25 Musibah
Gerimis telah berubah menjadi hujan yang sangat deras. Kilat mengerjap dan halilintar menyambar. Dukuh Sraten tampak begitu fana dan kerdil dalam guyuran hujan. Seorang gadis berjilbab putih mengangkat sedikit kain roknya dan berjalan hati-hati dengan payung di bawah hujan. Gadis itu baru keluar dari masjid. Ia baru saja ikut rapat remaja masjid Al Mannar.
Akhirnya ia sampai ke rumahnya. Gadis itu adalah Lia.
”Assalamu’alaikum. Mbak Husna!” Panggil Lia begitu masuk rumahnya yang lengang.
“Mbak!”
”Iya, Mbak di belakang Dik!” Jawab Husna.
“Bue sama Kak Azzam mana?” Tanya Lia.
“Ibumu itu kalau punya kemauan tidak bisa dicegah. Dia memaksa Kak Azzam ke rumahnya Kiai Lutfi.”
“Untuk apa ke sana?”
”Minta Kiai Lutfi ngisi tnau’idhah hasanah dalam acara walimah besok.”
”O. Kan mobilnya dibawa Kang Paimo.”
“Itulah. Mbak sama Kak Azzam sudah mencegah Bue supaya jangan berangkat pas hujan. Tapi Bue tetap ngotot. Akhirnya Kak Azzam ya manut saja.”
”Nanti Bue sakit gara-gara kehujanan.”
“Ya semoga tidak.”
”Entah kenapa Mbak ya, hati Lia sangat tidak enak rasanya. Lia lihat suasana pagi ini kok rasanya muram dan suram.”
”Ya ini kan lagi mendung, lagi hujan, ya suasananya memang suram.”
”Ini di dalam hati lho Mbak.”
”Sana kamu bantu marut kelapa, biar tidak suram. Lia bergerak memenuhi permintaan kakaknya. Tiba-tiba pintu depan diketuk dengan cukup keras Husna dan Lia kaget.
Mereka berdua berpandangan. Lalu keluar bareng. Mereka melihat ada dua polisi yang berdiri, di depan pintu rumah mereka. Mereka agak was-was.
”Itu polisi nyasar.” Lirih Lia.
“Hus!” Bentak Husna lirih.
”Selamat pagi Mbak?” Sapa seorang polisi berkumis tipis
“Pagi Pak. Ada yang bisa kami bantu?” Jawab Husna
“Apa ini rumahnya Khairul Azzam?”
“Iya. Saya adiknya Pak. Ada apa ya?”
“Maaf Mbak jangan terkejut. Khairul Azzam dan ibunya kecelakaan! Dan sekarang ada di Rumah Sakit PKU Delanggu.”
”Kecelakaan Pak!?” Jerit Husna dan Lia harnpir bersamaan. Jantung keduanya bagai mau copot. Kaki-kaki mereka seperti tidak kuat untuk berdiri.
”Oh tidak, bu’e... bu’e! Kak Azzam!” Jerit Lia dengan tangis meledak.
”Ya Allah, kuatkan! Ya Allah jangan kamu panggil mereka ya Allah!” Lirih Husna dalam isak tangisnya.
”Maaf Mbak, kami tahu kalian bersedih. Keadaan sedang kritis. Kalian harus ada yang ikut kami ke rumah sakit sekarang!” Kata polisi itu.
Husna segera sadar. Dalam sedih, ia harus bergerak cepat!
”Dik, kamu beritahu Pak Mahbub dan Pak RT. Beritahu siapa yang menurutmu diberi tahu. Aku mau ikut Pak Polisi ini dulu!” Kata Husna sambil menyeka air matanya.
”I... iya Mbak.” Jawab Lia dengan lidah kelu.
”Sebentar Pak.” Husna masuk mencari dompetnya. Ia masukkan dompet itu ke dalam tasnya lalu bergegas keluar menerobos hujan ke mobil sedan polisi.
Sepanjang jalan Husna menangis. Ia memandang ke jendela dengan basah air mata. Polisi berkumis tipis itu memperhatikan Husna sesaat. Ia merasa iba pada Husna.
”Menurut saksi mata kakak anda sama sekali tidak salah. Dia sudah mepet ke pinggir. Bus ugal-ugalan itu yang salah. Bus itu juga sempat lari tapi sekarang sudah tertangkap dan sedang kami tangani. Kita doakan semoga kakak dan ibumu bisa di selamatkan.” Kata Polisi menenangkan Husna.
Sampai di rumah sakit Husna langsung menghambur ruang gawat darurat.
”Suster di mana yang korban tabrakan?” Tanya Husna dengan mata basah pada seorang perawat di depan ruang gawat darurat.
”Pemuda sama ibunya ya?” “Iya Sus.”
”Mbak siapa?”
”Saya anak ibu itu.”
”Sabar ya Mbak, tabahkan hati Mbak ya?”
”Apa maksud suster?”
”Ibu Mbak tidak bisa kami selamatkan. Beliau sudah bertemu Allah. Kepala beliau mungkin pecah. Darahnya mengalir banyak sekali. Sedangkan kakak Mbak masih kritis. Masih belum sadar.”
”Ibu saya meninggal Mbak?”
”Iya, tabahkanlah hatimu Mbak!” Tangis Husna langsung meledak.
”Bue... bu’e... oh... bu’e!”
Perawat yang ramah itu merangkul Husna. Terus berusaha menghibur dan menenangkan Husna. Husna merasa bumi bagaikan berputar. Rasanya ia ingin jatuh. Ia juga merasakan seperti ada belati yang dihunjamkan ke ubun ubun kepalanya. Dalam pelukan perawat itu Husna pingsan.
Ketika Husna sadar, ia mendapati dirinya terbaring dalam sebuah ruangan. Lia, Bu Mahbub dan Bu RT ada di samping. Lia menangis dalam pangkuan Bu RT. Kedua mata Bu Mahbub juga tampak berkaca-kaca.
Husna mendengar azan Zuhur berkumandang di kejauhan.
Husna ingat yang terjadi langsung menangis. Ia memanggil-manggil ibunya dan kakaknya. Ia bangkit dari ranjang.
”Mau ke mana Na?”
”Mau lihat bu’e.”
”Sebentar ya. Tadi Pak Mahbub mengambil inisiatif minta kepada rumah sakit untuk sekalian memandikan dan mengkafani. Meskipun hari hujan. Masih ada waktu untuk mengubur jenazah ibumu. Sekarang ibumu sedang dimandikan.” Jawab Bu Mahbub.
”Apa harus hari ini bu’e dikubur Bu?”
”Katanya menurut sunnah nabi semakin cepat semakin baik.”
”Kasihan Kak Azzam tidak bisa lihat bu’e.”
”Dia masih belum sadar. Kalau pun sudah sadar juga dia tidak bisa ikut mengubur ibumu.”
Husna terus meneteskan air mata. Ia ingin tabah. Tapi ia tetap menangis. Sepertinya baru tadi ibunya minta dibuatkan minum. Sekarang sudah pergi meninggalkannya untuk selamanya. Ia jadi ingat dialognya dengan ibunya sebelum ibunya berangkat. Tadi pagi sambil membawa teh hangat ia berkata pada ibunya,
”Bue ini aneh-aneh saja, kenapa tidak tadi-tadi tho. Nanti di tempatnya Pak Kiai Lutfi kan pasti dikasih minuman.”
Ibunya lalu menjawab
“Teh buatanmu lain rasanya Na. Enak. Ibu ingin meminumnya barangkali untuk kali terakhir.”
Air mata Husna meleleh. Ternyata benar, itulah teh yang ia buatkan untuk ibunya terakhir kalinya. Setelahnya ia tidak bisa membuatkan lagi untuk ibunya. Ia juga teringat kata-kata ibunya setelah minum teh buatannya,
”Enak sekali Na. Kalau entah kapan nanti ibu tiada, jagalah kakak dan adikmu ya Na.”
Dan benar, kini ibunya telah tiada. Kakaknya masih kritis belum sadar juga. Kata-kata ibunya seperti menyadarkannya. Ia harus kuat. Ia harus bangkit. Ia tidak boleh lemah.
”Lia.” Ia memanggil adiknya. Lia bangun dan memeluk kakaknya.
”Mbak bu’e sudah tidak ada. Kita tidak punya orang tua lagi Mbak. Kak Azzam kalau mati juga bagaimana KaK.”
”Kita harus tabah adikku. Kita doakan semoga Kak Azzam selamat. Semoga Allah tidak memanggil dua-duanya.”
”Iya Mbak.” Husna memeluk adiknya kuat-kuat. Sesedih apapun dirinya, saat ini dialah sang kakak. Dialah yang harus mengambil langkah dan keputusan. Ia melepas pelukan adiknya. Lalu dengan penuh cinta menyeka air mata adiknya.
”Dik, kita sudah besar dan dewasa. Kita harus saling dukung. Kita akan hadapi ini bersama. Kita akan hadapi ini bersama.”
”Iya Mbak.” Pelan Lia di sela-sela isaknya. Husna menoleh ke Bu Mahbub,
“Di mana Pak Mahbub Bu?”
”Di depan sedang berbincang bersama Pak RT dan Pak War.”
Husna langsung ke depan diikuti Lia, Bu Mahbub dan Bu RT
”Nak Husna.” Sapa Pak Mahbub, “Kami semua ikut berduka cita.”
”Terima kasih Pak. Menurut Pak Mahbub, enaknya bagaimana?” Tanya Husna.
”Begitu sampai di sini tadi saya diberi tahu oleh petugas bahwa ibumu meninggal. Bisa jadi meninggal di tempat atau di jalan. Yang jelas sampai di UGD nyawa beliau sudah tiada ada. Saya langsung inisiatif minta para pemuda untuk menggali kubur. Hujan di sana sudah reda.
”Karena kepala ibumu maaf mungkin retak atau pecah dengan darah yang begitu banyak, saya langsung minta pihak rumah sakit menjahit lukanya terus memandikan dan mengafaninya sekalian. Sekarang sedang dikafani. Menurut Bapak sebaiknya hari ini juga dikebumikan. Menurut sunnah kan menyegerakan penguburan sernakin cepat semakin baik. Tapi semua keputusan ada di tangan kamu dan Lia.” Kata Pak Mahbub dengan suara bergetar.
”Bagaimana menurutmu Dik?” Tanya Husna.
”Kalau yang terbaik hari ini juga dimakamkan, dan itu memungkinkan itu lebih baik. Sebab setelah ini kita masih akan menunggu Kak Azzam.” Jawab Lia.
”Kau benar Dik. Kalau begitu kita kuburkan sekarang.” Ucap Husna.
”Kalau boleh usul lagi,” kata Pak Mahbub,
“Sebaiknya, nanti ada salah satu di antara kalian yang di sini. Sewaktu waktu Azzam bangun, dia langsung ada yang menghiburnya. Langsung ada yang mendengar suaranya kalau dia pesan sesuatu.”
”Iya Pak. Biar saya di sini, dan Lia pulang bersama jenazah ibu.”
Seorang perawat laki-laki datang, “Pak Jenazah sudah siap di ruang sana.” ”Ayo kita ke sana.” Seru Pak Mahbub.
Semua yang ada di situ langsung bangkit menuju ruang jenazah mengikuti perawat. Hati Husna berdebar debar. Seperti apa wajah ibunya. Tiba-tiba ia merasa sangat rindu pada ibunya, padahal baru tadi pagi ia membuatkan teh hangat untuknya. Husna melangkah memasuki ruang jenazah.
Hanya ada satu jenazah. Tak lain dan tak bukan jenazah ibunya.
”Posisinya sudah kami buat seperti ini. Kalau ada yang mau shalat jenazah di sini boleh.” Kata perawat itu.
Husna melangkah mendekati jenazah ibunya. Kepala ibunya yang mulia itu diperban. Mukanya bersih menyungging senyum. Ada sedikit darah di keningnya, tak bisa tidak tangisnya meledak kembali. Ia ciumi wajah ibunya dengan keharuan luar biasa. Hidungnya ia ciumkan ke mulut ibunya. Ia seperti mencium bau wangi teh yang tadi pagi di minum ibunya. Ia kembali terisak.
”Sudah Nak, tabahkanlah hatimu!” Kata Pak Mahbub. Husna bangkit gantian Lia yang menciumi wajah ibunya dengan terisak-isak.
”Bue aku mencintaimu Bue.” Hanya itu yang dikatakan Lia
”Husna, Lia, shalatilah ibumu di sini. Sebentar lagi jenazah ibumu akan dibawa ke Sraten.”
”Baik Pak.” Jawab Husna dan Lia.
Dua gadis itu lalu mengambi air wudhu dan menshalati ibunda mereka tercinta. Setelah dishalati jenazah itu dibawa ke mobil jenazah ke dukuh Sraten, Kartasura. Lia dan Bu Mahbub ikut dalam mobil jenazah. Sementara Pak Mahbub, Pak RT, Bu RT dan Pak War ikut mobil Pak War.
Sore itu dukuh Sraten hujan air mata. Kiai Lutfi yang diberitahu Pak Mahbub langsung datang seketika didampingi Bu Nyai dan Anna. Pak Kiai menangis mendengar cerita tragis yang menimpa Azzam dan ibunya. Pak Kiai Lutfi merasa sangat berdosa.
”Maafkan saya Nak Lia, kalau saja saya menerima permintaan ibumu mungkin akan lain ceritanya.” Kata Pak Kiai pada Lia.
”Kematian itu kalau sudah datang tak bisa dielakkan Pak Kiai. Tak ada salah Pak Kiai sama sekali. Yang salah ya sopir bus yang ugal- ugalan itu.” Lirih Lia.
Sore itu jenazah Bu Nafis, ibunda Azzam, dimakamkan di bawah langit yang mendung diiringi ratusan orang termasuk Kiai Lutfi. Yang membuat masyarakat takjub, meskipun paginya hujan tetapi lubang untuk mengubur Bu Nafis tidak keluar mata air. Hanya basah saja.
Selesai mengubur ibunya Lia diantar oleh Anna dengan mobilnya pergi ke PKU Muhammadiyah Delanggu untuk menemani Husna yang sendirian di sana.
0 komentar:
Posting Komentar