Rabu, 12 Agustus 2009

25 LANGIT SEOLAH RUNTUH

Malam itu Furqan tidak tidur. Setelah shalat Tahajud, ia mengharu biru bermunajat kepada Tuhannya. Shalawat Munjiyat ia hayati dan ia baca berulang kali. Doa Nabi Yunus ia resapi maknanya dan ia baca berulang-ulang kali dengan air mata terus menetes tiada henti.

Menjelang Subuh ia lelah. Ia rindu pada hadis-hadis Nabi. Ia membuka Sunan Tirmidzi. Ia membuka asal membuka. Kedua matanya membuka sebuah riwayat dari Anas: Sesungguhnya sedekah itu bisa meredam murka Tuhan dan menjaga seseorang dari kematian yang buruk. 70 70 Diriwayatkan oleh Imam Tirmidzi, hadis no. 658. Hadis ini juga dimuat oleh Imam Ibnu Qudamah dalam kitab Mukhtashar Minhajul Qashidin. Hadis yang termaktub dalam Sunah Tirmidzi itu begitu terasa menyejukkan kalbunya. Ia tak ingin dimurka Allah. Ia tak ingin mati dalam keadaan buruk.

Maka paginya setelah shalat Subuh dan itikaf sampai Dhuha tiba ia keluar masjid dan berjalan sepanjang jalan untuk membagi sedekah pada orang Mesir yang memerlukannya. Barulah setelah itu ia sarapan dan pulang. Pagi itu jiwanya lebih tenang. Ia lebih siap membaca hasil test darahnya.

Jam sepuluh ia pergi ke Rumah Sakit dengan mengguna kan bus. Hal yang sudah lama tidak ia lakukan. Biasanya ia memakai mobil sendiri atau taksi.

Sampai di Terminal Abbasea ia melihat seorang ibu meminta -minta. Ia turun. Ia sedekahkan uang lima puluh pound. Ibu-ibu itu terbelalak, lalu mengucapkan beribu -ribu terima kasih dan nyaris sujud di kakinya saking gembiranya. Ia lalu melanjutkan perjalanan dengan jalan kaki. Sepanjang jalan ia terus melafalkan doa Nabi Yunus tiada henti. Dengan harapan ia diselamatkan oleh Allah sebagaimana Nabi Yunus disela matkan oleh Allah.

Begitu sampai di Rumah Sakit, sang petugas sudah tahu kenapa dia datang. Tanpa ia bertanya petugas berkumis tipis itu langsung menyodorkan selembar kertas, sambil berkata,

"Ini hasilnya Tuan!"

Furqan langsung membukanya perlahan dengan tangan gemetaran. Jantungnya berdegup kencang. Ia membaca -nya dengan seksama. Ia mengeja hasil yang tertera dalam kertas putih itu. Dan ia dinyatakan POSITIF. Jan-tungnya nyaris berhenti. Ia tidak percaya dengan apa yang ia baca. Ia perha tikan baik -baik. Ia eja hurufnya. Dan kata yang tertulis tetap sama: POSITIF. Ia baca keterangan lain. Mungkin inisial yang salah. Mungkin nama yang tertera di situ bukan nama nya. Tapi ia tidak mendapatkan hal yang mengubah rasa tertekannya yang luar biasa. Nama yang tertera dan nomor paspornya adalah miliknya.

Ia merasakan langit seolah runtuh menimpa kepalanya. Pikirannya terasa gelap. Air matanya langsung tumpah. Ia merasa telah mati. Pedang yang sangat tajam seolah telah membabat lehernya. Tombak paling tajam dan berkarat seolah menancap di dadanya. Seluruh persendiannya seolah dipaku dengan paku-paku berkarat nan runcing. Tulang-tulangnya seolah telah dilolosi satu per satu. Sesaat lamanya ia tidak bisa berbuat apa -apa. Seolah-olah bumi hendak membetot kakinya. Airmatanya terus meleleh membasahi pipinya.

"Anda tidak apa -apa?" Tanya petugas berkumis tipis pelan.

"A...apakah ini tidak mungkin keliru?" Kata Furqan dengan suara terbata -bata.

Petugas itu menggelengkan kepalanya seraya berkata pelan, "Tidak mungkin. Bersabarlah. Ujian Allah bisa datang dalam bentuk apa saja. Bersabarlah!"

Tangis Furqan meledak, "Bagaimana mungkin ini terjadi? Bagaimana mungkin? Aku tidak pernah melakukan dosa besar itu. Tidak pernah!"

Tangisnya menarik perhatian beberapa orang yang lewat tak jauh dari tempatnya berdiri.

"Sabarlah saudaraku. Sabarlah. Tenangkan pikiranmu. Percayalah Allah Maha Pengasih dan Penyayang."

"Aku tak percaya lagi Allah Maha Penyayang. Aku tak percaya lagi hi... hi...!" Hati Furqan benar-benar terguncang. Ia merasa dunianya telah kiamat. Belaiar kerasnya selama ini sia-sia. Gelar masternya sia -sia. Hidupnya sia -sia. Dan ibadah nya menyembah Allah selama ini ia rasakan sia-sia.

"Aku tak percaya lagi Allah Maha Penyayang. Aku tak percaya lagi...!" Furqan kembali mengulang apa yang baru saja diucapkannya sambil menangis.

Petugas berkumis tipis itu bangkit dari tempat duduknya lalu berdiri mendekap Furqan. Ia mendekap seperti seo-rang ayah mendekap anak kesayangannya.

"Aku percaya kau sedih. Aku percaya kau terpukul. Tapi dinginkanlah kepalamu. Bersabarlah. Apa yang tertulis dalam kertas itu belum akhir dari hidupmu. Masih ba-nyak yang bisa kau lakukan dalam hidupmu."

Furqan memeluk petugas itu erat-erat.Ia memeluk seperti anak kecil memeluk ibunya karena takut jika ditinggal pergi. "Hidupku sudah tamat. Aku sudah mati! Lebih baik aku langsung dikubur saja daripada aku harus menanggung aib yang sangat memalukan diriku, ibuku, ayahku, dan keluarga ku!"

"Bersabarlah. Sebagian besar orang yang terkena HIV memang akibat dari perbuatan dosa, perbuatan yang menjijikkan. Namun ada yang terkena HIV bukan karena dosanya. Hanya karena takdir telah menggariskan dia demikian, sebagai ujian. Jangan pesimis. Kenapa tidak kauanggap ini sebagai ujian yang kau harus lulus dengan hasil terbaik di sisi Allah?"

"Kau bisa berkata begitu karena kau tidak mengalami apa yang aku alami. Aku tak tahu harus berbuat apa lagi. Ke mana aku harus melangkahkan kaki ini. Aku tidak tahu. Hidupku sudah tamat!"

Petugas berkumis tipis itu diam. Furqan masih terisak isak. Tiba-tiba Furqan merasakan kepalanya seperti dikeluarkan isinya. Sakit sekali. Lalu semuanya terasa gelap.

Furqan pingsan. Petugas ihl membawa Furqan ke ruang perawatan. Pada saat ihl Kolonel Fuad datang. Ia berbincang sebentar dengan petugas. Ia lalu melihat Furqan. Kolonel Fuad mengamankan segala sesuahmya. Ia meminta kepada pihak rumah sakit untuk menjaga keraha -siaan apa yang dialami Furqan. Dia mengatakan, "Pihak Keamanan Negara yang akan langsung menangani hal ini." Kolonel Fuad lalu menunggu Furqan sampai siu-man.

Begitu siuman Furqan langsung ingat apa yang diala minya. Ia langsung menangis. Kolonel Fuad menenangkannya.

"Aku akan membantumu. Aku akan membantu menyela matkan reputasimu, nama baikmu dan keluargamu. Tapi kau harus dengar kata -kataku Furqan!" Kata Kolonel Fuad tegas. Furqan diam sesaat. Kata -kata Kolonel Fuad ihu memberikan setitik cahaya dalam gelap dunia yang ia rasakan.

"Aku telah minta rumah sakit merahasiakan hasil pemeriksaanmu. Aku akan minta mereka menghapus filemu. Tapi kau tetap harus meninggalkan negara ini. Dan kau harus berjanji padaku, bersumpah demi Allah bahwa kau tidak akan membahayakan orang lain. Tidak akan menu-larkan virusmu pada orang lain. Kalau kau mau aku akan bantu dirimu. Akan aku bantu menutup rahasiamu ini. Tak akan ada orang yang tahu bahwa kau mengidap virus HIV kecuali kau sendiri, aku, beberapa petugas rumah sakit dan tentu saja Allah Swt. Dengan begitu kau masih bisa menghirup udara dengan lebih lega. Bagaimana? Kau mau berjanji padaku dan bersumpah demi Allah?"

Mata Furqan sedikit berbinar. "Mau Kolonel."

"Baiklah." Kolonel itu lalu mengambil mushaf Al-Quran dari saku depan jaket cokelat tuanya. "Peganglah Al-Quran ini dan bersumpahlah bahwa kau tidak akan menularkan virusmu pada orang lain."

Dengan meneteskan airmata Furqan bersumpah seperti yang diminta oleh Kolonel Fuad. Ia sedikit lega. Tapi dunia sudah tidak lagi cerah baginya. Baginya hidup ini sudah tidak ada lagi gairahnya.

"Terima kasih Kolonel. Bagaimana dengan KBRI? Saya sudah pernah bercerita apa yang saya alami pada orang-orang KBRI? Dan bagaimana dengan temanteman satu rumah saya? Mereka sudah tahu bahwa saya periksa darah?"

"Ah itu gampang!" Jawab Kolonel Fuad. "Aku akan mintakan untuk kamu agar rumah sakit membuatkan kete-rangan bahwa hasil kamu negatif. Itu bisa kamu tun -jukkan pada teman-teman satu rumah kamu dan orang-orang KBRI yang bertanya padamu. Dengan begitu nama kamu di Mesir ini tetap bersih. Sebab aku tahu sesungguhnya kamu sama sekali tidak bersalah c1alam masalah ini. Bagaimana?"

"Terima kasih Kolonel."

"Sebentar kalau begitu ya. Kau istirahat dulu. Akan aku mintakan surat keterangan itu saat ini juga." Kolonel itu lalu melangkah meninggalkan ruangan di mana l urqan berbaring. Ia hanya sendirian di ruangan yang berisi tiga tempat tidur itu.

Furqan memejamkan mata. Ia tetap merasa sebenarva ia telah mati. Ia masih tidak percaya bahwa semua ini bisa terjadi. Dan begitu cepat semua ini terjadi. Ia menangis. Ia teringat semua rasa optimismenya dan kini semua itu sirna. Ia bertanya -tanya apa ini semua adalah akibat dari kesom bongannya yang berpandangan bahwa takdir bisa dikalkulasi.

Tiba-tiba hp-nya berdering. Ada SMS masuk. Ia buka. Dari Ustadz Mujab. Lalu ia baca dengan mata kerkaca -kaca,

"Ass wr wb. Akhi, apa kabar? Ini ada kabar baik bagimu. Akhi, alhamdulillah hasiinya positif. Aku baru dpt SMS dari Anna Althafunnisa. Dia menyatakan menerima pinanganmu. Dia menunggumu di indonesia. Syukran. "

Membaca SMS itu ia langsung menangis. Ia semestinva bahagia. Namun apalah gunanya kesediaan Anna Althafunnisa jika ia sendiri sudah merasa tidak lagi menjadi manusia yang pantas hidup. Apa kira-kira reaksi gadis yang ia dambakan menjadi isterinya itu jika tahu ia mengidap AIDS? Akankah ia tetap menyatakan kesedia-annya menerima pinangannya? Jika Ustadz Mujab tahu ia terkena AIDS , akankah tetap mengi rimkan SMS itu padanya? Ia sendiri tidak tahu apa reaksi kedua orang tuanya jika mengetahui anaknya telah mengidap AIDS?

Ia membaca kembali SMS dari Ustadz Mujab. Akhi, alhamdulillah hasilnya positif.

Alangkah berbedanya kata "positif" yang tertulis dalam SMS Ustadz Mujab dengan positif yang tertulis dalam kertas hasil periksa darah yang tadi ia baca Matanya berkaca -kaca. Membaca SMS Ustadz Mujab semestinya ia menjadi orang paling berbahagia saat itu. Namum saat ini SMS itu justru membuat hatinya semakin merana.

"Ini. Suratnya sudah jadi." Suara Kolonel Fuad mengagetkannya. Ia sama sekali tidak mendengar langkahnya. "Dengan surat ini kau bisa meyakinkan siapa saja bahwa kau bebas AIDS. Asal kau tidak periksa darah lagi saja. Kalau kau sudah kuat segeralah kau pulang. Bersikaplah biasa saja. Anggap saja kau masih Furqan yang kemarin. Dan saya beri waktu tiga hari untuk meninggalkan Mesir." Lanjut Kolonel Fuad.

Terima kasih Kolonel." Jawab Furqan sambil menerima secarik kertas itu. Secarik kertas itulah yang ia anggap akan menyelamatkan namanya. Ia tidak bisa memba-yangkan jika semua orang Indonesia di Cairo tahu ia mengidap AIDS. Ia tidak bisa membayangkan jika ada satu koran nasional Indonesia yang memuat berita tentang dirinya yang mengidap AIDS. Sebab banyak maha-siswa Indonesia yang menjadi koresponden koran Tanah Air. Dan mereka bisa menulis apa saja.

Hp-nya kembali berdering. Ia buka SMS dari Ustadz Mujab. SMS yang sama. Dikirim dua kali. Furqan harus menjawabnya. Dan ia belum menemukan kata -kata yang tepat unhuk menjawabnya. Hatinya ia rasakan perih bagai diiris-iris silet berkarat di semua sisinya.


0 komentar:

Posting Komentar

REVAN NINTANG BLOG. Diberdayakan oleh Blogger.