11 REZEKI SILATURRAHMI
Usai shalat Mahgrib,Azzam langsung dapur memasak air di panci besar untuk menggarap kacang kedelainya. Sambil menunggu air memanas, ia membaca Al Ma’tsurat lalu tilawah. Lima belas menit kemudian ia yakin air telah sangat panas. Tidak harus mendidih. Ia turunkan air itu dari kompor gas. Ia membuka karung kedelainya. Menakarnya dan langsung merendamnya dengan air panas itu. Itulah proses paling awal dalam menggarap kedelai menjadi tempe.
Kira-kira lima menit ia merendam kedelai itu. Kemudian ia memisahkan kotoran-kotoran yang menyertai kedelai. Bia sanya kotoran itu mengapung. Ia ciduk kotoran itu, lalu ia buang. Setelah itu ia memisahkan kedelai dari air panas itu. Air itu ia bersihkan. Lalu kedelai ia masukkan kembali ke dalam air itu. Ia letakkan di pojol dapur.
Kedelai itu harus direndam satu malam. Besok pagi, kira kira jam tujuh ia akan kembali menggarap kedelai itu dengan mengulesinya di kamar mandi. Diulesi agar kacang kedelainya pecah. Paling mudah adalah dengan menginjak-injaknya. Lalu ia cuci sampai bersih. Tapi kulit arinya tidak boleh hilang. Kemudian ia rebus. Kalau sudah matang ia tiriskan sampai dingin. Setelah dingin diberi ragi. Lalu ia bungkus dan ia letakkan di rak khusus yang telah ia buat di dalam kamarnya. Dua hari berikutnya barulah jadi tempe.
Sebenarnya, tanpa direbus, kedelai yang telah diulesi hingga pecah itu bisa langsung diberi ragi dan dua hari kemudian bisa jadi tempe. Sehingga bisa mengirit mi -nyak tanah. Namun hasilnya masih kalah dengan yang direbus dulu.
Tempe Azzam diakui oleh para pelanggannya dan juga oleh ibu-ibu KBRI sebagai tempe yang sangat gurih dan lezat. Ia memang serius dalam membuat tempe. Ia masih ingat, bahwa ia bisa membuat tempe juga karena tidak sengaja. Saat masih di pesantren dulu ia punya teman, namanya Handono. Ia sangat akrab dengan Handono. Ketika liburan panjang ia diajak Handono berlibur di rumahnya yang terletak di sebuah kampung di pinggir Kota Salatiga. Kampung itu namanya Candiwesi. Dikenal sebagai salah satu kampung yang pendu duknya banyak berprofesi sebagai produsen tempe. Selama berlibur di rumah Handono itulah, secara tidak sengaja ia belajar membuat tempe sampai taraf mahir.
Kebetulan ayah Handono memang dikenal sebagai jura gan tempe terbesar di Candiwesi. Setiap hari produksinya tiga kwintal kedelai. Memiliki pekerja tetap sebanyak se-puluh orang. Berawal dari ikut-ikutan membantu, ia akhirnya tertarik belajar dengan langsung praktik dari A sampai Z. Tentang takaran kedelainya. Takaran raginya. Cara membungkus yang ideal dan lain sebagainya. Satu bulan penuh ia ikut magang membuat tempe. Dan sejak saat itu ia sudah bisa membuat tempe sendiri. Bahkan ia sering mencobanya di rumah, dan ia minta ibunya menggoreng dan mencicipinya.
"Wah, tempemu enak sekali Zam, " puji ibunya. Itulah rezeki silaturrahmi. Dengan bersilaturrahmi ke
tempat Handono, ia jadi tambah ilmu. Ilmu membuat tempe. Ia sama sekali tidak pernah mengira, ilmu mem -buat tempe itu kemudian hari akan sangat berguna bagi -nya, saat ia harus mempertahankan hidupnya di Mesir. Sangat berguna saat ia harus mandiri, tidak hanya untuk menghidupi diri sendiri, tapi juga adik-adiknya di Indo-nesia.
Ia merasakan benar bahwa rezeki yang didatangkan oleh Allah dari silaturrahmi sangat dasyat. Ia bisa sampai be-lajar di Al Azhar University juga bermula dari silatur -rahmi.
Saat itu, menjelang evaluasi belajar tahap akhir nasional, teman satu kamarnya di pesantren sakit. Namanya Wasis. Rumahnya di daerah Bantul. Ia mengantarnya pulang. Setelah dibawa ke dokter ternyata Wasis sakit thypus serius. Jadi harus dirawat di rumah sakit. Ia sem -pat menemani satu hari di rumah sakit.
Saat menemani di rumah sakit itulah ia berbincang bincang secara tidak sengaja dengan pasien satu kamar dengan Wasis. Pasien itu juga sakit thypus dan sudah mau dibawa pulang. Dari berbincang-bincang dengan pasien itu, ia dapat informasi adanya test untuk mendapatkan beasiswa ke Al Azhar. Pasien setengah baya yang ramah itu berkata,
"Saya pernah belajar di pesantren tempat kamu belajar. Hanya beberapa bulan saja. Bulan depan ada test penja-ringan siswa Madrasah Aliyah untuk mendapat beasiswa Al Azhar.
Kamu ikut saja test di DEPAG Pusat. Cari informasi di sana. Nanti pada bagian pendaftaran bilang saja disuruh Pak Dhofir gitu."
Dari info itu, ia bisa ikut test untuk mendapatkan bea siswa kuliah di Al Azhar University . Dan diterima. Ia sampai sekarang tidak tahu Pak Dhofir itu siapa. Yang ia tahu Pak Dhofir yang memberi info padanya itu katanya ting-gal di daerah Kotagede Yogyakarta.
Silaturrahmi jugalah yang membuat bisnis baksonya di Cairo berjalan lancar. Memang ia tidak banyak muncul di kalangan mahasiswa, tapi ia sering hadir dan muncul di acara bapak -bapak dan ibu -ibu KBRI. Muncul untuk memberikan bantuan apa saja. Bahkan jika ada orang KBRI pindah rumah ia sering jadi jujugan minta tolong. Karena itulah ia sangat dikenal di kalangan orang-orang KBRI. Itu sangat penting bagi bisnis baksonya.
Tanpa banyak silaturrahmi seorang pebisnis tidak akan banyak memiliki jalan dan peluang. Benarlah anjuran Rasulullah Saw., agar siapa saja yang ingin dililuaskan rezekinya, hendaklah ia melakukan silaturrahmi. 49 49 Sebagaimana diriwayatkan oleh Imam Muslim, Bab Shilaturrahmi wa Tahrimi Qathiiha, Juz 2, hal. 421.
Selesai merendam kedelai, Azzam beranjak ke kulkas untuk mengeluarkan daging sapi yang baru tadi sore ia masuk kan ke dalam freezer . Ia keluarkan agar tidak keras. Sebab setelah shalat Isya ia harus mengolahnya jadi bola -bola bakso. Keahliannya membuat bakso yang kini ba -nyak mendatangkan rezeki baginya juga karena sila turrahmi. Jika keahliannya membuat tempe ia dapat sejak ia masih di Indonesia, keahlian nya membuat bakso justru ia dapat setelah berada di Mesir.
Setengah tahun berada di Mesir ia kenal baik dengan Pak Jayadi yang bekerja di KBRI sebagai lokal staf bagian konsuler. Kenal baik karena sama -sama berasal dari Kartasura. Pak Jayadi lahir di daerah Ngabean Kartasura. Sementara ia lahir dan tinggal di daerah Sraten, Kartasura. Ia jadi sering diundang dan sering datang ke rumah Pak Jayadi yang dikenal sangat baik dengan para mahasiswa. Apalagi yang berasal dari Jawa Tengah. Ia nyaris dianggap sebagai adik sendiri oleh Pak Jayadi. Pak Jayadi hanya memiliki satu anak lelaki yang masih duduk di kelas empat SD. Dari Pak Jayadi dan Ibu Jayadilah ia bisa membuat bakso yang kemantapan rasanya sangat diakui di Cairo.
Bermula sering silaturrahmi. Lalu diminta oleh Pak Jaya di untuk ikut membantu Ibu Jayadi membuat bakso pesanan KBRI untuk acara -acara resmi. Lalu coba -coba membikin sendiri, ternyata diakui nyaris sama dengan buatan Ibu Jayadi. Ia pun dikenal bisa bikin bakso. Bah-kan sempat dikenal sebagai tangan kanan Ibu Jayadi.
Ketika Pak Jayadi sekeluarga pulang ke Tanah Air untuk selamanya, kepercayaan para pelanggan Ibu Jayadi dan juga KBRI jatuh kepadanya. Saat itu ia sendiri sedang sangat memerlukan datangnya sumber rezeki untuk mempertahankan hidupnya, dan juga adik-adiknya. Jadilah ia terjun total dalam bisnis membuat bakso.
Azzam masih di dapur, setelah mengeluarkan daging dari freezer , ia melihat beberapa alat dapur belum dicuci. Ia tergerak untuk mencucinya. Ini semestinya tugas Fadhil. Karena hari ini yang bertugas masak adalah Fadhil. Namun agaknya Fadhil kelelahan habis bertanding di Nadi Syabab. Ketika sedang asyik mencuci panci yang biasa digunakan untuk menyayur, Ali muncul dan memanggilnya,
"Kang Azzam, ayo ke depan. Kita makan kibdah dulu. Fadhil beli kibdah untuk ganjal perut!"
"Wah boleh juga. Oh ya, minumnya sudah ada? Kalau belum ada biar saya masak air sekalian." Tukas Azzam sambil merampungkan cuciannya.
"Oh ya Kang belum," jawab Ali.
Azzam mempercepat kerjaannya. Sebelum meninggalkan dapur terlebih dahulu ia meletakkan panci yang berisi air di atas kompor yang menyala. Mahasiswa Indonesia di Cairo memang tidak lazim memiliki termos penyimpan air panas. Sebab mereka biasa minum teh khas Mesir. Teh itu lebih enak bila disedu dengan air yang masih mendidih. Jika tidak begitu, rasanya kurang mantap.
"Wah beli kibdah banyak sekali Dhil," kata Azzam sambil duduk di samping Fadhil. Nanang, dan Ali juga sudah duduk mengitari kibdah yang diletakkan begitu saja di atas karpet beralaskan koran.
"Ya Kang, ini sekaligus syukuran. Tadi saya mencetak dua gol dalam pertandingan," jawab mahasiswa dari Aceh itu dengan wajah berseri.
"Berarti KMA menang dong?" tanya Azzam sambil mengambil satu kibdah.
"KMA memang menang dipermainan. Kami menguasai bola. Tapi KEMASS ternyata mampu menjebol gawang kami dengan dua gol. Jadi skornya 2 -2."
"Wah pasti seru tadi."
"Seru banget!" sahut Ali, "Apalagi dua gol KEMASS itu yang mencetak aku. Ali Mustafa El Plajuwi!" sambung Ali sambil membusungkan dada.
"Ali tadi memang boleh. Aku salut!" Fadhil mengakui kehebatan Ali.
"Yang penting mana syukurannya untuk dua gol. Yang mencetak satu gol saja beli. "
"Beres. Setelah shalat Isya nanti aku beli firakh masywi. Yang di rumah tinggal menanak nasi saja!" jawab Ali.
"Mantap. Syukran Li!" teriak Fadhil girang. Bagaimana tidak girang, malam itu adalah tugas dia untuk masak. Jika lauk sudah ada, hanya tinggal menanak nasi apa su-sahnya. Itu sama saja dia terbebaskan dari tugasnya. Dan ia bisa beristirahat melepas lelah.
"Ngomong-ngomong Nasir ke mana kok belum pulang?" tanya Azzam sebagai yang dituakan.
"Nasir tadi pamit tidak pulang. Dia ada urusan ke Tanta katanya. Hafez juga sama. Ia bilang menginap di Kata -mea" jelas Nanang.
"O ya sudah kalau begitu." Kata Azzam datar. Dalam hati ia senang Hafez langsung pergi ke Katamea. Pasti anak itu sedang mencari tempat yang nyaman untuk mengungsi sementara waktu. Jika ia tetap tinggal satu rumah dengan Fadhil, akan sangat susah melupakan Cut Mala.
Tiba-tiba telpon berdering. Ali yang gesit bergerak cepat mengangkat,
"Siapa?... Dari Mala?... O ya sebentar ya?" Kata Ali. Ia lalu menunjuk Fadhil. Semua yang ada di situ langsung paham itu adalah telpon dari Cut Mala untuk Fadhil, kakaknya. Fadhil langsung bergegas menerima telpon.
Azzam menarik nafas, ia tidak membayangkan jika Hafez saat itu ada di situ dan ia yang pertama mengangkat tel-pon.
Seperti apa gemuruh dalam dadanya, nyala dalam hatinya mendengar suara Cut Mala. Semalam suntuk ia pasti tidak akan bisa tidur.
Sementara Fadhil menerima telpon, Azzam dan yang lain melanjutkan perbincangan mereka.
"Oh ya, katanya, tadi putrinya Pak Dubes nelpon, kok belum nelpon lagi?" tanya Azzam.
"Iya Kang. Tadi sudah aku bilang untuk telpon lagi setelah shalat Maghrib. Kok sampai sekarang belum nelpon ya," tukas Ali sambil beranjak ke dapur karena mendengar suara air mendidih.
"Sampeyan sih Kang diminta menghentikan mandinya sebentar tidak mau. Jarang jarang orang dapat telpon dari putrinya Pak Dubes yang cantik lulusan EHESS Prancis itu," kata Nanang menyayangkan. "Aku yakin dia takkan nelpon lagi. Kayaknya Sampeyan yang seka -rang harus nelpon balik Kang. Siapa tahu ini bisnis besar Kang." sambungnya memberi saran.
Azzam diam, tidak menjawab. Fadhil meletakkan gagang telpon, ia baru saja selesai berbicara dengan adiknya. Ba -ru diletakkan telpon kembali berdering. Fadhil langsung mengangkatnya.
"Ya, hallo. Ini siapa ya?" tanya Fadhil. "Ini Eliana . Bisa bicara dengan Mas Insinyur?"
"O bisa, sebentar Mbak Eliana ya," kata Fadhil datar. Fadhil lalu memanggil Azzam. Azzam segera bangkit dan menerima gagang telpon.
"Halo. Ada yang bisa saya bantu," kata Azzam.
"Ini Eliana, Mas Insinyur" "O Mbak Eliana, apa kabar Mbak?" "Baik."
"Pak Dubes sehat?" "Sehat. Alhamdulillah. "
"Kok tumben nelpon kemari, ada apa Mbak?" tanya Azzam sambil melihat ke arah Nanang dan Fadhil yang dengan seksama memperhatikannya.
"Ini Mas, to the point saja ya?" "Ya."
"Begini, dua bulan lagi saya mau ulang tahun. Ulang ta hun saya ke dua puluh empat. Saya akan merayakannya di Wisma Duta. Sederhana saja. Tapi saya ingin yang mengesan kan. Saya ingin untuk tamu undangan disuguhi masakan khas Indonesia."
"O bagus itu Mbak. Dua bulan lagi itu berarti kira kira pas selesai ujian Al Azhar ya Mbak."
"Ya. Mayoritas mahasiswa sudah selesai ujian kelihatannya, meskipun mungkin masih ada beberapa yang belum selesai ujian. Mas Insinyur kira -kira ada waktu nggak?"
"Insya Allah ada Mbak."
"Syukurlah kalau begitu. Tapi kali ini saya tidak mau bakso. Sudah sangat biasa."
"Mbak inginnya apa?"
"Soto Lamongan. Mas bisa bikinin buat saya?" "Soto Lamongan?" Azzam bertanya agak ragu.
"Ya, Soto Lamongan. Bisa nggak? Mas Insinyur kan terkenal jago masak. "
"O bisa Mbak, insya Allah bisa. Mau untuk berapa porsi?" "Lima ratus porsi, sanggup?"
"Sanggup Mbak, asal harganya cocok aja." Azzam sudah langsung ke hal paling penting dalam dunia bisnis
"Satu porsinya berapa Mas? Sama dengan bakso gimana?"
"Wah kalau disamakan dengan bakso berat Mbak, terus terang. Kalau bakso sudah sangat biasa, bikinnya juga bagi saya sangat biasa. Ini Soto Lamongan lho Mbak. Tidak ada di Cairo, dan perlu keahlian khusus."
"Ya sudah kalau gitu saya ikut Mas Insinyur, jadi berapa?”
"Dua kali lipat bakso. Gimana? Deal?"
"Baik. Deal. Tapi nanti jangan dipas lima ratus ya. Ya ada kelebihannya beberapa porsi gitu."
"Beres Mbak. Terus acaranya tepatnya kapan Mbak? Tanggal berapa? Jam berapa?"
"Tepat tanggal satu awal Juli depan. Acara tepat jam tujuh malam. Jangan lupa lho."
"Baik Mbak. Tapi tolong satu minggu sebelum hari H. Mbak mengingatkan ya?"
"Ya. Salam buat teman -teman Mas Insinyur di situ ya?" "Ya."
Azzam menutup gagang telpon dengan wajah berbinar. Rezeki besar ada di depan mata. Jika satu porsi bakso biasanya dihargai 3 pound, ini berarti untuk Soto Lamongan ia akan dapat 6 pound satu porsinya: 6 X 500 sama dengan 3000. Dikurangi modal sekitar 400 pound. Jadi dua bulan lagi ia akan dapat keuntungan kira -kira 2600 pound.
"Bisnis baru ya Kang? Kok saya tadi dengar ada nyebutnyebut Soto Lamongan?" tanya Nanang.
"Iya, putrinya Pak Dubes itu mau ulang tahun minta dibikinkan Soto Lamongan."
"Lho memangnya Sampeyan bisa bikin Soto Lamongan?" "Ya belum bisa."
"Lho kok Sampeyan sanggupin?"
"Lha kan ada kamu Nang. Kamu kan orang Lamongan, pasti bisa kan bikin Soto Lamongan."
"Waduh Kang, Sampeyan itu sungguh nekat. Aku saja yang orang Lamongan tidak bisa bikin Soto Lamongan kok. Kalau boleh saya sarankan batalin saja Kang. Daripada nanti mengecewakan keluarga Pak Dubes, reputasi yang Sampeyan bangun selama ini bisa hancur lho Kang."
"Wah kamu itu Nang, penakut. Tak punya nyali. Ini bisnis Nang. Bisnis! Nyawa bisnis itu keberanian Nang. Dalam dunia bisnis yang berhasil adalah mereka yang memahami bahwa, hanya ada perbedaan sedikit antara tantangan dan peluang, dan mereka bisa mengubahnya menjadi keuntungan. 50 50 Diadaptasi dengan sedikit perubahan dari perkataan Victor Kiam. Aku memang belum bisa bikin Soto Lamongan, tapi aku dulu sering makan Soto Lamongan. Kekhasan rasa dan bentuk Soto Lamongan masih aku ingat. Yang paling penting aku merasa bisa membikin Soto Lamongan. Dan aku yakin kualitasnya, insya Allah sama dengan aslinya!"
"Wah Sampeyan kadang memang nekat banget Kang!" "Bukan nekat Nang. Ini memanfaatkan tantangan men
jadi peluang. Nekat adalah untuk mereka yang tidak tahu langkah-langkah pastinya menaklukkan tantangan. Tapi bagi mereka yang tahu langkah -langkah pastinya itu berarti tidak lagi nekat, tapi mengambil peluan dengan sedikit risiko!"
"Wah kata -kata Sampeyan kayak motivator besar saja Kang. "
"Yang aku katakan hanyalah berangkat dari pengala manku selama ini Nang. Aku yakin bisa. Kalau aku mera -sa tidak bisa pasti sudah kutolak. Kau ingat beberapa bulan yang lalu ketika Pak Atase Perdagangan minta dibuatkan Garang Asem khas Kudus. Jelas aku angkat tangan. Belum terbayang bagaimana cara membuatnya. Apalagi Garang Asem banyak khasnya. Ada khas Kudus, khas Kartasura, khas Salatiga, khas Semarang, khas Boyolali. Saat itu aku melihat bukanlah suatu tantangan yang bisa diubah jadi peluang. Lebih baik aku mundur."
"Tapi, Soto Lamongan setahuku juga ada kerumitannya lho Kang."
"Aku tahu yang paling penting aku yakin bisa."
"Kau yakin bisa La?" tanya Anna pada Laila, mahasiswi Indonesia yang dikenal menjadi agen tiket Malaysia Air Lines dan Singapore Air Lines. Laila mengikuti jejak kakaknya Nasir. Boleh dikata Laila hanyalah membantu kakaknya. Karena dia mahasiswi, jadi promosi di ka-langan mahasiswi bisa ia
Bedanya Laila dengan kakaknya, Laila termasuk jajaran mahasiswi yang berprestasi. Tidak pernah tidak lulus ujian. Sering nulis di buletin dan majalah. Sedangkan Nasir, biasa biasa saja. Aktivitasnya lebih banyak ber-bisnis di Cairo. Selain bisnis tiket pesawat, Nasir juga bisnis warnet dan jualan jahe. Ya jualan jahe. Dengan cara, ia pergi umrah naik kapal. Lalu di Saudi membeli jahe yang masih segar. Jahe dari Saudi itu asalnya juga bukan dari Saudi tapi dari Asia Tenggara. Kebanyakan dari Thailand. Ia membeli langsung beberapa kuintal. Ia bawa ke Mesir dan ia jual ke oran gorang Mesir. Keuntungannya selain menutup biaya umrah, juga bisa untuk membayar sewa rumah beberapa bulan. Sebuah bisnis yang sangat menguntungkan.
Laila yang ditanya tersenyum.
"Ya sangat yakinlah Mbak. Tanpa harus membawa visa dari kedutaan Malaysia Mbak bisa masuk Malaysia. Nanti ngambil visa entri di bandara Kuala Lumpur. Kakak saya kan pernah pulang ke Tanah Air dan transit dua minggu di Malaysia. Hanya saja kalau Mbak mau transit masuk KL, ada biaya tambahan lima puluh dollar Mbak." Laila menjelaskan panjang lebar.
"Untuk apa itu La?"
"Untuk meng-open tiket KL-Jakarta. Karena mau tinggal beberapa hari di KL, maka harus open. Itu harganya lebih mahal lima puluh dollar. Gimana Mbak?"
"Ya baiklah La. Uangnya besok insya Allah. Kapan tiket bisa saya ambil? "
"Dua hari setelah uang saya terima Mbak." "O ya Mbak, bisa tidak Lala tanya dikit sama Mbak?"
"Apa itu La?"
"Saya dengar Mbak dilamar sama Mas Furqan ya Mbak?" "Wah kalau itu tidak bisa dijelaskan via telpon La. Udah dulu ya. Ini pulsanya sudah habis banyak. Yuk, assalamu'alaikum."
"O ya Mbak wa 'alaikumussalam."
Wajah Anna merah padam. Pertanyaan Laila itu menyentak hatinya. Dari mana dia tahu? Ia sangat yakin di kalangan mahasiswi berita dirinya dilamar Furqan pasti mulai tersebar. Yang membuatnya marah adalah siapa yang membocorkan ini semua. Bukankah yang tahu masalah ini selain dirinya, seha rusnya hanya tiga orang, yaitu Furqan, Ustadz Mujab dan isterinya, Mbak Zulfa. Ada kejengkelan dan rasa marah yang memercik dalam dadanya. Tapi ia bingung kepada siapa harus marah. Untuk meredam amarahnya ia mengambil air wudhu.
Setelah itu ia ke ruang tamu di mana Erna dan Zahraza sedang asyik membaca koran Al Ahram.
"Mbak kita jadi ke Palace?" tanya Erna begitu Anna duduk di sampingnya.
Anna melihat jam dinding, lalu menjawab,
"Sekarang, sudah jam tujuh lebih lima, tapi Wan Aina dan Sholihati belum pulang. Apa tidak terlalu malam jika kita keluar setelah mereka pulang?"
"Iya, terlalu malam. Nanti dilihat orang tidak baik." Sahut Zahraza sambil tetap membaca.
"Atau tidak usah ke Palace saja Mbak. Nanti kalau mereka pulang kontak Babay saja. Pesan makanan minta diantar ke sini." Erna memberi usul.
"Yah, nanti kalau mereka pulang kita musyawarah. Enak nya bagaimana. Yang jelas malam ini insya Allah tetap syu kuran seperti yang saya janjikan." Jawab Anna lirih. Pikiran Anna sedang tidak pada acara syukuran dengan makan-makan yang ia rencanakan, tapi pada berita dirinya telah dilamar Furqan yang telah diketahui oleh orang-orang yang semestinya tidak mengetahuinya.
"Eh ini ada berita menarik di Ahram!" kata Zahraza setengah berteriak.
"Apa itu!?" tanya Erna.
"Di sini disebutkan ada mahasiswa Indonesia yang tinggal di Ighatsah Islamiyyah Hay El Thamin dirampok seseorang yang mengaku sebagai anggota mabahits . 51 51 Badan intelijen. Mahasiswa ini menderita kerugian lebih dari seribu dollar. Kemungkinan besar perampok itu memakai cara -cara hipnotis!" jelas Zahraza.
Spontan Anna berkata,
"Berarti kita harus hati-hati. Jangan pergi -pergi sendirian! Ternyata di atas muka bumi ini masih banyak penjahat berkeliaran!"
0 komentar:
Posting Komentar