22 Ingat Kematian
Zumrah mengerang kesakitan. Ia tidak tahu kepada siapa harus minta tolong. Di dalam kamar kos itu ia sendirian. Teman satu kosnya, Si Muni sedang pulang kampung. Sejak jam tiga pagi kepalanya terasa pusing. Tubuhnya lemas. Perut sakit. Dunia seperti berputar. Ia tidur telentang dengan kepala sakit bukan kepalang. Jika ia duduk inginnya muntah. Ia sudah tidak tahan. Ia merintih. Ajalnya ia rasa seperti akan datang. Zumrah berpikir tentang kematian. Ia menggigil ketakutan. Jangan- jangan memang ajalnya akan datang. Ia jadi berpikir kalau ia mati akankah ia mati begitu mengenaskan. Mati sepi, sendirian, tak ada yang tahu. Jasadnya akan membusuk di sebuah kos yang terkunci. Jasadnya baru akan ditemukan setelah bau badannya menyengat ke mana-mana. Atau tatkala Muni datang. Dan ia tidak tahu kapan Si Muni akan datang.
Zumrah mengerang kesakitan. Kepalanya seperti kena godam. Ia merasa diintai oleh bayang-bayang kematian. Ia sudah tidak tahan. Ia harus memberi tahu orang. Harus. Jika ia mati biarlah jenazahnya segera diketahui orang dan dikuburkan. Ia meraih hand phonenya. Tangannya memegang gemetaran. Ia tak tahu apakah pulsanya masih ada ataukah tidak? Ia lihat pulsanya. Cuma tersisa lima ratus rupiah. Hanya cukup untuk sms satu orang. Ia harus memberi tahu orang yang tepat. Yang jika membaca smsnya ia yakin cepat datang. Ia pikir Husna-lah yang paling perhatian. Ia tulis sms pendek:
“Na, aku sakit, tolong datang. Zumrah.” Lalu ia kirim. Ia tahan rasa sakitnya, tapi tetap saja ia tak kuat menanggung. Tiba-tiba ia merasa dingin yang amat sangat. Ia menggigil. Matanya meleleh. Ia ingat bayang kematian. Ia ingat semua dosa-dosanya di masa silam. Ia teringat Allah, Tuhan sekalian alam. Matanya meleleh ketika ia ingat Tuhan. Ia kembali merintih, Tuhan Apakah untuk mengingat-Mu Aku harus sakit dulu Ia masih mengerang sendirian bergelut dengan rasa sakit yang garang ketika Husna dan Azzam datang. Pintu kostnya itu ia kunci dari dalam. Ia terus mengerang. Husna dan Azzam mendengar erangan dan rintihan.
”Zum, Zum!” Husna memanggil-manggil. la tidak dengar panggilan Husna. Ia terus merintih kesakitan.
”Zum, buka pintunya Zum!” Panggil Husna dengan keras. Tak ada jawaban.
Azzam langsung menggedor pintu itu sekeras kerasnya. Beberapa orang tetangga rumah itu melongok melihat ke arah Husna dan Azzam.
”Ada apa Mas?” Tanya seorang ibu berbadan gemuk.
”Ini Bu, teman kami sakit di dalam. Tapi pintunya terkunci dari dalam. Kami panggil-panggil sepertinya ia tidak mendengar.” Jawab Azzam.
”Coba gedor lagi yang keras!” Sahut ibu itu.
Azzam kembali menggedor pintu keras-keras. Tak lama kemudian pintu itu terbuka. Tampaklah wajah Zumrah yang pucat pasi. Zumrah tampak begitu kusut, kurus dan perutnya buncit.
”Uakk!” Zumrah muntah tiba-tiba. Husna menghindar, tapi muntahan itu tetap mengenai ujung kakinya. Husna langsung memapah Zumrah ke kamar mandi. Zumrah kembali muntah beberapa kali. Husna memijit mijit tengkuk Zumrah.
”Uh... uh... akhirnya kamu datang Na.” Ucap Zumrah dengan suara serak dan gemetaran.
”Kau sakit apa Zum?” Tanya Husna.
”Tak tahu Na. Badanku menggigil kedinginan. Kepala pusing luar biasa. Dan inginnya muntah.”
“Kau sudah makan Zum?”
Zumrah menggelengkan kepala. Husna melihat-lihat apa yang bisa di makan. Seteliti mata Husna tak menemukan apaapa. Husna bangkit membuka termos. Kosong.
”Muni ke mana?”
“Sudah tiga hari pulang kampung.”
”Sejak kapan kamu sakit Zum? Keningmu panas begini. Badanmu juga panas.” Tanya Husna
”Sejak kemarin Na. Aku kira bisa aku tahan dan aku atasi, ternyata tidak. Aku terpaksa sms kamu.”
“Kau sudah minum obat?”
”Boro-boro Zum. Air minum saja tak ada. Aku tidak bisa jalan. Semalam terpaksa aku minum air kran.”
”Inna lillahi.” Husna kaget.
”Na, kita ajak saja keluar untuk makan terus ke dokter.” Usul Azzam.
”Acara kakak ngisi pengajian Al Hikam bagaimana?” Tanya Husna.
”Di pesantren kan ada Kiai Lutfi.” Jawab Azzam.
”Tidak usah ke dokter, malah merepotkan kalian. Kalau kamu harus ngisi pengajian, biarlah Husna di sini saja sebentar menemaniku.” Kata Zumrah.
”Tidak, kamu harus ke dokter! Sepertinya sakitmu serius.”
”Iya Zum, ayo aku bantu kamu ganti pakaian. Kita keluar cari makan, lalu ke dokter.” Ujar Husna.
Azzam langsung beranjak keluar. Husna menutup pintu dan membantu Zumrah. Pada saat ganti pakaian Zumrah muntah-muntah.
”Aduh Na, aku tidak kuat berdiri apalagi keluar.” Rintih Zumrah.
“Tolong Na aku harus rebahan.” Lanjutnya. Husna memapah Zumrah ke kasurnya.
“Bagaimana?” Tanya Azzam dari luar.
”Dia tak kuat keluar Kak. Kakak carikan makan saja buat dia, sama minuman yang hangat. Setelah itu kita panggilkan dokter kemari.” Kata Husna.
”Okay.”
Azzam meluncur mencari makanan dan minuman untuk Zumrah. Ia pergi ke depan UMS. Ada banyak warung berjejer di sana. Azzam membelikan Zumrah Soto Kwali, pergedel, sate telur puyuh dan teh panas. Azzam juga mampir ke sebuah warung klontong untuk membeli dua botol air mineral, dua bungkus roti, dan susu kaleng. Lalu dengan agak tergesa-gesa kembali ke kos Zumrah. Ia menyerahkan barang-barang yang dibelinya pada Husna. Husna membukanya.
”Makan Soto Kwali ya?” Lirih Husna pada Zumrah.
Zumrah mengangguk. Husna mengambil piring, mangkok, gelas dan sendok. Gadis itu meletakkan pergedel, dan sate telur puyuh di piring. Meletakkan Soto Kwali di mangkok dan menuangkan teh panas dari plastik ke gelas. Ia lalu menyuapi Zumrah dengan hati- hati. Zumrah makan dengan pelan-pelan.
”Kau baik sekali Husna.”
”Sudahlah makan yang banyak ya biar cepat sembuh?” ”Tolong minumnya Na.”
Husna mengambilkan air minum. Zumrah meminumnya dengan hati- hati.
”Aku kira aku sudah akan mati Na.”
”Ya kita semua akan mati Zum. Tidak hanya orang sakit yang diintai kematian, orang yang sehat pun juga tidak luput dari intaian kematian.” Jawab Husna sambil menyuapi Zumrah.
”Kapan terakhir kamu ke dokter Zum?”
”Setengah tahun yang lalu.”
”Kandunganmu kapan terakhir kamu periksakan?”
”Belum pernah.”
”Belum pernah!?”
”Iya. Mana ada uang aku Na.”
”Ya Allah, kenapa tidak bilang Zum. Periksa kandungan itu penting. Kamu ini bagaimana! kamu boleh hidup sengsara tapi jangan bawa- bawa anak kamu dong!” Cecar Husna dengan nada marah.
Zumrah diam mengatupkan kedua mulutnya rapat. Sesaat Husna berhenti menyuapi.
”Kak, tolong panggilkan dokter. Panggilkan dokter Fatimah saja. Rumahnya di Gang Wuni dekat pasar Kleco.” Kata Husna pada kakaknya.
“Okay.” Azzam langsung meluncur ke alamat yang dijelaskan adiknya. Tak lama kemudian Azzam datang bersama seorang dokter perempuan setengah baya. Dokter itu tersenyum pada Husna dan Zumrah.
”Kenapa kamu Nduk?” Tanya dokter Fatimah ramah.
”Badan menggigil kedinginan. Rasanya lemes. Kepala pusing luar biasa. Perut sakit. Dan inginnya muntah saja.”
”O ya. Sebentar ya ibu periksa tensi darahnya dulu.”
Dokter Fatimah memeriksa tensi darah, detak jantung, melihat mata.
”Selama ini kamu kerja di mana? Sering memforsir ya?” Tanya dokter Fatimah pada Zumrah.
”Saya kerja di sebuah toko Foto Digital di Jalan Slamet Riyadi. Sebenarnya tidak terforsir. Saya bekerja mulai jam setengah sembilan sampai jam delapan malam.”
”Itu memforsir namanya. kamu hamil tua jangan terlalu banyak kerja. Asupan gizimu harus cukup.”
”Berapa usia kandunganmu?”
”Saya tidak tahu persisnya Bu, tujuh atau delapan gitu. Pasnya saya tidak tahu.”
”Kapan kamu terakhir periksa kandungan. Ibu bisa lihat buku periksanya?”
”Saya tidak pernah periksa sama sekali Bu.”
”Innalilla, Kok bisa? Suamimu mana? Yang tadi itu?” Tanya Bu Fatimah.
Husna langsung menyahut,
“Suaminya tidak tahu entah di mana Bu. Mungkin sudah disambar bledek! Itu tadi kakak saya bukan suaminya.”
”Yah hidup ini harus sabar ya Nduk. Ibu doakan semoga suamimu sadar dan insyaf!” Ujar Bu Fatimah santai.
Zumrah meneteskan air mata. Ia baru merasa butuh seorang suami di sisinya. Ia baru merasa betapa pentingnya seorang pendamping hidup. Ia masih akan terus mendapatkan pertanyaan seperti itu. Kelak ketika anaknya lahir, orang-orang akan bertanya mana ayahnya. Dan anaknya sendiri akan bertanya padanya, siapa ayahku ibu?
”Jangan menangis Nduk. Hadapi hidup ini dengan tabah ya. kamu ini kena gejala tipes, dan darah rendah. Jangan makan yang kecut-kecut, pedas, dan kasar dulu. Makan yang halus-halus misalnya bubur sayur. Banyak istirahat dulu. Ini ibu beri resep, segera cari obatnya di apotik. Ibu sarankan kamu segera periksa kandunganmu. Karena kehamilanmu sudah tua periksalah dua minggu sekali. Ibu pamit dulu. Semoga lekas sembuh.”
”Terima kasih Bu dokter.” Ucap Zumrah. “Sama-sama.” Jawab Bu dokter.
”Kak Azzam resepnya sekalian dicarikan ya?” Kata Husna pada Azzam.
”Baik.” Sahut Azzam.
Bu Dokter Fatimah mengemasi peralatannya lalu keluar. Azzam mengikuti dan mempersilakan dokter itu masuk mobil untuk diantar pulang. Sementara Azzam meluncur ke Kleco, Husna bercakap- cakap dengan Zumrah.
”Maafkan aku merepotkan kalian terus.”
”Tidak apa-apa. Jadi kamu sudah dapat kerja Zum?”
”Ya tiga bulan yang lalu aku dapat kerja. Di toko foto digital Slamet Riyadi. Bosnya masih muda dan baik. Katanya lulusan Mesir.”
”Lulusan Mesir?”
”Iya.”
”Siapa namanya?”
”Furqan.”
”Furqan Andi Hasan?”
”Iya, benar kok kamu kenal?”
”Dia itu teman Kak Azzam.”
”O, begitu.”
”Sampai sekarang statusmu masih kerja?”
”Tiga hari yang lalu aku minta cuti. Perutku sering sakit dan kepalaku rasanya seperti ditekan-tekan benda keras.”
”Iya harus begitu, kamu harus istirahat. Oh ya Zum, kurasa sudah saatnya kamu pulang ke rumah ibumu.”
”Aku tidak bisa Na. Aku malu.”
“Itu lagi alasanmu. Berpikirlah yang dewasa kamu ini. Kalau kamu terus di sini, yang jadi korban anakmu. Kalau kamu sakit tak ada yang membantu. Zum sebentar lagi aku dan Kak Azzam mau menikah. Tinggal menunggu hari. Aku mungkin tidak bisa menemanimu saat kamu melahirkan. Apa kamu mampu menjalani kelahiran sendiri? Kalau kamu pulang, ibumu pasti senang. Juga adik-adikmu. Pamanmu sudah memaafkanmu. Orang-orang kampung sudah mengerti posisimu.
Sekarang ini pun kamu sakit, kamu butuh orang yang membantu merawatmu. Membuatkanmu bubur, juga minuman hangat. Kalau kamu nekat tetap saja di sini terus kamu mati di sini itu namanya bunuh diri. Sebab sejatinya kamu bisa pulang. Adik-adikmu pasti merawatmu. Aku tahu mereka itu hatinya halus-halus, baik-baik. Ya sebaik hatimu dulu. Tapi kalau kamu memilih di sini, tanpa teman, Sepi dan misalnya mati sampai bangkaimu membusuk, Orang tidak ada yang tahu ya silakan. Sebagai teman aku sudah menjalankan kesetiaanku dan kewajibanku.”
Mendengar perkataan Husna Zumrah luluh.
”Baiklah Na, aku mau pulang.”
0 komentar:
Posting Komentar