28 Barakah Cincin Ibu
”Bagaimana Kak? Mau mencoba memberikan cincin itu pada Eliana? Kalau kakak malu, biar Husna yang bilang sama dia.”
”Na, hatiku masih bimbang.”
”Insya Allah dia bisa jadi isteri yang baik. Aku sudah baca di koran dia sudah berniat tidak akan melepas jilbabnya setelah umrah.”
”Dunia yang kuimpikan rasanya berbeda dengan dunia yang diimpikannya. Aku juga belum menerima kecantikan isteriku setiap hari dinikmati jutaan orang. Di antara jutaan orang itu mungkin ada yang membayangkan yang bukanbukan ketika melihat wajah isteriku di layar kaca. Entah kenapa aku belum bisa. Mungkin aku ini kolot dan koneservatif. Ya inilah aku. Jelas Azzam pada Husna.
”Husna paham yang Kak Azzam inginkan. Bagaimana kalau Kak Azzam coba cari di pesantren. Kan ada ribuan santriwati di Solo dan sekitarnya ini. Kakak minta tolong aja sama pengasuhnya. Minta satu saja santriwatinya. Masak sih tidak juga ada satu orang pun yang mau.”
“Mungkin ini juga ikhtiar yang harus kakak tempuh.”
“Ya coba saja Kak. Kata orang Arab yang sering Husna dengar dari para ustadz man jadda wajada. Siapa yang sungguh akan mendapatkan apa yang diinginkannya.”
”Benar Dik. Tapi enaknya ke pesantren mana ya?”
“Menurut Husna ya dimulai yang paling dekat dan paling dikenal. Tak ada salahnya dicoba dulu Pesantren Wangen.”
”Masak muternya ke Pesantren Wangen lagi?”
”Kenapa memangnya?”
”Malu sama Kiai Lutfi.”
”Malu kalau dikira mau melamar anaknya yang janda? Ya kakak jelaskan saja minta santriwatinya. Kakak jelaskan apa adanya. Minta santriwati yang cocok untuk kakak. Pak Kiai pasti akan bijak dan legowo. Banyak juga kok kak santriwati di Wangen yang tak kalah dengan Vivi.” Husna mencoba menyemangati kakaknya.
”Oh ya kak hampir lupa. Husna pernah hutang sama Anna lima juta untuk biaya administrasi rumah sakit. Mumpung ingat. Kakak bayarkan ya. Kalau bisa hari ini biar tidak lupa lagi. Tidak enak rasanya. Sudah hampir satu tahun lho kak. Jangan-jangan Anna sebenarnya perlu dengan uang itu tapi malu menagihnya.”
“Baik nanti sore insya Allah kakak akan ke sana.”
Sore itu Kiai Lutfi dan Bu Nyai Nur membantu putrinya Mengemasi dan merapikan barang-barang yang akan dibawa terbang ke Cairo. Sudah satu tahun lebih Anna di Indonesia. Tesis yang ditulisnya sudah dua pertiga. Tinggal sepertiga lagi hendak dirampungkan di Mesir.
”Jangan lama-lama di sana ya Nduk?” Tanya Pak Kiai Lutfi.
”Insya Allah Bah. Anna akan berusaha secepatnya. Yang sering jadi kendala itu justru administrasi di Fakultas yang sering berbelit dan molor Bah. Sering juga yang jadi kendala adalah promotor yang sering terbang ke luar negeri. Sebabsebab itu yang seringkali membuat tesis jadi tidak selesaiselesai. Ya doakan saja Bah.”
”Tak pernah putus Abah dan Ummimu berdoa untukmu anakku. Oh jadinya naik apa ke Caironya?”
”Kata teman yang mengurus di Jakarta naik Etihad Bah. Katanya itu sekarang yang paling murah.”
Mereka bertiga ada di ruang tengah. Ruang itu dengan ruang tamu disekat dengan kaca riben hitam tebal. Sehingga dari ruang tengah bisa melihat ruang tamu dan tidak sebaliknya. Hanya bertiga mereka menata pakaian, oleh-oleh, dan buku-buku yang akan dibawa Anna ke Cairo.
”Kalau di Cairo kamu rasa ada yang cocok untuk jadi suami ya tidak apa-apa kamu nikah di sana Nduk. kamu kan sudah janda, sudah lebih bebas menentukan pilihanmu. Nanti Abah bisa kirim surat taukil 32 32 Surat kuasa mewakilkan ke KBRI untuk menikahkan kamu.” Seloroh Pak Kiai Lutfi.
”Anna agak trauma dengan pilihan Anna Bah. Anna sudah berjanji pada diri Anna sekarang Anna serahkan pada Abah dan Ummi siapa yang akan mendampingi hidup Anna. Sekarang Anna sudah tidak sedikitpun mempertimbangkan fisik lagi. Ibaratnya kalau ada orang buta jadi pilihan Abah, Anna akan terima dengan kelapangan hati.”Jawab Anna.
”Masak Ummi sama Abah mau memilihkan yang begitu untukmu.” Tukas Bu Nyai Nur.
”Itu ibarat saja Mi. Tapi seandainya benar juga tidak ada masalah. Orang buta, apalagi butanya sejak kecil malah tidak banyak maksiat. Di Mesir banyak guru besar yang buta. Tapi keilmuan dan ketakwaannya luar biasa.”
Ketika sedang asyik berbincang-bincang, tiba-tiba...
”Assalamu ’alaikum”.
Pak Kiai Lutfi, Bu Nyai dan Anna spontan melihat ke arah pintu depan. Mereka agak kaget ketika tahu siapa yang datang. Azzam. Setelah menjawab salam, Pak Kiai Lutfi langsung bangkit dan menemui tamunya. Azzam mencium tangan Kiai Lutfi dengan rasa ta’zhim. Anna melihat apa yang dilakukan Azzam. Entah kenapa hati Anna berdesir-desir.
”Dari mana Zam?” Pak Kiai Lutfi membuka percakapan sambil menyandarkan punggungnya di sofa yang terbuat dari busa.
”Biasa Pak Kiai, dari warung bakso. Namanya juga penjual bakso.”
”Wah besok kalau kamu punya anak bakal senang itu anakmu. Tiap hari bisa makan bakso. Habis bakso kamu buka saja warung pecel lele. Biar tiap hari makan Lele. Sampai mukanya kaya Lele. He... he... he...!”
”Wah Pak Kiai ini bisa saja kalau bercanda.” Sahut Azzam sambil tersenyum. Di dalam Bu Nyai Nur dan Anna tersenyum mendengar cara Kiai Lutfi bercanda.
”Nduk, Abahmu itu bisa saja bercanda. Oh ya Nduk, Ummi ke belakang dulu. Ummi lupa mengambil jemuran. Sri belum pulang.” Kata Bu Nyai setengah berbisik.
”Biar Anna saja yang mengambilnya Mi.” Lirih Anna
“Tidak usah, biar Ummi saja. kamu teruskan saja mengemasi barang-barangmu.”
”Bagaimana dengan kesehatanmu Zam?”
”Alhamdulillah sudah baik semua Pak Kiai. Seperti yang Pak Kiai lihat, saya sudah bisa berjalan seperti semula. Tangan yang patah sudah tersambung seperti semula. Dan tulang iga yang patah juga sudah baik lagi. Rongent terakhir semuanya sudah tak ada masalah menurut dokter. Hanya saja pen-nya belum diambil. Mungkin ya diambil satu dua tahun lagi.”
”Alhamdulillah kalau begitu. Aku senang mendengarnya. Terus ngomong-ngomong ini ada perlu apa kamu sore ini kemari. Kok rasanya agak berbeda dengan biasanya?”
”Begini Pak Kiai, ternyata kami masih punya hutang sama Anna. Hampir kelupaan. Mohon sampaikan maaf pada Anna. Dulu Husna pernah pinjam uang lima juta pada Anna untuk bayar administrasi rumah sakit. Ini saya datang untuk membayar hutang itu.” Azzam menjelaskan maksud kedatangannya.
Di dalam, Anna sangat berharap agar ayahnya menolak uang itu. Agar uang itu dianggap lunas saja. Tapi Kiai Lutfi justru menjawab,
”Ini namanya rezeki. kamu datang tepat waktu Zam. Kebetulan Anna mau pergi jauh. Itu bisa untuk uang saku baginya. Terima kasih Zam.”
”Pergi ke mana, kalau boleh tahu Pak Kiai?” ”Kembali ke Cairo. Dia mau menyelesaikan S2-nya.
”Alhamdulillah, semoga segera selesai. Ummat ini memerlukan ahli fiqh seperti Anna. Kalau perlu dia harus sampai doktor Pak Kiai. Saya sangat kagum padanya saat melihatnya jadi moderator.”
”Di mana?”
”Di Auditorium Shalah Kamil. Bahasa Arab dan Inggrinya bagus. Dia sampai jadi pembicaraan para mahasiswa di kampus lho Pak Kiai. Sampai ada yang ingin menyuratinya. Ada saja yang ingin meminangnya, dan lain sebagainya. Namanya juga anak muda.”
”Dan kamu juga ikut membicarakannya?”
”Kalau saya ya beraninya dalam batin saja Pak Kiai. Lha saya ini siapa, saat itu hanya dikenal mahasiswa yang tidak lulus-lulus karena jualan bakso. Mana berani ikut ikutan memmbicarakan dia.”
Anna jadi teringat dengan seminar sehari tentang Ulama Permpuan di Asia Tenggara yang diadakan PMRAM, HW, PPMI, Wihdah dan ICMI di Auditorium Shalah Kamil Universitas Al Azhar. Sebuah seminar akbar yang dikuti oleh mahasiswa Asia Tenggara yang ada di Mesir. Dan saat itu ia didaulat untuk jadi moderatornya. Anna berkata dalam hati,
“Oh ternyata dia juga ikut seminar itu, pantas dia tahu.”
”O iya Pak Kiai, saya masih ada perlu satu lagi.” Kata Azzam sambil memandang wajah Kiai Lutfi. Wajah itu tampak begitu teduh dan sejuk.
”Apa itu?”
”Saya mau sedikit minta tolong pada Pak Kiai. Begini Pak Kiai, cincin ini yang membeli dan memilih adalah almarhumah ibu.” Kata Azzam dengan bibir bergetar. Jantungnya mulai berdegup semakin kencang.
”Azzam sudah berikhtiar pelbagai macam jalan dan acara untuk menemukan jari yang cocok memakai cincin ini. Terakhir sudah terpasang cincin ini pada jari seorang gadis dari Kudus. Dan tinggal menunggu hari akad nikah ternyata musibah jadi penghalang. Cincin ini dikembalikan. Dan gadis itu menikah dengan orang lain.”
”Pak Kiai, sore ini Azzam datang kemari juga dalam rangka ikhtiar mencari jari siapa yang cocok dan pas menerima cincin ini. Di sini ada ratusan santri perempuan tidak adakah satu orang saja yang pantas dan mau memakai cincin ini?
”Pak Kiai, Azzam titipkan cincin ini pada Pak Kiai sebab Azzam merasa berat untuk menyimpannya, begitu Pak Kiai merasa ada yang pantas memakainya silakan Pak Kiai pakaikan di jarinya. Azzam akan sami’na wa atha’na. Azzam akan memejamkan mata dan ikut pada apa yang Pak Kiai pilihkan.”
Dengan penuh pasrah Azzam menyerahkan cincin yang dibelikan ibunya itu pada Kiai Lutfi. Tak jauh dari situ, hanya beberapa meter saja jaraknya, di balik kaca hitam pekat tak terlihat, seorang perempuan bermata indah mendengarkan kalimat-kalimat Azzam dengan hati penuh harap. Penuh harap agar cincin itu disematkan saja dijarinya. Kiai Lutfi langsung paham apa maksud Azzam menyerahkan cincin itu padanya.
”Nak, aku mau cerita, sebuah kisah nyata, maukah kamu mendengarkan?” Kata Kiai Lutfi.
”Ya Pak Kiai, dengan senang hati dan lapangnya dada.”
”Ada seorang gadis yang halus hatinya. Patuh dan bakti pada kedua orang tuanya. Apapun yang diinginkan orang tuanya pasti dikabulkannya. Gadis itu shalihah insya Allah. Gadis itu sangat takut pada Tuhannya. Cinta pada nabinya. Bangga dengan agama yang dipeluknya. Suatu hari gadis itu dilamar pemuda yang dianggapnya akan membahagiakannya. Ia menerima lamarannya. Kedua orang tuanya merestuinya. Nikahlah gadis itu dengan sang pemuda. Hari berjalan. Bulan berganti bulan. Orang tuanya beranggapan bahwa putrinya telah menemukan kebahagiaannya. Tenyata anggapan itu tidak sama dengan kenyataan. Enam bulan menikah pemuda yang menikahinya tidak mampu melakukan tugasnya sebagai suami. Gadis itu masih perawan. Masih suci. Pemuda itu lalu menceraikannya. Sejak sekarang pertanyaanku. Maukah kamu menikah dengan gadis itu?”
Hati Anna bergetar hebat. Air matanya meleleh. Hatinya penuh harap semoga Azzam menerima gadis itu. Sebab gadis yang diceritakan Abahnya pada Azzam adalah dirinya.
”Dia shalihah Pak Kiai?”
”Insya Allah.”.
“Jika Pak Kiai yang menjamin, maka saya mau!”
”Kau tidak ragu?”
”Saya mau tanya pada Pak Kiai apa dia menurut Pak Kiai pantas untuk saya dan saya pantas untuknya?”
”Insya Allah.”
”Kalau begitu saya tidak ragu sama sekali Pak Kiai.”
”Baiklah kalau begitu shalatlah maghrib di sini. Dirimu akan aku nikahkan dengan gadis itu bakda shalat maghrib. Yang jadi saksi adalah masyarakat yang jamaah di sini dan para santri. Maharnya cincin emas ini.”
”Masalah surat-surat resminya Pak Kiai?”
”Itu gampang. Besok langsung diurus di KUA. Ketua KUA nya malah biasanya shalat maghrib di sini.“
”Kenapa tidak besok sekalian Pak Kiai?”
”Cincinmu ini amanah bagiku Nak, aku khawatir nyawaku tidak sampai besok pagi sehingga aku tidak bisa menunaikan amanahmu.”
”Kalau boleh tahu, gadis itu asal mana, dan siapa namanya Pak Kiai?”
”Dia asli Wangen sini, dia putriku sendiri namanya Anna Althafunnisa.”
”Anna Pak Kiai?”
”Iya. Apakah kamu keberatan aku nikahkan dengan Anna?”
”Tidak Pak Kiai.” Jawab Azzam dengan linangan air mata.
”Tapi Pak Kiai?”
”Tapi apa?”
”Bagaimana dengan iddahnya.”
”Sudah lama terlewati masa iddahnya. Kamu tak usah mengkhawatirkan masalah itu. Dia telah menikah tapi sampai sekarang masih perawan. Dia janda, tapi janda kembang. Janda yang mahkota kewanitaannya masih utuh. Dia sama saja belum pernah menikah sebenarnya.”
”Maaf apa sebaiknya tidak ditanyakan dulu ke keluarga Furqan. Siapa tahu Furqan sudah sembuh. Terus ingin rujuk pada Anna. Dan siapa tahu sebenarnya Anna ingin rujuk pada Furqan. Sebab Furqan itu teman baik saya, Pak Kiai. Saya tidak ingin menikah di atas penderitaan orang lain. Apalagi teman saya sendiri.”
”Anna sudah berkali-kali bilang tidak mungkin lagi mau rujuk pada Furqan. Dan Anna sudah menyerahkan urusan jodohnya pada Abahnya ini. Dia bahkan bilang seandainya orang buta sekalipun yang aku bawakan padanya, dia akan taat. Jadi tidak ada masalah sama sekali.”
”Apa harus habis maghrib ini Pak Kiai?”
”Apa kamu tidak siap?” Tantang Pak Kiai Lutfi.
Di balik dinding kaca hitam, Anna Althafunnisa menahan harunya. Ia mendengar percakapan Azzam dengan Abahnya dengan dada bergetar. Ia sangat berharap pernikahannya dengan Azzam benar- benar terjadi setelah shalat maghrib.
”Baik, saya siap Pak Kiai!” Jawab Azzam mantap.
Anna langsung sujud syukur dengan tubuh bergetar karena merasakan anugerah yang datang begitu tiba-tiba. la teringat kembali pertemuannya dengan Azzam pertama kali waktu ditolongnya dengan taksi. Ia ingat kembali saat ia menanyakan namanya;lalu ia menunduk dan hanya memperkenalkan namanya dengan mengatakan: Abdullah. Ia sangat berterima kasih dan kagum pada pemuda itu ketika itu. Sampai kini pemuda itu akan menikahinya. Sementara Azzam berusaha keras untuk menahan air matanya. Ia tidak mau air matanya meleleh di depan calon mertuanya. Ia ingat pertama kali mendengar nama Anna dari Pak Ali, sopir KBRI. Lalu ia cari informasi. Ternyata Anna adalah bintangnya mahasiswi Indonesia yang ramai dibicarakan dan didambakan orang. Ia nekat meminangnya lewat Ustadz Mujab, tapi Ustadz Mujab memberikan jawaban yang tidak pernah dilupakannya.
Ia masih ingat betul kata-kata Ustadz Mujab:
“Allahlah yang mengatur perjalanan hidup ini. Sungguh aku ingin membantumu Rul. Tapi agaknya takdir tidak menghendaki aku bisa membantumu kali ini. Anna Althafunnisa masih terhitung sepupu denganku. Aku tahu persis keaadaan dia saat ini. Sayang kamu datang tidak tepat pada waktuya. Anna Althafunnisa sudah dilamar orang. Ia sudah dilamar oleh temanmu sendiri.”
Allahlah yang mengatur hidup ini. Kalau memang jodohku adalah Anna Althafunnisa seperti apapun berliku adanya maka akan sampai pada jodohnya. Itulah yang ada di benak Azzam. Meski ia berusaha menahan,tapi matanya tetap berkaca-kaca.
Langit cerah. Ufuk barat memerah. Angin berhembus. Daun mangga jatuh. Senja bertasbih. Burung- burung pulang ke sangkarnya dengan bertasbih. Para santri di masjid ada yang menghafal Alfiyah, ada yang membaca Al Qur’an, ada yang membaca ma’tsurat, dan ada juga yang memilih duduk menghadap kiblat dengan bertasbih.
Azan maghrib berkumandang. Azzam menjawab panggilan azan dengan hati bergetar. Jiwanya ia pasrahkan semuanya kepada Allah. Sementara Anna bersiap dengan mukena putihnya. Ia larut dalam zikir mengagungkan Allah. Senja itu langit cerah. Angin mengalir dari sawah. Bintang-bintang bertasbih. Shalat didirikan. Selesai shalat Kiai Lutfi naik mimbar, setelah membaca hamdalah dan shalawat pengasuh pesantren itu memberikan pengumuman singkat,
”Jamaah shalat maghrib, santri-santriku yang aku sayangi. Malam ini pengajian tafsir Jalalain waktunya diganti bakda Isya. Insya Allah bakda maghrib ini akan ada peristiwa bersejarah yang penting. Yaitu saya akan menikahkan Anna Althafunnisa dengan Khairul Azzam. Saya mohon kepada semua yang ada di masjid ini untuk menjadi saksi!”
Setelah itu Pak Kiai turun dan memanggil Azzam untuk maju ke depan. Azzam maju dengan langkah gemetaran. Lebih dari seribu mata santri memandang ke arahnya. Pak Kiai duduk di depan mihrab. Azzam duduk tertunduk di hadapannya. Pak Kiai memanggil seorang santri senior bernama Hamid, seorang pria berumur empat puluh lima tahunan bernama Pak Fadlun. Pak Fadlun adalah kepala KUA Kecamatan Polanharjo. Sebelum akad Pak Kiai berkata pada Pak Fadlun,
“Tolong Pak Fadlun sampeyan jadi saksi, dan sekalian kamu catat dan kamu buatkan surat nikahnya. Persyaratan berkas- berkasnya menyusul ya.”
”Inggih Pak Kiai.” Jawab Pak Fadlun.
Azzam mendengar percakapan itu. Hatinya semakin mantap. Di lantai dua, Anna menanti detik-detik membahagiakan itu dengan tidak sabar. Ia segera ingin resmi jadi isteri Azzam, agar status jandanya segera hilang. Pak Kiai memulai prosesi akad nikah. Sebelumnya ia membatakan khutbah nikah secara singkat. Semua dalam bahasa Arab. Khutbah nikahnya baginda Nabi ketika menikahkan Fatimah dengan Ali. Khutbah yang ditulis banyak ulama dalam kitab-kitab fiqh. Lalu Kiai Lutfi berkata kepada Azzam,
”Ya Khairul Azzam, anikahtuka wa tazwijatuka binti Anna Althafunnisa bi mahri al khatam min dzahab haalan”33 33 Wahai Khairul Azzam, aku nikahkan dan aku kawinkan kamu dengan putriku Anna Althafunnisa dengan mahar cincin emas dibayar tunai.”
”Qiiiltu nikahaha wa tazwijaha bi mahril madzkur haalan”34 34 Aku terima menikah dan mengawininya dengan mahar tersebut dibayar tunai.” Jawab Azzam spontan. Di lantai dua Anna langsung memeluk Umminya yang ada di samping. Ibu dan anak larut dalam tangis bahagia.
”Ummi, Anna sudah punya suami lagi. Anna tidak janda lagi. Dan suami Anna kali ini adalah orang yang sebenamya selama ini Anna cintai.” Kata Anna setengah berbisik pada ibunya.
”Iya Nduk, alhamdulillah.”
Selesai akad Pak Kiai membaca doa, yang diamini semua santri yang memenuhi masjid itu. Setelah itu para santri menyalami Azzam dengan senyum mengembang. Pak Kiai hendak membawa Azzam ke rumah untuk menemi isterinya.
Azzam menjawab,
“Perkenankan saya i’tikaf Pak Kiai sampai Isya.”
”Jangan panggil Pak Kiai lagi. Panggillah Abah. Sekarag kamu menantuku Zam.”
“Baik Abah.”
Pak Kiai tetap pulang, dan meminta isteri dan anak putrinya menyiapkan sesuatu yang bisa digunakan untuk menyambut sang menantu setelah shalat Isya’.
0 komentar:
Posting Komentar