6 LAGU-LAGU CINTA
Jam setengah tiga. Purnama bulat sempurna. Bintangbintang bertaburan menghias angkasa. Malam itu Kota Cairo terasa sejahtera. Angin musim semi mengalir semilir. Pelan. Berhembus dari utara ke selatan. Menerobos sela -sela pintu dan jendela apartemen. Menebarkan kesejukan-kesejukan.
Dua ekor kucing bercengkerama. Sesekali mengeong. Sesekali menjerit-jerit, melengking lengking memba-hana. Keduanya kejar-kejaran dengan suara yang sangat gaduh bagi yang mendengarnya. Di taman sebuah apartmen di kawa san Mutsallats, dua ekor kucing itu menikmali indahnya mu sim semi. Diiringi tasbih daun daun yang dibelai angin musim semi, mereka saling merayu. Mereka mendendangkan lagu-lagu cinta. Ya. Lagu cinta yang sangat indah, yang hanya bisa dipahami oleh mereka berdua.
Tak begitu jauh dari situ, sebuah kedai kopi tampak ma sih ramai.Belasan orang terjaga menikmati musim semi dengan minum kopi, menghisap shisha, main kartu dan berbincang tentang apa saja. Ada yang sedang menikmati film india. Ada juga yang sedang berdiskusi dengan serius. Tema nya meloncat-loncat, ke mana-mana.
Musim semi memang indah. Paginya indah. Siangnya indah. Sorenya indah. Malamnya pun indah. Lebih lebih bagi mereka yang menikmatmya dengan penghayatan ibadah.
Namun demikian, ada juga orang-orang yang sama sekali tidak peduli dengan datangnya musim semi. Ada juga bahkan yang tidak pernah merasakan datangnya musim semi. Mereka bahkan nyaris tidak pernah merasakan adanya pergantian musim. Semua itu, lantaran kerasnya kehidupan yang harus mereka hadapi dan lalui. Lantaran mereka harus terus memeras otak dan menghadapi hidup dengan kucuran keringat dan bekerja tiada henti.
Di antara orang-orang yang nyaris tak pernah peduli datangnya musim semi itu adalah ‘Mas Insinyur’ Khairul Az zam, dan beberapa orang mahasiswa yang bekerja dengannya. Malam itu, di kamarnya yang berada di sebuah apartemen, tepat di samping taman di mana ada dua ekor kucing yang sedang mendendangkan lagu-lagu cinta, ia masih juga belum istirahat dari pekerjaannya. Sementara teman -temannya satu rumah sudah larut bermesraan dengan mimpi indah nya masing masing. Azzam masih sibuk berkutat dengan kacang kedelainya yang telah ia beri ragi. Dengan penuh kesabaran ia harus membungkusnya agar menjadi tempe. Sejak lamarannya pada Anna Althafunnisa telah didahului oleh sahabatnya sendiri, Azzam memutuskan untuk total bekerja. Sejak Ustadz Mujab menyarankan agar ia mengukur dirinya, ia memutuskan untuk total membaktikan diri pada ibu dan adik -adiknya di Indonesia. Ia niatkan itu semua sebagai ibadah dan rahmah yang tiada duanya. Ia juga meniatkannya sebagai tempaan dan pelajaran hidup yang harus ia tempuh di universitas besar kehi dupan. Ia yakin, semua itu tidak akan sia-sia. Bukankah Allah tak pernah menciptakan segala sesuah dengan kesia-siaan.
Ia tidak lagi memiliki mimpi yang melangit tentang calon isteri. Ia sudah bisa mengaca diri. Ia yakin jodoh -nya telah ada, telah disiapkan oleh Allah Swt. Maka ia tidak perlu kuatir. Jodoh adalah bagian dari rezeki. Rezeki seseorang sudah ada jatahnya. Dan jatah rezeki seseorang tidak akan diambil oleh orang lain. Begitulah yang tergores dalam pikirannya. Maka ia merasa tenang dan tenteram. Tetapi tempaan hidup, ilmu hidup harus diusahakan. Allah tidak akan menambah ilmu seseorang kecuali seseorang itu berusaha menambah ilmunya. Ia merasa bekerja serius adalah bagian dari upaya menam-bah ilmu dan bagian dari usaha mengubah nasib.
Sejak peristiwa itu ia merasa harus lebih serius mengha dapi hidup. Ia mulai membangun diri untuk berproses tidak hanya sukses secara bisnis, tapi juga sukses secara akademis. Ia mulai menata diri untuk menyelesaikan S.1 tahun ini juga. Setelah itu ia tetap akan belajar dan belajar tiada hentinya.
Wajahnya tampak lelah. Kedua matanya telah merah. Namun sepertinva ia tak mau menyerah. Dalam kondisi sangat letih, ia harus tetap bekerja. Ia tak mau kalah oleh keadaan. Ia tak mau semangatnya luntur begitu saja oleh rasa kantuk yang terus menderanya. Bila sudah begitu, ia selalu ingat perkataan Al Barudi yang selalu melecut jiwanya, Orang yang memiliki semangat. Ia akan mencintai semua yang dihadapinya.
Ia melihat jam yang tergantung di dinding kamarnya. Ia menghela nafas dalam-dalam. Sudah masuk ujung ma -lam, dua jam lagi pagi datang. Ia harus menyelesaikan pekerjaannya dengan segera. Ia harus punya waktu untuk istirahat, meski pun cuma satu jam memejam mata.
Ia lalu berdiri dan menggerak-gerakkan tubuhnya untuk menghilangkan rasa linu dan pegal yang begitu terasa. Dua menit ia melakukan gerakan senam ringan. Lalu kembali jongkok. Dan kembali membungkus kedelai calon tempe dengan penuh ketelitian dan kesabaran.
Tepat pukul tiga kurang lima menit ia berdiri dan bernafas lega. Pekerjaannya telah usai. Masih ada sedikit wak tu untuk istirahat sebelum Subuh tiba. Alat-alat kerjanya ia rapikan. Ia letakkan pada tempatnya. Segera ia membersihkan tangannya dan mengambil air wudhu. Sebelum merebahkan badannya di atas tempat tidur, terlebih dahulu ia sempatkan dirinya untuk shalat tahajud dua rakaat lalu shalat Witir. Ia membaca tasbih sambil mengatur jam bekernya. Lalu perlahan tidur.
Baru saja matanya terpejam, ia mendengar namanya dipanggil-panggil pelan. Pintu kamamya juga diketuk, pelan.
"Kang Azzam... Kang Azzam!"
Dengan perasaan sangat berat, kepala sedikit pusing, ia bangkit.
"Siapa? " tanyanya. "Hafez Kang."
Azzam turun dari tempat tidurnya dan beranjak membuka pintu kamarnya. Di depan pintu kamarnya berdiri seorang pemuda berkaca mata.
"Ada apa Fez?" tanya Azzam.
"Maaf Kang, saya tidak kuat lagi. Saya tidak bisa tidur Kang. Saya tidak tahu harus bagaimana? Saya perlu orang yang saya ajak bicara. Saya mau minta pertimbangan Kang Azzam. Saya tidak kuat lagi Kang." Jelas Hafez dengan suara serak.
"Masih tentang perasaanmu pada Cut Mala?" "Iya Kang."
"Aku tahu kau pasti berat menanggung perasaan itu Fez. Tapi afwan 11 11 Maaf, aku belum tidur. Aku harus istirahat. Bila tidak aku bisa ambruk. Nanti saja kita bicarakan Setelah shalat Subuh ya. Kau baca Al-Quran saja sana untuk menenangkan jiwa sambil menunggu Subuh. Nanti kalau sudah Subuh aku dan teman -teman dibangunkan. Gitu ya?"
"Tidak bisa sekarang Kang?"
"Aku tidak kuat Fez. Aku baru saja selesai membungkusi tempe. Aku sangat lelah. Aku butuh istirahat." "Baiklah Kang. Setelah shalat Subuh."
Pemuda berkaca mata itu beranjak ke kamamya. Azzam menutup kamarnya. Tanpa dikunci. Ia merebahkan badannya. Ia tahu Hafez menghadapi masalah serius. Tapi ia perlu istirahat. Dan membicarakannya setelah Subuh ia rasa tidak terlambat. Subuh sudah sangat dekat. Ia kembali berdoa, memejamkan mata dan tidur. Lelap.
Sementara Hafez keluar dari kamamya dengan membawa mushaf. Ia mengikuti saran Azzam. Di ruang tamu ia memba ca Al-Quran dengan suara pelan. Ia sama sekali tidak bisa berkonsentrasi menghayati dan mentadabburi apa yang diba canya. Pikirannya tetap saja tertuju pada Cut Mala. Ia sendiri tidak tahu kenapa satu bulan ini hati dan pikirannya tidak bisa lepas dari Cut Mala. Mahasiswi Al Azhar dari Aceh yang tak lain adalah adik kandung teman yang paling akrab dengannya, yaitu Fadhil. Ia tidak menyadari bahwa perasaan cintanya pada gadis Aceh itu tumbuh dengan begitu lembut dan perlahan. Dan sekarang perasaan itu sudah sedemikian membun cah. Berbunga -bunga. Bahkan nyaris tak bisa dikuasainya.
Sedemikian membuncahnya perasaan itu, hingga ia tak bisa berbuat apa-apa. Padahal saat itu, ia harus konsentrasi memikirkan ujian Al Azhar yang tinggal satu bulan lagi. Yang ada dalam pikiran dan hatinya selalu saja Cut Mala. Wajah Cut Mala. Suara Cut Mala. Langkah kaki Cut Mala. Budi bahasa Cut Mala. Gaya bahasa Cut Mala. Tingkah laku dan perangainya yang halus, sopan, dan sangat menjaga diri. Prestasi prestasinya yang selalu terukir dengan gemilang. Bahkan pendapat-pendapatnya yang tertuang dalam pelbagai buletin kemahasiswaan di Cairo.
Itu semua telah membuat hati Hafez begitu kagum pada nya. Ah, tak hanya kagum, tapi ada sesuatu yang aneh mendera-dera hatinya, entah apa namanya. Ia merasa, di dunia ini tak ada gadis yang ia anggap sempurna untuk menjadi pendam ping hidupnya, menjadi ibu dari anak -anaknya, selain gadis dari Tanah Rencong itu.
Sehap kali ia mendengar nama itu disebut, hatinya selalu bergetar. Berdesir-desir. Disebut oleh siapa saja. Termasuk ketika ia mendengar nama itu disebut oleh Fadhil kakak kandung Cut Mala sendiri.
Dan setiap kali ia membaca nama gadis kelahiran Ulee Kareng Banda Aceh itu tertulis di buletin, buletin apa saja . rasa cintanya bertambah -tambah.
Ia merasa sudah nyaris gila. Ia sadar perasaan seperti itu tidak boleh menjajah dirinya. Tapi entah kenapa ia merasa sangat tidak berdaya. Ia membaca Al-Quran dengan perlahan dan ia kembali tidak berdaya. Cut Mala hinggap lagi di kelopak matanya.
Sudah sekuat tenaga ia mengusir kelebatan bayangan Cut Mala, tapi tak kuasa. Semakin ia coba mengusirnya, justru semakin jelas bayangan Cut Mala bersemayam di benaknya. Ia benarbenar tak berdaya.
Dalam ketidak berdayaan, kehadiran bayangan Cut Mala, malah ia rasakan sebagai sebuah kegilaan dan kenikrnatan, kenikmatan dan kegilaan. Bagaimana tidak. Saat ia berusaha mentadabburi apa yang ia baca, saat itu justru muncul ba yangan yang tidak -tidak di benaknya: "Seandainya ia telah menikah dengam Cut Mala, lalu di penghujung malam seperti itu ia membaca Al-Quran bareng Cut Mala. Bergantian. Terkadang ia yang membaca, Cut Mala yang mendengarkan. Atau Cut Mala yang membaca, ia yang menyimak dengan seksama. Alangkah indahnya. Alangkah indahnya.”
Ia memejamkan mata. Setetes airmata jatuh ke mushaf yang ia baca.
Ia sesenggukan. Menangis dengan perasaan cinta, sedih, rindu dan merasa berdosa bercampur jadi satu.
"Ya Allah, ampuni dosa hamba -Mu ini. Ya Allah, jika yang kurasakan ini adalah sebuah dosa maka ampunilah dosa hamba-Mu yang lemah ini."
Dalam doa dan istighfarnya, ia sangat berharap bahwa Allah Swt. mengasihi orang-orang yang sedang jatuh cinta seperti dirinya.
Di ufuk timur, langit menyemburatkan warna merah. Fajar perlahan menyingsing. Sebuah menara mengumandangkan azan. Disusul menara kedua.
Beberapa detik kemudian azan berkumandang dari beribu menara yang menjulang di Kota Cairo. Azan dari menara Masjid Ar Rahmah membangunkan Cut Mala yang tinggal di kawasan Masakin Utsman. Tepatnya Masakin Utsman 72/ 605, tak jauh dari Masjid Ar Rahmah yakni masjid yang oleh orang-orang Indonesia disebut "Masjid Planet".
Disebut "Masjid Planet" karena bentuknya yang tidak seperti masjid pada umumnya, tapi mirip bangunan dari planet lain.Ada juga yang menyebut "Masjid UFO", karena bentuk nya agak mirip UFO.
Gadis Aceh itu membangunkan teman-temannya. Ketika ia masuk kamar Tiara, ia mendapati kakak kelasnya itu masih bersimpuh di atas sajadahnya dengan terisak-isak. Ia tidak ingin mengganggunya.
Cut Mala atau lengkapnya Cut Malahayati, tinggal di dalam flat yang cukup luas itu dengan empat orang maha siswi. Flat itu memiliki tiga kamar tidur berukuran cukup luas. Satu dapur. Satu kamar mandi. Balkon. Dan ruang tamu yang juga luas. Flat itu tergolong mewah. Semua lantainya full karpet. Di ruang tamu ada seperangkat sofa yang diimpor dari Italia. Dapur full keramik. Dan kamar mandi yang tak kalah dengan hotel bintang tiga. Flat itu juga dilengkapi telpon, pemanas air, kulkas, kompor gas bahkan pengatur suhu udara diruang tamu.
Cut Mala dan teman-temannya bisa dikatakan beruntung. Sebab untuk flat yang semewah itu mereka hanya membayar tiga ratus pound perbulan. Untuk ke kuliah pun seringkali ia memilih jalan kaki. Sebab flatnya dengan kuliah banat tidaklah jauh .
Pemilik flat itu bernama Madam Zubaida. Seorang pengusaha yang kaya. Ia memiliki perusahaan travel dan beberapa toko sepatu di Cairo dan Alexandria. Madam Zubaida sangat pemurah dan baik hati. Ia memiliki tiga orang anak. Satu putri, dua putra. Dua anaknya berada di luar negeri. Yang putri bemama Yasmin, sedang kuliah di Prancis, dan telah menikah dengan seorang staf Kedutaan Mesir di Paris. Anaknya yang nomor dua, kuliah di Istanbul. Hanya si Bungsu yang menemaninya. Masih kuliah di Fakultas Kedokteran Cairo University. Setahu Cut Mala, Madam Zubaida memiliki tiga rumah di Cairo. Satu di kawasan Mohandisin yang ia tempati bersama putra bungsunya. Yang kedua di kawasan Ma'adi, dan yang ketiga di Masakin Utsman Nasr City yang disewakan kepada mahasiswi dari Indonesia.
Tujuan Madam Zubaida menyewakan flatnya di Masakin Utsman memang tidak semata mata untuk mendapatkan uang, tapi agar flatnya ada yang menjaga, merawat dan mengurus nya. Maka ia hanya percaya pada para maha -siswi. Khususnya mahasiswi Indonesia. Kebetulan Madam Zubaida pernah memiliki seorang pembantu perem -puan dari Indonesia. Madam Zubaida sangat terkesan dengan kehalusan budi dan ketelatenan pembantunya itu dalam mengurus rumahnya. Maka sejak itu ia sangat percaya pada perempuan dari Indonesia. Perempuan Indonesia memang luar biasa di mata Madam Zubaida.
Setiap bulan Madam Zubaida datang mengontrol keadaan flatnya pada hari yang tidak ia tentukan. Dan ia selalu puas, karena para mahasiswi dari Indonesia yang meninggali flatnya benar-benar menjaga dan merawat flatnya dengan baik. Cut Mala dan teman temannya bahkan selalu menjaga seluruh ruangan flat itu dengan pengharum ruangan, agar selalu segar dan wangi udaranya.
Bisa dikatakan, seluruh penghuni rumah itu adalah maha siswi yang bernaung dalam Keluarga Mahasiswa Aceh. Cut Mala dari Pidie dan Tiara dari Banda Aceh. Keduanya benar benar asli Aceh, maksudnya kedua orangtua mereka memang asli Aceh. Selain mereka berdua ada Cut Rika dan Masyithah. Keduanya tidak berdarah Aceh murni, namun tidak ada bedanya dengan yang berdarah Aceh.Cut Rika, lahir di Peukan Bada, Aceh Besar, tapi ia besar dan menghabiskan masa rema janya di rumah neneknya di Bandung. Ayahnya asli Peukan Bada, ibunya asli Bandung. Dan terakhir adalah Masyithah, gadis paling cantik di rumah itu. Bahkan, mungkin mahasiswi Indonesia paling cantik di Cairo. Hanya saja tidak banyak yang tahu seperti apa sesungguhnya kecantikannya. Sebab, dalam keseharian ia selalu memakai cadar.
Masyithah lahir di Aceh, ayahnya asli Syiria, ibunya asli Pakistan. Jadi sama sekali tidak ada darah Aceh yang mengalir dalam dirinya. Tapi sejak pertama kali melihat dunia ia telah jadi orang Aceh.
Masyithah lahir di Banda Aceh saat ayahnya mendapat tugas dari Rabithal 'Alam Islami untuk mengajar di IAIN Ar Raniry. Saat melahirkannya, ibunya meninggal dunia Ayahnya tetap teguh untuk menyelesaikan tugasnya berdahwah dan mengajar di Aceh.
Ia dirawat oleh seorang gadis dokter yang membantu kelahirannya. Entah bagaimana awalnya, akhimya dokter asli Aceh yang merawatnya itu berhasil disunting ayahnya. Dialah ibunya, yang ia kenal sekarang. Meskipun sesungguhnya ia ibu tiri, tapi ia tak pernah merasa menjadi anak tiri. Sejak itu ayahnya pindah kewarga -negaraan menjadi orang Indonesia. Sekarang ayahnya bekerja di Kedutaan Besar Syiria di Jakarta. Sementara ibunya bekerja di RSCM Jakarta. Masyithah sudah bisa berbahasa Arab sejak kecil. Maka wajar jika ia paling fasih berbahasa Arab di rumah itu. Selain bahasa Arab, ia juga fasih berbahasa Indonesia dan Aceh .
Cut Mala dan teman -temannya menjalankan shalat Subuh berjamaah. Mereka menggelar sajadah di ruang tamu. Yang menjadi imam pagi itu Cut Rika. Mahasiswi tingkat tiga ju rusan tafsir itu membaca surat An Nisa'. Bacaannya tartil dan fasih. Suaranya indah. Semuanya larut dalam penghayatan kalam ilahi. Usai shalat mereka zikir, mengingat Allah Swt., lalu membaca Al Ma' tsurat. 12 12 Kumpulan dzikir dan doa dari Rasulullah Saw. Yang dibaca pada pagi dan sore hari Setelah itu mereka kembali ke kamarnya masing-masing untuk tilawah.
Cut Mala mengikuti Masyithah masuk kamar. Mereka berdua memang tinggal dalam kamar yang sama. Keduanya lalu larut dalam tadarus Al-Quran. Cut Mala terus membaca. Sementara Masyithah menyudahi baca -annya. Ia menyalakan komputernya. Tiara mendekati Cut Mala. Cut Mala menyu dahi bacaannya.
"Mau aku ajak jalan jalan Dik Mala? " Lirih Tiara. "Mau Kak."
"Yuk kita keluar. Kita ke Hadiqah Dauliyah. Sekalian menghirup udara pagi. Aku ingin sedikit bicara denganmu."
"Ayuk."
Cut Mala melepas mukenanya. Memakai jubah hijau tua nya dan memakai jilbab hijau mudanya. Setelah yakin dengan penampilannya ia melangkah keluar kamar mengikuti Tiara. Masyithah yang mengetahui ke mana me-reka akan pergi berteriak,
''Jangan lupa nanti mampir beli roti." "Insya Allah. " Jawab Cut Mala.
Usai shalat Subuh, Azzam tetap di masjid, demikian juga Hafez. Azzam membaca dua halaman mushafnya lalu mendekab Hafez yang duduk terpekur tak jauh darinya. Beberapa orang Mesir duduk melingkar untuk membaca Al-Quran bergantian. Biasanya Azzam menyempatkan ikut, tapi kali ini ia sudah berjanji pada Hafez .
"Sebaiknya kita berbincang-bincang di luar sana sambil berjalan-jalan dan menghirup udara pagi" kata Azzam pada Hafez.
Hafez mengangguk. Keduanya keluar meninggalkan masjid dan berjalan menelusuri trotoar ke arah Mahatta Gami'.
"Kau bilang kau akan konsentrasi pada studimu Fez. Apa kau lupa dengan itu?" Kata Azzam seraya menghentikan langkahnya. Hafez juga menghentikan langkahnya.
"Aku inginnya begitu Kang. Tapi entah kenapa aku sama sekali tidak bisa melupakan dia. Aku tidak bisa berhenti memikirkannya. Aku bingung aku harus bagaimana. Saat shalat, aku membayangkan jika shalat bersamanya. Saat membaca AlQuran aku membayangkan jika aku membaca Al-Quran bergantian dengannya. Saat berdoa pun aku juga mengingat dirinya. Aku harus bagaimana Kang?"
"Ini penyakit, kau harus sadar itu Fez!"
"Aku sadar Kang, sangat sadar. Aku tak boleh memba yangkan wajahnya. Itu tidak boleh. Itu haram.Tapi bayangan wajahnya datang begitu saja Kang. Aku bisa gila Kang. Aku rasa satu -satunya jalan aku harus berterus terang pada Fadhil, bahwa aku mencintai adiknya dan aku langsung akan mela marnya dan menikahinya secepatnya"
Azzam tersenyum.
"Itu pikiran yang bagus. Menikah. Tapi masalahnya apa kamu yakin adik si Fadhil. Siapa itu namanya Cut Nala?"
"Bukan Nala Kang, Mala."
"O ya Cut Mala. Apa kamu yakin dia siap untuk menikah. Dia baru tingkat dua. Sedang asyik -asyiknya merasakan dinamika hidupnya sebagai seorang maha -siswi. Bahkan seorang aktivis. Terus kalau dia siap menikah apa kamu yakin dia mau menikah denganmu? "
"Lalu aku harus bagaimana Kang?"
"Kau harus melupakannya. Jika dia jodohmu, percayalah, dia tidak akan ke mana-mana. Dia tidak akan diambil siapapun juga."
"Tapi rasanya sangat susah Kang."
"Aku tahu. Selama kau masih satu rumah dengan Fadhil kau takkan bisa melupakannya. Aku tahu setidaknya tiap dua hari sekali Fadhil mendapatkan telpon dari adiknya, dan seba liknya Fadhil juga sering menelpon adiknya. Terkadang tanpa sadar Fadhil menyebut nama adiknya itu di depanmu, di depan kita -kita. Bagi orang lain yang tak memiliki perasaan apa -apa, mendengar namanya mungkin tak ada masalah. Tapi bagi kamu, itu sama saja air hujan menyirami tanaman yang mengharap air. Belum lagi kalau adiknya itu datang mengantar sesu-atu, yang terkadang mengantar makanan untuk kakak nya. Ya untuk kakaknya, tapi kita ikut menyantap masakan nya. Bagi yang lain mungkin tidak masalah, tapi bagimu menyantap masakannya akan mengobarkan bara asmara yang mungkin susah payah kau padamkan. Jika kau nekat berterus terang pada Fadhil saat ini, percayalah kau bisa merusak sega lanya. Kau bisa merusak dirimu sendiri. Merusak hubungan mu dengan Fadhil. Bahkan juga bisa merusak Cut Mala."
"Kok bisa sejauh itu efeknya Kang?"
"Keinginan menikah itu baik. Keinginan melamar seseorang juga tidak salah. Namun jika waktunya tidak tepat, yang didapat bisa hal yang tidak diinginkan. Kau tentu tahu saat ini sudah sangat dekat dengan ujian. Waktunya orang konsentrasi pada ujian. Kalau kau membuka perasaan dan keinginanmu saat ini, pasti bisa membuyarkan konsentrasi Fadhil, juga adiknya Cut Mala. Bahkan jika Cut Mala pun siap menerimamu. Konsentrasinya pada pelajaran akan buyar dan beralih memikirkan lamaranmu. Apalagi jika ia sebenamya tidak siap menikah. Fadhil juga akan sangat memikirkan hal itu. Sebab, kau adalah temannya, dan Cut Mala adalah adik nya. Jika Cut Mala menolak lamaranmu Fadhil pasti akan sangat tidak enak padamu. Belum lagi hal-hal lain di luar prediksi kita. Saya pernah mendapat cerita dari seorang bapak di KBRI, ada seorang mahasiswi gagal ujiannya gara-gara dilamar oleh seseorang lewat telpon dan mahasiswi itu tidak siap menerima lamaran itu. Konsentrasinya buyar dan ujian nya gagal. Apa tidak kasihan kalau itu terjadi pada Cut Mala."
"Terus saya harus bagaimana Kang?"
"Kau harus berhasil mengatasi dirimu. Kau harus bisa mengatasi perasaanmu. Jangan kau korbankan orang lain. Sebaiknya untuk sementara, kau mengungsilah yang jauh supaya bisa konsentrasi belajar. Nanti setelah ujian selesai, aku akan membanturnu membicarakan hal ini dengan Fadhil. Ini lebih baik bagimu dan bagi semuanya. Percayalah, siapa jodohmu, sudah ditulis di Lauhul Mahfudz. Kau jangan kuatir. Jika memang yang tertulis untukmu adalah Cut Mala, Insya Allah tidak akan ke mana-mana.
"Baiklah Kang. Aku ikut saranmu. Tapi janji ya Kang, setelah ujian selesai nanti akan membanlu berbicara dengan Fadhil."
"Ya, aku janji."
Cut Mala dan Tiara keluar flat dan turun menggunakan lift. Mereka lalu berjalan ke selatan menuju Hadiqah Dauliyah. Sebuah taman kota di Nasr City yang sangat dibanggakan oleh orang Mesir. Taman yang terdiri hanya atas beberapa hektar itu, mereka sebut Hadiqah Dauliyah, artinya International Garden, Taman Internasional.
Mahasiswa Indonesia sering menertawakan orang Mesir begini,"Kita saja orang Indonesia yang memiliki taman sangat luas, replika dari suku bangsa Indonesia, untuk mengitarinya tidak cukup dengan jalan kaki. Kita masih menamakan taman mini. Kita menyebutnya Taman Mini Indonesia Indah. Sedangkan ini taman yang cuma beberapa hektar saja sudah disebut Taman Internasional. Terkadang orang Mesir menja wab dengan santai, "Itulah bedanya orang Indonesia dengan orang Mesir. Orang Indonesia terlalu rendah diri, terlalu min der dengan kemampuannya, dan tidak bisa memotivasi diri. Sedangkan orang Mesir selalu percaya diri. Selalu bisa memotivasi diri! Kita bisa menginternasionalkan yang kecil." Maka biasanya orang Indonesia akan diam sambil terus menggerutu di dalam hati, "Dasar orang Mesir anak Fir'aun, sombong sekali!"
Cut Mala dan Tiara sudah sampai di gerbang Hadiqah. Gerbang baru saja dibuka. Beberapa orang Mesir masuk. Mereka berpakaian olah raga. Dua gadis Aceh itu masuk. Tiara mengajaknya duduk di sebuah bangku panjang. Langit tampak cerah. Burung burung beterbangan dari pohon ke pohon. Dari arah timur, di antara gedung-gedung bertingkat muncul cahaya kemerahan yang perlahan menjadi kekuningkuningan. Matahari muncul seolah tersenyum pada bumi.
"Mau bicara tentang apa Kak?" Tanya Cut Mala. "Aku mau sedikit minta tolong padamu Dik." Jawab Tiara.
"Apa itu Kak?"
"Begini, aku sedang sedikit menghadapi masalah serius. Aku minta kamu tidak membuka hal ini kepada siapapun juga.
Kemarin aku mendapat telpon dari Aceh. Dari ayah. Beliau bilang, aku dilamar oleh seorang Ustadz. Namanya Ustadz Zulkifli. Dia adalah salah seorang ustadz di pesantren kakak dulu. Namun dia tidak pernah mengajar kakak. Karena ketika dia masuk pesantren, kakak sudah kelas dua aliyah. Dan dia mengajar di kelas satu. Jadi kakak tidak tahu persis bagaimana sebenamya dia. Ayah cerita, katanya Ustadz Zulkifli pernah satu pesantren dengan Kak Fadhil, kakakmu. Aku minta tolong sampaikanlah keadaanku ini pada Kak Fadhil. Aku sebaiknya mengambil keputusan apa? Harus aku terimakah lamarannya atau bagaimana? Dua hari lagi ayah mau menelpon untuk meminta kepastianku. Ayah menyerahkan sepenuh nya padaku."
"Sebenarnya dari hati nurani paling dalam Kak Tiara bagaimana? Menerima atau menolak? "
"Aku tidak tahu Dik."
"Reaksi hati pertama kali mendengar lamaran itu bagaimana Kak?"
"Biasa -biasa saja. Karena sebenarnya aku belum ingin menikah. Aku ingin menikah setelah selesai kuliah. Tapi ayah bilang jika aku mau, Ustadz Zulkifli akan menyusul ke Mesir. Aku belum bisa mengambil keputusan. Tolong ya sampaikan hal ini pada Kak Fadhil. Aku ingin tahu pendapat dia sebagai pertimbangan. Dia mungkin kenal baik Ustadz Zulkifli, dan dia juga tahu tentang diriku."
"Baiklah Kak, amanah kakak segera saya tunaikan, Insya Allah."
Hati Tiara merasa lega mendengar jawaban Cut Mala. Sebenarnya ia ingin mengatakan pada Cut Mala, bahwa ia mencintai Fadhil, kakaknya, tapi ia tidak sampai hati menyam paikannya. Rasa malulah yang menghalanginya. Selama ini ia hanya bisa meraba tanpa bisa memastikan apakah Fadhil memiliki perasaan yang sama ataukah tidak. Ia ingin mendengar komentar Fadhil tentang masalahnya untuk sedikit mencari petunjuk dan isyarat seperti apa sesungguhnya sikap Fadhil kepadanya.
Ia ingin mencari petunjuk bahwa Fadhil juga mencintainya. Jika ya, ia akan lebih memilih hidup bersama orang yang dicintainya. Ia sangat yakin Fadhil orang yang baik dan saleh, demikian juga Ustadz Zulkifli. Jika demikian, bila disuruh memilih yang sama baiknya, tentu ia akan memilih yang telah diterima oleh hatinya. Namun, ia merasa jodoh terka dang tidak bisa dipilih. Jodoh dalam keyakinannya adalah dipilih. Ya, dipilihkan oleh Allah. Manusia hanya berusaha, berikhtiar. Dan apa yang ia lakukan pada pagi buta dimusim semi itu ia yakini sebagai salah satu dari ikhtiarnya.
Ia tidak bisa menampik bahwa ia mencintai Fadhil, dengan diam -diam. Namun ia tidak yakin cinta seperti yang ia rasakan akan kekal. Baginya, cinta yang kekal adalah untuk orang yang secara sah menjadi suaminya, Dan ia tidak memungkiri, ia ingin orang itu adalah Fadhil. Sekali lagi jika boleh memilih.
Tiara bangkit diikuti Cut Mala. Keduanya berjalan mengitari taman. Orang-orang Mesir semakin banyak berda tangan. Ada yang berlari-lari kecil. Ada yang hanya berjalan jalan.
"Berarti Ustadz Zulkifli itu pernah belajar di Pesantren Ar Risalah Medan Kak?" tanya Cut Mala. Ia bertanya begitu karena Fadhil, kakaknya menyelesaikan pendi -dikan menengahnya di pesantren itu.
"Iya . Setahu saya, dia waktu MTs dan Aliyahnya di Pesantren Ar Risalah, lalu kuliah di LIPIA Jakarta Prograrn I’dadul Lughah, setelah itu ia mengajar di pesantren kakak." Jelas Tiara panjang lebar.
"Dia tampan nggak Kak?"
"Aku tak ingat lagi wajahnya Dik. Kenapa kau tanya begitu.?"
"Memang tidak boleh, Kak?!"
"Ya boleh saja. Tapi kenapa kau tanya begitu?" "Kalau dia tampan, ya diterima saja Kak." "Kalau tidak tampan?"
"Ya terserah Kakak. Kan Kakak yang mengambil keputusan, dan kakak pula yang akan menjalaninya bukan Mala, hi... hi... hi... ." Cut Mala cekikikan. Dua lesung di pipinya menambah pesona wajahnya.
Tiara gemas dibuatnya.
0 komentar:
Posting Komentar