24 Pasrah
Detik demi detik ia dicekam rasa cemas dan takut. Ia merasa seperti seorang penjahat yang menunggu giliran eksekusi hukuman mati. Ia seperti menunggu giliran un -tuk dihukum pancung. Ia tak bisa berbuat apa -apa kecuali pasrah. Ia terpaksa mengundurkan jadwal pulangnya. Beberapa orang yang tahu ia akan pulang kaget ia tak jadi pulang.
Abduh dan Maftuh bertanya, "Kok diundur kenapa?" Furqan menjawab, "Masih ada keperluan yang harus aku
selesaikan."
Ia masih belum bisa menerima bahwa ini semua akan menimpa dirinya.
"Ya Allah jangan Engkau uji hamba dengan penyakit itu. Ya Allah rahmati hamba-Mu yang lemah ini, rintihnya berulang kali dalam hati.
Setiap kali shalat ia selalu menangis. Ia merasa tidak ada lagi tempat berlabuh dan mengungsi mencari keamanan kecu ali kepada Allah Yang Maha Mengatur nasib hamba hambaNya. Bayangan menakutkan mengidap virus HIV terus menterornya. Ia sangat sedih dan membutuhkan orang yang menghiburnya. Namun ia tidak berani bercerita. Ia simpan sendirian di dalam dada. Ia sangat tersiksa.
Jika akhirnya ia benar-benar mengidap HIV, habis sudah masa depannya. Ia merasa menjadi orang paling malang dan paling sengsara di dunia. Ia merasa menjadi manusia paling hina dan paling tiada berguna. Ia akan dipandang sebagai makhluk yang menjijikan oleh siapa saja. Bahkan juga oleh keluarganya.
Ia kembali menangis meratapi nasibnya. Apa gunanya gelar M.A., jika ia mengidap penyakit paling ditakuti manusia sedunia. Apa gunanya belajar bertahuntahun di bumi para nabi, jika akhirnya pulang hanya membawa aib bagi diri dan keluarga.
Ia benar-benar merasa sangat nelangsa dan tersiksa. Ia merasa, kepalanya dipenggal seribu kali lebih baik dari-pada disiksa dengan rasa takut yang sangat mencekik seperti ini. Dalam kondisi seperti itu ia terus berusaha untuk tetap sadar, bibir dan hatinya basah oleh istighfar.
Tiga hari berlalu. Hari penentuan tiba. Dengan tubuh lemah ia datang ke Rumah Sakit Ains Syam untuk mengambil hasil test darahnya. Ia berharap bahwa Allah masih melindungi dirinya.
Ketika ia menanyakan hasil test darahnya pada seorang petugas dengan memberikan secarik bukti ia pernah test tiga hari yang lalu, petugas itu berkata,
"Maaf Tuan, dengan sangat terpaksa Tuan harus test darah lagi."
Mendengar kata -kata itu tubuhnya seakan mau hancur. Tubuhnya gemetar. Dengan terbata -bata ia bertanya, "Ke...kenapa? A...apa ada tanda-tanda saya positif. Dan untuk meyakinkan lagi saya harus test ulang?"
"Tidak Tuan. Kebetulan sampel dari Tuan dan beberapa sampel yang lain hari itu belum kami bawa ke laborato-rium. Kami letakkan di almari itu. Dan almari itu ambruk karena kecerobohan seorang petugas kami. Sampel-sampel darah itu tumpah. Jadi tidak bisa dianalisis di laboratorium. Kami benar benar minta maaf atas insiden yang tidak kami inginkan ini. Jadi Tuan kami minta test darah kembali. Kami akan menganalisisnya secepat mungkin, besok Tuan bisa datang melihat hasilnya. "
Furqan sedikit lega. Ia merasa eksekusi hukuman pancungnya tertunda satu hari. Dengan pasrah ia kembali diambil darahnya. Furqan pulang dengan pikiran kosong. Hidup ia rasakan sebagai sebuah penderitaan.
Kampus Al Azhar University kembali memperlihatkan wibawanya.
Ujian Al-Quran secara lisan mulai dilaksanakan Mayoritas mahasiswa bergumul dengan hafalannya. Ada
yang optimis, ada yang pesimis. Yang hafalannya lancar, ujian lisan terasa sangat menyenangkan. Tak ada yang perlu dita kutkan. Apa yang perlu ditakutkan oleh orang yang hafal ayat-ayat suci Al-Quran? Melantunkan ayat-ayat suci Al Quran yang diminta doktor penguji dengan tartil dan tenang adalah sebuah kenikmatan yang susah dilukiskan.
Sebaliknya, bagi yang tidak hafal, atau belum hafal, ma suk gerbang kampus saja telah membuatnya berkeri-ngat dingin. Wajah ramah doktor penguji terasa sangat menyeram kan. Detik-detik dilalui dengan jantung berdegup kencang.
Azzam tidak perlu datang ke kampus, karena ia sudah tidak perlu lagi ujian Al-Quran. Semua mata kuliahnya sudah lulus. Tinggal satu saja yang belum; yaitu Tafsir Tahlili. Hari itu yang ujian Al-Quran adalah Ali dan Nanang. Ali berangkat dengan tenang dan senyum mengembang. Enam juz telah ia hafal sejak dua bulan yang lalu di luar kepala. Selama di dalam bus, dari rumah sampai kampus, ia mengulang hafalannya dengan penuh penghayatan.
Sementara Nanang berangkat dengan wajah pucat. Selain karena kurang tidur, karena semalam suntuk ia ma -sih berjuang menghafal, ia didera rasa cemas lantaran masih ada sahu juz yang belum benar-benar ia hafal. Yaihu juz enam. Jika juz enam yang jadi perhatian utama doktor penguji, maka mata kuliah Al-Quran benar-benar terancam. Nanang benar benar pasrah. Ia sedikit menye-sal kenapa tidak sejak awal tahun ia menghafal, sehingga mendekati ujian seperti itu ia tinggal mengulang dan mengulang.
Sampai di kampus, ujian lisan telah berjalan. Ali langsung menyerahkan kartu mahasiswanya begitu doktor penguji keluar dari ruangan unhuk memanggil mahasiswa yang siap. Ali masuk bersama dua orang dari Pakistan. Doktor benar benar menguji. Setiap juz ditanyakan. Ali bisa menjawab dengan lancar dan tenang. Dua mahasiswa dari Pakistan itu menjawab dengan bacaan yang indah dan lantang. Doktor penguji tersenyum senang. Semua pertanyaan tidak ada yang tidak terjawab. Akhirnya doktor penguji berkata, "Semoga Allah memberkahi kalian!"
Ali dan dua mahasiswa Pakistan keluar dengan senyum mengembang.
Di ruang yang lain, Nanang baru saja masuk karena na manya dipanggil doktor penguji. Ruang ujian Nanang dan ruang Ali terpisah. Nomor induk mahasiswalah yang menentukan.
Nanang duduk sendirian. Ia tegang. Doktor pengujinya memilih menguji mahasiswanya satu per satu.
"Namamu Nanang?" tanya Doktor itu. "Iya Doktor."
"Dari Indonesia ya?"
"Indonesianya di daerah mana?" "Dari Lamongan, Jawa Timur, Doktor." "Lamongan itu kalau dari Surabaya jauh?" "Tidak terlalu jauh, kurang lebih lima puluh kilo saja."
"Tahun lalu saya ke Surabaya, saya diudang oleh seorang Doktor Tafsir lulusan Al Azhar ini yang mengajar di sana. Saya diundang untuk memberi prasaran tentang ‘Dunia jin dan Setan dalam Pandangan Al-Quran dan Sunnah'." Jelas Doktor berkaca mata tebal itu.
"Doktor sempat ke mana saja selama di Indonesia , terutama ketika di Surabaya?" Rasa tegang Nanang telah hilang. Ia jadi berani bertanya kepada Doktor yang hendak mengujinya itu.
"Selain di IAIN Sunan Ampel, saya sempat memberi ceramah di Universitas Airlangga, wawancara di Radio Delta, dan dibawa panitia ke sebuah pesantren tua di Bangkalan. Oh ya, saya juga diminta memberikan kuliah umum di Universitas Muhammadiyah Malang."
"Bagaimana kesan Doktor selama di Indonesia?" "Saya sangat terkesan. Saya diperlakukan laiknya seo
rang raja. Apalagi ketika di Malang. Saya suka dengan panorama alamnya, sejuk dan indah. Saya kira, Universitas Muhammadiyah Malang sangat beruntung bisa bertengger di tempat seindah Malang. Oh ya sudah terlalu banyak kita berbincang. Sekarang saatnya ujian Al-Quran. Dua soal saja untukmu. Coba kau lantunkan awal juz dua!"
Nanang sedikit tergagap,tapi ia langsung menguasai diri. Awal juz dua sangat ia hafal. Ia langsung melantunkan ayat ke-147 dari surat Al Baqarah dengan pelan-pelan. Setelah tiga ayat ia baca, doktor menyuruhnya berhenti.
"Teruskan ayat ini: Qaala Rabbii innii laa amliku illa nafsi wa akhi..!" Perintah Doktor penguji.
Nanang langsung memeras otaknya, memutar memorinya. Ia tahu ayat itu ada di surat Al Maidah, ada di juz enam. Beberapa kali telah ia baca. Namun ia belum hafal. Ia berusaha mencari sambungannya, tapi sama sekali tidak bisa. Setelah beberapa kali mencoba dan tidak kisa ia akhirnya menyerah dan berterus terang,
"Maaf Doktor, juz enam saya belum hafal benar." "Baiklah. Kau boleh meninggalkan ruangan. Dan tolong
panggilkan mahasiswa yang bernama Mat Nazri."
Nanang keluar dengan perasaan tidak tenang. Ia bisa menjawab satu, dan ia gagal satu. Ia tidak yakin Al Qurannya akan lulus. Namun ia masih juga berharap Doktor itu memberikan belas kasihan padanya.
Sore itu menjelang Maghrib, Furqan telentang di tempat tidurnya. Semangat hidupnya benar-benar redup. Ia merasa hidup matinya ditentukan oleh hasil test darahnya besok. Keterangan Kolonel Fuad membuat bulu kuduknya merinding. Begitu banyak korban perempuan jalang kiriman Mosad itu. Nyaris semuanya terkena virus HIV. Hanya empat orang yang tidak kena dan masih bersih. Artinya persentase selamatnya kecil.
Airmatanya meleleh. Bagaimana nanti hancurnya ayah dan ibunya jika ia benar-benar mengidap virus itu? Akan ditaruh di mana mukanya jika hal itu menjadi berita nasional di Tanah Air. Seorang mahasiswa Indonesia di Mesir, Mantan Ketua PPMI terkena AIDS. Di bumi mana ia sanggup mengangkat kepala dengan tegak.
Dan Anna Althafunnisa. Ah, jika ia terkena AIDS keinginannya menyunting Anna ibarat punguk merindukan bulan. Mustahil Anna akan mau menerimanya. Dan kalau toh Anna menerimanya, ia sendiri mana mungkin tega menulari perempuan pujaan hatinya dengan penya -kit AIDS yang dideritanya. Hanya Allahlah yang bisa menyelamatkannya. Ia benar-benar mengharap dan mengiba belas kasih dari Allah. Kepada siapa lagi ia melabuhkan harapam~ya selain kepada Allah?
Ia teringat firman-Nya:
Dan sesungguhnya kepada Tuhannmulah kesudahannya segala sesuatu.
Dan sesungguhnya Dialah yang menjadikan orang ter-tawa dan nzenangis.
Dan sesungguhnya Dialah yang menghidupkan dan mematikan.
Dan sesungguhnya Dialah yang menciptakan pasangan lakilaki dan perenzpuan. 69 69 QS. An Najm (Binatang) [53]: 42-45.
Kini tak ada yang bisa dilakukannya kecuali menangis memohon belas kasih-Nya, dan dengan segenap jiwa, ia pasrah dalam genggaman kekuasaanNya.
Furqan menghapus airmatanya ketika ia mendengar sua ra seseorang masuk rumah. Temannya pulang. Bisa Abduh bisa Maftuh. Ia berusaha menghapus kesedihannya. Ia harus tampak biasa. Beberapa saat kemudian pintu kamarnya diketuk pelan.
"Mas Furqan, Mas Furqan!" Itu suara Abduh.
"Iya masuk saja Duh, tidak dikunci," jawab Furqan. Ia masih terlentang dan pura -pura membaca majalah Mimbratul Islam. Abduh masuk.
"Saya siang ini baru tahu kenapa akhir-akhir ini Mas Furqan sedih. Siapa perempuan bule itu Mas? Mas sudah menikah diam-diam ya? Atau...? Tapi kenapa foto-foto seperti itu bisa dipajang di internet? Tolong jelaskan, Mas!"
"Kau lihat foto-foto apa sih Duh?" Furqan balik bertanya. Ia sebenarnya sangat kaget mendengar pertanyaan Abduh, tapi ia harus berusaha seolah tidak terjadi apa -apa.
"Tadi dari Dokki, aku singgah di sebuah warnet di Tahrir Mas, aku ingat kalau punya janji chatting dengan adikku yang kuliah di UNDIP Semarang. Di sela -sela chatting aku buka email. Aku mendapat email dari seorang teman di Amerika yang menginformasikan ada foto asusila yang disebar oleh mahasiswa Al Azhar. Temanku itu memberi alamat websitenya. Aku buka, dan ternyata itu foto-fotomu dengan seorang perempuan bule. Ada keterangannya panjang lebar di setiap foto."
"Yang benar Duh!?" tukasnya dengan nada tidak jelas antara menyanggah dan kaget.
"Aku tidak salah lihat Mas. Bahkan selain foto-fotomu ditampilkan juga kartu identitas pasca sarjanamu Mas. Kalau tidak percaya ayo kita lihat. Mana laptopmu Mas?"
Furqan menunjuk ke arah lemarinya. Kepalanya terasa mau pecah. Abduh tak mungkin bohong. Kini foto-foto itu telah menyebar ke seluruh dunia. Ia rasanya ingin mati saja.
Abduh menyalakan laptop, mengambil kabel telpon dan menyambungkannya ke jaringan internet. Sepuluh menit kemudian ia sudah membuka website yang ia maksud.
"Ini Mas, ada lima belas foto tidak senonoh. Mas modelnya. Dan ini foto ruangan hotelnya. Itu meja di mana ada laptop dan naskah tesis Mas. Trus terakhir lihat ini, kar-tu mahasiswa Mas!"
Furqan tak bisa menyangkal. Sesaat lamanya ia tak bisa bicara. Hanya airmatanya yang menjawab apa yang dilihatnya.
"Aku tak tahu apa yang sebenarnya terjadi pada dirimu Mas. Tolong jujurlah padaku agar aku tidak berburuk sangka padamu!" Pinta Abduh sambil menatap orang yang selama ini dihormatinya itu dengan seksama.
Furqan malah merangkul Abduh dan menangis tersedusedu. Abduh diam saja. Ia membiarkan Furqan puas menangis dalam rangkulannya. Setelah puas Furqan melepaskan rangkulannya dan menceritakan dengan terbata-bata semua yang dialaminya selama ini. Ia curahkan semua kesedihan dan penderitaannya.
"Kalau kau tidak memercayaiku Duh, lalu siapa yang akan percaya padaku? Kalau kau tidak menghiburku dan menguatkanku siapa yang akan menghibur dan menguatkanku? Besok adalah penentuan. Doakan aku Duh, aku takut sekali. Aku tak bisa membayangkan terpukulnya keluargaku jika aku terkena AIDS Duh!"
Furqan kembali menangis. Abduh yang mendengar itu semua ikut terharu dan meneteskan air mata.
"Ini memang berat Mas. Tapi percayalah Allah Maha tahu dan Maha Bijaksana. Semua akan baik-baik saja. Percayalah Mas. Aku akan selalu mendukung Mas, apapun yang terjadi. Aku ada di belakang Mas, ada di samping Mas. Aku percaya Mas tidak bersalah, Mas difitnah, Mas tidak kena virus itu dan Mas tetap memiliki masa depan yang baik," lirih Abduh meyakinkan Furqan.
Kata -kata Abduh itu sangat berarti bagi Furqan. Ia kembali memeluk adik kelasnya itu.
"Terima kasih Duh."
"Mas harus yakin bahwa Mas tidak apa-apa. Semua akan baik -baik saja. Mas harus yakin, Mas tidak boleh memi-kirkan yang tidak -tidak. Ingat Mas, Allah itu mengikuti prasangka hamba-Nya kepada-Nya. Jika Mas berkeyakinan bahwa Allah Maha Pengasih dan Allah menjaga Mas, insya Allah itulah yang akan terjadi!"
"Iya Duh, terima kasih atas dukunganmu.
0 komentar:
Posting Komentar