12 Pernikahan
Dini hari, kira-kira jam dua, tepat di hari Anna akan melangsungkan akad nikah, Kiai Lutfi bermimpi. Sebuah mimpi yang menakjubkan.
Dalam mimpinya itu ia melihat gugusan bintang. Lalu ada bintang paling terang turun dan bersinar di atas mimbar masjid pesantren.
Kiai Lutfi melihat beberapa tunas pohon kelapa yang menakjubkan yang tumbuh tepat di halaman pesantren. Lebih menakjubkan lagi dalam mimpinya itu ketika ia ke kamar putrinya ia melihat sorban putih wangi ada di sana. Entah kenapa sepertinya ia yakin sorban putih itu adalah milik Kiai Sulaiman Jaiz, yang tak lain sebenarnya adalah pendiri pesantren Wangen.
Kiai Lutfi terbangun dengan rasa takjub masih menyelimutinya. Ia bangunkan Bu Nyai Nur, isterinya. Ibunda Anna Althafunnisa itu membalikkan badan dengan sedikit menggerutu,
“Ada apa Bah.
“Tidak tahu apa, aku masih sangat ngantuk. Tadi aku tidur jam satu.”
Abah mau besok aku pucat di hari yang paling bersejarah bagi Anna!??”
“Ummi, tolong sebentar saja. Aku bermimpi sangat menakjubkan! Mimpi baik yang luar biasa indahnya.” Bisik Kiai Lutfi tepat di depan telinga isterinya. Bu Nyai Nur langsung membuka matanya dan bangkit perlahan. Ia dibangunkan oleh rasa penasaran.
”Mimpi apa Bah?”
“Ini mimpi yang paling indah yang pernah aku lihat Mi. Aku bermimpi melihat gugusan bintang. Terus ada bintang yang sangat terang cahaya. Paling terang di antara lainnya. Bintang itu turun dan bersinar di atas mimbar masjid pesantren kita. Tidak hanya itu, aku juga melihat beberapa tunas pohon kelapa yang menakjubkan yang tumbuh tepat di halaman pesantren. Dan lagi aku menemukan sorban Kiai Sulaiman Jaiz yang sangat wangi di kamar Anna. Apa ya Mi takwilnya?”
“Pasti baik Bah.” Jawab Bu Nyai Nur mantap.
“Ya tapi kira-kira apa ya?”
“Menurutku itu petunjuk baik Bah. Petunjuk penting di hari pernikahan Anna. Bintang itu menurutku adalah Furqan. Karena ia nanti yang akan menggantikan Abah. Dialah bintang di mimbar itu.
Lalu tunas-tunas pohon kelapa itu adalah anak-anak hasil pernikahan mereka. Dan sorban itu, bisa jadi menunjukkan kepada kita Furqan mungkin ada pertalian darah dengan Kiai Sulaiman Jaiz. Tapi ya Allahu a’lam Bah. Namanya juga takwil. Yang penting kita takwilkan yang baik-baik saja.”
“Kurasa takwilmu sangat masuk akal Mi. Wah ini sangat membahagiakan. Anna harus diberi tahu biar dia semakin bahagia.”
“Kita bangunkan dia sekarang?”
“Tidak usah. Nanti selepas shalat subuh kita beri tahu dia.”
Dan benar, selesai shalat subuh Kiai Lutfi dan Bu Nyai Nur memberitahukan mimpi itu kepada Anna. Bu Nyai Nur berkata,
“Aku yakin kamu akan bahagia Nduk.”
“Amin.” Sahut Anna dengan hati berbunga-bunga. Ia semakin mantap menghadapi detik-detik bersejarah yang tinggal beberapa jam saja akan dilaluinya.
Hari itu Pesantren Daarul Qur’an Wangen lain dari biasanya. Gerbang pesanten dihiasi janur melengkung. Di sepanjang jalan dari pertigaan Polanharjo sampai pesantren dipasang umbul-umbul berwarna warni.
Para santri libur, namun tetap berpakaian rapi. Sebagian besar dari mereka membantu menyiapkan acara bersejarah bagi keluarga besar pesantren itu. Yaitu hari akad nikah dan
walimah Anna Althafunnisa.
Panggung pengantin disiapkan di halaman rumah menghadap masjid.
Panggung itu terasa mewah. Mahligainya bernuansa Islam Andalusia. Sementara tempat untuk tamu undangan juga terasa mewah. Halaman rumah Kiai yang sekaligus halaman masjid itu bagai di sulap dijadikan tempat seperti dalam dongeng seribu satu malam. Yang menggarap dekorasinya adalah para profesional yang didatangkan dari Jakarta.
Sejak jam enam pagi Anna sudah bersiap-siap. Jam tepat pukul setengah tujuh ia sudah siap dengan gaun pengantin yang dipesan oleh Ibu Maylaf, ibunya Furqan pada desainer terkenal. Anna tampak begitu segar dan bernas. Pesona jelitanya bagai putri dalam dongeng.
Tepat pukul tujuh Furqan dan rombongan datang. Mereka disambut dengan lantunan Thala’al Badru dan irama rebana yang begitu padu.
Furqan tampak gagah lalu ia masuk masjid. Pagi itu ribuan orang akan menyaksikan akad nikah yang sudah lama terdengar gaungnya. Para santri dan masyarakat sekitar memenuhi masjid. Tetamu undangan yang berbondong-bondong datang pelan pelan memenuhi kursi yang disediakan.
Di antara tamu yang hadir adalah Azzam sekeluarga. Ia menyewa mobil yang ia kendarai sendiri untuk datang. Ibunya sangat takjub dengan pesta yang sedemikian megahnya.
”Namanya juga yang punya gawe orang besar Bu. Ya wajar.” Kata Azzam pada ibunya. Ibunya hanya manggut-manggut sambil terus melihat ke panggung pengantin yang belum pernah ia lihat sebelumnya. Sementara Husna meletakkan kado pada tempatnya.
Azzam dan keluarganya memilih tempat yang agak di belakang.
Seorang lelaki setengah baya memakai batik cokelat keemasan dengan peci tinggi datang. Serta merta Pak Kiai Lutfi yang melihatnya mempersilakan lelaki itu ke kursi paling depan.
”Itu yang datang adalah Bapak Bupati!” Bisik Husna pada kakaknya.
”Berarti banyak orang penting yang datang?” Gumam Azzam.
”Tentu Kak. Termasuk kakak kan orang penting. Kakak kan artis, teman dekatnya Eliana.”
“Sst! Jangan bahas Eliana lagi ya. Bosan aku mendengarnya.”
“Iya ya Kak. Husna tak akan bahas lagi.”
Tamu-tamu terus berdatangan. Azzam melihat arlojinya. Jam delapan kurang lima menit. Ada seorang anak muda tinggi kurus, kulitnya agak hitam, berkoko dan berkopiah putih datang dan memilih duduk di samping Azzam.
”Kosong?” Tanya pemuda itu.
”Iya. Silakan duduk!” Jawab Azzam.
”Dari mana Mas? Dari Jakarta?”
“Tidak. Dari dekat sini saja. Saya dari Sraten, Kartasura.”
“Teman pengantin putra atau teman pengantin perempuan?”
“Teman keduanya. Kebetulan adik saya ini akrab dengan pengantin perempuannya.”
“Memang adik Mas kuliah di Mesir juga?”
“Tidak. Di UNS. Katanya kenal saat bedah buku di sini. Dia jadi pembicaranya dan Anna jadi pembandingnya.”
“Sebentar, apa berarti adik Mas ini Ayatul Husna yang cerpenis itu?”
“Iya. Benar.”
Husna yang di sampingnya diam mendengarkan. Manusia memang bermacam-macam, pikirnya. Ada juga yang seperti pemuda ini. Baru duduk langsung memberondong dengan banyak pertanyaan.
”Di samping Mas ini ya orangnya?”
“Benar.”
“Sampaikan padanya saya selalu membaca cerpen cerpennya.”
“Sampaikan sendiri saja langsung. Mumpung orangnya ada di sini.”
“Saya malu Mas.”
“O ya gantian, kalau Masnya dari mana?” Azzam gantian bertanya.
”Saya juga dari Klaten, tepatnya daerah Pedan.”
“Kerja di mana Mas?”
“Kerja tetap belum punya. Ini kan saya liburan. Ikut bantu mengajar di pesantren Pak Kiai Lutfi ini. Saya masih kuliah Mas.”
“Kuliah di mana kalau boleh tahu? S1 apa S2?”
“Saya sedang mengambil master di Aligarh India. Dulu S1 di Madinah.”
“Masya Allah. Oh ya kok belum tahu nama Mas.”
“Nama saya Muhammad Ilyas.”
“Saya Khairul Azzam. Oh lagi, kalau boleh tahu, di India ada nggak ya kuliah S2 yang langsung menulis tesis begitu?”
“Saya persisnya kurang tahu. Setahu saya ya pasti ada kelasnya. Tapi kalau S2 langsung by research, artinya langsung nulis tesis, di Malaysia ada.”
“Malaysia?”
“Iya. Mas S1 di mana?”
“Di Al Azhar.”
“ Wah, orang Mesir rupanya. “Minat S2?”
”Kalau S2 langsung nulis tesis, saya ada minat. Tapi kalau S2 masih harus masuk kelas seperti biasa, mending saya bisnis saja. Saya sudah malas ujian.” Kata Azzam dengan intonasi sedikit dikuatkan.
Husna tersenyum mendengar perkataan kakaknya itu. Ia tahu jiwa kakaknya. Kakaknya masih ingin melanjutkan kuliah lagi. Itu pasti.
”Ya di Malaysia. Kalau mau saya ada teman yang sekarang kuliah di sana.”
“Boleh.”
“Ini kalau mau dicatat nomor hp saya. Nomor hp Mas?”
“Oya, ini nomor hp saya, via adik saya Husna.”
“Wah nomor cantik ya.”
“Alhamdulillah.”
Para tamu terus berdatangan. Dari pengeras suara diumumkan bahwa acara akad nikah sebentar lagi akan dilangsungkan. Tepat jam delapan akad nikah dilangsungkan. Furqan menjawab qabiltu2121 Qabiltu: Aku terima dengan lancar tanpa keraguan. Anna yang menyaksikan dan mendengar dari lantai dua masjid meneteskan air mata. Statusnya kini telah berubah. Ia telah resmi menjadi isteri Furqan Andi Hasan, MA. Ia berikrar dalam hati akan mencintai suaminya sedalam dalamnya. Dan akan membaktikan hidupnya untuk suaminya seikhlas-ikhlasnya.
Furqan juga menangis. Ia menangis bahagia sekaligus menangis sedih. Bahagia karena ia telah resmi menjadi suami Anna Althafunnisa. Bahagia karena ia telah menyunting gadis yang diidam-idamkannya.
Dan bahagia karena ia telah membahagiakan ayah dan ibunya.
Namun di saat yang sama ia juga sangat sedih. Sedih karena ia merasa telah membohongi semua. Ia merasa telah mengkhianati dirinya sendiri. Dan ia telah mengkhianati Anna dan keluarganya.
Tidak hanya mereka saja. Namun juga seluruh keluarga besar pesantren Wangen semuanya.
Tak jauh dari situ. Meskipun Azzam tersenyum, ada rasa kecewa yang halus menyusup dalam hatinya. Yang berhasil menikahi gadis shalehah itu bukan dirinya, tapi temannya.
Akad nikah yang baru dilangsungkan benar benar menjadi benteng yang menghalanginya untuk memiliki gadis itu selamanya. Anna bukan rezekinya. Ia harus mencari yang lain. Meskipun dulu ia pernah menasihati Fadhil ternyata untuk sama sekali tidak kecewa luar biasa susahnya. Tapi Azzam berusaha untuk menepis kekecawaan itu.
Azzam menghibur dirinya, dalam hati ia merasa pernikahan Anna dengan Furqan kini membuat dirinya benar-benar merdeka. Dirinya merdeka dari harapan menyunting Anna, meskipun harapan itu tipis.
Harapan yang selama ini masih sesekali datang begitu saja ke dalam hatinya tanpa ia pinta. Sekarang harapan itu telah sirna. Dan ia bisa lebih berkonsentrasi untuk meraih cita-citanya yang pernah ia sampaikan sambil bercanda pada Eliana, yaitu: jadi orang paling kaya sepulau Jawa. Azzam tersenyum.
Ada yang lebih dalam rasa kecewanya melebihi Azzam, yaitu Muhammad Ilyas. Yang duduk tepat di samping Azzam. Ilyas yang lamarannya ditolak oleh Anna. Namun hari itu juga, meskipun kecewa, Ilyas merasa sudah merasa menemukan pengganti Anna.
Pengganti Anna yang ia yakin secara kualitas tak akan kalah jauh dari Anna. Dalam hati ia sangat bersyukur hadir di acara pernikahan itu, sebab ia telah berkenalan dengan kakaknya Ayatul Husna.
Sebenarnya sebelum nekat melamar Anna ia sudah terpesona dengan cerpen-cerpen yang ditulis Ayatul Husna. Dan dalam hati ia juga tertarik dengan penulisnya. Ia berharap bahwa gadis itu belum ada yang melamarnya.
Selesai akad nikah, pesta walimah langsung digelar. Acara digelar mengikut adat Surakarta. Ada upacara kecil serah terima pengantin.
Yang lazimnya adalah pengantin putri diserahkan kepada keluarga pengantin putra. Tapi dalam upacara kali ini dibalik. Yaitu keluarga pengantin putra menyerahkan sang pengantin putra kepada pengantin putri. Lalu dari pengantin putri menerima pengantin putra.
Untuk berbicara mewakili keluarga pengantin putra, keluarga Pak Andi Hasan menunjuk KH. Abdul Hadi seorang ulama besar dari Sukoharjo untuk mewakili. Dan dari pihak keluarga KH. Lutfi meminta KH. Salman Al Farisi dari Batur Klaten untuk mewakili.
Upacara berlangsung begitu khidmat. Ratusan ulama dan tokoh penting sekabupaten Klaten dan sekitarnya datang memenuhi undangan. Bahkan ada tiga wartawan yang datang.
Setelah acara serah terima pengantin. Pengantin putra dan pengantin putri disandingkan. Sebenarnya Anna tidak mau disandingkan seperti itu. Ia tidak mau jadi tontonan. Furqan juga berpendapat yang sama.
Tapi Bu Maylaf dan Bu Nyai Nur bersikukuh harus ada panggung untuk pengantin, harus ada pelaminan dan harus dirias dan disandingkan. Anna dan Furqan tidak bisa berkutik.
Hal lagi yang Anna tidak sepakat, dalam pesta walimah itu tempat duduk tamu undangan antara pria dan wanita tidak semuanya dipisahkan. Hanya kursi-kursi bagian depan saja yang tampak jelas lelaki dan perempuan terpisah. Sementara yang agak belakang sudah campur tidak karuan.
Selama duduk di pelaminan Anna terus menunduk ke bawah. Ia berbuat demikian karena rasa malunya pada banyak orang.
Di tengah-tengah acara ada taushiyah yang disampaikan oleh KH. A. Mujiburrahim Noor dari Semarang. Kiai muda yang sangat digandrungi kawula muda di Jawa Tengah ini menyampaikan taushiyahnya dengan penuh humor-humor segar. Di tengah-tengah tausiyahnya itu Kiai muda itu mengatakan,
“Kalau boleh saya ingin menyampaikan satu hikmah yang disampaikan oleh Agatha Christie, seorang penulis novel terkenal, pernah mengatakan, ’Suami paling baik bagi seorang perempuan adalah seorang arkeolog. Makin tua sang perempuan itu, makin cinta dan tergila-gila suaminya itu padanya.’ Saya sarankan kepada Mas Furqan untuk berjiwa seorang arkeolog pada Mbak Anna. Jadi semakin lama umur perkawinan akan semakin bahagia. Kenapa? Karena Mas Furqan memandang isterinya semakin bernilai, semakin mahal. Kan menurut arkeolog semakin berumur dan semakin tua barang itu akan semakin antik dan mahal.
Demikian juga Mbak Anna saya sarankan untuk berjiwa arkeolog wanita, jadi semakin tua sang suami akan semakin tergila gila dan semakin mencintainya!”
Para hadirin yang hadir bertepuk tangan dan tersenyum bahagia mendengarnya. Nasihat itu sejatinya oleh Kiai Mujib tidak hanya disampaikan kepada pengantin berdua. Tapi juga disampaikan untuk seluruh hadirin, agar semakin mencintai pasangan hidupnya.
Acara ditutup dengan doa. Yang dipimpin langsung oleh ayah Anna Althafunnisa, yaitu KH. Lutfi Hakim. Saat doa dibacakan jiwa Anna bergetar. Furqan menangis kepada Allah agar dibukakan jalan bahagianya. Tak jauh dari situ Azzam berdoa semoga Allah menemukan pasangan hidup yang terbaik untuknya.
Setelah doa ditutup, hidangan penutup dikeluarkan. Barulah setelah itu para hadirin mohon diri pulang. Azzam sekeluarga menemui Kiai Lutfi dan Bu Nyai. Kiai Lutfi berkata kepada Azzam,
“Aku doakan kamu mendapatkan pasangan yang terbaik menurut Allah Nak.” Azzam mengamini pelan. Setelah itu Azzam menemui Furqan.
Kedua sahabat lama itu berangkulan erat, Azzam mengucapkan,
“Baarakallahu laka wa baaraka’alaika wajama’a bainakuma fi khair.” Furqan mengamini. Lalu Azzam menelungkupkan kedua tangannya di depan dada di hadapan Anna. Spontan Anna melakukan hal yang sama.
”Terima kasih sudah datang. Juga terima kasih dulu pernah menolong.” Lirih Anna.
”Tak perlu berterima kasih untuk sebuah kewajiban.” Jawab Azzam sambil tersenyum.
Ketika Azzam turun dari panggung, Anna sempat mengikutinya dengan ekor matanya sesaat. Ia teringat kata kata Abahnya saat Azzam mengantarkan buku,
“Jika Abah masih punya anak putri, pasti akan Abah pinta Azzam jadi menantu. Abah tak akan menyia-nyiakan kesempatan.”
Dalam hati Anna mengatakan,
“Kaulah sejatinya dambaan Abahku dan juga dambaan diriku.” Anna langsung beristighfar. Ia merasa melakukan kesalahan besar. Sambil menyalami tetamu putri yang minta diri ia terus beristighfar. Ia mencoba menghapus bayangan Azzam dengan mimpi Abahnya semalam. Juga takwil mimpi Umminya. Bahwa bintang itu menurut Umminya adalah Furqan.
Karena ia nanti yang akan menggantikan Abah. Dialah bintang di mimbar itu. Dan tunas-tunas pohon kelapa dalam mimpinya Abahnya itu adalah anak anak hasil pernikahannya dengan Furqan.
Hari akad nikah itu hari Jumat. Karena waktunya akan diputus shalat Jumat, maka acaranya benar-benar diringkas dan dipercepat.
Pulang dari acara pernikahan Anna, Azzam mengajak Husna, Lia dan ibunya keliling kota Solo. Azzam menyewa mobilnya satu hari penuh. Ia merasa harus menggunakannya dengan sebaik-baiknya.
Selain untuk jalan jalan ia bertujuan untuk semakin memperbanyak jam terbang mengemudi, meskipun dengan mobil sewaan.
Sejak kepulangan Azzam, Bu Nafis tampak lebih segar dan kesehatannya semakin membaik. Batuknya jauh berkurang. Melihat anaknya bisa mengemudikan mobil Bu Nafis merasa bahagia sekali.
Bu Nafis berkata,
“Aku doakan kamu bisa beli mobil Nak. Terus nanti kalau punya isteri bisa kamu ajak ke mana-mana dengan mobilmu.” Azzam, Husna dan Lia langsung menyahut,
“Amin.”
“Ngomong-ngomong kakak sudah punya calon belum?” Tanya Husna.
”Katanya calonnya Eliana.” Sahut Lia.
”Kalau Eliana jangan dibahas, dia itu cuma main-main.
Kalau ngikutin dia bisa sakit jantung kita!” Tukas Husna.
”Iya Nak, kamu sudah ada pandangan?” Tanya Bu Nafis.
”Belum, Bu. Jujur saja ya. Selama ini perempuan yang aku kenal cuma tiga. Bu’e, Husna dan Lia. Belakangan kenal Eliana dan Anna.
Itu saja.” Jawab Azzam.
”Kalau Sarah adik kita?” Sahut Lia.
”Ya kenal. Tapi kakak belum pernah ketemu dia kan. Waktu kakak berangkat dulu kan Sarah masih di kandungan.”
“Kakak sudah ingin nikah?” Ujar Husna
“Lha tentu lah Na. Kakak ini sudah tua. Itu tetangga kita Si Pendi sudah punya anak tiga. Si Pendi itu kan teman SD kakak dulu.”
“Husna punya teman Kak, mau coba Husna temukan dia?”
“Boleh saja.”
“Kak Azzam sebenarnya sudah ketemu sama dia.”
“Siapa?”
“Itu Si Rina Jakarta.”
“Itu yang ikut jemput di bandara?”
“Ya. Dia itu baik akhlaknya. Husna jaminannya.”
“Boleh.”
“Wah kalau dia akan sangat cepat prosesnya Kak. Besok pagi menikah juga bisa. Sebab dia sudah bilang ke saya suka sama kakak.
Dan kedua orang tuanya juga mengharapkan menantu lulusan Cairo.
Kalau begitu besok saya hubungi Rina.” Husna bersemangat.
Tapi Bu Nafis tiba-tiba menyela,
“Bu’e tidak setuju!”
Husna menoleh ibunya dengan pandangan heran.
”Kenapa Bu? Rina itu berjilbab dan baik. Dia teman baik Husna.” Pelan Husna.
”Ibu tidak setuju punya menantu Rina!” Tegas Bu Nafis.
”Iya tapi kenapa?”
“Entah ibu tidak tahu. Yang jelas ibu tidak cocok! Rina sudah pernah ke rumah kan? Ibu tidak cocok!” Kata Bu Nafis sengit.
”Tenang Bu. Kita nanti akan cari yang ibu cocok.” Kata Azzam meredakan. Azzam tahu persis watak ibunya sekali bilang tidak cocok maka akan sangat sulit dilunakkan hatinya. Bagi Azzam, ibunya tidak cocok dengan Rina ia tak kehilangan apa-apa. Nanti Rina pasti akan ketemu jodohnya. Hanya saja saat ibunya tidak cocok dengan Rina berarti ia harus ikhtiar untuk mencari jodoh yang benar benar cocok baginya dan bagi ibunya. Sebab ia ingin menikahi perempuan yang benar-benar diridhai ibunya.
Azzam membawa mobilnya ke Masjid Agung. Ia sudah rindu dengan masjid legendaris di Kota Solo itu. Masjid yang banyak memberikan kenangan indah padanya. Di antaranya dulu waktu masih SD ia pernah menjuarai Lomba Tartil Al Qur’an tingkat anak-anak seKaresidenan Surakarta yang diadakan oleh MUI Surakarta. Di Masjid Agung itulah ia lomba dan di masjid itulah ia menerima pialanya. Dan itu adalah piala pertama yang ia terima dalam hidupnya.
Dengan susah payah akhirnya Azzam bisa memarkir mobilnya di halaman masjid. Karena jam terbangnya belum banyak, ia sampai keringatan saat memarkir mobilnya. Baginya yang belum mahir benar, memarkir mobil adalah kesulitan terbesarnya. Apalagi tempatnya begitu padat. Ia harus ekstra hati-hati.
Azan pertama dikumandangkan. Ia memandang masjid kenangan.
Masih sama dengan sembilan tahun silam. Sementara ia ke masjid untuk shalat Jumat, Ibu dan dua adiknya melangkah ke Pasar Klewer.
Ia sempat berpesan pada Husna,
“Lihat-lihat saja dulu, jangan mengadakan transaksi jual beli dulu ya. Nanti kita belanja setelah kakak selesai shalat Jumat. Okay Dik?”
Husna mengangguk paham.
0 komentar:
Posting Komentar