30 BUNGA HARAPAN
Fadhil merasa dirinya tak bisa lagi bertahan di Cairo. Setelah Tiara menikah, hidup di Cairo sama sekali tidak indah. Apalagi Zulkifli telah memutuskan untuk hidup beberapa tahun di Cairo. Ia yang telah menyelesaikan S.1 di IAIN Ar Raniry hendak mencoba S.2 di Institut Liga Arab.
Fadhil menceritakan rencananya kepada Cut Mala adik nya. Bahwa jika dia lulus. Yang berarti selesai sudah S.1 -nya ia akan pulang. Pulang ke Indonesia. Ke Aceh untuk menema ni ibunya. Atau ke kota lain untuk mencari pengalaman kerja. Jika belum lulus ia akan meninggalkan Cairo dan akan memi lih tinggal di Tanta. Yang penting jauh dari Tiara dan suami nya. Ke Cairo hanya unhuk hal-hal penting dan jika ujian tiba.
"Kalau pulang dari mana kakak akan dapatkan uang? Beli tiket itu perlu uang Kak. Trus uang yang pinjam Kang Azzam untuk biaya rumah sakit kakak juga belum dikembalikan. Bagaimana Kak?" tanggap Tiara.
"Entahlah semoga nanti ada jalan. Yang jelas, sangat berat untuk tetap bertahan di Cairo."
Cut Mala hanya diam. Ia bisa merasakan apa yang dirasa kan kakaknya. Cut Mala masih ingin, kakaknya itu tetap di Cairo menemaninya. Tiba-tiba terlintas dalam pikirannya bah wa kakaknya akan bisa bertahan jika kakaknya itu menemukan pengganti yang lebih baik dari Tiara. Entah kenapa tiba-tiba ia merasa seperti menemukan cahaya. Ia teringat dua orang yang menurutnya, pesonanya jauh mengalahkan Tiara. Dua orang itu adalah Anna Althafunnisa dan Masyithah.
Ia berniat mempertemukan, atau lebih tepatnya menjodohkan kakaknya tercinta dengan salah satu dari keduanya. Dalam pandangannya mereka berdua sangat istimewa. Baik secara fisik, intelektual maupun akhlaknya. Dan ia merasa kakaknya berhak mendapatkan salah satu di antara mereka berdua. Ia tiba-tiba tersadar, Anna Althafunnisa sedang pu lang di Indonesia. Umurnya lebih tua dari kakaknya. Dan sudah S.2.
Rasanya agak susah mempertemukannya dengan kakak nya. Meskipun bukan hal yang mustahil. Namun ia rasa yang paling pas adalah Masyithah. Umurnya sama dengan Tiara. Dan dalam banyak hal sebenarnya Masyithah lebih unggul. Hanya saja Masyithah memang tidak pernah membuka dirinya ke publik. Ia bercadar. Hanya orang-orang tertentu yang tahu segala kelebihannya. Termasuk wajahnya yang jelita khas perpaduan Mesir -Pakistan. Ia ingin mempertemukan kakak nya dengan gadis kelahiran Banda Aceh itu.
"Lebih baik tunggu pengumuman saja dulu Kak. Setelah itu nanti kembali kita pikirkan," kata Cut Mala berusaha menenangkan.
Pengumuman hasil ujian itu akhirnya datang. Kampus Al Azhar kembali menunjukkan wibawanya.
Ribuan mahasiswa menangis bahagia karena lulus. Tidak sedikit yang menangis sedih karena tidak lulus, dan karenanya harus mengulang di tingkat yang sama satu tahun.
Azzam datang ke kampus dengan hati diliputi rasa takut dan harap. Sepanjang jalan menuju kampus ia berdoa semoga lulus. Di gerbang kampus ia bertemu Ali dan Miftah.
"Gimana Li, Mif ? Lulus?"
"Alhamdulillah, saya lulus, jayyid Kang. Nanti malam kita syukuran. Miftah juga lulus tapi masih ninggal dua mata kuliah," jelas Ali dengan muka berseri-seri.
"Alhamdulillah. Lha aku bagaimana? Kalian tahu nggak aku lulus atau tidak?"
Miftah.
"Lihat saja sendiri Kang. Lebih mantap!" tukas
Azzam bergegas menuju papan pengumuman. Ratusan mahasiswa berdesakan melihat papan pengumuman. Sesaat lamanya Azzam mencari-cari namanya tidak juga ketemu. Akhirnya setelah seperempat jam mencari ia menemukan namanya. Dan dengan hati berdebar ia baca. Ia dinyatakan lulus dengan predikat: "JAYYID".
Azzam langsung sujud syukur. Berkali-kali Azzam mengumandangkan takbir. Sebuah senyum tersungging di bibir. Pikirannya langsung melayang ke Indonesia. Ke wajah ibunya, dan adik-adiknya tercinta. Sudah sembilan tahun ia berpisah dengan mereka. Rencananya sangat jelas dan tidak perlu ditunda lagi. Yaitu pulang. Ia tak ingin berlama-lama. Dua hari lagi adalah awal Agustus. Ia teringat pesan Husna, agar pulang awal Agustus jika bisa. Sebab saat itu Husna ada di Jakarta untuk menerima penghargaannya sebagai salah satu penulis cerpen terbaik di Nusantara.
"Ya, insya Allah, kita bertemu di Jakarta, Husna.
Azzam langsung cepat-cepat mencari telpon. Ia harus segera menghubungi Nasir meminta tiketnya di-conform untuk penerbangan dua hari yang akan datang. Tak ada lagi alasan untuk menunda pulang.
Sampai di Mutsallats Azzam langsung ke tempat Adil Ramadhan memberitahukan bahwa dua hari lagi ia akan meninggalkan Cairo. Mungkin untuk selamalamanya. Imam Muda itu langsung menjabat tangannya erat dan berkata, "Selamat berjuang dan mengamalkan ilmu. Baik, nanti malam Al-Quranmu kita khatamkan!" Azzam sangat bergembira mendengar hal itu.
Tidak lupa Azzam juga memberitahukan dan berpamitan kepada bapak-bapak KBRI yang selama ini menjadi langganannya. Mereka semua mengucapkan selamat jalan. Ketika ia memberitahu Pak Amrun Zeinu ihwal kepulangannya, Atase Perdagangan itu langsung memintanya datang menemuinya. Tanpa pikir panjang Azzam datang menemuinya.
"Ada apa Pak?" Azzam langsung mengajukan pertanyaan begitu ia duduk di hadapan Pak Amrun.
"Jadi kau benar mau pulang?" Yang ditanya malah balik bertanya.
"Ya. Dua hari lagi, insya Allah."
"Kebetulan sekali. Kau mau tidak saya ajak bisnis?" "Bisnis apa Pak?"
"Bisnis pengiriman buku -buku teman-teman mahasiswa. Begini Zam, seperti yang kautahu, bulan ini aku dapat jatah mengirim satu kontainer. Itu akan aku gunakan untuk mem fasilitasi teman -teman mahasiswa yang ingin mengirimkan kitab -kitab dan buku -buku mereka. Seperti biasa hitungan per kardus. Kontainer akan tiba di Jakarta. Untuk wilayah Jakarta dan Jawa Barat sudah kutunjuk si Aan Zaidan sebagai penanggung jawab pengiriman ke alamat masingmasing. Jadi jasa kita meliputi pengirimannya di Indonesia sekalian. Lha untuk wilayah Jateng, Jogja dan Jatim aku belum ketemu orang yang tepat. Karena kau mau pulang bagaimana kalau kau saja penanggung jawabnya?"
Azzam langsung paham. Baginya itu adalah tawaran yang sangat menarik. Paling tidak bisa jadi kerjaan begitu tiba di Tanah Air.
"Boleh Pak. Dan langsung saja. Kita profesional saja Pak. Untuk bisnis ini insentif untuk saya berapa? Biar saya semangat gitu lho Pak?"
"Saya samakan dengan Aan saja ya?"
"Luas Jawa Tengah dan Jawa Timur itu tidak bisa dibandingkan dengan luas Jawa Barat lho Pak. Apalagi misalnya ada yang rumah mahasiswa itu Banyuwangi, ada yang Cilacap, ada yang Brebes. Dari ujung ke ujung. Bisa lebih profesional Pak?"
Pak Amrun langsung paham dengan siapa ia berhadapan. Azzam sudah cukup kenyang berbisnis. Meskipun tempe dan bakso. Tapi pengalaman itu sangat membedakan Azzam dengan Aan. Azzam bisa tegas dalam negosiasi dan terasa begitu lincah. Sementara Aan saat itu begitu ditawari angka nominal langsung mengiyakan. Pak Amrun tidak mau mempermalukan dirinya sendiri dengan mendapat stigma tidak profesional di mata Azzam.
"Baik, dua kali lipatnya Aan. Bagaimana Zam?" "Berapa insentif Aan?"
"Tiga ratus lima puluh dollar. Jadi insentifmu setelah seluruh tugasmu selesai adalah tujuh ratus dollar. Bagai mana?"
Azzam berpikir sebentar. Lalu menjawab, "Baik. Setuju Pak."
Azzam keluar dari ruangan Pak Amrun dengan penuh kemenangan dan bahagia. Ia semakin cepat ingin pulang. Ia tidak akan menganggur. Pekerjaan pertama setelah pulang adalah mengantarkan kitab -kitab yang dibawa kontainer Pak Amrun. Ia akan keliling Jawa Tengah, Jogja dan Jawa Timur. Pekerjaan lapangan yang mengasyikkan.
Dari tempat Pak Amrun, Azzam menyempatkan untuk menemui Pak Ali. Kepada Pak Ali ia memberitahukan kepu langannya ke Indonesia yang tinggal dua hari lagi. Azzam minta untuk didoakan agar diberi keselamatan dan kemudahan segala urusan.
"Yang paling penting, saat kamu bermasyarakat jagalah akhlak muliamu agar kamu dimuliakan oleh orang lain. Ingat pesanku ini baik-baik ya Mas." Kata Pak Ali sambil menepuk nepuk pundak Azzam.
"Oh ya kau pulang naik apa?" Tanya Pak Ali.
"Naik MAS. Nanti transit di Kuala Lumpur." Jawab Azzam.
"Wah berarti nanti kau satu pesawat dengan Eliana. Aku dengar dia mau ke Jakarta dua hari lagi. Juga pakai MAS. Katanya dia ada pertemuan dengan sutradara di Jakarta. Nanti saya beritahu Eliana. Dia pasti senang. Sebab katanya dia mau mengajak ibunya untuk menemaninya ke Jakarta. Katanya tidak enak pergi sendirian, tidak ada yang diajak bicara. Tapi Bu Dubes tidak ada waktu. Bu Dubes harus menemani Pak Dubes berkunjung ke Manshurah, memenuhi undangan Rektor Universitas Manshurah."
Azzam hanya diam mendengar kabar Pak Ali itu. Ia berpikir kenapa harus sering bertemu Eliana. Kenapa pulang ke Indonesia saja juga bersama Eliana. Kalau nanti Eliana tahu, pasti gadis itu akan minta tempat duduk di sampingnya. Perjalanan selama sebelas jam. Ia akan bersama gadis itu selama sebelas jam. Ia merasa harus memikirkan sesuatu untuk sedikit memberi perubahan pada gadis itu . Ia merasa, jika selama sebelas jam bersama ia tidak memberi pencerahan pada gadis itu alangkah mubazirnya. Ia berpikir pencerahan apa yang harus ia sampaikan pada gadis itu, yang tak lama lagi mungkin akan menjadi artis paling terkenal di Indonesia?
"Oleh-olehnya sudah dibeli semua?" Pertanyaan Pak Ali membuyarkan otaknya yang sedang berpikir.
"E..alhamdulillah sudah Pak."
"O ya, bisa tidak saya nitip surat dan oleh -oleh kecil buat anak saya yang kuliah di Fakultas Kedokteran UNS?"
"Boleh Pak. Tapi oleh -olehnya jangan besar-besar ya Pak. Sebab yang nitip sudah banyak, tempatnya terbatas."
"Saya tahu."
"Nama anak bapak itu siapa?" "Elfira Agustina."
"Saya tunggu paling lambat satu jam sebelum saya berangkat ke bandara ya Pak. Semakin cepat semakin baik."
"Baik Mas. Terima kasih sebelumnya."
Malam itu Azzam khataman. Ia telah selesai belajar tiga puluh juz. Oleh Adil Ramadhan ia diberi sanad qira'ah Hafs sampai ke Rasulullah Saw. Ia sangat bangga memiliki sanad itu. "Sanad ini aku dapat dari guruku Syaikh Farhat Abdul Majid, beliau mendapatkannya dari Syaikh Mahmud Hushari, dan seterusnya sampai ke Rasulullah Saw." Jelas Adil pada Azzam.
Selesai khataman Azzam pulang. Dan rumahnya telah penuh dengan orang yang hendak mengucapkan salam perpisahan. Malam itu memang ada acara perpisahan. Semua anggota rumahnya ada. Nasir, Ali, Nanang, Hafez dan Fadhil malam itu di rumah tidak ke mana-mana. Acaranya santai. Hanya makan-makan.
Masih juga ada yang mencoba menitip barang pada Azzam. Namun ia dengan sangat berat menolaknya. Ia tun jukkan ranselnya yang khusus untuk membawa barangbarang titipannya. Sudah penuh dan padat. Bahkan saking padatnya semut pun nyaris tak bisa menyusup ke dalamnya. Sementara tas kopernya dan tas jinjingnya juga penuh. Memang sudah sejak satu bulan sebelumnya ia ancang-ancang.
Malam itu Azzam membagi warisan. Barangbarangnya yang tidak mungkin ia bawa, ia wariskan pada teman -temannya. Untuk alat-alat membuat bakso dan tempe serta jaringan nya, tidak ia wariskan, tapi ia jual kepada Rio dengan harga yang sangat murah. Rio pun senang, bahkan meskipun mem bayar, Rio tetap merasa mendapatkan warisan yang luar biasa berharganya. Dan dalam akad jual beli itu ada satu syarat, yaitu jika ternyata dalam satu tahun berikutnya Azzam kembali ke Cairo, meskipun kemungkinan itu kecil, maka Azzam akan kembali membayar harga yang sama dan semua nya kembali ke tangan Azzam. 78 78 Akad jual beli dengan syarat seperti yang diminta Azzam ini, tidak diperbolehkan oleh mayaritas ulama fiqh, kecuali dari kalangan Syiah Imamiyyah. Penjelasan lebih detilnya insya Allah ada di novel DARI SUJUD KE SUJUD (Ketika Cinta Bertasbih 3).
Pagi hari menjelang keberangkatan, Hafez mengetuk kamar Azzam. Begitu Hafez yang muncul, Azzam langsung paham.
"Bagaimana Kang? Sudah dibicarakan pada Fadhil atau Cut Mala?" tanya Hafez dengan nada cemas.
"Belum Fez. Afwan. Fadhil dan Cut Mala saat itu sedang menghadapi masalah psikologis yang cukup pelik. Aku tak mau menambah pelik. Jadi aku tunda. Rencanaku nanti akan aku bicarakan padanya dari Indonesia lewat telpon. Bagai mana?"
Mendengar jawaban itu wajah Hafez berubah. Ia terlihat kecewa.
"Sungguh Fez. Aku sudah berusaha beberapa kali.Tapi kesempatan itu belum terbuka. Maafkan aku kalau mengecewakanmu. Kalau kau tidak bisa bersabar, maka kau bisa langsung bicara empat mata dengan Fadhil. Atau enam mata dengan Cut Mala sekalian."
Hafez terdiam.
"Baiklah Kang. Aku tetap percayakan pada Sampeyan. Tapi tolong jangan ditunda lagi. Begitu sampai di Indonesia sambil memberi kabar pada Fadhil sampaikan keinginanku mengkhitbah Cut Mala, adiknya. Tolong jangan lupa dan jangan ditunda-tunda Kang."
"Baik Fez,insya Allah."
Mendengar jawaban itu bunga -bunga harapan bermekaran di hati Hafez. Ia merasa betapa bergairahnya hidup memiliki bunga -bunga harapan. Dan bunga harapan paling indah adalah harapan mendapat cinta dari orang yang dicinta. Bunga harapan paling menggairahkan dan paling menghidup kan adalah harapan mereguk cinta sambil bertasbih dan bertahmid memuji dan menyucikan asma Allah Yang Maha Pengasih dan Penyayang.
Detik-detik mengharukan tiba. Rumah Azzam kembali penuh orang. Menjelang berangkat ada acara kecil pelepasan ke Bandara. Ada kesan -kesan dari teman-teman yang ditinggalkan terutama teman satu rumah. Yang paling terbata -bata karena terharu akan ditinggalkan adalah Fadhil. Ia merasa Azzam adalah sosok yang sangat berarti baginya selama ini. Yang lebih terbata -bata bahkan sampai menangis saat menyampaikan kalimatnya adalah Azzam. Ia tidak kuasa mena han sedihnya meninggalkan Bumi Para Nabi yang sudah menjadi Tanah Air keduanya.
"Semoga benar kata orang Mesir, bahwa yang telah minum air Nil ia akan kembali lagi berulang kali ke Mesir." Ucap Azzam di akhir sambutan.
Koper, tas dan ransel diturunkan. Tiga mobil Eltramco telah datang. Sebagian mahasiswa ikut mengantar ke Bandara sebagian lagi tidak. Tiga mobil Eltramco itu penuh. Azzam satu mobil dengan Nasir, Hafez, Fadhil, Ali dan beberapa teman yang selama ini akrab dengannya.
"Kang, nanti kalau menikah kasih kabar ya." Nasir mem buka percakapan.
"Pasti Sir. Tapi sampai sekarang aku belum punya calon Sir. Kau ada pandangan Sir?" Tanya Azzam.
"Siapa Kang ya?" Jawab Nasir.
"Alah Sir, kau kan punya adik perempuan si Laila. Kenapa tidak kasih aja si Laila. Kang Azzam mau kan dengan si Laila?" Celetuk Ali membuat suasana hangat.
"Iya Sir. Kayaknya si Laila sama Kang Azzam itu memiliki mental yang sama. Mental bisnis. Itu klop Sir. Bagai mana Sir?" Tambah Hafez.
Nasir diam tak bisa berkata -kata. Ia tidak menyangka kalau perkataan isengnya akan menyerang dirinya. Azzam yang dalam mobil itu paling dewasa senyamsenyum saja.
"Aku tahu, ya Nasir gengsi lah menjodohkan adiknya dengan penjual tempe dan penjual bakso yang terkenal sering tidak naik tingkat. Sampai-sampai S.1 saja sembilan tahun. Ya nggak Sir?" Santai Azzam membuat Nasir semakin terpojok. Tapi tiba -tiba Nasir punya ide mengalihkan perhatian sekaligus memanaskan suasana.
"Bukan begitu Kang. Aku sih tidak keberatan. Yang paling penting kan Sampeyan. Apa Sampeyan berminat dengan adik saya, Laila. Dia itu aktivis habis. Tak betah diam di rumah. Aku lihat sih untuk Sampeyan, biar kehidupan rumah tangga balance ada sosok yang lebih tepat." Jawab Nasir membuat yang mendengar penasaran. "Siapa Sir?" Tanya Ali.
"Jangan kaget ya.." Sahut Nasir sambil menaik turunkan alisnya
"Udah cepat, siapa yang lebih tepat untuk Kang Azzam?" Desak Hafez.
"Dia adalah orang yang halus budi bahasanya, selama ini juga dikenal baik oleh Kang Azzam. Dia adalah Cut Mala, adik Fadhil Mutahar."
Fadhil tersentak, Azzam tersentak, dan yang paling tersentak adalah Hafez. Hatinya langsung didera rasa cemburu luar biasa mendengar pujaan hatinya disebut namanya dan disandingkan dengan orang lain dan bukan dirinya.
Fadhil segera menguasai dirinya. Ia mengerti maksud Nasir. Jelas Nasir ingin menggojlog dirinya. Ia tak mau jadi tempat gojlogan.
"Di atas segalanya adalah cinta. Jika Kang Azzam bisa mencintai adik saya dan adik saya mencintainya maka kenapa tidak?" Ujar Fadhil tegas.
Mobil Eltramco terus melaju. Membelah Hayyu Tsamin. Azzam tersenyum sendiri mendengar hal itu.
"Kenapa tersenyum sendiri Kang?" Tanya Ali yang melihat ekspresinya.
"Wah ini menarik. Lha siapa yang tidak suka sama Cut Mala? Jangan-jangan yang ada di mobil ini selain Fadhil semuanya pada naksir Cut Mala. Wah ini perlu gerak cepat. Siapa cepat dia dapat! Ayo siapa yang berani saat ini melamar Cut Mala pada kakaknya, paling tidak menyatakan rasa cinta. Siapa berani?" Tukas Azzam santai.
Semua diam. Hening. Azzam tersenyum penuh kemenangan. Ia geli melihat anak -anak itu besar diomongan kecil di nyali. Ia berkata begitu sebenarnya ingin memberi peluang pada Hafez untuk bicara. Tapi Hafez malah mematung dengan bibir kaku terkunci rapat.
"Baik, pada diam semua. Tidak ada yang berani? Saya tawari satu per satu. Hafez bagaimana Fez? Tertarik sama Cut Mala? Ingin menyunting Cut Mala? Ayo angkat suara. Bicara pada kakaknya, mumpung dia sudah mengumumkan yang penting cinta. Di atas segalanya adalah cinta?"
Hafez diam.
"Kau Sir, bagaimana? Berani?" Nasir diam juga.
"Kau Li, Mif, Kim, Bur, Dul, Wur, dan kau Man, Gilman. Bagaimana ada yang berani menyampaikan isi hatinya? Ada yang berani?"
Semua diam.
"Bagaimana ini Dhil, semua nggak ada yang berani. Aku yakin mereka semua sama naksir pada adikmu itu, tapi entah kenapa mereka diam seribu bahasa." Kata Azzam tenang. Ia yang sejak awal mau dijadikan bahan gojlokan sudah menang sepuluh kosong.
"Yang akan menyunting adikku memang hanya orang yang punya nyali Kang. Cut Malahayati tidak akan bersanding kecuali dengan lelaki sejati." Sahut Fadhil bangga.
"Karena semua diam dan tidak ada yang berani. Aku tidak ingin dikatakan dalam mobil ini tidak ada lelaki sejati. Okey Dhil, sampaikan pada adikmu itu aku melamarnya. Aku mencintainya!" Kata Azzam yang dengan nada seolah-olah serius, padahal dalam hati ia hanya ingin memancing cemburu pada orang-orang yang ada di dalam mobil itu. Terutama Hafez.
Semua yang mendengar perkataan itu tersentak. Terutama Hafez. Ia bagai disambar petir. Ulu hatinya seperti ditusuk tombak berkarat.
"Kau serius, Kang?" Tanya Ali. "Kenapa kau gusar, Li?" Sambut Azzam.
"Ah tidak Kang. Tapi benar kata Nasir, Cut Mala memang cocok untuk Sampeyan."
"Pokoknya kalian jangan iri ya kalau penjual tempe ini nanti menyunting gadis Aceh itu he he he... ."
Hafez merasakan tubuhnya seperti mau hangus. Ia sangat marah dan jengkel tapi ia tidak bisa berbuat apaapa. Tak lama mobil sampai di Bandara. Barang -barang diturunkan dan diletakkan di troli. Semua yang mengantar ikut masuk ke dalam Bandara. Masih ada waktu satu jam setengah.
Hafez mendekati Azzam dan berbisi.
"Tega benar kau Kang!" Kata Hafez dengan wajah geram.
Azzam tersenyum.
"Wualah Fez. Jadi kau menganggap serius guyonan di mobil tadi. Kau kan lihat dari awal tadi itu guyonan. Gojloggojlogan. Tenanglah aku tak akan berbuat jahat padamu. Nanti akan aku sampaikan yang sebenarnya pada Fadhil. Jangan kuatir. Toh aku sudah mau pulang. Kau masih di Cairo. Apa yang kau kuatirkan?"
"Maafkan aku Kang. Aku sangat cemburu tadi." "Aku tahu ."
Azzam sampai di Bandara dan bertemu dengan Pak Ali.
"Mas Irul langsung saja masuk. Eliana sudah di dalam. Sepuluh menit lagi chek in tutup!" Kata Pak Ali seketika itu juga mengingatkan. Azzam merangkul dan meminta doa pada Pak Ali.
"Aku doakan semoga ilmumu bermanfaat, kau sukses dan hidupmu barakah dan bahagia. Semoga selamat sampai Indonesia. Sampaikan salam saya pada keluargamu dan pada Pak Kiai Lutfi ya. Jangan lupa." Lirih Pak Ali di telinga Azzam.
Azzam mengangguk.
Dan detik -detik yang sangat berat baginya itu pun datang. Detik-detik berpisah dengan teman-teman. Detikdetik meninggalkan bumi tempat ia belajar bertahun-tahun. Ia harus masuk ke dalam Bandara untuk mengambil boarding pass. Satu per satu teman yang mengantarnya ia peluk dengan hati basah dan mata berkaca -kaca. Di telinga mereka ia bisikkan permintaan maaf jika ada khilaf, juga permohonan doa agar selamat selama dalam perjalanan.
Saat memeluk Fadhil, ia meminta untuk tabah. Ia juga meminta agar omongannya di mobil tadi jangan diperhatikan. Jangan dimasukkan dalam hati. Dianggap angin lalu saja. Ia hanya bercanda. Ia juga menjelaskan ada seseorang yang sebenarnya menginginkan Cut Mala, adiknya. Dan orang itu bukan dia.
"Siapa orangnya Kang?" Tanya Fadhil penasaran.
"Yang jelas dia termasuk sangat dekat denganmu dan sangat mencintai adikmu itu. Dan sekali lagi yang jelas orang itu bukan aku. Nanti lebih jelasnya aku telpon dari Indonesia saja ya." jawab Azzam lirih.
Setelah semua ia peluk, satu per satu koper dan barangbarang bawaannya ia masukkan ke dalam alat detektor. Ia lalu masuk ke kawasan yang hanya boleh dimasuki para penum pang. Ia melambaikan tangan perpisahan. Azzam langsung ke meja pengambilan boarding pass. Kopornya ditimbang. Tak ada masalah. Ranselnya tetap ia cangklong dan tas jinjingnya ia bawa dengan tangan kanan.
Setelah mengambil boarding pass, Azzam berjalan menu -ju ruang tunggu pemberangkatan. Tas ransel dan tas jinjing-nya harus melewati detektor terakhir untuk dilihat isinya. Tak ada masalah. Ia lalu berjalan melewati free duty . Ia melihat sekilas, tak ada barang yang menarik untuk dibeli. Ia melewati stand penjual majalah dan koran. Ia teringat Husna yang suka menulis. Mungkin beberapa koran dan majalah asli Mesir dan Timur Tengah akan membuat adiknya itu senang. Ia beli koran Ahram, Gomhoriya , dan Syarq El Ausath. Untuk majalah ia memilih majalah El Adab, El Arabi dan El Manar El Jadid.
Harganya dua kali lipat dari biasanya. Tak apa. Tetap ia bayar demi adik yang dicintainya. Ia lalu mengambil tempat duduk tak jauh dari papan informasi jadwal kedatangan dan pemberangkatan. Ia melihat ke jadwal, seperempat jam lagi ia akan boarding. Ia melihat sekeliling. Mencari-cari Eliana. Tidak ia temukan. Ia lihat ratusan penumpang sudah siap berangkat. Sepertiga lebih adalah mahasiswa dari Malaysia. Tak ada yang ia kenal. Jika ia melihat mahasiswa Malaysia itu dan mereka melihatnya, ia tersenyum dan menganggukkan kepala. Mereka juga akan melakukan hal yang sama. Sebuah penghormatan untuk saudara. Merasa seolah sudah kenal lama.
Ia membuka koran Ahram, yang pertama ia baca adalah tulisan Prof. Dr. Muhammad Imarah. Tulisan yang sangat menyentuhnya tentang pentingnya ijtihad. Di jaman global yang sedemikan cepat berubah, ijtihad adalah sebuah kemestian yang tidak bisa diabaikan. Mengebiri ijtihad sama saja menginginkan umat ini mati pelan-pelan. Itu kesimpulan yang ia dapat dari esai yang ditulis pemikir yang sangat disegani di Mesir dewasa ini. Tiba -tiba ia merasa benar-benar tidak mera sa rugi membeli koran-koran dan majalah itu. Ilmu dan informasi yang baru saja ia dapat sangat mahal harganya. Ia terus membaca sampai ia mendengar pengumuman agar penumpang pesawat MAS segera masuk pesawat.
Ia bangkit dan berjalan ikut antrean masuk pesawat. Seorang petugas dari MAS memeriksa lembar boarding pass satu per satu dan menyobeknya. Hatinya bergetar hebat saat ia menginjakkan kakinya di dalam pesawat. Ia nyaris tidak percaya bahwa sebentar lagi ia akan pulang ke Indonesia. Ia tidak peduli lagi pada Eliana. Ia berjalan dan mencari tempat duduknya, 9C. Ketemu. Ia meletakkan barang-barangnya di bagasi yang ada di atas kepalanya. Ia melihat ke deretan tempat duduknya. 9A ditempati oleh lelaki bule, 9B seorang gadis Mesir memakai jilbab modis model Turki sampai di leher saja. Gadis itu tersenyum padanya sambil mengangguk. Ia merasa senyum gadis Mesir itu begitu alami dan manis.
"Ya Allah jagalah aku dari fitnah wanita."
Doanya lirih dalam hati sambil duduk di samping gadis itu. Memang, di samping gadis Mesir itulah ia harus duduk. Seluruh penumpang sibuk dengan meletakkan barang bawaan dan mencari tempat duduknya. Ia mencium bau wangi dari parfum gadis itu. Ia lihat lelaki bule yang duduk di dekat jendela telah mulai asyik membaca sebuah buku. Ia jadi teringat bahwa perjalanan ke Jakarta cukup panjang dan lama. Ia ingat koran-koran dan majalahnya. Bisa untuk dibaca -baca. Ia bangkit mengambil Ahram dan El Arabi dari tas jinjingnya. Ia duduk dan memasukkan koran dan majalahnya itu di kantung tempat majalah yang ada di depannya. Ia melihatlihat ke depan ke arah pintu pesawat. Ia tidak menemukan sosok Eliana. Ia merasa tak perlu lagi mencari Putri Pak Dubes itu.
"Dia toh bisa ngurus dirinya sendiri." Katanya pada dirinya sendiri.
Ia memasang sabuk pengamannya lalu mengambil koran Ahram dan mulai membaca. Kali ini opini yang ditulis sejarawan terkemuka Prof. Dr. Sa'duddin Zifzaf. Baru membaca satu alenia ia mendengar gadis yang ada di sampingnya berta nya padanya,
"Maaf, Anda dari Indonesia atau Malaysia?" Ia menghentikan bacaannya.
"Saya dari Indonesia." Jawabnya pelan. "Dari Jakarta?"
"Tidak, saya dari Surakarta."
"Oh Surakarta. Surakarta itu dari Solo dekat ya?" Azzam tersenyum mendengar pertanyaan gadis Mesir
itu.
"Surakarta itu nama lain Solo, Nona."
"O ya. Maaf, saya kira Surakarta itu bersebelahan dengan Solo. Saya memang sedikit bingung. Ternyata nama lainnya ya."
"Nona pernah ke Indonesia?"
"Pernah. Dan ini saya kebetulan mau ke Indonesia lagi. Ke Jakarta. Anda nanti turun di Jakarta kan?"
"Ya, nanti saya turun di Jakarta.. Kalau boleh tahu Nona ke Jakarta dalam rangka apa?"
"Menyusul ayah saya." "O."
"Ayah saya tugas di Jakarta. Di Kedutaan Mesir di Jakarta"
O. Di bagian apa "Atase Politik."
"Kalau boleh tahu siapa nama beliau?"
"Namanya baru saja Anda baca. Tertulis di koran yang ada di tangan Anda."
Azzam mengerutkan dahi
"Prof. Sa'duddin Zifzaf maksud Nona?" Tanyanya untuk memastikan.
"Ya."
"Benarkah?" "Ya. Benar."
"Ini. Yang nulis di Ahram ini?" Tanya Azzam sambil memperlihatkan opini yang tertulis di koran itu. Di bawah judul tertulis nama Prof. Dr. Sa'duddin Zifzaf."
Gadis itu mengangguk dan tersenyum. "Ya itu yang menulis ayahku."
"Kalau begitu salam ya untuk beliau. Saya penggemar berat tulisan -tulisan beliau. Kalau boleh tahu siapa nama Nona?"
"Sara. Lengkapnya Sara Sa'duddin Zifzaf."
Azzam tiba-tiba merasa sangat beruntung. Jika ia bisa berkenalan dengan Prof. Dr. Sa'duddin Zifzaf tentu ia merasa lebih beruntung lagi. Pramugari mengumumkan pesawat akan segera terbang. Para penumpang diminta memasang sabuk pengaman. Tak lama kemudian pesawat itu mulai berjalan. Sara memejamkan mata, kedua tangannya menengadah. Ia berdoa. Azzam memperhatikan sekilas. Ia mendengar suara anak Prof. Sa'duddin itu membaca doa safar.
Azzam tersadar, ia juga harus berdoa, sebentar lagi ia akan melakukan perjalanan panjang. Pulang ke Indonesia. Bertemu dengan Husna, Lia, Sarah dan ibundanya tersayang. Tiba-tiba ia didera rasa rindu dan haru teramat dalam. Setelah sembilan tahun lebih di perantauan ia akhirnya akan segera pulang.
"Kalau Anda mau, nanti di Jakarta aku kenalkan dengan ayahku."
Ucap Sara usai berdoa. Azzam masih menunduk dan memejamkan mata. Ia masih larut dalam doanya. Pesawat berjalan semakin kencang. Dan akhirnya terbang meninggalkan tanah Mesir. Azzam merasakan hatinya bergetar.
Ketika pesawat telah mengangkasa beberapa saat lama nya awak pesawat mengumumkan sabuk pengaman boleh dilepas. Pesawat berjalan dengan stabil dan tenang. Azzam kembali melanjutkan membaca koran. Para pramugari mulai sibuk membagi makanan dan minuman. Di antara deru mesin pesawat Azzam mendengar seseorang memanggilnya pelan.
"Mas Irul."
Ia menoleh ke samping kanan. Eliana.
Eliana berdiri di samping kanannya. "E...ya."
"Mas Irul. Mas Irul pindah ke kursi di samping saya ya. Nomor 15 F. Saya sudah bilang pada orang samping saya itu untuk bisa tukar kursi dengan Mas Irul. Saya ingin banyak bercerita pada Mas Irul. Bagaimana Mas?"
Azzam tidak langsung menjawab, ya. Ia menoleh ke gadis Mesir di sampingnya.Gadis itu sedang membaca majalah yang disediakan pesawat. Saat Azzam ragu Eliana terus mendesak. Akhirnya Azzam mengangguk dengan hati berdebar. Ia tak kuasa menolak permintaan Putri Pak Dubes itu. Ia tidak menemukan alasan kuat untuk menolaknya. Saat berjalan ke arah 15 F mengikuti Eliana, Azzam sempat berdoa dalam hati, "Ya Allah jagalah hamba -Mu yang lemah ini."
Bersambung ke ...
"KETIKA CINTA BERTASBIH 2"
0 komentar:
Posting Komentar