Minggu, 16 Agustus 2009

3 Definisi Cinta



Pagi itu kira-kira pukul sepuluh jenazah Pak Masykur dikubur. Warga dusun Sraten larut dalam duka. Pak Masykur dikenal sebagai seorang takmir masjid yang ikhlas dan penuh pengorbanan. la dikenal sebagai bakul buah yang kaya dan dermawan.
Bukan hanya kematian Pak Masykur yang begitu tibatiba yang membuat warga duka. Namun juga peristiwa yang menjadi sebab kematian Pak Masykur yang membuat hati mereka terluka. Zumrah, putri Pak Masykur memang benarbenar hamil. Hamil tanpa memiliki suami yang sah. Itulah kemungkinan besar yang membuat Pak Masykur begitu terpukul sampai kena serangan jantung. Ditambah, bahwa Zumrah yang hamil itu memang telah pindah agama. Demi mengikuti kemauan sang pacar yang dicintainya. Bisa dibilang Zumrah adalah kembang dukuh Sraten. Untuk gadis seumurnya dialah yang paling jelita.
Keindahan paras mukanya sering jadi obrolan para pemuda saat ronda. la adalah teman Husna sejak kecil. Saat di SD bahkan sering satu bangku dengan Husna.
Sampai lulus SD mereka berdua masih sering mengaji Al Qur’an bersama di Masjid Al Mannar. Hanya saja, sejak SMP mereka berpisah karena sekolah mereka sudah berbeda. Husna sekolah di SMPN Kartasura, sementara Zumrah sekolah di Ungaran. Zumrah ikut Budenya, sebab saat itu ibunya sangat kerepotan mengurus ketiga adiknya yang masih kecil-kecil. Saat itu Si Bungsu Zahrah belum berumur satu tahun. Saat itu kondisi ekonomi orang tua Zumrah sedang sulit-sulitnya. Sementara budenya hanya punya satu anak saja.
Sejak itulah Husna tidak lagi banyak bertemu dengan gadis yang saat ini banyak dibicarakan telah pindah agama.
Hanya sesekali ia bertemu dengan Zumrah. Biasanya ketemu ketika Zumrah pulang karena liburan. Zumrah sendiri pernah cerita, suasana di rumah Budenya itu memang sangat longgar dan bebas. Budenya tidak ketat dalam mengawal pergaulan anaknya, apalagi kepona-kannya. Ia pernah dapat cerita, juga dari Zumrah sendiri, bahwa anak Budenya pernah ditangkap polisi dalam kamar sebuah hotel Melati di kawasan Kopeng karena perbuatan asusila dan mengkonsumsi obat terlarang.
Sebenarnya Zumrah tidak betah tinggal di rumah Budenya itu. Beberapa kali ia ingin pulang. Tapi ibunya melarang. Ibunya minta agar Zumrah bertahan di rumah Budenya sampai lulus SMA. Saat Zumrah lulus SMA dan mulai kuliah perekonomian Pak Masykur mulai membaik.
Pak Masykur ingin Zumrah di Sraten saja sambil kuliah di Solo. Namun Zumrah memilih kuliah di Jogja. Saat itu Zumrah sudah bukan lagi Zumrah yang dikenal Husna ketika masih SD. Setiap pekan Zumrah pulang ke Sraten.
Dan setiap pulang Zumrah hampir selalu membawa teman pria yang berbeda. Hal itu menjadi gunjingan warga.
Namun Zumrah seolah tutup telinga. Berkali-kali ayahnya mengingatkan dan menasehati, tapi Zumrah tak pernah ambil peduli.
Sampai suatu sore warga digegerkan oleh perang mulut yang terjadi antara Zumrah dan ayahnya. Ayahnya marah besar karena Zumrah pulang ditemani oleh lelaki yang beda agama. Lelaki itu terang-terangan memakai simbol agamanya di hadapan ayahnya, Pak Masykur, yang tak lain adalah takmir masjid Al Mannar. Pak Masykur mengusir lelaki itu. Dan Zumrah membela pacarnya mati-matian. Terjadilah adu mulut yang sengit antara Zumrah dan ayahnya yang didengar oleh sebagian besar warga.
Sejak itu hubungan Zumrah dengan keluarganya, khususnya ayahnya benar-benar buruk. Zumrah jarang pulang. Dan ayahnya sering marah jika Zumrah pulang.
Di mata sang ayah, ada saja kesalahan yang dilakukan Zumrah. Sementara sang anak, Zumrah seolah tiada pernah berhenti menteror ayahnya dengan hal-hal yang menyesakkan dada. Puncaknya adalah terjadinya peristiwa yang membuat luka dan duka banyak orang itu. Sembilan puluh persen warga dukuh Sraten melihat Zumrahlah penjahat yang membunuh ayahnya.
Kalau aku punya anak seperti dia pasti sudah kusembelih!" Kata Bu War, pemilik warung kelontong di desa itu dengan geram.
Pukul sebelas siang para pelayat sudah sampai di rumahnya masing-masing. Matahari di atas dusun Sraten panas memanggang. Udara dusun Sraten telah jauh berubah. Telah berubah tiga kali lipat panasnya dari dua puluh tahun yang lalu. Saat itu Husna sendirian di rumah.
Lia sedang mengajar di Kadipiro. Sementara ibunya masih takziah di rumah Bu Masykur belum juga pulang. Husna sedang merapikan jilbabnya bersiap ke radio ketika hand phone bututnya berdering. Ada panggilan dari nomor yang tidak dikenalnya. la angkat,
"Assalamu'alaikum.. Ya hallo, siapa ini?"
Husna, ini aku?" Suara di seberang agak serak-serak basah.
Aku siapa?" Tanya Husna. “Aku! Zumrah!"
Zumrah!?" Husna kaget.
Ya benar."
Kau di mana Zum?"
Nanti kuberi tahu. kamu bisa menemuiku Na? Aku butuh bantuanmu Na! Aku dalam masalah serius!"
Bantuan apa?"
Bisakah kamu menemuiku, nanti aku ceritakan semuanya."
Kau di mana sekarang Zum? Hati-hati ya, aku dengar pamanmu yang polisi itu mencarimu. Katanya mau membunuhmu."
Aku sudah tahu. Karena itu aku sembunyi. Aku butuh pertolonganmu. Tolonglah Na. kamulah satu-satunya orang yang bisa aku ajak bicara."
Akan aku usahakan." “Bisa sekarang juga Na?"
Maaf Zum, kalau sekarang tidak bisa. Sebab aku sedang bersiap ke radio. Aku ada siaran siang ini. Habis siaran aku langsung ke Pesantren Daarul Qur’an Wangen Polanharjo, aku ada diskusi sastra dengan para santri di sana. Bagaimana kalau kita ketemu di pesantren saja."
Di pesantren?"
Iya. Kenapa?"
Tapi aku tak pernah ke pesantren Na. Aku..."
Jangan takut. Biasa saja. Orang-orang pesantren menyenangkan kok. Selepas shalat ashar kutunggu kamu di Wangen ya? Rutenya dari Solo ke arah Klaten, sampai di Pasar Tegalgondo belok kanan. Terus sampai Polanharjo.
Terus tanya saja mana pesantren. Gitu saja ya. Aku tergesa-gesa nih."
Ya baik Na. Terima kasih ya. Sampai ketemu nanti." “Insya Allah."
Eh sebentar Na." “Ada apa lagi?"
Kau sampai di pesantren kira-kira pukul berapa?" “Insya Allah tepat jam satu. Acaraku setengah dua." “Terus aku harus pakai kerudung?"
Terserah kamu. Pakai kerudung lebih baik."
Terima kasih Na."
Sama-sama."
Husna menutup hand phonenya. Lalu beranjak ke almari pakaiannya. Mengambil gamis panjangnya yang masih terlipat rapi dan selembar jilbab. Ia bungkus koran lalu ia masukkan ke dalam tas plastiknya. Ia lalu berangkat ke radio JPMI Solo.
Selesai siaran di radio JPMI yang terletak tak jauh dari GOR Manahan, Husna langsung memacu sepeda motor-nya ke barat. Ia melaju menuju desa Wangen. Ia harus menempuh jarak tak kurang dari dua puluh kilometer. Ia melaju melewati tugu Kartasura. Lalu belok kiri ke arah Klaten. Melewati markas Kopasus Kandang Menjangan.
Ia mengencangkan laju kendaraan. Setengah jam kemudian ia sudah sampai di pasar Tegalgondo. Ia belok kanan. Lalu melaju dalam kecepatan pelan. Empat puluh kilometer perjam ke arah barat. Ke arah Janti.
Di sepanjang jalan yang ia lewati berjajar pepohonan, sebagian di antaranya pohon-pohon besar seperti pohon
Asam, Randu, Akasia dan Waru. Sesekali ada juga pohon Gayam. Juga pohon Mangga. Di samping kiri jalan ada sungai kecil yang airnya jernih mengalir sepanjang tahun.
Di kanan kiri jalan sejauh mata memandang adalah persawahan yang hijau. Sesekali terlewati juga beberapa rumah penduduk.
Angin mengalir sepoi-sepoi. Udara di sepanjang jalan itu jauh lebih nyaman dibandingkan dengan udara Solo dan Kartasura. Sampai di Polanharjo Husna berhadapan dengan pertigaan. Ada papan petunjuk yang menjelaskan letak pemancingan Janti. Di situ memang banyak berdiri rumahrumah pemancingan yang sekaligus rumah makan.
Biasanya di dalamnya ada juga kolam renang. Orangorang Solo dan Klaten sering menjadikan tempat-tempat itu sebagai tempat pilihan untuk rekreasi keluarga dan makan-makan.
Husna belok kiri. Terus melaju. Tak lama kemudian ia sampai di Desa Wangen. Ada papan petunjuk yang mengarahkannya ke arah pesantren. Kira-kira seratus meter sebelum gerbang pesantren ia melintasi seorang perempuan bercelana jeans biru kaos putih ketat.
Rambutnya tergerai ke kiri dan ke kanan ditiup angin. Ia lihat mukanya. Perempuan itu juga melihat ke arahnya.
Zumrah!" Teriaknya.
Husna!" Perempuan itu juga berteriak memanggil namanya.
Husna menghentikan sepeda motornya dan melepas helmnya. Ia gantungkan helmnya di cantolan depan.
Ayo naik Zum!" Zumrah naik di boncengan. Husna kembali men-jalankan motornya.
Kok jalan kaki Zum?"
Tadi aku naik ojek. Aku ke Janti dulu tadi. Makan siang. Terus aku jalan. kamu nggak malu memboncengkan aku dengan pakaianku seperti ini?"
"Ah kalau aku sih tidak malu. Semestinya kan kamu yang malu Zum. Bukan aku. Masak pakai pakaian ketat begitu, pusermu kelihatan lagi. Apa nggak risih Zum." Jawab Husna santai.
Benar kamu tidak malu membongcengkan aku Na?"
Kenapa malu? Apa dosaku boncengkan kamu? Justru aku yang akan balik bertanya, apa kamu tidak malu. Nanti ada ribuan santri lho Zum. Pasti kamu akan jadi pusat perhatian kayak artis. Kalau aku kan santai saja lha wong pakaianku sama dengan mereka."
Ah cuek aja!"
Ya terserah kamu Zum. Jangan salahkan aku juga misalnya kamu nanti tidak boleh masuk karena ada peraturan pesantren yang mengharuskan tamu harus berpakaian sopan."
Wah kalau begitu pesantren memaksakan kehendak ya Na. Tidak demokratis."
Ya tidaklah Zum. Pesantren sama sekali tidak memaksakan kehendak. Lha mereka tidak pernah memberlakukan peraturan kecuali hanya dalam lingkungan pesantren saja. Itu kan sama seperti kamu punya rumah.
Rumah kamu full karpet. Kamu punya peraturan yang masuk rumahmu harus copot sepatu. Apalagi jika sepatunya kotor belepotan lumpur lagi, pasti kamu melarang keras sepatu itu menginjak-injak karpet rumahmu yang bersih kan? Kamu akan marah besar jika ada tamu yang nekad tetap memakai alas kaki kotor belepotan lumpur masuk rumahmu, apalagi misalnya sampai nekad masuk kamarmu, terus tidur di tempat tidurmu dengan tidak mencopot alas kakinya yang belepotan lumpur. Iya tho? Apa kalau kamu marah pada orang seperti itu lantas kamu tidak demokratis?"
Ya itu wajar Na. Sudah jamak. Sepatu belepotan lumpur tidak boleh menginjak karpet, kan mengotori. Ih itu
jorok namanya Na!"
"Ya sama saja tho Zum. Bagi kalangan pesantren, mengumbar aurat itu mungkin lebih jorok dari sepatu kotor yang belepotan lumpur. Hanya bedanya lumpur itu joroknya tampak zahir, sedangkan mengumbar aurat termasuk pusarmu itu joroknya kasat mata. Joroknya lebih gawat sebab bisa meracuni jiwa."
Aduh Na, aku turun di sini saja! Sejak dulu aku tidak akan pernah menang debat sama kamu! Aku jadi tidak enak kalau masuk pesantren dengan pakaian seperti ini." Husna mengurangi kecepatan sepeda motornya.
Kamu mau menunggu aku di sini? Acaraku sampai jam empat lho. Sekarang baru jam satu!"
Bisa nggak Na kita bicara sebentar di sini." “Satu menit bisa Zum."
Ya jangan satu menit lah Na. Sepuluh menit saja."
Maaf Zum tidak bisa. Bukan apa-apa. Bukan aku tidak menghormatimu. Tapi aku belum shalat dhuhur. Dan acaraku tepat setengah dua. Sekarang pembukaan acara mungkin sudah dimulai. Lagian janji kita kan habis ashar di pesantren. Dan kamu sepakat."
Terus aku harus gimana Na? Aku tidak enak pakai pakaian seperti ini ke pesantren. Biasanya aku sih cuek saja. Tapi entah kenapa aku malu."
Ya terserah kamu."
Kok kamu cuek begitu sih Na sama aku?"
Kamu sendiri yang cuek sama diri kamu. Aku mau kamu ajak ketemu masak dibilang cuek. Kalau aku cuek pasti aku menolak kamu ajak bicara. Aku masih Husna yang dulu. Husna temanmu satu bangku di SD yang dulu."
Na kalau begitu biar aku turun di sini. Aku akan balik saja. Aku akan cari ojek ke pasar Tegalgondo. Aku akan cari pakaian yang lebih sopan."
Benar kamu mau cari pakaian yang lebih sopan?" "Iya Na."
Gampang. Kalau gitu kamu akan aku ampirkan dulu ke tempat teman SMA-ku. Semoga dia di rumah, sekalian aku numpang shalat dhuhur. Eh kamu sudah shalat Zum?" Husna mencoba meraba. Benarkah yang diomongkan orang-orang bahwa Zumrah sudah pindah agama.
Anu Na. Em... em... Aku lagi berhalangan." Jawab Zumrah gugup.
Jawaban yang cerdas! Desis Husna dalam hati. Ya 'aku lagi berhalangan' maknanya bisa berhalangan karena sedang datang bulan. Bisa juga berhalangan karena sudah pindah keyakinan. Keyakinan barunya itulah yang membuatnya berhalangan dari shalat.
O begitu, ya sudah. Kita mampir dulu ke rumah teman SMA-ku ya."
Boleh Na."
Baiklah kalau begitu." Husna tidak jadi mengambil jalan yang lurus ke pesantren. la memutar kendaraannya lalu belok kiri ke arah rumah penduduk. Beberapa jurus kemudian Husna dan Zumrah sudah sampai di depan rumah tua. Dinding-nya separo bagian bawah tembok batu bata dilabur kapur putih dan separo bagian atas papan kayu yang sudah keropos di sana-sini. Seorang ibu setengah baya keluar.
Begitu melihat Husna langsung tersenyum.
Oh Nak Husna. Monggo-monggo masuk Nak. Ada acara di pesantren ya?" Sapa ibu itu.
Iya Bu. Kok ibu tahu?" Husna balik tanya “Diberi tahu Siti."
Siti ada Bu?"
Ada di belakang sedang dandan. Dia katanya juga lihat acaramu di pesantren."
Kalau begitu nanti bareng saja."
"Lha ini siapa?" Tanya ibu itu sambil memandangi Zumrah.
Ini Zumrah Bu, teman Husna." Husna mengenalkan, “O ya Bu saya mau numpang shalat."
Masuk saja Na. Wudhunya di belakang. Shalatnya di kamar Siti saja. Sebelah kiri dapur." Husna mengambil tas plastik ia cantolkan di bawah stang motornya. Ia lalu masuk sambil menggandeng tangan Zumrah. Husna langsung membawa Zumrah ke kamar Siti. Siti kaget campur bahagia atas kedatangan Husna.
Kau shalat di sini saja Na. Aku ke rumah sebelah ya ada perlu sedikit nanti takut lupa." Kata Siti meninggalkan Husna dan Zumrah.
Zum, ini mungkin bisa kamu pakai. Semoga pas." Husna mengulurkan tas plastiknya begitu Siti sudah hilang di balik pintu.
Terima kasih Na."
Aku tidak maksa lho. Nanti kamu anggap memaksa-kan kehendak. Tidak kamu pakai juga tidak apa-apa kok." Zumrah hanya tersenyum. Husna mengambil air wudhu. Lalu kembali ke kamar itu dan shalat. Selesai shalat Husna tersenyum melihat Zumrah sudah berganti pakaian.
Menurutku kamu malah lebih cantik pakai jilbab Zum."
Ah masak Na. Memuji-muji biar aku pakai jilbab ya. Sorry Na!"
Kamu itu Zum, kalau dipuji disalahkan arti. Tapi kalau tidak dipuji nanti dianggap cuek. Ya terserah kamu lah. Gitu aja kok repot. Ayo kita berangkat, jam setengah dua kurang lima nih! Cepat sedikit, nanti terlambat!" Mereka berdua bergegas keluar kamar. Di ruang tamu Siti telah menunggu. Mereka bertiga pergi membelah perkampungan menuju pesantren. Siti mengendarai Jupiter Z-nya yang masih baru. Jilbab putihnya berkibaran diterpa angin yang mengalir dari utara ke selatan.
Pesantren Daarul Qur’an terletak di jantung desa Wangen. Karena terletak di desa Wangen seringkali pesantren ini disebut juga Pesantren Wangen. Wangen sendiri dalam bahasa Jawa bermakna harum. Pesantren itu berdiri tak jauh dari masjid tua yang di zaman perang kemerdekaan dikenal sebagai markas pasukan Hizbullah.
Masjid itu di zamannya sangat dikenal oleh hampir seluruh pejuang kemerdekaan di daerah Karesidenan Surakarta.
Masjid itu sampai sekarang masih dipertahankan keasliannya. Kini masjid itu terjepit di sela-sela rumah penduduk yang rapat. Memang di desa Wangen, penduduk membangun rumahnya saling merapat. Desa Wangen sendiri dikelilingi oleh sawah yang hijau. Dulu desa itu dikenal sebagai desa terpencil di tengah sawah. Letaknya cukup jauh dari kota Solo maupun dari Klaten. Jalan utama menuju Wangen dulunya adalah jalan dari pasar Tegalgondo yang sekarang sudah beraspal.
Dari desa Wangen, panorama Gunung Merapi sangat jelas dan memukau. Gunung yang kawahnya tiada henti mengepulkan asap itu seperti terasa berat. Menurut cerita orang-orang tua yang dulu pernah ikut berperang, jika Hizbullah terdesak maka mereka akan mundur ke arah hutan yang berada di kaki gunung Merapi. Mungkin karena itulah maka dipilih sebagai markas Hizbullah. Tak jauh dari masjid itu, tepatnya di sebelah selatan masjid itu berdiri Pesantren Daarul Qur’an.
Pesantren itu telah ada sebelum Republik Indonesia merdeka. Menurut orang-orang tua desa Wangen, pesantren itu didirikan oleh Kiai Sulaiman Jaiz pada tahun 1925. Kiai Sulaiman dikenal sebagai Kiai pengelana. Kiai pengembara yang sering berpindah tempat. Setiap kali diam di sebuah daerah pasti membuka pesantren.
Sebelum mendirikan pesantren, Kiai Sulaiman Jaiz telah mendirikan pesantren di Susukan Salatiga. Pesantren itu ia serahkan pada muridnya lalu pindah ke desa Wangen dan mendirikan pesantren yang kini dikenal sebagai Pesantren Daarul Qur’an Wangen.
Pesantren itu mulanya dibangun di sebelah selatan pemukiman penduduk. Awalnya para santri masih menggunakan. masjid tua itu sebagai tempat belajar mengajar. Namun Kiai Sulaiman merasa pesantrennya harus memiliki kedaulatan penuh berkegiatan selama dua puluh empat jam akhirnya didirikanlah masjid pesantren.
Dengan tujuan agar kalau kegiatan malam tidak mengganggu penduduk. Sebab masjid tua itu terletak di tengahtengah pemukiman penduduk.
Setelah lima tahun berjalan, pesantren itu mulai dikenal orang dan santrinya sudah berjumlah puluhan orang. Karena dinilai cukup bisa mandiri, Kiai Sulaiman menyerahkan pesantren itu pada seorang muridnya yang paling ia anggap mumpuni. Namanya Mas Sahrun. Ia asli putra desa Wangen.
Anak carik desa Wangen, lahir di Wangen, sejak kecil hingga dewasa tinggal di Wangen.
Begitu diamanati memegang pesantren, Mas Sahrun menikah dengan putri lurah Wangen yang terkenal kaya.
Namanya Lurah Pujo. Putri lurah Pujo itu namanya Dewi Sukesih.
Menurut cerita yang masih diingat masyarakat desa Wangen, Dewi Sukesih terkenal paras rupanya yang menawan siapa saja yang melihatnya. Banyak pemuda anak para pejabat mulai dari Lurah, Camat, Bupati dan Wedana yang datang untuk menyuntingnya. Tapi tidak ada satupun yang diterima. Lurah Pujo sampai bingung kenapa putrinya itu menolak semua lamaran yang datang.
Setelah didesak, akhirnya sang putri mengaku terus terang bahwa dia hanya mencintai seorang pemuda yang namanya Mas Sahrun bin Carik Jaelan. Dan ternyata Dewi Sukesih itu mencintai Mas Sahrun karena suaranya yang indah jika mengumandangkan azan. Dari pernikahan Mas Sahrun dengan Dewi Sukesih lahirlah Lutfi Hakim, yang kini dikenal sebagai ulama paling di segani di Klaten. Beliau adalah ayah dari Anna Althafunnisa, Pengasuh Pesantren Daarul Qur’an yang alim berwibawa.
Adapun ihwal Kiai Sulaiman Jaiz setelah itu tidak terlacak riwayatnya. Ada banyak cerita beredar tapi tidak bisa Dipertanggungjawabkan kbenarannya. Ada yang mengatakan Kiai Sulaiman telah pergi jauh di ujung timur pulau Jawa. Tepatnya di sebuah desa pinggir pantai Banyuwangi. Ada yang cerita Kiai Sulaiman pergi ke daerah Mranggen Demak. Di sana Kiai Sulaiman bersama dengan seorang Kiai bernama Ibrahim Brumbung mengangkat senjata melawan penjajah dan akhirnya mati syahid. Cerita tentang Kiai Sulaiman jadi simpang siur tidak jelas.
Sejak meninggalkan Wangen, Kiai Sulaiman tidak pernah sekalipun datang lagi ke Wangen. Tak terlacak
jejaknya. Namun yang selalu diingat oleh orang-orang Kiai Sulaiman telah meninggalkan warisan yang sangat berharga bagi penduduk desa Wangen dan sekitarnya.
Dalam buku sejarah Pesantren Wangen tertulis dengan tinta emas bahwa Kiai Sulaiman Jaiz adalah sang pendiri pesantren dan guru ilmu alat 66 Maksudnya, ilmu alat membaca kitab-kitab berbahasa Arab. Yang dimaksud ilmu alat adalah ilmu gramatikal bahasa Arab yaitu Ilmu Nahwu dan Sharaf pertama di desa Wangen.
Keadaan pesantren Wangen sekarang sangat jauh berbeda dengan saat didirikan Kiai Sulaiman. Jika dulu santrinya hanya puluhan sekarang sudah ribuan. Jika dulu ilmu yang diajarkan masih terbatas membaca Al Qur’an, Fashalatan, dan ilmu alat, sekarang hampir semua cabang keilmuan Islam diajarkan. Ditambah wawasan sains modern. Pengetahuan sastra budaya juga tidak di-tinggalkan.
Dan siang itu Pesantren Wangen menggelar acara besar yang berbeda dari hari-hari biasa. Acara siang itu adalah bedah buku kumpulan cerpen remaja terbaik nasional berjudul Menari Bersama Ombak karya penulis muda berbakat dari Kartasura.
Aula utama pesantren penuh sesak oleh ribuan santriwan dan santriwati. Acara sudah dimulai. Lantunan ayat-ayat suci Al Qur’an menyusup ke dalam relung-relung hati. Pada saat sambutan dari pengasuh pesantren usai, puluhan santriwati berebutan mencium tangan Husna, Zumrah dan Siti. Panitia dengan sigap menga-mankan mereka bertiga dan langsung membawa ke kursi di jajaran paling depan. Husna didudukkan tepat di samping Anna
Althafunnisa. Saat kenalan Anna meng-gunakan nama penanya Bintun Nahl. Husna lalu memanggilnya dengan Mbak Bintun. Anna tersenyum senang mendengarnya.
Akhirnya tibalah acara inti yaitu acara bedah Menari Bersama Ombak. Ketika nama Ayatul Husna dipanggil tepuk tangan bergemuruh di aula itu. Husna maju ke kursi pembicara diiring Anna Althafunnisa. Sedangkan moderatornya adalah Nafisah, santriwati yang dikenal paling jago olah kata.
Ini adalah hari yang sangat istimewa bagi kita. Kita memiliki kesempatan untuk berdialog dan bertukar pikiran dengan seorang yang kita kagumi karya-karyanya.
Kita bisa sedemikian dekat dengan penulis muda paling berbakat yang dimiliki Indonesia saat ini. Dia adalah Ayatul Husna yang telah menulis puluhan cerpen dan telah menerbitkan belasan kumpulan cerpen. Kumpulan cerpen paling fenomenal hasil karyanya yang mengguncang jagat sastra tanah air adalah Menari Bersama Ombak. Baiklah saya tidak memperpanjang kata, kita akan dengarkan bersama sedikit cerita dari Mbak Husna bagaimana mulanya dia berkenalan dengan dunia tulis menulis. Apa yang mendorongya menulis karya. Serta apa inspirasinya menulis cerpen Menari Bersama Ombak." Nafisah membuka bedah buku itu dengan pengantar yang cukup memukau hadirin. Aula senyap sesaat. Semua mata tertuju pada Husna yang tampak begitu bersahaja.
Meskipun wajahnya tampak biasa saja dibandingkan dengan Anna Althafunnisa yang duduk di sampingnya.
Namun wajah Husna tetap memancarkan aura yang menyejukkan mata.
Sebelum memulai bicara Husna tersenyum pada ribuan santriwan dan santriwati yang ada di hadapannya. la memulai dengan memuji Allah dan membaca shalawat kepada Rasulullah Saw. Lalu ucapan terima kasih kepada semua pihak yang menyelenggarakan acara luar biasa itu. Juga kepada seluruh pembaca yang mengapresiasi karya-karyanya.
Jujur saya mengenal dunia tulis menulis secara serius sejak kelas dua SMA. Ceritanya saya memiliki seorang kakak yang kuliah di luar negeri. Tepatnya di Universitas Al Azhar Mesir. Hampir tiap bulan kakak saya menulis surat untuk saya dan adik-adik saya. Saat itu saya yang paling tua jadi saya yang berkewajiban membalas surat-surat kakak saya.  
Ternyata, tidak terasa itu jadi latihan yang sangat efektif bagi saya. Sebab seringkali saya harus menulis surat sampai belasan halaman saat menjawab surat kakak saya.
Suatu hari kakak saya menulis surat kepada saya. Dia bercerita bahwa dia sangat tersentuh membaca surat yang terakhir saya tulis untuknya. Ada satu perkataan kakak saya yang sampai sekarang masih saya ingat betul dan masih membekas dalam hati saya. Kakak saya menulis begini, 'Suratmu, Adikku, seolah menjadi oase bagiku. Di tengah gersang dan panasnya padang sahara kerinduan kepada kalian, suratmu adalah pelepas dahaga sekaligus penyejuk jiwa. Bahasamu bukanlah bahasa anak SMA. Tapi bahasamu adalah bahasa jiwa para sastrawan dan pujangga yang orisinil lahir dari malakatun nafsi, bakat jiwa. Cobalah adikku kamu gunakan bakatmu itu untuk menulis karya sastra. Semisal puisi, cerpen atau novel. Tulislah dengan serius. Niatkan demi mensyukuri karunia pemberian Allah. Dan niatkan untuk sedikit-sedikit mencari nafkah demi membahagiakan ibu kita tercinta. Aku sangat yakin jika kamu serius kamu akan jadi penulis yang cemerlang!'
Kalimat dari kakak tercinta itulah yang sangat memotivasi saya untuk kemudian belajar teknik menulis secara serius. Lalu saya mulai menulis. Setelah perjuangan berdarah-darah setengah tahun lamanya. Cerpen pertama saya berjudul
Surat Cinta untuk Kakak" dimuat di majalah remaja Karima. Lalu saya terus menulis dan menulis. Dan akhirnya saya benar-benar dikenal sebagai penulis.
Kenapa kalimat kakak itu begitu memotivasi? Ada satu cerita yang mungkin ada baiknya saya sampaikan. Semoga jika ada hikmah di dalamnya bisa menjadi lentera bagi kita semua.
Kakak saya itu pergi ke Mesir saat saya masih kelas tiga SMP. Saat kakak berangkat kami tiga bersaudara. Ibu saya sedang mengandung. Ayah saya hanyalah seorang guru MI swasta yang nyambi jualan soto di samping pasar Kartasura. Ibu saya sering sakit-sakitan. Ayahlah tulang punggung dan pelindung keluarga. Meskipun pas-pasan kami bisa hidup dengan layak. Alhamdulillah kakak ke Mesir karena mendapatkan beasiswa.
Setahun setelah kakak di Cairo, ayah meninggal dunia karena kecelakaan. Dunia seperti gelap bagi saya.
Ibu nyaris tidak berdaya, sering sakit, dan baru melahirkan adik kami paling bungsu. Di saat seperti itulah kakak saya di Cairo mengambil perannya sebagai tulang punggung sekaligus pengayom keluarga dari jauh. Kakak saya bekerja mati-matian di Cairo. Dia berjualan tempe di sana demi menghidupi kami di Indonesia. Demi agar saya dan adik-adik saya tidak putus sekolah. Kami hidup mengandalkan kiriman uang tiap bulan dari Cairo. Saya bisa selesai kuliah juga mengandalkan kiriman kakak saya dari Cairo.
Ketika kakak menuliskan suratnya di atas, hati saya terlecut. Saya harus bisa menulis untuk membantu kakak. Membantu ibu. Semampunya. Akhirnya dari menulis saya bisa dapat honor dan sedikit-sedikit bisa membantu keluarga, meskipun tetap saja mengandalkan kiriman dari kakak di Cairo.
Karena didorong untuk survive, untuk bisa sedikit bernafas dalam himpitan ekonomi, maka saya berjuang keras dengan menulis. Alhamdulillah, Allah meridhai ikhtiar saya. Saat ini saya bisa bernafas lebih lega di antaranya karena menulis.
Adapun inspirasi cerpen 'Menari Bersama Ombak' adalah ketegaran dan kesabaran kakak saya. Saya tahu kakak saya siang malam bekerja membuat dan menjual tempe juga menjual bakso di Cairo. Sampai dia mengorbankan kuliahnya. Tapi saya justru menemukan sosok yang saya kagumi, sosok yang seolah terus menari indah bersama ombak kehidupan yang terus datang silih berganti. Terkadang ombak itu datang menggunung sede-ras tsunami. Namun kakak mampu mengatasinya dengan tariannya yang indah. Ini yang bisa saya sampaikan." Begitu Husna selesai bicara tepuk tangan ribuan santri bergemuruh beberapa saat lamanya. Anna yang duduk di sampingnya takjub dengan uraian Husna. Takjub dengan cara penyampaian dan isinya. Dan diam-diam takjub dengan kakak Husna yang menjadi matahari bagi adik-adiknya. Diam-diam ia penasaran siapa kakak Husna itu? Apakah ia mengenalnya? Selama di Mesir ia belum pernah dengar ada seorang yang bekerja membuat tempe untuk menghidupi adik-adiknya di Indonesia. Setahunya ada mahasiswa jualan tempe untuk menambah uang saku dan belanja hariannya. Ingin rasanya Anna memperkenalkan kepada Husna siapa dirinya. Tapi ia saat itu ia urungkan niatnya, ia sudah terlanjur memakai nama penanya, Bintun Nahl.
Ketika Anna masih hanyut dengan rasa penasarannya pada tokoh kakak yang telah mampu mendidik seorang adik menjadi sekualitas Ayatul Husna, sang moderator mempersilakannya untuk angkat bicara.
Anna pun berbicara dengan bahasa lugas, tulus dan bersahaja,
Terus terang saya bukan pakar sastra, bukan kritikus sastra, bukan pula orang yang bergelut dengan dunia sastra.
Saya hanya orang awam, yang bolehlah disebut pecinta sastra.
Dalam pandangan saya yang awam sastra, cerpencerpen Mbak Husna ini bisa digolongkan sastra berten-dens. Sastra yang mengajak pembacanya untuk sadar sebagai manusia. Cerpen Menari Bersama Ombak mengajak kita bersabar atas musibah yang menimpa dan bersyukur atas apa saja yang diberikan oleh Allah kepada kita.
Saya awam sastra tapi cerita Mbak Ayatul Husna tadi tentang bagaimana ia berjuang untuk survive dengan menulis bagi saya adalah juga sebuah karya sastra. Bahkan karya sastra yang dahsyat sebab itu adalah pengalaman nyata.
Bahkan sosok Ayatul Husna itu sendiri adalah karya sastra.
Senyumnya, sorot matanya, keteduhan wajahnya, gerak tangannya dan tutur katanya. Semuanya adalah sastra!" Spontan hadirin tersenyum dan bertepuk tangan dengan gemuruh. Husna tersipu-sipu mendengar perkataan Anna. Husna merasakan bahwa yang duduk di sampingnya bukan orang yang awam sastra tapi orang yang sepertinya sangat mengerti sastra.
Setelah itu acara disambung dengan dialog interaktif.
Puluhan santri mengacungkan tangan. Dua santri putra dan dua santri putri terpilih untuk bicara dan bertanya.
Satu persatu keempat santri menyampaikan isi hatinya.
Ada yang menyampaikan kesannya saat membaca cerpen Menari Bersama Ombak. Ada yang bertanya bagaimana caranya mencari ide menulis? Ada juga yang bertanya tips menulis yang baik. Dan penanya terakhir, seorang santriwati berjilbab merah marun berkata,
Salah satu cerpen dalam buku ini berjudul Ketika Naya Jatuh Cinta. Pertanyaan saya, orang kok begitu sering berbicara tentang cinta. Pertanyaan saya apa sih sebenarnya cinta menurut Mbak Husna dan menurut Mbak Bintun? Dan pertanyaan saya kalau boleh jujur pernahkan Mbak berdua jatuh cinta? Dan maaf kalau ini terlalu vulgar, bolehkah kami tahu jatuh cinta sama siapa?" Husna menjawab semua pertanyaan dengan baik dan runtut. Untuk pertanyaan terakhir Husna menjawab,
Menurutku, cinta adalah kekuatan yang mampu mengubah duri jadi mawar, mengubah cuka jadi anggur, mengubah malang jadi untung, mengubah sedih jadi riang, mengubah setan jadi nabi, mengubah iblis jadi malaikat, mengubah sakit jadi sehat, mengubah kikir jadi dermawan mengubah kandang jadi taman mengubah penjara jadi istana mengubah amarah jadi ramah mengubah musibah jadi muhibah itulah cinta!7 7 Diadaptasi dengan banyak perubahan dari puisi Rumi dalam Masnawinya
Mendengar puisi itu, sepontan para santri mengumandangkan takbir dan bertepuk tangan penuh rasa takjub. Puisi itu begitu indah menyihir perasaan mereka. Sang moderator lalu beralih ke Anna Althafunnisa.
Kalau menurut Mbak Bintun Nahl, cinta itu apa?" Tanya moderator.
Emm... apa ya?" Jawab Anna sambil berpikir. la diam sesaat. Para santriwati diam. Mereka sangat penasaran apa yang akan dikatakan putri Kiai mereka tentang cinta.
Mmm... cinta! Menurutku, Sekalipun cinta telah kuuraikan dan kujelaskan panjang lebar. Namun jika cinta kudatangi aku jadi malu pada keteranganku sendiri. Meskipun lidahku telah mampu menguraikan dengan terang. Namun tanpa lidah, cinta ternyata lebih terang Sementara pena begitu tergesa-gesa menuliskannya. Kata-kata pecah berkeping-keping begitu sampai kepada cinta Dalam menguraikan cinta, akal terbaring tak berdaya Bagaikan keledai terbaring dalam lumpur Cinta sendirilah yang menerangkan cinta Dan percintaan!"8 8 Petikan puisi Rumi dalam Diwan Shamsi Tabriz diterjemahkan oleh Abdul Hadi W.M.
Jawaban Anna terasa lebih dahsyat. Dan aula pesantren itu kembali larut dalam gemuruh tepuk tangan sebagai tanda rasa takjub, dan bahagia bercampur cinta. Acara siang itu benar-benar terasa hidup. Para santri mendapat pencerahan yang berbeda dari biasanya.
Sementara Zumrah yang duduk di bangku depan deretan hadirin, tak bisa menahan air matanya. la kagum sekaligus iri pada Husna, Bintun Nahl yang tak lain adalah Anna Althafunnisa dan pada seluruh santri putri yang sedemikian bergairah merajut masa depan. Mereka dalam pandangannya ibarat mata air jernih yang menyejukkan dan belum tercampur kotoran. Sementara ia rasa dirinya ibarat comberan yang menjijikkan. Ia bertanya dalam hati mungkinkah ia kembali bening seperti mereka?

0 komentar:

Posting Komentar

REVAN NINTANG BLOG. Diberdayakan oleh Blogger.