27 Jiwa Yang Bangkit
Azzam harus menunggu kesembuhannya di rumah. Dokter mengatakan ia baru boleh lepas krek kira-kira jika sudah sepuluh bulan sejak dioperasi. Azzam hanya bisa beraktivitas di dalam rumah. Bulan pertama aktivitasnya ada di kamarnya, ruang tamu, dapur, dan kamar mandi.
Yang paling susah saat ia akan mandi atau buang air besar. Perban yang ada di kaki kiri dan tangan kiri tidak boleh terkena air. Untuk buang air besar ia tidak bisa jongkok. Sangat susah jongkok dengan kaki satu. Dan jika ia nekat jongkok maka tulang rusuknya yang patah akan terasa sakit. Luar biasa sakitnya.
Husna punya akal. Ia mengambil kursi kayu. Lalu minta kepada Kang Paimo agar melubangi bagian tengahnya. Sehingga Azzam bisa duduk ketika buang air besar. Juga bisa duduk saat mandi. Husna sangat perhatian pada kakaknya. Sebelum mandi dia begitu teliti mencari plastik dan membungkus kaki kiri dan tangan kiri Azzam dengan plastik. Sehingga perbannya tetap kering dan aman.
”Kakak kalau mandi sebaiknya duduk saja. Kaki kiri diselonjorkan. Pokoknya jangan pernah sekali-kali bertumpu dengan kaki kiri. Ingat kaki kiri Kakak patah dan belum tersambung betul. Dan kalau mengambil air hati-hati. Tangan kiri diangkat ke atas. Jangan sampai perban basah. Luka bekas operasi belum kering.”
Begitu kata Husna selalu mengingatkan setiap kali Azzam mau mandi. Husna seolah menjadi ibu Azzam, juga sekaligus perawat Azzam yang setia, bahkan teman berbagi duka yang tiada duanya. Jika Husna tidak ada maka Lia dengan setia membantu kakaknya.
Memasuki bulan ketiga Azzam mulai jenuh terus di rumah ia seperti hidup dalam rumah tahanan. Ia minta pada Husna agar memanggil Kang Paimo. Lalu ia minta pada Husna agar menemaninya keliling kota Solo dengan mobil yang dikemudikan Kang Paimo. Ia tengok warung baksonya yang sempat tutup beberapa minggu. Husnalah yang berinisiatif agar
warung baksonya tetap buka.
Selama Azzam berada di rumah, hampir setiap minggu selalu ada tamu yang datang mengunjunginya. Baik tamu itu para tetangga, jamaah pengajian Al Hikam, maupun teman atau kenalan yang datang mengejutkan. Suatu hari Eliana datang dengan memakai busana muslimah yang sangat modis. Putri Dubes itu tampak anggun dan mempesona. Eliana kaget melihat kondisi yang menimpa Azzam dan keluarganya. Bintang sinetron itu menitikkan air matanya ketika Husna menceritakan apa yang menimpa keluarganya.
”Innalillahi wa inna ilaihi raaji’un. Ibu telah tiada. Padahal aku ingin kembali mencium tangannya. Aku bawakan kerudung Turki untuk ibu. Oleh-oleh dari umroh dua minggu yang lalu.” Ucap Eliana dengan muka sedih.
”Jadi syuting film di Solo Mbak?” Tanya Lia.
”Besok insya Allah mulai syuting. Saya datang lebih awal agar bisa mampir di sini. Ada yang aku rindukan di sini.” Jawab Eliana.
”Siapa yang dirindukan Mbak?” Tanya Lia lagi.
”Dia.” Kata Eliana sambil menunjuk Azzam.
“Entah kenapa akhir- akhir ini hati aku terasa tidak enak. Aku heran kok terbayang dia selalu. Jawabannya baru aku ketahui setelah sampai di sini.” Lanjutnya. Gadis lulusan EHESS Prancis itu begitu berterus terang dengan santainya. Azzam merasakan getaran lembut mendengar perkataan Eliana. Azzam langsung mengingat tunangannya di Kudus sana. Lia yang tidak bisa menyembunyikan rasa penasarannya langsung bertanya,
”Apa Mbak mencintai kakak saya?”
Azzam dan Husna kaget mendengar kalimat yang meluncur dari mulut Lia. Sementara Eliana kaget sesaat namun langsung bisa menguasai dirinya. Dengan menunduk dia berkata,
“Sejak di Alexandria dulu, ketika aku mau memberinya hadiah ciuman dan dia tidak mau. Dia bersikukuh memegang teguh prinsip-prinsip Islam yang diyakininya, aku tahu kakakmu ini orang yang berkarakter dan berjiwa. Sejak itu aku sudah mencintainya. Tapi aku gengsi untuk menyampaikan padanya.”
”Kalau sekarang setelah kecelakaan ini apa Mbak masih suka padanya?”
”Kecelakaan seperti ini biasa saja. Nanti juga sembuh seperti sedia kala. Kecelakaan seperti ini hanyalah kecelakaan fisik ringan tak akan mengubah orang yang hatinya ada cinta. Jika kecelakaannya adalah kecelakaan moral seperti zina misalnya maka itu akan menghilangkan cinta. Rasa sukaku masih sama.”
”Sayang Mbak Eliana menyampaikan ini semua sudah terlambat.”
”Maksud Dik Lia.”
”Dia sudah punya tunangan.” Eliana tampak kecewa.
“Mungkin memang belum jodohnya.” Ucapnya pelan.
Suatu hari saat ia jalan-jalan lagi keliling kota Solo, ia mampir di warung bakso cintanya di UMS. Para karyawannya tampak lesu. Pengunjung tidak ada seorang pun. Azzam merasa ada yang janggal. Dengan langkah tertatih-tatih pakai krek Azzam bertanya,
“Ada apa sebenarnya? Kalian tampak lesu tidak bergairah?”
”Kita difitnah Mas?”
”Difitnah apa?”
”Kita difitnah bakso kita ada formalinnya. Bahkan lebih keji lagi kita difitnah bakso kita dibuat dari cacahan bangkai tikus.”
Azzam kaget.
“Astaghfirullah. Benarkah?”
”Iya. Sudah dua hari ini sepi. Ketika saya tanya pada pelanggan setia kita dia berterus terang tidak mau lagi beli bakso kita karena alasan itu.”
”Kalian tahu siapa yang memfitnah?”
”Tidak Mas. Tapi itulah yang beredar di sekitar kampus.”
”Baik. Tenang. Akan aku pikirkan jalan keluarnya. Para mahasiswa saja mudah dihasut dan difitnah rupanya.” Kata Azzam dengan kening berkerut. Ia harus segera menemukan jalan terbaik untuk menepis fitnah itu. Kalau tidak usaha andalannya akan gulung tikar.
Azzam langsung pulang ke rumah dan bermusyawarah dengan Lia dan Husna.
”Kita lapor saja ke polisi Kak? Lapor saja sama Si Mahras itu, biar diuber siapa pemfitnahnya.” Usul Lia.
Namun ia merasa bahwa usul Lia belum benar-benar menyelesaikan masalah.
”Kita pindah usaha saja Kak. Usaha yang lain. Kan masih banyak. Kalau dua hari sama sekali tidak ada yang datang itu artinya sudah sangat payah. Kalau diteruskan benar-benar akan buntung kita.” Kata Husna.
”Itu hanya akan membuat si pemfitnah senang. Memang tujuan dia membuat fitnah ya agar kita tidak jualan bakso. Aku tak mau mundur!” Kata Azzam. Ia terus berpikir bagaimana caranya ia seribu langkah lebih maju dari pesaingnya. Ia yakin yang memfitnahnya adalah salah satu dari pesaing yang tidak ingin dia bangkit dan maju.
”Aku ketemu ide!” Teriak Azzam. ”Apa itu Kak?” Tanya Lia.
”Kita tunjukkan profesionalitas kita. Orang yang suka memfitnah dalam bisnis biasanya adalah orang yang tidak profesional. Orang yang cetek cara berpikirnya. Kita harus lebih maju dan lebih canggih lagi sehingga fitnahnya hanya akan menjadi kentut di tengah padang pasir. Alias tidak ada pengaruhnya.
”Terus apa langkah Kakak?” Tanya Husna.
”Kita luruskan isi fitnah itu dengan argumentasi ilmiah. Ketika kita meluruskan sekaligus kita promosi kecanggihan dan kualitas dagangan kita.”
”Caranya bagaimana Kak?”
”Kita dituduh memakai formalin, terus difitnah memakai bangkai tikus. Kita harus luruskan itu. Caranya pertama kita berikan contoh produk kita ke Departemen Kesehatan. Minta keterangan isi kandungan bakso kita. Sekaligus minta keterangan dari Depkes bahwa bakso kita adalah bakso yang menyehatkan. Kedua kita berikan contohnya juga ke MUI kita minta sertifikat halal. Setelah kita sudah dapat sertifikat dari Depkes dan MUI kita kopi sertifikat itu dengan minta legalisasi dari Depkes dan MUI kita sebar ke seluruh penjuru kota Solo. Kita juga akan pasang iklan di Solo Pos kitalah bakso sehat yang utama dan pertama di Indonesia. Bagaimana?” Kata Azzam menjelaskan langkah-langkah yang harus ditempuhnya.
”Kakak memang jagonya bisnis!” Seru Lia.
”Baik aku yang ke Depkes dan Lia yang ke MUI Solo, okay?” sahut Husna.
”Okay.” Jawab Lia.
Sambil menunggu sertifikat jadi, sementara warung bakso libur. Begitu sertifikat jadi Azzam langsung membuat semacam grand opening untuk warung baksonya dengan mengundang para aktifis kampus dan aktifis dakwah. Ia juga mengundang beberapa wartawan. Seketika warung baksonya berjubel-jubel pengunjungnya setelah itu. Keuntungannya dua kali lipat lebih banyak. Bahkan ada seorang mahasiswa asal Semarang yang tertarik untuk membuka cabang ’Bakso Cinta’ di Semarang. Sejak itu Azzam merasa baksonya layak difranchisekan. Dua cabang langsung ia buka. Di Semarang dan di Jogjakarta. Dengan ketegaran luar biasa Azzam bangkit dari keterpurukannya. Sebenarnya berkali-kali rasa putus asa karena kecelakaan itu hendak membelitnya, tapi ia sama sekali tidak mau rasa putus asa sedikit pun menjamah dirinya. Berkenalan pun ia tidak mau dengan yang namanya putus asa.
Ia teringat perkataan Vince Lombard:
“ Once you Once you Once you Once you learn to quit , ilearn to quit, ilearn to quit, ilearn to quit, it becomes a habitt becomes a habitt becomes a habitt becomes a habit ”””” ... “ “ Sekali Sekali Sekali Sekali saja kamu belajar untuk berputus asa kamu belajar untuk berputus asa kamu belajar untuk berputus asa kamu belajar untuk berputus asa maka akan asa maka akan asa maka akan asa maka akan menjadi kebiasaan ! “ . .“..“..“..
Azzam terus bangkit, pelan-pelan ia merasakan kembali gairah hidup yang sesungguhnya. Setiap kali melihat Husna dan Lia ia merasa bahwa dirinya masih diberi karunia yang agung oleh Allah SWT. Husna dan Lia adalah dua permata jiwanya. Ia sangat menyayangi kedua adiknya itu. Ia berpikir bagaimana jika ia tidak punya adik mereka. Sanggupkah ia melalui hari-hari dukanya dengan penuh ketegaran. Betapa banyak ia temukan seorang kakak memilik adik yang sama sekali tidak hormat pada kakaknya. Adik yang tidak mencintai kakaknya. Ia bersyukur memiliki adik yang sedemikian ikhlas merawatnya dan membesarkan hatinya.
Siang itu sepucuk surat datang dibawa oleh Bu Mahbub untuknya. Ia baca pengirimnya adalah Alviana Rahmana Putri alias Vivi. Ia buka surat itu dengan penuh penasaran. Ia terkejut di dalamnya ada cincinnya. Cincin yang dulu dipakaikan ibunya ke jari Vivi. Ia sudah bisa menerka apa isinya. Tapi ia baca juga:
Yang saya hormati Mas Khairul Azzam Di Kartasura Assalamu’alaikum wr wb ..
Vivi tulis surat ini, sungguh dengan hati hancur, dan linangan air mata yang terus mengalir. Harus Vivi katakan sungguh Vivi sangat mencintai Mas. Tapi inilah Vivi, Siti Nurbaya di abad millenium.
Ibu Vivi punya teman Bu Nyai yang punya putra baru pulang dari Syiria. Bu Nyai itu melamar Vivi. Dan ibu lebih memilih putra Bu Nyai itu. Vivi sudah berusaha menjelaskan bahwa Vivi memilih setia pada Mas Azzam. Tapi ibu malah sakit dan meminta aku untuk memilih di antara dua hal; pilih ibu atau pilih Azzam.
Saat kamu baca suratku ini Mas, kamu pasti paham kenapa surat ini aku kirimkan bersama cincin ini.
Maafkan diriku, jika kamu anggap aku mengkhianatimu. Terima kasih atas kebesaran jiwamu.
Wassalam,
Yang lemah tiada daya Vivi ..
Ia menangis membaca surat itu. Cincin yang telah dipakaikan ibunya di jari Vivi tak ada gunanya. Ia merasa di dunia ini tak ada lagi orang yang setia pada cinta. Betapa mudah hati berubah-ubah. Ia tersedu-sedu sendirian di kamar tamu. Pada saat itulah Husna muncul. Ia serahkan surat itu pada Husna. Seketika Husna berkata,”Jangan cengeng Kak, apakah kakak tidak ingat kakak katakan pada pada Vivi ketika dia menjengukmu. Bukankah kakak mengatakan: Sejak sekarang aku beri kebebasan kepadamu.
“Kalau kamu sabar menungguku maka terima kasihku padamu tiada terhingga. Kalau kamu ternyata di tengah penantian merasa tidak kuat, maka kamu boleh menikah
dengan siapa yang kamu suka. Kakak harus jadi lelaki sejati yang siap menghadapi dari setiap kata yang telah diucapkan!”
Kata-kata Husna itu langsung melecut jiwanya. Ia tidak boleh lemah. Ia harus buktikan pada dunia bahwa ia mampu untuk sukses dan berguna. Ia kembali mengingat perkataan
Vince Lombard:
Sekali saja kamu belajar untuk berputus asa maka akan menjadi kebiasaan!
”Kak, yakinlah hanya jari gadis yang berhati bersih yang akan menerima cincin itu. Percayalah Kak!” Husna memberi semangat.
”Ya aku percaya adikku. Hanya gadis yang berhati bersih yang akan menerima cincin ini. Cincin yang dipilih oleh ibu kita tercinta.”
”Oh iya Kak. Bagaimana kalau kakak coba memberikan cincin ini pada Eliana?”
Hati Azzam bergetar mendengar usul adiknya. Eliana ya Eliana. Terakhir bertemu, gadis lulusan Prancis itu datang secara terang- terangan menyampaikan rasa cintanya padanya. Apakah mungkin gadis itu adalah jodohnya? Apakah dirinya siap memiliki isteri seorang artis yang kecantikannya dinikmati oleh sekian juta pemirsa? Kecantikan itu jadi milik bersama bukan dirinya saja yang memilikinya, karena memang kecantikan itu dijual untuk disuguhkan kepada para pemirsa. Azzam jadi berpikir ketika nama Eliana kembali disebut-sebut adiknya. Azzam terus menumbuhkan harapan sembuh dalam hatinya. Ia begitu iri setiap kali melihat ada anak kecil bisa berlari-lari dan melompat-lompat seenaknya. Ingin rasanya seperti mereka berlari dan melompat seenaknya karena kedua tulang kaki tidak ada masalah. Sementara dirinya belum bertumpu pada kaki kirinya. Tak boleh ada beban untuk kaki kirinya.
Setelah sepuluh bulan lamanya hidup dalam sepi. Dokter memutuskan Azzam boleh mulai latihan pelan pelan tidak menggunakan krek. Tapi tetap sebagian besar tumpuan tubuh saat berjalan dengan krek. Barulah setelah satu tahun Azzam bisa berjalan normal tanpa krek. Ia sudah kembali bisa mengendarai mobil sendiri.
Azzam kembali aktif ke masjid. Juga aktif kembali memberi pengajian Al Hikam di Pesantren Daarul Qur’an Wangen. Setiap kali Azzam yang mengisi pengajian itu jamaah membludak memenuhi masjid.
Dalam bisnis Azzam juga terus bangkit lebih baik. Bakso cintanya kini sudah punya sepuluh cabang di luar Solo. Yaitu di Semarang, Jogja, Salatiga, Klaten, Bandung, Jakarta, Depok, Malang, Surabaya, dan Kudus. Ia bahkan mulai merambah bisnis percetakan dan penerbitan. Ia mulai penerbitannya dengan menerbitkan buku-buku yang ditulis adiknya sendiri yaitu Ayatul Husna.
Lambat laun ia dikenal sebagai entrepreneur muda dari Solo yang sukses sekaligus dikenal sebagai dai muda yang mampu menyihir hadirin jika ia sudah ada di atas panggung. Setiap minggu ia punya rubrik khusus tentang motivasi bisnis Islami di radio Jaya Pemuda Muslim Indonesia Solo.
Suatu sore setelah shalat ashar di atas mimbar Pesantren Daarul Qur’an Wangen ia menjelaskan kandungan perkataan Imam Ibnu Athaillah As Sakandari,
”Jamaah yang dimuliakan Allah, Ibnu Athaillah dalam kitab Al Hikamnya mengatakan,
“Memperoleh buah amal di dunia adalah kabar gembira bagi orang yang beribadah akan bakal adanya pahala di akhirat.” Maksudnya jika ada orang ikhlas beribadah kepada Allah di dunia ini, dan orang itu merasakan buahnya ibadah itu misalnya ketenangan hati, kejernihan pikiran, keluarga yang sakinah, anak-anak yang shaleh, kerinduan untuk semakin giat beribadah, merasakan kelezatan ibadah dan lain sebagainya. Itu semua menjadi kabar gembira bahwa kelak di akhirat akan ada pahala yang lebih lezat, pahala yang lebih agung dari Allah ’Azza wa Jalla.”
0 komentar:
Posting Komentar