20 Bunga-Bunga Cinta
Bau cinta begitu dekat. Aromanya terhisap masuk sampai ke sumsum jiwa. Efeknya luar biasa. Menyegarkan badan. Menajamkan pikiran.
Itulah yang dirasakan oleh Azzam menjelang pertunangannya dengan dr. Alviana Rahmana Putri yang biasa dipanggil Vivi itu. Prosesnya tak terbayangkan akan secepat itu. Dua hari setelah bertemu dengan Vivi, Pak Mahbub datang menanyakan apakah dia serius untuk menikahi Vivi. Azzam menjawab serius. Pak Mahbub memberitahu Vivi dan keluarganya menerimanya dengan hati bahagia.
Pak Mahbub kembali mengajaknya ke Kudus untuk meminang Vivi secara resmi. Tepat satu minggu setelah pertemuan pertama, Azzam dan keluarganya kembali ke sana. Bu Nafis membuat banyak makanan untuk diberikan kepada keluarga Vivi. Sebagai tanda keseriusan Azzam membelikan sebuah cincin untuk Vivi. Cincin itu ia berikan kepada ibunya untuk dipakaikan di jari manis Vivi.
la dan rombongannya sampai di rumah Vivi hampir sama waktunya dengan saat pertama dulu datang. Hanya lebih awal setengah jam. Di rumah itu ternyata sudah menunggu banyak orang. Mereka adalah keluarga terdekat Vivi dan tetangga kiri kanan. Pak Zuhri, ayah Vivi menyambut Azzam dan rombongannya dengan wajah berseri-seri.
Hari itu Bu Nafis tampak lebih cerah dari hari hari sebelumnya. Bu Nafis begitu tulus bersalaman dan berpelukan dengan Bu Fadilah, ibu Vivi.
Azzam memakai kemeja yang dibelikan ibunya di pasar Klewer. Ia tampak gagah dan bersahaja dengan peci hitam di kepalanya. Vivi memakai gamis cokelat susu dan jilbab putih bersih. Dokter muda itu tampak anggun.
Acara lamaran itu jadi setengah resmi. Keluarga Vivi telah menyusun rangkaian acara. Yaitu pembukaan kalimat dari keluarga Azzam, kalimat dari keluarga Vivi, musyawarah atau lain-lain. Doa dan terakhir ramah-tamah.
Acara dibuka dengan pembacaan surat Fatihah seperti biasa. Kalimat dari keluarga Azzam diwakili oleh Pak Mahbub yang tak lain sebenarnya adalah paman dari Vivi sendiri. Pak Mahbub adalah adik dari ibu Vivi. Pak Mahbub menyampaikan bahwa kedatangannya dari Kartasura untuk melamar Vivi buat Khairul Azzam. Pak Mahbub menyampaikan kalimatnya lugas dan sederhana saja.
Singkat. Langsung ke intinya. Tidak muter-muter ke manamana dulu penuh basa-basi dan tambahan cerita di sana-sini.
Dari keluarga Vivi yang menjawab langsung Pak Zuhri.
Pak Zuhri menyampaikan rasa bahagianya atas kedatangan rombongan dari Kartasura.
“Mohon maaf jika tempat dan ruangan yang disediakan kurang berkenan.” Adapun tentang lamaran Azzam, Pak Zuhri mengatakan,
“Saya pribadi sebagai orang tua dan wali anak saya Alviana Rahmana Putri sama sekali tidak keberatan, saya malah bahagia dan gembira. Apalagi Vivi memang sudah saatnya membina keluarga. Hanya saja saya tidak bisa memaksakan kehendak pada anak saya. Jawabannya langsung saja saya serahkan kepada anak saya tentang menerima atau tidak lamaran Azzam ini..
Ibu Fadilah lalu mendesak Vivi untuk bicara. Suasana hening sesaat karena Vivi tidak langsung bicara. Sebenarnya Vivi sedang menikmati kebahagiaan yang membuncah dalam dadanya. Ia sungguh merasa mendapat anugerah agung dari Allah mau disunting dan diperistri oleh pemuda yang ia yakin shaleh bernama Khairul Azzam. Pemuda yang ada dalam idamannya. Ia mengidamkan punya suami seorang santri yang baik dan paham ilmu agama. Dan Azzam adalah lulusan pesantren tertua di dunia yaitu Al Azhar University Cairo. Vivi menata degup jantungnya. Tanpa ia sadari air matanya meleleh.
Lalu dengan suara agak terbata-bata, ia berkata singkat,
“Dengan membaca bismillahirrahtnaanirrahim dan dengan mengharap ridha Allah lamaran itu saya terima..
Semua yang hadir mengucapkan alhamdulillah. Azzam menikmati suasana yang sangat indah. Ia langsung mencium aroma cinta.
Harumnya menyusup merasuk ke dalam jiwanya. Begitu Vivi menyampaikan penerimaannya, Bu Fadilah menciumnya. Bu Nafis yang ada di samping Bu Fadilah mendekati Vivi. Bu Nafis duduk tepat di hadapan Vivi. Spontan Vivi mencium tangan calon mertuanya. Lalu dengan disaksikan Bu Fadilah dan yang hadir Bu Nafis memasukkan cincin emas ke jari manis Vivi.
”Semoga barakah ya Nak.” Lirih Bu Nafis. ”Amin. Mohon doanya Bu.” Jawab Vivi sedikit serak.
Setelah itu masuk pada acara musyawarah dan acara lainlain. Pihak keluarga Azzam menyerahkan semuanya kepada keluarga Vivi untuk menentukan tanggal pernikahan dan lain sebagainya. Akhirnya kedua belah pihak sepakat bahwa akad nikah dilangsungnya satu bulan berikutnya. Akad nikahnya di Masjid Al Aqsha atau Masjid Menara Kudus. Akad akan dilangsungkan pada hari Kamis jam sembilan pagi. Lalu resepsi pernikahan dilangsungkan di rumah Vivi pada hari itu juga, sehari penuh, setelah acara akad nikah. Sedangkan acara di Kartasura hanya semacam syukuran saja. Mengundang tetangga satu RW, untuk mengiklankan bahwa Azzam sudah menikah dan untuk minta doa restu. Dalam musyawarah itu Azzam juga berterus terang bahwa ke depan Vivi akan ia boyong ke Kartasura. Mungkin untuk sementara setelah menikah. Satu minggu dua kali ia akan pergi ke Sayung Demak. Ke rumah dinas yang sekarang di tempati Vivi. Keluarga Vivi setuju. Seorang bapak berumur sekitar empat puluh tahun yang menjadi tetangga Vivi berkata,
“Ah, jarak Kartasura-Demak kalau ditempuh dengan mobil, apalagi disemangati dengan kerinduan dan cinta akan terasa dekat dan ringan!.
Spontan yang hadir tertawa bahagia. Azzam dan Vivi hanya tersenyum. Tanpa mereka sadari ada semacam magnet yang membuat mereka berpandangan. Ces! Setetes embun bagai menetes ke dalam hati Azzam begitu kedua matanya bertemu dengan kedua mata Vivi. Sedangkan Vivi merasakan tubuhnya bagai mau melayang karena bahagia. Keduanya lalu menunduk kembali.
Azzam merasakan halusnya kasih sayang Tuhan. Ikhtiarnya untuk menemukan jodoh ternyata dikabulkan oleh Allah Swt. Sebelum pulang Pak Zuhri rnenyerahkan kertas kecil kepada Azzam seraya berkata,“Hanya sekedar untuk tahu saja, siapa tahu kelak ada gunanya untuk anak turunanmu. Ini silsilah moyangnya Vivi. Jadi silsilahnya ini!.
Azzam membaca isi kertas itu: Alviana Rahmana Putri binti Zuhri bin Zuhaidi bin Sukemi bin Karto bin Singodigdo bin Raden Sastrobuwono. Azzam melipat dan memasukkan kertas itu ke dalam saku bajunya. Kelak jika Vivi sudah jadi isterinya ia akan minta agar sejarah pemilik nama-nama itu diceritakan kepadanya. Agar kelak bisa ia gunakan jika punya anak dan dalam sejarah itu ada yang bisa menyemangati anaknya.
Azzam merasa yakin bahwa Vivi adalah anugerah agung dari Tuhan untuknya. Bagi orang yang beriman, setelah keimanannya adakah ada anugerah yang lebih baik dan lebih indah melebihi isteri yang shalihah?
Azzam teringat sabda Rasulullah Saw.,
“Seorang mukmin tidaklah mengambil faidah yang lebih baik setelah takwa kepada Allah dari isteri yang shalihah; yang jika dia menyuruh isterinya maka isteri itu mentaatinya, jika melihatnya isteri itu menyenangkannya, jika bersumpah atas nama isterinya maka isterinya itu memenuhinya, dan jika suami tidak di rumah maka isteri itu menjaga harta dan kehormatan suaminya.”30 30 Diriwayatkan oleh Ibnu Majah, hadits no. 1847
Azzam berharap setelah takwa kepada Allah, Alviana Rahmana Putri adalah anugerah Allah terbaik dari Allah yang akan senantiasa memberinya faidah dalam menyempurnakan ibadah kepada Allah.
Husna juga merasakan kebahagiaan yang sama. Bungabunga cinta bersemi di dalam hatinya. Seakan hatinya adalah taman bunga di musim semi. Setelah shalat istikharah dan bermusyawarah dengan ibu, Azzam dan Lia ia mantap menerima lamaran Muhammad Ilyas.
“Dia dulu santrinya Kiai Lutfi, terus kuliah di Madinah, sekarang S2 di Aligarh India. Insya Allah dia shaleh. Menurut kakak tidak ada alasan untuk menolak” Tegas Azzam. Awalnya Husna masih agak bimbang.
Melewati tiga hari yang dijanjikan ia belum memutuskan. Setelah pulang dari acara pertunangan kakaknya di Kudus baru ia putuskan. Itupun setelah ia mendengar kalimat tegas dari kakak yang sangat dihormatinya. Akhirnya dengan hati mantap ia putuskan menerima lamaran Ilyas.
Keluarga Ilyas datang ke rumahnya mirip dengan ketika keluarganya datang ke Kudus. Mereka membawa makanan. Membawa beberapa orang. Acaranya juga hampir sama. Hanya saja Ilyas tidak membelikan cincin untuknya tapi tiga potong jilbab yang cantik warnanya.
Ketika bermusyawarah tentang penentuan hari pernikahan terjadi dialog yang sedikit alot. Keluarga Ilyas ingin satu minggu secepatnya. Sekilat-kilatnya. Ibunya tidak mau. Satu minggu menurut ibunya itu terlalu cepat dan gila. Ibunya ingin pernikahannya dilaksanakan paling tidak tiga bulan setelah pernikahan Azzam. ]adi empat bulan dari hari pertunangan kira-kira.
Ilyas merasa keberatan. Itu terlalu lama.
”Saya khawatir bisa menimbulkan fitnah di hati saya.” Kata Ilyas.
”Masak cuma menunggu empat bulan saja kok berat. Dulu ibu saja harus menunggu satu tahun.” Balas Bu Nafis. Semua diam. Husna menutup rapat-rapat kedua bibirnya. Ia tak angkat suara takut salah bicara. Suasana agak kaku sesaat. Dan Azzam menggerakkan bibirnya mencairkan suasana,
“Ah gampang. Kita ambil jalan tengah saja. Bagaimana biar keluarga kami tidak repot dan keluarga Ilyas juga tidak terlalu lama menunggu, bagaimana jika pernikahannya dilaksanakan di hari yang sama dengan syukuran pernikahan saya di Kartasura ini..
”Lha ini, usul yang bagus.” Kata Pak Mukhlas ayah Ilyas sambil tersenyum.
”Bagaimana Ilyas? Apa kira-kira menunggu satu bulan juga keberatan?” Tanya Azzam pada Ilyas. Yang ditanya jadi kikuk dan salah tingkah. Dan dengan suara tergagap Ilyas menjawab,
”Sa... satu bulan? Bolehlah..
”Bue bagaimana? Kan kalau bareng syukuran pernikahannya Azzam malah tidak terlalu repot. Meminta tolongnya tetangga juga cuma satu kali.” Tanya Azzam pada ibunya.
”Ibu sepakat dengan usulmu Nak.” Jawab Bu Nafis. Dan tercapailah kesepakatan.
Sejak itu Azzam dan Husna sering keluar belanja bersama untuk mempersiapkan hari pernikahan mereka. Azzam memanggil seorang tukang untuk memperbaiki rumahnya. Lantai yang masih hitam dari semen ia belikan keramik. Karena kamarnya pas-pasan. Ia membuat kamar tambahan di dekat dapur. Dinding bagian belakang dapur dijebol dan dibuat dua kamar. Dari tembok. Di dalam kamar ia beri kamar mandi. Kamar itulah rencananya kamar untuk Husna dan kamar untuk dirinya. Sementara bentuk rumah tidak ia ubah sama sekali. Biar tetap seperti aslinya. Hanya saja ia minta dirapikan dan dicat yang rapi.
Lia membantu menyebar undangan. Terutama adalah undangan pernikahan Husna. Kalau undangan pernikahan Azzam tidaklah banyak karena Azzam akan akad dan walimah di Kudus. Tak lupa Azzam meminta Lia mengantarkan undangan ke Pesantren Wangen. Seluruh keluarga Kiai Lutfi diundang untuk datang. Bunga-bunga cinta bermekaran di rumah sederhana itu. Rumah Azzam dan Husna. Bunga-bunga cinta seolah tumbuh di halaman rumah. Tumbuh di ruang tamu.
Tumbuh di dapur. Dan tumbuh di setiap kamar. Menunggu hari H penuh cinta Azzam dan Husna sering shalat tahajjud bersama.
Mereka berdoa bersama memohon ridha dan barakah dari Allah ’Azza wa Jalla.
0 komentar:
Posting Komentar