumahnya. Para mahasiswa yang mengenalnya silih berganti berda tangan mengucapkan selamat kepadanya. Di milist-milist kalangan mahasiswa Indonesia di Cairo terkirim puluhan tah niah dan ucapan selamat.

Azzam yang mendapat kabar Furqan telah menyelesaikan S.2-nya turut larut dalam bahagia. Siang itu ia tidak bisa menghadiri munaqasah, maka malam itu ia menyempatkan datang. Begitu Azzam muncul di rumahnya Furqan langsung merangkulnya dengan hangat.

"Alfu mabruk, Akhi. Semoga ilmu yang kau dapat bermanfaat. Maaf tadi siang aku tak bisa datang ke sidang munaqasahmu," ucap Azzam.

"Tak apa. Terima kasih malam ini kau datang. Kau masih dengan kesibukan bisnismu ya?" tanya Furqan.

"Iya. Doakan tahun ini aku lulus, aku merencanakan pulang," jawab Azzam santai.

"Apa kita pulang satu pesawat, sebagaimana dulu kita berangkat ke sini satu pesawat hehehe...?" gurau Furqan.

"Boleh, kalau kau bisa menunggu sampai aku selesai ujian."

Nasir yang saat itu juga ada di situ langsung menyahut, "Mas Furqan sudah beli tiket Kang. Pekan depan dia

pulang."

Azzam langsung menukas,

"Pasti sudah tidak sabar untuk segera menikah hehehe..." "Lha apa lagi yang ditunggu? Umur sudah cukup. Gelar

M.A. sudah diraih. Mobil tinggal pakai. Rumah di Jakarta telah tersedia. Gadis manapun yang dilamar pasti akan menerima dengan kedua tangan terbuka. Kalau tidak segera menikah nanti malah banyak dosa," sahut Nasir.

Furqan hanya bisa tersenyum mendengarnya. Ingatannya langsung terbang ke Indonesia. Ia langsung teringat Anna. Ia semakin kukuh dengan keputusannya untuk pu -lang dan langsung melamar Anna kepada kedua orang tuanya.

"Lha kalau Sampeyan kapan rencana nikahnya Kang Azzam?" Nasir gantian bertanya pada Azzam.

Azzam sedikit kaget, tapi langsung menjawab dengan gurauan,"Insya Allah nanti kalau sudah punya warung bakso minimal tiga dan dua pabrik tempe di Indonesia. Serta punya mobil Escudo dua. Biar kalau melamar gadis juga tidak ditolak hehehe..."

Semua yang ada di situ langsung tertawa mendengarnya.

"Ayo Akh, makan seadanya." Furqan mempersilakan Azzam untuk makan sambil menunjuk ke arah pelbagai jenis makanan yang telah terhidang secara prasmanan.

"Wah kayaknya ada Coto Makasar. Boleh juga," seru Azzam.

"SilakanAkh, seadanya. Coto Makasarnya itu dibikin oleh teman-teman yang tinggal di sekretariat KKS." 65 65 Kerukunan Keluarga Sulawesi.

Azzam jadi ingat kalau Furqan memang memiliki darah Sulawesi. Meskipun ia lahir dan besar di Jakarta. Ayahnya asli Makasar. Ibunyalah yang asli Betawi. Karena memiliki dua darah itulah, darah Betawi dan Makasar, ia dulu bisa terpilih menjadi Ketua Umum PPMI. Sebab ia mendapat dukungan penuh dari KPJ 66 66 Kesatuan Pelajar Jakarta. dan KKS.

Tamu yang datang ke rumah Furqan semakin banyak. Beberapa orang dari KBRI juga datang. Semua larut dalam bahagia dan gembira. Setiap kali ada yang selesai S.2 atau S.3 selalu disambut bahagia dan bangga oleh mahasiswa Indonesia. Dengan hadir di acara syukuran itu semangat belajar Azzam kembali membara. Dulu, dirinya dan Furqan satu pesawat. Setengah tahun perta -ma tinggal satu rumah. Dan di tahun pertama ia satu -satunya mahasiswa Indonesia yang jayyid jiddan, sementara Furqan naik tingkat dengan predikat hanya maqbul.

Namun, kini Furqan sudah meraih gelar masternya . Sementara dirinya S.1 belum juga selesai. Dadanya sebe-narnya membara juga. Lebih membara lagi saat dia ingat gara-gara keterlambatannya meraih gelar akademis ia di-anggap tidak layak melamar Anna. Dan gadis yang kini jadi bintang bersinar itu juga akan disunting oleh Furqan.

Namun ia segera sadar, ia harus menata hati. Ia harus sadar bahwa keadaan dirinya dan Furqan sangatlah berbeda. Furqan serba cukup bahkan berlimpah. Sementara dirinya ha rus memeras keringat dan berdarah-darah. Ia sadar semuanya Allah yang mengatur. Ia berusaha menyejukkan hatinya bah wa prestasi tidak hanya terbatas pada meraih gelar akademis formal.

Ia bisa bertahan hidup mandiri sekian tahun di Cairo apa kah bukan suatu prestasi? Ia teringat surat dari adiknya. Husna telah sarjana, bahkan telah menyelesaikan program profesinya sebagai psikolog. Lia telah menyelesaikan PGSV-nya dan telah mengajar. Hatinya terhibur dan terasa sejuk. "Orang bisa memiliki prestasinya masing-masing," katanya pada dirinya sendiri.

Dan tentang jodoh. Allahlah yang mengatur. Di muka bumi ini perempuan salehah tidak hanya satu . Tidak hanya Anna. Jutaan perempuan salehah tersebar di muka bumi ini. Kenapa harus kecil hati. Kalau Anna memang jodohnya Furqan, dan Allah yang mengaturnya, kenapa ia harus tidak rela. Kenapa ia tidak yakin bahwa Allah akan menyediakan jodoh yang terbaik untuknya, yang lebih dari Anna Altha funnisa?

Yang jelas, dengan bersilaturrahmi ke rumah Furqan ia mendapatkan satu manfaat yang cukup besar, yaitu munculnya kembali idealismenya yang sudah lama terkubur. Tahun ini ia ingin selesai S.1 dari Al Azhar dengan predikat jayyid. Langsung pulang ke Tanah Air. Langsung bekerja, wirausaha, paling tidak ia bisa membuat warung bakso di Kartasura. Jika ada waktu ia akan langsung melanjutkan S.2. Tidak harus muluk -muluk. Bisa S.2 di Solo, Semarang atau Jogja. Menikah.

Lalu membuat rencana-rencana bersama isterinya untuk masa depan ke-luarganya.

Ia mentargetkan minimal ia berpendidikan S.2. Tapi ia memiliki satu obsesi, yaitu harus kaya! Ia sudah terlanjur dikenal sebagai businessman di Cairo, tidak dikenal seba -gai aktivis kelompok studi, maka sekalian ia tak mau kepalang tanggung, ia harus jadi businessman yang disegani di Indonesia nanti. Biarlah teman temannya nanti ada yang menjadi guru besar, pemikir besar, kiai besar, mubaligh besar, sementara ia ingin menjadi konglomerat besar.

Itulah obsesinya yang muncul saat itu. Jika jadi konglomerat besar ia bisa berjihad di jalan Allah dengan hartanya seperti Utsman bin Affan dan Abdurrahman bin Auf. Dan ia akan tetap berusaha mengamalkan ilmu yang didapatkan sela ma belajar di Mesir sebisa mungkin . Ia jadi ingat Imam Abu Hanifah. Bukankah Imam Abu Ha -nifah adalah seorang imam yang juga seorang kong-lomerat terkemuka di jamannya?

Sementara di Mutsallats, Fadhil didera oleh rasa penyesalan mendalam atas sarannya kepada Tiara. Apalagi setelah tahu bahwa Tiara sebenarnya sangat mengharapkannya. Ia merasa, sebenarnya ia bisa meralat perkataannya secepatnya. Namun rasa tinggi hatinyalah yang mencegahnya. Ia berteduh di bawah alasan seorang lelaki tidak akan mencabut apa yang telah dikatakannya. Kini kata hatinya tidak bisa diingkarinya. Ia sebenarnya juga mengharapkan hal yang sama dari Tiara. Ia merasa telah melakukan satu kesalahan tak termaafkan dengan menegaskan agar Tiara tidak menolak lamaran Zulkifli. Ia menyesal, tapi tak berdaya.

Sebenarnya, yang lebih bijak menurutnya, setelah ia tahu Tiara mencintainya, adalah memberikan kebebasan kepada Tiara untuk memberikan pilihannya. Ia tetap memberikan kesaksian yang adil tentang kredibilitas Zulkifli, temannya di pesantren dulu. Namun ia juga memberikan ruang yang terbuka kepada dirinya sendiri untuk dipilih oleh orang yang mencintainya.

Tadi sore Cut Mala, adiknya, menelpon dirinya bahwa Tiara sudah menerima lamaran Zulkifli. Pernikahan akan diselenggarakan setelah ujian. Ayah Tiara, Zulkifli dan ayah ibunya akan datang ke Cairo. Pernikahan akan dia -dakan di Cairo. Dan seluruh anggota KMA nanti pasti akan diminta untuk membantu mengurus segalanya. Fadhil terbakar oleh rasa penyesalannya. Ia adalah koordinator sekaligus vokal grup nasyid Nanggroe Voice yang menjadi kebanggaan warga KMA di Cairo. Pastilah ia nanti akan diminta menjadi penghibur dalam pesta walimah Tiara dan Zulkifli. Hatinya terasa perih. Ia ber-tanya pada dirinya sendiri, apakah ia mampu menghadapi hal itu. Batinnya pilu. Ya. Di dadanya, beriburibu genderang kepiluan mengalun bertalu -talu.

Fadhil mondar -mandir sendirian di kamarnya. Sejak pulang dari rumah sakit ia tidak pergi ke mana-mana kecuali ke masjid yang tak jauh dari apartemennya. Segala perkembangan yang terjadi di dunia luar ia ikuti dari cerita teman temannya. Ia kelihatan tenang, tak ada yang tahu kalau dia sedang didera pilu tiada tara. Adiknya pun tak tahu kalau ia sejatinya sedang membutuhkan pelipur lara. Cinta yang tak berlabuh di tempatnya, sungguh menyiksa.

Fadhil menatap diktat-diktat kuliahnya dengan pandangan hampa. Tak ada semangat membara untuk mengu-nyahnya seperti tahun-tahun sebelumnya. Tak ada target yang melecut seperti biasanya. Beberapa kali ia mengutuk dirinya sendiri, betapa dungu akal pikirannya. Terkadang muncul rasa berda ya, rasa bisa mengatasi segala, rasa untuk tidak mundur dari apa yang telah diputuskannya.

Namun rasa menyesal datang bagai badai yang mem buatnya terpelanting tiada berdaya. Lebih dari itu, ia juga didera rasa berdosa, "Pastilah Tiara merasakan sakit yang lebih dari yang aku rasa. Pastilah ia merasakan kekecewaan tiada terkira!" Ia meratap sendiri. Ia berharap andai waktu bisa diputar ke belakang beberapa hari saja. Ia akan melamar Tiara sebelum gadis itu mengabar-kan dilamar oleh orang lain. Andai saja...

Tiba-tiba ia ingat beberapa tahun yang lalu sebelum ia berangkat ke Mesir. Setelah lulus dari pesantren, ia ditu gaskan untuk mengabdi di Pesantren Daarul Hikmah, Meulaboh. Ia mengajar hanya setengah tahun. Mengajar di kelas dua Madrasah Aliyah. Di kelas itulah ia menemukan murid perem puan yang cerdas dengan wajah biasa saja, tapi memiliki pesona yang kuat. Murid itu adalah Tiara. Setelah itu ia pergi ke Mesir.

Tak disangka ternyata Tiara menyusulnya kuliah di Cairo. Dialah yang dulu ke sana kemari mengurus administrasi Tiara masuk Al Azhar University. Dia pula yang menca rikan rumah. Dia pula yang mempertemukan Tiara dengan Madam Zubaida pemilik flat mewah di Masakin itu. Sehingga akhirnya Tiara dan teman-temannya pin-dah ke flat itu sampai sekarang. Dia pula yang mengusa -hakan Tiara bisa mendapat beasiswa .

Dan tatkala Cut Mala datang, ia titipkan adiknya itu pada Tiara. Selama ini ia bersikap wajar dan biasa. Ia tidak mengisyaratkan rasa simpatik dan tertariknya pada Tiara. Apalagi isyarat cinta. Namun sungguh, ia tidak bisa membohongi hatinya sendiri bahwa sejak mengajar di pesantren dulu , ia sudah menaruh hormat, bangga dan juga cinta pada mahasiswi Al Azhar yang memiliki lesung pipi kalau tersenyum itu. Ia mengenang sejuta ke-nangan dengan hati tak tenang. Amboi...

Mengingat itu semua jiwanya seperti terbakar. Api penyesalan, api kecemburuan, api cinta tak kesampaian, api pem bodohan atas keputusan diri sendiri yang tak berpenghabisan, semuanya menyatu jadi satu, membumbung ke awan biru.

"Astaghfirullaaah!!" Fadhil menjerit dan meninjukan tangannya ke tembok kamarnya. Ia merasa hatinya seakan mau pecah dan hancur. Ia lalu duduk perlahan, sejurus kemudian menelentangkan tubuhnya di atas karpet. Air matanya bercucuran. Wajah Tiara berkelebatan di pikiran. Setiap kali datang berkelebat, seolah menancapkan satu duri di hati. Terasa perih dan nyeri. Telpon di ruang tamu berdering-dering. Ia berdiri pelan-pelan. Begitu ia angkat, telpon itu mati. Ia menghela nafas dalam -dalam. Ia letakkan gagang telpon itu kembali. Telpon berdering lagi. Ia angkat,

"Ya."

"Assalamu'alaikum, ini Mala Kak." "Ada apa Dik?"

"Ingin memastikan saja, kalau kakak baik -baik saja." "Ya kakak baik -baik saja kok Dik."

"Sudah dibaca semua muqarrar-nya Kak?"

"Ada yang sudah, ada yang belum. Kamu sendiri bagaimana Dik?"

"Alhamdulillah semua muqarrar sudah Mala baca. Seka rang mulai meringkas."

"Alhamdulillah. Oh ya bagaimana kabar Tiara?" tanya Fa dhil sambil kaget pada dirinya sendiri kok tiba tiba mena nyakan kabar Tiara. Hal yang selama ini tidak pernah ia lakukan. Biasanya adiknya yang tanpa dia minta bercerita.

"Seperti yang kakak tahu, Kak Tiara sudah menerima lamaran Ustadz Zulkifli. Namun entah kenapa Kak Tiara sepertinya murung saja Kak. Kayaknya ia kecewa pada Kakak. Mala tahu persis kalau Kak Tiara itu memang sungguh sungguh menaruh hati pada Kakak."

Mendengar hal itu, air mata Fadhil meleleh. Satu persatu air matanya jatuh ke lantai. Namun entah kenapa setiap kali berbicara di telpon muncul sifat tinggi hatinya.

"Semoga dia bisa menerima kenyataan yang ada. Bukankah Al-Quran menjelaskan tidak semua yang diharap ma nusia itu akan ia dapat. Insya Allah, Zulkifli akan menjadi yang terbaik baginya."

"Iya Kak. Ini dulu ya. Jangan lupa jaga kesehatan ya Kak. Assalamu'alaikum."

"Wa 'alaikum salam wa rahmatullah ."

Fadhil meletakkan gagang telpon. Telinganya masih penuh dengan kata -kata adiknya tentang Tiara: "Namun entah kenapa Kak Tiara sepertinya murung saja Kak. Kayaknya ia kecewa pada Kakak. Mala tahu persis kalau Kak Tiara itu memang sungguh-sungguh menaruh hati pada Kakak."

"Astaghfirullah, aku telah menyakiti orang lain dan menyakiti diriku sendiri. Rabbana zhalamna anfusana wa in lan taghfir lana wa tarhamna lanakuunanna minal khasi-riin." Ratap Fadhil dalam hati.


0 komentar:

Posting Komentar

REVAN NINTANG BLOG. Diberdayakan oleh Blogger.