19 Pertemuan Di Kota Santri
Jam enam pagi, Azzam mau ke Pasar Kartasura untuk membeli beberapa bahan penting untuk adonan baksonya. Sekarang bakso cintanya diproduksi di rumah. Ia mempekerjakan dua karyawan. Jadi tidak lagi di buat di kamar kos yang ada di Kleco. Azzam bahkan tidak perlu lagi membuat ’kantor’ di sana. Semua orang kini sudah tahu Azzam memiliki bisnis yang baik. Tak ada lagi suara suara sumbang tentang dirinya. Apalagi ketika banyak orang tahu dia kini menggantikan Kiai Lutfi mengajikan kitab Al Hikam. Sama sekali tidak ada yang meremehkan. Azzam sudah masuk ke mobilnya ketika pemuda itu datang. Azzam seperti pemah kenal wajahnya. Ia mencoba mengingat-ingat. Akhirnya ketemu juga. Ya, namanya Muhammad Ilyas. Azzam turun dari mobil dan menyambut tamunya. ”Ahlan wa sahlan ya akhi, kaif hall”25 25 Selamat datang saudaraku, bagaimana kabarmu? Sambut Azzam dengan bahasa Arab Fusha
”Alhamdulillah hi khair akhi, wa anta kaif?”26 26 Alhamdulillah baik saudaraku, dan kamu bagaimana? Jawab Hyas dengan bahasa Arab juga.
”Alhamdulillah kama tara, Ana bi khair.”27 27 Alhamdulillah seperti y ang kamu lihat, saya baik.
Lalu keduanya berbicara dengan bahasa Indonesia.
”Mari Ustadz Ilyas, silakan masuk..
”Kelihatannya mau pergi. Kedatangan saya mengganggu ya?
”Ah tidak. Kedatangan seorang ustadz seperti antum28 28 Kamu ini selalu membawa kebaikan insya Allah..
Ketika mereka masuk, Husna hendak mengeluarkan sepeda motornya. Husna tetap mengeluarkan sepeda motornya. Azzam dan Ilyas duduk di ruang tamu. Azzam meminta Husna membuatkan minuman untuk mereka berdua.
”Pagi sekali antum datang. Berangkat dari Pedan jam berapa?.
”Selepas shalat subuh langsung kemari.”
“Kok tahu alamat rumah ini..
”Dari para santriwati yang dulu pernah ke sini saat mengundang Husna untuk bedah buku.”
“Iya, iya..
”Wah bisnis baksonya sukses ya.”
“Alhamdulillah. Doanya..
”Semoga barakah seperti Imam Abu Hanifah. Bisnisman juga ulama.” Kata Ilyas.
“Amin..
Husna dan Lia di dapur bersama ibunya. Percakapan Azzam dan Ilyas terdengar jelas oleh mereka.
”Ini ngomong-ngomong belum berangkat lagi ke India?”
“Alhamdulillah, saya kan tinggal nulis tesis saja. Kebetulan tema yang saya tulis ke Indonesia an. Jadi bahannya malah ada di Indonesia. Ya sekalian saja saya nulis tesis di Indonesia.
Pembimbing setuju. Dan saya bisa mengirim file tiap babnya via email..
”Wah enak itu, akhi..
”Insya Allah berangkat ke India nanti saja jika tesis sudah selesai..
”O begitu. Terus ini kok njanur gunung 29 29 Semacam idiom bahasa Jawa, artinya tidak seperti biasa ada apa ya?
Ilyas menata duduknya. Ia tampak agak kikuk. Saat itu Husna keluar membawa minuman. Adik Azzam itu meletakkan dua gelas teh panas di meja tamu, tepat di depan Ilyas. Saat Husna meletakkan gelas di hadapan Ilyas, hati Ilyas bergetar hebat.
”Silakan diminum akhi.” Ucap Azzam.
”Iya,” Tukas Ilyas,
“Mm... begini Akh Azzam, kedatangan saya pagi ini pertama silaturrahmi. Yang kedua saya ingin menyampaikan sesuatu kepada Akh Azzam. Sebelumnya saya mohon maaf kalau nanti saya dianggap lancang atau kurang sopan santun. Tapi insya Allah yang saya sampaikan tidak ada celanya menurut syariat Islam..
Ilyas berhenti sesaat.
Azzam mendengarkan. Di belakang Husna dan Lia yang sedang menggoreng bakwan juga dengar meskipun pelan. Ilyas mengambil nafas. Ia mengatur detak jantungnya yang mulai kencang.
”Mm, apa itu Akh Ilyas?” Tanya Azzam, karena Ilyas agak lama berhenti bicara.
”Setahu saya, Antum adalah wali dari adik-adik antum, karena ayah dan kakek antum sudah tidak ada..
”Benar.” Jawab Azzam yang sudah mulai tahu ke arah mana Ilyas akan bicara. Sebab sudah menggunakan kata wali, yang berarti adalah wali nikah.
”Saya datang, dengan niat semata-mata karena ibadah kepada Allah, saya datang untuk mengkhitbah adik akhi yang bernama Ayatul Husna! Mohon maaf jika ini dianggap kurang sopan santun. Insya Allah jika positif nanti kedua orang saya akan saya ajak kemari..
Azzam memejamkan mata. Ia tidak tahu perasaan apa yang ada dalam hatinya. Yang jelas hati kecilnya ia sangat bahagia. Sebab yang melamar adiknya adalah seorang yang oleh banyak orang diakui keshalehannya, juga orang yang pendidikannya baik, S1 di Madinah dan S2 nya di Aligarh Muslim University, India. Tapi bagaimana perasaan Husna. Ia tidak mau memaksakan apa pun kepada adiknya.
Adiknya itu sudah dewasa, sudah bisa berpikir cerdas.
Sementara Husna yang sedang menggoreng Bakwan di belakang bagai disengat kalajengking karena kaget mendengar dirinya dilamar Muhammad Ilyas. Lia juga kaget. Dua orang kakak beradik itu saling berpandangan. Bu Nafis sedang memetik daun salam di belakang rumah.
“Wow, selamat ya Mbak, dilamar seorang Ustadz. Mantap!” Lia tersenyum pada kakaknya, menggoda sambil mengacungkan jempolnya.
”Sst! Jangan menggoda ya. Kujitak nanti kepalamu!” “Ayo kak Azzam langsung terima saja kak Azzam! Kak Husna sedang melayang-layang bahagia!” Kata Lia setengah berbisik menggoda Husna. Husna menjitak kepala adiknya dengan gemas dan sayang.
”Sst! Jangan ribut tho! Dengarkan apa yang akan dikatakan Kak Azzam.” Kata Husna pelan pada Lia. Lia diam.
”Akh, ini sungguh suatu kehormatan bagi saya pribadi. Dan bagi keluarga kami. Benar saya walinya tapi saya tentu tidak bisa memutuskan kecuali setelah mendengar pendapat Husna. Begini saja akhi, tiga hari lagi datanglah kemari. Insya Allah sudah ada jawaban.
Jawabannya iya atau tidak itu tergantung Husna. Dan semoga apapun jawabannya nanti baik bagi kita semua. Ayo silakan diminum!.
Di belakang Husna mengatakan pada Lia, “Lha seperti itu jawaban kakak yang bijak..
”Awas Mbak bakwanmu gosong!” Kata Lia menahan jeritan.
”Wah iya, inna lillahi.
”Makanya Mbak jangan mikirin ustadz itu.. ”Ih kamu ini menggoda kakaknya terus..
”Lha mau menggoda siapa kalau tidak menggoda kakaknya. Lha adanya cuma kakaknya..
”Alhamdulillah, bakwannya sudah selesai digoreng. Ini yang gosong dipisahkan saja! Oh ya Dik, tolong bakwannya dikeluarkan!.
”Tidak ah! Mbak saja ah, kan Mbak yang dilamar. Sekalian melihat bagaimana muka orang yang melamar Mbak!.
”Mbak malu Dik! Ayolah!.
”Tak mau, sorry ya Mbak!
“Dik!.
”Sorry!.
”Dik, awas kamu!.
”Sorry silakan dikeluarkan, Lia mau ke belakang lihat Bue ke mana tho kok tidak datang-datang.” Kata Lia sambil ngacir ke belakang.
”Awas!.
Terpaksa Husna yang harus mengeluarkan. Ia keluar membawa bakwan dengan jantung berdegup kencang. Tapi ia dengan cepat bisa menguasai dirinya. Husna berjalan tenang memasuki ruang tamu. Ia memegang nampan yang berisi sepiring bakwan yang masih panas. Dari jarak lima meter, ia mencoba melihat orang yang melamarnya.
Ia memandang wajah Ilyas, saat itu Ilyas sedang menundukkan pandangannya. Husna meletakkan bakwan di hadapan Azzam.
”Dik Husna, ini Ustadz Muhammad Ilyas. Dia ini ternyata pembaca cerpen-cerpenmu Dik.” Kata Azzam memperkenalkan tamunya. Mau tidak mau Husna harus berdiri sesaat.
”Iya benar. Saya kagum sama tulisan-tulisan Mbak Husna.” Sahut Ilyas memandang ke wajah Husna. Saat itu Husna memandang ke arah Ilyas.
”Oh ya. Terima kasih atas apresiasinya. Silakan dicicipi bakwannya.” Ujar Husna lalu melangkah ke dalam. Sampai di dapur, Si Lia kembali usil.
“Wah ustadz itu keren juga Mbak ya berani vulgar begitu?” “Vulgar bagaimana?.
”Lha tadi aku dengar dia mengatakan pada kakak, ’Saya kagum sama Mbak Husna!’.
”Telingamu itu perlu dicukil upilnya. Dia bilang, ’Saya kagum sama karya-karya Mbak Husna!’ Ada kata-kata, ’karyakarya’. Ngawur kamu!”
“Masak begitu Mbak?” “Iya!.
”Lia tidak percaya, kita tanya langsung sama orang itu. Benar tidak kata Lia. Orang itu kagum sama Mbak Husna, baru kagum sama karya-karya Mbak Husna! Kalau tidak Percaya ayo kita keluar tanya langsung ke dia!”
“Tanya dengkulmu itu!” Kata Husna sewot.
Lia lalu cekikian dengan ditahan-tahan. Ia bahagia bisa mengerjai kakaknya.
”Bue mana?”
“Nggak tahu tidak ada di belakang. Mungkin ke warung Bu War..
Di ruang tamu Ilyas minta diri pada Azzam. Sekali lagi Azzam menjanjikan jawabannya tiga hari lagi. Begitu suara sepeda motor Ilyas menghilang, Azzam langsung menemui Husna di dapur. Bu Nafis tepat baru masuk dari pintu belakang.
”Kayaknya ada tamu ya? Siapa tadi?” Tanya Bu Nafis.
“Bue sih, tadi itu tamu penting. Bue malah pergi, Lia caricari di belakang tidak ada. Katanya mau metik daun salam saja, malah ke mana-mana.” Seloroh Lia pada ibunya.
“Bue minta maaf, tadi Bue ke tempat Bu War. Di sana malah ketemu Bu Mahbub. Katanya Bu Mahbub punya keponakan di Kudus. Keponakannya itu baru saja tamat dari Fakultas Kedokteran UNDIP. Sekarang tugas di Puskesmas Sayung Demak.
Katanya orangnya cantik. Bu Mahbub menawarkan kalau mau Bue sama Azzam mau dikenalkan. Siapa tahu cocok untuk Azzam. Begitu.” Jelas Bu Nafis dengan mata berbinar-binar bahagia.
”Wah hari ini rumah ini kok seperti kejatuhan dua durian runtuh dari langit. Kenapa tidak sekalian tiga saja. Hari ini Mbak Husna dilamar seorang Ustadz lulusan luar negeri. Terus Kak Azzam dapat tawaran dokter. Lha Mbok saya sekalian saja dilamar siapa gitu.” Sahut Lia.
”Benar Zam? Kata Lia, Husna dilamar seorang Ustadz? Tadi itu Ustadz tho?” Tanya Bu Nafis.
”Iya benar Bu..
”Terus jawabannya apa? Langsung diterima?.
”Ya tidak lah Bu. Kita kan punya seorang Ibu. Husna juga bukan benda mati tapi dia manusia. Kan juga harus tahu pendapatnya Husna bagaimana. Ya pada intinya terserah Husna dan ibu. Azzam tinggal nanti menyampaikan saja. Tiga hari lagi dia akan datang,.
”Bagaimana Nduk Husna. kamu sudah kenal dan tahu orangnya?”
“Sudah.”
“Sudah ada jawaban untuk memutuskan?.
”Belum. Biarlah Husna istikharah dulu. Nanti Husna jawab setelah istikharah..
”Ya memang harus begitu. Kata ayahmu dulu, pokoknya sebelum memutuskan apa saja istikharahlah dulu..
”Kalau Kak Azzam bagaimana?” Cecar Lia,
“Tertarik tidak untuk melihat keponakan Bu Mahbub yang dokter itu?.
”Boleh juga. Selama shalihah, insya Allah, kakak tertarik..
”Kalau begitu, kapan kita ke Sayung atau ke Kudus?” Tanya Lia.
”Nanti Bue rembug sama Bu Mahbub enaknya kapan. Nanti sekalian menjenguk Si Sarah. Kasihan dia sudah hampir setengah tahun anak itu tidak dijenguk..
”Husna sudah ngebel ke Kudus, Sarah sehat-sehat kok Bu. Ya Bue memang hampir setengah tahun tidak menengok. Tapi Husna sama Lia kan tiap bulan gantian nengok ke sana.” Kata Husna menenangkan ibunya yang selalu sedih setiap kali teringat Si Kecil Sarah.
“Semakin cepat semakin baik. Kak Azzam juga belum berternu Sarah sejak pulang. Kalau misalnya nanti sama- sama iyanya dan sama lancarnya menikah bareng juga ndak apaapa. Malah efisien di biaya, waktu dan tenaga..
“Memberitahu keponakan yang di Kudus itu juga disampaikan apa adanya, Azzam itu pekerjaannya ya jualan bakso.” Bu Nafis merendah.
”Bu Nafis, justru saya lebih bangga pada anak muda yang mau berwirausaha seperti Azzam. Tidak menggantungkan hidup pada negara. Sekarang Azzam lumayan sukses bisa beli mobil sendiri.” Tukas Pak Mahbub.
”Walah cuma mobil bekas Pak.” Sahut Bu Nafis.
”Itu menurutku lebih baik daripada dapat Fortuner baru tapi dari uang orang tua. Siapa saja kalau cuma menerima pemberian bisa.
Tapi kalau usaha sendiri tidak semua bisa. Dan ini Bu, jika seluruh generasi muda bangsa ini punya mental dan pola pikir seperti Azzam, insya Allah bangsa ini akan maju. Tak ada pengangguran.
Kenapa? Karena setiap orang akan menciptakan lapangan kerja bagi dirinya dan bahkan bagi orang lain. Kalau boleh tanya sekarang berapa karyawan Azzam Bu?.
”Tujuh orang. Karyawan bakso cinta lima dan karyawan foto copy dua..
”Lihat dengan wirausaha Azzam sudah membuka lapangan kerja buat tujuh orang. Kalau ia jadi pegawai negeri, itu tak akan terjadi..
”Alhamdulillah Pak, berkah doa Pak Mahbub usaha Azzam semakin baik dari hari ke hari..
”Alhamdulillah, tapi tolong sampaikan pada Azzam agar bersiap- siap menghadapi cuaca buruk. Cuaca tidak selamanya baik dan tenang. Ada kalanya langit yang cerah tiba-tiba berawan lalu mendung, bahkan bisa juga berbadai. Demikian juga dalam bisnis..
”Baik Pak terima kasih atas waktunya. Kami pamit ya..
”Iya Bu. Hari Ahad ya, Insya Allah?” Kata Bu Mahbub
“Iya insya Allah. Oh ya kita berangkat dari sini jam berapa?.
”Pagi-pagi sekali saja jam setengah tujuh, biar lebih enak jalannya..
”Sepakat.” Kata Bu Nafis
Ahad pagi Azzam dan keluarganya disertai Pak Mahbub dan isterinya berangkat ke Kudus. Mereka berangkat dari Kartasura pukul tujuh pagi. Molor setengah jam dari yang direncanakan.
Yang mengendarai mobil Azzam. Pak Mahbub duduk di samping Azzam.
Bu Nafis dan Bu Mahbub duduk di bangku tengah. Dan di bangku belakang adalah Husna dan Lia.
Malam sebelum berangkat Bu Nafis membuat kue donat cukup banyak. Tujuannya selain untuk oleh-oleh buat Si Sarah, juga buat keluarga Vivi. Selain kue donat Bu Nafis dan Lia juga membuat Arem-arem dan Lontong Opor untuk bekal di jalan.
Langit Kartasura terang benderang saat mereka berangkat. Tak ada awan maupun mendung. Medekati Boyolali mendung seolah mengintai mereka. Dan sampai di Ampel hujan deras mengiringi mereka. Sampai Salatiga hujan mulai reda tinggal gerimisnya saja. Sampai di Bawen hanya mendung yang menemani. Semakin lama panas menyengat.
Pukul sepuluh mereka sampai di Demak. Sisa sisa hujan tampak di sepanjang jalan. Air sungai di kiri jalan berwarna cokelat pekat.
Airnya penuh hampir meluap ke jalan. Mobil melaju di belakang bus Nusantara. Azzzm mengemudi dengan tenang.
Jam terbangnya membuatnya memiliki insting yang bagus di jalan. Begitu ia menemukan ruang dan kesempatan, maka bus didepannya pun ia salip dengan penuh kemenangan.
Rombongan itu memasuki gerbang kota Kudus pukul sebelas kurang lima belas menit. Azzam kurang begitu tahu jalannya. Pak Mahbub menunjukkan ke kiri atau ke kanan.
”Setelah melewati Matahari di depan itu kiri Zam.” Kata Pak Mahbub memantau.
Azzam mengikuti petunjuk Pak Mahbub.
”Depan itu kanan! Itulah jalan Kiai Telingsing. Lurus saja terus hingga akhirnya kita sampai di Masjid Menara Kudus yang terkenal.” Pandu Pak Mahbub.
Azzam melewati jalan Kiai Telingsing dan mengikuti panduan yang diberikan oleh Pak Mahbub. Tak lama kemudian sampailah mereka di depan Masjid Al Aqsha nama lain dari masjid Menara Kudus.
Azzam parkir tak jauh dari masjid. Aura Kudus sebagai kota santri sangat terasa. Di jalan dan di gang banyak santri putra berpeci yang hilir mudik, dan banyak santri putri berjalan dengan jilbabnya yang bersih menawan.
”Rumah Vivi tak jauh dari Menara. Kita jalan saja dari sini. Sebab rumahnya melewati gang yang berkelok-kelok. Rumahnya ada di Langgardalem.” Jelas Bu Mahbub.
Azzam membawa kardus berisi donat yang telah disiapkan ibunya. Ia berjalan di samping Pak Mahbub. Mereka berjalan terus ke utara.
Melewati toko buku Mubarakatun Thayyibah. Lalu ada gang kecil mereka masuk ke kanan. Gang itu berkelok-kelok. Di sebuah rumah khas Kudus dengan ukirannya yang khas mereka berhenti. Pak Mahbub melepas sepatunya dan naik. Rumah itu pintunya terbuka namun lengang. Pak Mahbub mengucapkan salam. Tak lama kemudian seorang gadis berjilbab merah marun keluar. Gadis itu langsung tersenyum begitu tahu siapa yang datang.
”Subhanallah, Pak Lik sama Bu Lik tho, ayo monggo monggo” Seru gadis itu.
”Vi, bapak ibumu ada di rumah?” Tanya Pak Mahbub.
”Saya sendirian ini Pak Lik. Bapak sama ibu baru lima belas menit yang lalu keluar. Katanya ada kumpulan pengajian jamaah haji di Jamiatul Hujjaj Kudus, JHK itu lho Lik. Monggo Pak Lik, monggo semuanya, masuk!.
Pak Mahbub dan Bu Mahbub mendahului masuk. Barulah Bu Nafis dan Husna. Ketika naik Azzam menyerahkan kardusnya pada Lia.
”Vivi kenalkan ini keluarga Bu Nafis. Mereka tetangga Pak Lik di Kartasura. Ini Bu Nafis, itu Husna, itu Lia, dan ini Mas Azzam.
Kebetulan mereka mau menjenguk Si Sarah, putri bungsu Bu Nafis di Pesantren Krandon situ. Lha kok kebetulan. Ya akhirnya kami bareng..
”O begitu. Mbak Husna ini masih kuliah?” Tanya Vivi menghadapkan wajahnya ke Husna. Kata-katanya terdengar renyah. Wajahnya menyiratkan orangnya periang.
”Alhamdulillah, sudah selesai Mbak..
”Sudah kerja?.
”Alhamdulillah.”
“Di mana?.
”Di radio JPMI Solo..
”Sebentar saya kenal dengan seseorang di Solo, lewat karya- karyanya. Apa Mbak kenal ya, namanya Ayatul Husna?” Tanya Vivi.
Husna tersenyum. Bu Mahbub langsung menepuk paha Vivi seraya berkata,
“Vivi ini gimana lha ini orangnya. Inilah Ayatul Husna!.
”Benarkah?.
”Ya benarlah!.
’Ini Ayatul Husna yang menulis ’Menari Bersama Ombak’ itu?” Tanya Vivi dengan mata mau membesar memandang Husna.
”Iya benar Mbak Vivi, saya Ayatul Husna.” Lirih Husna.
”Laa ilaaha illallah, subhanallah. Mimpi apa saya sampai ketemu orang yang saya kagumi?” Lia berkomentar,
“Benar kata orang-orang, dunia memang sempit!.
”Mbak Husna sebentar ya saya mau ambil buku minta tanda tangan!” Vivi bangkit dan masuk ke sebuah kamar. Lalu keluar lagi membawa sebuah buku. Judulnya ’Menari Bersama Ombak’.
”Ini Mbak minta tanda tangannya.” Husna mengambil buku itu dan menandatanganinya.
“Mau tanda tangan ibu saya tidak?” Tanya Husna.
“Mau, satu keluarga semuanya deh ikut tanda tangan.” Kata Vivi.
”Tapi kalau yang itu mahal lho.” Sahut Husna sambil menunjuk ke arah Azzam.
”Kenapa memangnya?” Tanya Vivi.
“Dia tanda tangannya berbau Mesir. Karena dia lulusan Mesir. Jadi mahal.” Jawab Husna.
“O begitu..
”Nama lengkap Mbak Vivi siapa?” Tanya Husna.
“Alviana Rahmana Putri Zuhri. Biasa dipanggil Vivi. Ada juga dulu teman memanggil Alvi. Zuhri nama ayah saya. Dan nama ibu saya Fadilah.”
“Mbak Vivi masih kuliah?”
“Sudah selesai.”
“Sudah kerja?.
”Sudah..
”Di mana?.
”Di Puskesmas Sayung Demak..
”Sudah menikah?.
”Belum..
”Kenapa?.
”Belum laku. Belum ada yang mau melamar.” Jawab Vivi dengan nada bercanda.
“Kalau dilamar mau?”
“Asal orangnya ganteng ya saya mau.” Jawab Vivi santai.
”Kalau Mas saya itu masuk kriteria tidak?.
”Wah jawabannya perlu istikharah tiga hari dulu.” Tak ada rasa canggung dari nada bicara Vivi.
”Tunggu sebentar ya saya membuat minum dulu ya.” Ujar Vivi seraya beranjak ke belakang.
”Tak usah repot-repot Nduk.” Kata Pak Mahbub. “Alah cuma air kok Pak Lik..
Vivi masuk ke belakang diikuti oleh Bu Mahbub. Di belakang Bu Mahbub berbicara berdua dengan Vivi. Menjelaskan maksud kedatangannya. Vivi terperanjat kaget namun segera menguasai diri.
”Untuk sekilas Vivi cocok Bu Lik. Tergantung dianya mau apa tidak.
Kalau bapak sama ibu gampang. Sudah menyerahkan masalah ini sepenuhnya padaku..
Bu Mahbub tersenyum mendengarnya. Vivi jadi agak salah tingkah karena penjelasan Bu Liknya. Dalam hati Vivi berkata,
“Bodoh sekali kalau ada gadis menolak pemuda seperti dia. Tampak berkarakter dan lulusan Mesir lagi. Terus kakak dari penulis muda terkenal lagi. Kalau memang dia rezekiku ya tidak akan ke mana- mana..
Azzam memperhatikan gerak-gerik Vivi dengan baik. Orang seperti Vivi yang renyah dan banyak humor serta mudah bergaul dengan orang ia rasa akan awet muda. Orang yang ramah dan akrab pasti akan mudah dicintai, mudah bergaul dengan orang. Ia rasa dokter seperti itu, yang ramah dan akrab pasti akan disenangi banyak orang.
Cukup lama mereka disana tapi bapak dan ibu Vivi belum juga pulang.
Pak Mahbub memimpin rombongan minta diri. Ketika berdiri dari jongkok karena memakai sepatu, Azzam mencuri pandang kepada wajah Vivi. Pada saat yang sama Vivi sedang mengamati Azzam.
Mata dua orang itu bertemu. Azzam bergetar. Demikian juga Vivi.
Dari rumah Vivi mereka kembali ke Masjid Menara Kudus. Mereka shalat Zuhur sambil melepas lelah. Azzam melihat belasan santri yang menggelosot dan tiduran di serambi masjid sambil komat-kamit menghafal Al Qur’an. Nuansa Qur’annya benar-benar terasa.
Setelah shalat dan cukup istirahat rombongan naik mobil dan bergerak menuju Krandon. Tempat di mana Si Kecil Sarah menuntut ilmu. Begitu sampai di pesantren, seorang pengurus berjilbab biru muda menyambut dan memasukkan rombongan itu ke ruang khusus tamu. Husna meminta pada pengurus yang bertugas itu supaya dihadirkan adiknya yang bernama Sarah.
Tak lama kemudian seorang anak kecil berumur kira kira sembilan tahun dituntun oleh sang pengurus. Begitu melihat anak kecil itu Bu Nafis langsung menghambur memeluknya dengan mata berkaca- kaca,
“Sarah!” ’
“Bue!.
”Kau baik-baik saja Nak?”
“Iya. Bue kok tidak pernah menengok Sarah?. Bu Nafis menangis.
”Lha ini Bue nengok Sarah..
”Kalau Mbak Husna sama Mbak Lia nengok kenapa Bue tidak ikut?”
“Kan Mbak sudah bilang ke Sarah. Bue harus sering istirahat, kalau tidak sakit. Kartasura Kudus kan jauh Sarah.” Husna yang sudah ada di samping Sarah menjelaskan.
”Ayo Bue kenalkan dengan orang yang selalu kamu kangenin.” Kata Bu Nafis pelan sambil menuntun Sarah ke arah Azzam.
”Itu siapa? Kenal tidak?” Tanya Bu Nafis sambil menunjuk Azzam.
Azzam bangkit sambil tersenyum pada Sarah. Ia memandang adik bungsunya dengan pandangan sayang.
”Itu Kak Azzam kan Bu?.
”Iya. Kok kamu tahu?.
”Kan mirip yang difoto yang dikirim dari Mesir itu.. ”Iya. Sana cium tangan Kak Azzam..
Sarah melangkah ke arah Azzam. Gadis kecil itu mencium tangan kakaknya. Azzam tak bisa menahan diri untuk tidak memeluk dan mengangkat gadis kecil itu lalu menciuminya dengan linangan air mata. Dulu saat ia ke Mesir gadis kecil itu masih dalam kandungan ibunya. Dan kini gadis itu sudah sekitar sembilan tahun umurnya. Ia teringat anak-anak kecil di Mesir yang sehari-hari menghafal Al Qur’an.
”Sarah sudah hafal berapa juz?.
”Alhamdulillah lima juz Kak..
”Juz mana saja itu?.
”Juz 26, 27, 28, 29, dan 30..
”Sarah suka di pesantren?.
”Iya suka. Di sini teman Sarah banyak. Ada Inung, Dita, Nia, Putri, Wiwik, Anis, Bila, Lola, Ipah, Siwi, Imah dan banyak lagi. Mereka semua baik-baik. Tapi ada juga satu orang yang nakal dan suka mengganggu Sarah dan teman-teman. Namanya Iken. Wah dia nuakal sekali.
Sarah malah cerita tentang teman-temannya pada Azzam. Azzam sendiri sebenarnya tidak tega melihat anak sekecil itu harus dikarantina di pesantren Al Qur’an untuk anak-anak. Tapi demi menunaikan wasiat dan amanat dari almarhum ayahnya hal itu terpaksa tetap dilakukan.
”Makanan apa yang ingin Sarah makan saat ini?” Tanya Azzam pada adik bungsunya itu.
”Bakso buatan Kak Azzam. Kan kata Mbak Husna dan Mbak Lia, Kak Azzam pinter buat bakso.” Jawab Sarah polos yang membuat semua yang ada di ruang tamu pesantren itu tersenyum dibuatnya.
”Wah sayang Kak Azzam tidak bawa. Tapi di rumah setiap hari Kak Azzam buat bakso..
”Benarkah?.
”Iya benar..
”Berarti nanti kalau liburan Sarah bisa makan bakso setiap hari?.
”Iya..
”Wah asyik. Sarah boleh tidak kalau misalnya ajak temanteman Sarah yang baik-baik seperti Inung, Dita dan Nia ke rumah untuk makan bakso buatan Kak Azzam?.
”Boleh. Semua teman Sarah boleh datang dan makan bakso sekenyang-kenyangnya..
”Wah asyik..
”Eh Kak tahu nggak?.
”Apa?.
”Itu Mbak Izzah yang pakai jilbab biru itu. Yang tadi ngantar Sarah kemari orangnya baik sekali. Pokoknya baik sekali. Malam-malam kalau Sarah masuk angin, Mbak Izzah itu yang selalu mijetin Sarah dan membuatkan Sarah teh panas yang enak sekali. Sarah berharap dia juga jadi kakak Sarah. Boleh nggak Kak Mbak Izzah itu misalnya tinggal di rumah kita?.
Kata-kata Sarah membuat Azzam dan yang hadir di situ haru namun juga kaget. Kaget dengan permintaannya,
“Lho kan Mbak itu sudah punya rumah sendiri, masak tinggal sama kita?.
Kata Mbak Jannah, itu Mbak yang lain lagi, Mbak Izzah tidak punya rumah. Rumahnya ya pesantren ini, dulu rumahnya di panti asuhan.
Katanya tidak punya saudara kan kasihan. Kalau tinggal dirumah kitakan jadi punya Bue, punya Mbak Husna, Mbak Lia, Sarah dan Kak Azzam.” ]elas Sarah dengan suara khas kekanak-kanakan.
”Sudah Sarah jangan mikir itu dulu. Mbak Izzah kan sudah besar. Sudah bisa mikir dirinya sendiri. Kalau dia tinggal di rumah kita ya boleh boleh saja.Yang penting Sarah harus rajin sekolah dan menghafalkan Al Qur’an ya?.
”Iya Kak. Nanti Sarah akan cerita pada Mbak Izzah, kalau kakak Sarah yang di Mesir sudah pulang. Terus kakak Sarah itu membolehkan Mbak Izzah tinggal di rumah. Mbak Izzah itu kata Bu Nyai yang paling bagus hafalannya di sini. Suaranya paling indah.
Sarah suka banget sama dia.” Puji Sarah yang membuat Husna dan Lia iri. Adiknya itu lebih dekat dengan pengurus pesantren yang bernama Izzah daripada mereka.
0 komentar:
Posting Komentar