12 RUMUS KEBERHASILAN
Furqan baru saja pulang dari masjid ketika hand phonenya berdering. Ia lihat di layar. Panggilan dari Indonesia. Ibu nya.
"Ini ibu Nak." "Ya ada apa Bu?"
"Mungkin ayah dan ibu tidak bisa ke Cairo."
"Kenapa Bu? Apa Ibu tidak ingin melihat sidang master Furqan yang seumur hidup cuma sekali?"
"Sebenarnya ayah dan ibu sangat ingin. Tapi ini kakak mu sedang di rumah sakit."
"Ada apa dengan kakak Bu?"
"Kakakmu pendarahan serius. Padahal usia kandungannya baru lima bulan. Ia perlu ibu di sampingnya. Sebab suami nya sedang ditugaskan di Aceh. Ia tidak bisa cuti untuk menunggui isterinya."
"Kalau ibu tidak bisa, apa ayah tidak bisa ke Cairo sendiri?"
"Ayahmu tidak mau pergi sendirian tanpa ibu. Sudahlah kami yang di Indonesia mendoakanmu, semoga kau lulus sidang dengan hasil terbaik. Direkam saja pakai handycam, biar nanti ibu dan ayah bisa melihat."
"Iya Bu, baik. Semoga kakak dan janinnya selamat." "Amin."
Ada rasa kecewa yang menyusup ke dalam hatinya. Ia ingin sekali, sidang munaqasah tesis masternya dihadiri kedua orangtuanya. Ia telah menyiapkan semuanya. Termasuk pergi ke Alexandria bersama ayah dan ibunya usai sidang. Tapi benarlah kata orang bijak, manusia boleh merancang dan merencanakan, namun Tuhanlah yang menentukan.
Ia mengambil nafas panjang. Meskipun kecewa ia tidak ingin rasa kecewanya mempengaruhi konsentrasinya menyiap kan diri menghadapi pertarungan dalam sidang tesisnya. Sudah setengah dari isi tesisnya yang ia baca. Ia merasa perlu istirahat. Perutnya juga terasa lapar. Ia melihat jam tangan nya. Tujuh seperempat. Ia teringat undangan makan malam Sara. Tapi ia ragu. Ia belum kenal siapa itu Sara. Ia juga merasa undangan itu tidak-lah penting. Meskipun Sara adalah putri Prof. Dr. Sa'duddin. Ia tak mau kehilangan fokus. Ia tak mau ke-hilangan konsentrasi. Ia teringat pesan guru bahasa Inggrisnya saat di Pesantren Modern dulu. Pesan yang mem buatnya sangat terinspirasi dan tergugah:
The formula for succes is simp le: practice and concentration then more practice and more concentration. (Rumus keberhasilan adalah simpel saja, yaitu praktik dan konsentrasi kemudian meningkatkan praktik dan meningkatkan konsentrasi).
Undangan Sara ia anggap sebagai hal yang akan merusak konsentrasinya. Dan itu berarti hal yang akan merusak keberhasilannya. Maka ia putuskan untuk mengabai-kannya sama sekali. Ia memilih untuk makan malam sendiri di restaurant hotel. Lalu kembali ke kamar untuk rileks melihat Nile TV sebentar, lalu tidur. Ia jadwalkan jam tiga bangun.
Ia turun ke restaurant. Memilih meja yang masih kosong di dekat jendela kaca yang menghadap ke sungai Nil. Panorama malam sungai Nil begitu indah. Suasananya begitu romantis. Entah kenapa ia tiba-tiba teringat lamarannya pada Anna Althafunnisa. Wajah Anna berkelebat di depan mata nya. Wajah yang luar biasa daya pesonanya. Ia merasa di dunia ini tidak ada gadis yang seperti Anna. Ia sangat yakin lamarannya akan sangat dipertimbangkan oleh Anna. Ia bahkan yakin lamarannya diterirna.
"Ia sudah tahu reputasi dan sepak terjangku selama ini" gumamnya.
Ia merasa akan sangat berbahagia jika suatu saat nanti bisa makan berdua di tempat yang begitu romantis dan indah bersama Anna. Anna yang telah ia sunting menjadi isterinya. Ia merasa keindahan tempat itu masih kurang tanpa adanya Anna. Ia geleng-geleng kepala sendiri.
"Ini sudah dosa. Astaghfirullah. Saya tidak boleh memba yangkan yang tidak -tidak," gumamnya dalam hati. Sementara matanya masih asyik melihat panorama sungai Nil dengan lampu-lampu yang berjajar di tepinya. Indah seperti taburan mutiara.
"Boleh saya duduk di sini?" Suara itu mengejutkan la munannya. Ia terhenyak sesaat. Yang berbicara dengan bahasa Indonesia itu adalah turis Jepang yang sudah dua kali ia temui. Rambutnya gondrong, berkaca mata minus agak tebal.
"O boleh. Silakan." jawabnya agak gugup. "Terima kasih."
"Anda bisa berbahasa Indonesia?" tanyanya dengan nada heran.
"Saat di SMA dulu saya pemah ikut program pertukaran pelajar. Dan saya ditempatkan di Indonesia selama satu ta hun."
"Di mana?"
"Di Yogyakarta."
"O pantas. Anda juga bisa berbahasa Arab." "Bisa juga."
"Wah boleh juga. Berapa lama Anda belajar bahasa Arab?"
"Satu tahun. Saya belajar bahasa Arab di Universitas Aleppo, Suriah."
Furqan mengangguk -anggukkan kepala. Dalam hati ia kagum dengan orang Jepang di hadapannya. Bahasa Indonesianya bagus. Ia yakin bahasa Arabnya bagus. Bahasa Inggris nya sangat lancar. Sebab saat berkenalan di lift orang Jepang itu menggunakan bahasa Inggris.
"KaIau boleh tahu, dalam rangka apa Anda berada di Cairo ini?" tanya Furqan.
"Emm pertama memang untuk jalan jalan. Saya sudah ke Luxor, Sant Caterine, dan Alexandria. Kedua saya sedang mengadakan penelitian sejarah."
"Penelitian apa kalau saya boleh tahu."
"Saya sedang meneliti cara beribadahnya orang orang Mesir kuno yang menyembah matahari. Apa persamaan dan perbedaannya dengan orang-orang Jepang yang juga mendewakan matahari. Apa ada interaksi antara Mesir kuno dan Jepang kuno? Apakah dewa matahari yang disembah orang Mesir dan orang Jepang memiliki sifat-sifat dan deskripsi yang sama. Di samping itu saya juga menemani adik saya."
"Yang bersamamu itu."
"Iya. Namanya Fujita Kotsuhiko. Anda masih ingat nama saya?"
"Masih, nama Anda Eiji Kotsuhiko kan?"
"Ya. Ingatan Anda kuat. Anda berbakat jadi intelektual dan ilmuwan besar."
"Terima kasih."
"Adik saya sedang tertarik pada Islam." "Tertarik pada Islam?"
"Ya. Itu setelah dia membaca buku -bukunya Maryam Jamela dalam bahasa Inggris. Kebetulan ia kuliah di Fakultas Sastra, Jurusan Sastra Inggris. Kalau saya Jurusan Sejarah. Kami sama-sama di Kyoto University . Ia ingin lebih tahu tentang Islam. Apakah Anda bisa membantu mempertemukan dia dengan orang yang tepat?"
"Bisa-bisa. O ya. Anda mau makan?"
"Wah iya. Karena asyik ngobrol sampai lupa makan. Ayo."
Keduanya lalu bangkit dan mengambil makan. Orang Jepang itu memilih spagheti. Sedangkan Furqan memilih nasi daging khas Yaman dengan lalap gargir dan buah Zaitun. Minumnya ia pilih syai bil halib 52 52 Teh susu. hangat. Keduanya kembali ke tempat semula.
"Waktu di Jogja saya paling suka makan Cap Jay rebus," kata Eiji.
"O ya."
"Menurutku Cap Jay rebus termasuk makanan paling enak di dunia."
"O ya."
"Waktu di Jogja dulu saya punya langganan Cap Jay di daerah Sapen. Belakang IAIN Suka. Cap Jay Mbah Gi -man. Rasanya mantap."
"Wah jadi pengin ke Jogja."
"Tapi mungkin kau takkan merasakan Cap Jay Mbah Giman."
"Kenapa?"
"Empat bulan yang lalu saya ke Jogja dan Mbah Giman telah tiada. Yang menggantikan Mbah Giman putri bungsunya. Namanya Minarti. Hasil masakannya tak bisa menyamai Mbah Giman. Enak sih, tapi tetap saja tidak seenak buatan Mbah Giman."
"Kelihatannya Anda tahu banyak tentang Jogja ya."
"Jogja telah jadi kota kedua bagi saya setelah Kyoto. Saya lahir dan besar di Kyoto. Dan saya sangat terkesan dengan Jogja."
Keduanya terus berbincang sambil makan. "Adikmu tidak makan?"
"Sebentar lagi dia datang. Dia masih asyik nonton film Lion of Desert di kamarnya."
"Film perjuangan rakyat Libya?" "Ya. Kami dapatkan di Attaba tadi pagi." "Sebentar saya ambil buah Zaitun lagi." "O ya silakan."
Furqan beranjak mengambil buah Zaitun hijau. Ketika ia kembali, Fujita telah duduk di samping kakaknya.
"Fujita, ini Furqan mahasiswa Indonesia yang sedang belajar di Cairo University , yang berjumpa dengan kita di lift tadi siang. Masih ingat?" kata Eiji dalam bahasa Inggris.
"Tentu," jawab Fujita sambil mengangguk pada Furqan. "Saya sering dapat cerita tentang Indonesia dari kakak saya ini. Tapi saya belum pernah pergi ke sana," sambung Fujita sambil menatap Furqan.
"O ya," jawab Furqan sambil menatap Fujita sesaat. Mata keduanya bertemu. Furqan dengan reflek menundukkan pan dangannya ke beberapa butir buah Zaitun yang ada di piringnya. Ia harus mengakui adik Eiji itu layak jadi model. Saat di lift ia sama sekali tidak mem -perhatikannya. Wajah Fujita mengingatkannya pada bintang film Mandarin, Rosamund Kwan. Tapi jauh lebih segar Fujita.
Ia merasa tidak boleh berlama -lama berbincang bincang dengan dua Jepang kakak beradik itu. Ia bisa menakar imannya. Imannya tidak akan kuat berhadapan dengan gadis secan tik Fujita. Ia makan dengan lebih cepat. Sesaat lamanya keheningan tercipta. Tiba tiba Fujita membuka suara,
"Dari kartu nama Anda yang Anda berikan kepada Eiji saya tahu Anda kuliah di jurusan sejarah. Jurusan yang sama dengan Eiji. Kalau boleh tahu, menurut Anda apa sih istimewanya mempelajari sejarah?Apakah mempelajari sejarah tidak hanya membuang-buang waktu, sebab membuat orang terpaku pada masa lalu. Masa yang memang sudah hilang dan tak perlu dibicarakan? Apa tidak lebih baik mempelajari kemungkinan-kemungkinan untuk eksis di masa yang akan datang?"
"Itu lagi yang kau diskusikan. Bukankah sudah sering aku jelaskan Fujita?" potong Eiji.
"Iya. Aku sudah mendengar panjang lebar jawabanmu. Tapi menurutku terlalu teoretis. Aku belum puas. Siapa tahu mahasiswa Cairo University dari Indonesia ini punya jawaban lain yang lebih simpel dan membumi," debat Fujita.
Furqan memasukkan sendok terakhir ke mulutnya dan mengunyahnya dengan tenang. Dua Jepang kakak beradik itu menunggu apa yang akan diucapkan Furqan.
"Sejarahlah yang memberitahu kepada kita siapa sebenarnya kedua orang tua kita. Siapa nama kakek nenek kita. Sejarah jugalah yang memberitahu kepada kita tempat dan tanggal lahir kita. Sejarah juga yang akan memberitahukan kepada generasi mendatang bahwa mereka ada sebab kita lebih dulu ada. Jika mereka maju, maka sejarah yang akan memberitahukan kepada mereka bahwa kemajuan yang mereka capai tidak lepas dari keringat kita dan orang-orang yang lebih dulu ada. Orang yang tidak memperhatikan sejarah masa lalu sangat memungkinkan jatuh ke dalam lubang yang sama dua kali, bahkan mungkin berkali-kali. Dan itu sungguh suatu kecelakaan yang pasti sangat menggelikan. Kira -kira itulah jawaban sederhana atas pertanyaan Anda, Nona Fujita."
"Eemm. Sederhana penjelasannya, tidak teoretis, tapi da lam muatannya. Terima kasih," tukas Pujita seraya memanggut-manggutkan kepalanya.
Furqan melihat jam tangannya, ia harus kembali ke kamarnya.
"Maafkan saya. Saya harus kembali ke kamar. Saya ada pekerjaan yang harus saya selesaikan," kata Furqan undur diri.
"Wah, sayang, sebenarnya masih ada banyak hal yang ingin saya tanyakan. Bolehkan lain kali saya meng-hubungi Anda?" tanggap Fujita.
"O. tentu, boleh saja. Nama dan alamat saya di Mesir dan di Indonesia ada di kartu nama yang telah saya berikan kepada kalian."
"Baik, terima kasih atas waktunya," kata Fujita.
"Dua bulan lagi saya ada rencana ke Bandung dan Jogia. Semoga saat itu kau ada di Indonesia," sambung Eiji sambil tersenyum.
"Semoga. Yang penting kalau kalian sedang berkunjung di Indonesia hubungi saya. Kalau kebetulan saya ada di Indonesia kalian bisa saya ajak jalan jalan di Jakarta dan sekitar nya. Baik saya naik dulu. Mari."
"Mari!" Sahut Fujita dan Eiji hampir berbarengan. Furqan bergegas naik. Sampai di kamar ia langsung
merebahkan tubuhnya di kasur. Keinginannya menonton Nile TV telah hilang. Ia meniatkan diri untuk bangun jam empat.
Ketika hendak memejamkan mata, telpon kamarnya berdering. Dengan sangat malas ia angkat,
"Siapa ya?"
"Sara."
"O Nona Sara. Maaf saya tidak bisa menghadiri undangan Nona."
"Saya sangat kecewa! Dan saya yakin suatu saat nanti Anda akan sangat menyesal!"
Dan klik. Telpon itu diputus. Ada nada kemarahan yang sangat dalam pada kalimat yang didengar Furqan. Furqan hanya menarik nafas panjang lalu kembali merebahkan badan. Sebelum memejamkan mata, bayang-an wajah Sara hadir sesaat lalu disapu hadirnya wajah Fujita yang sangat ketimuran. Ia teringat lamarannya pada Anna, segera ia mengu capkan istighfar . Lalu ter-tidur dengan bibir melepas zikir.
Azzam masih kerja di dapur. Sementara teman temannya satu rumah sudah pulas. Nasir belum pulang. Masih ada satu panci adonan bakso yang harus ia selesaikan. Tangan kirinya belepotan adonan. Ia ambil adonan. Ia pencet. Adonan itupun keluar dari sela ibu jari dan telunjuk -nya. Langsung berbentuk bulat. Denga sendok yang ia pegang dengan tangan kanan ia ambil adonan itu dan langsung ia masukkan ke dalam air panas yang telah mendidih.
Begitulah cara membuat bola bakso yang benar. Memencet adonan harus dengan tangan kiri. Menyen doknya dengan tangan kanan. Kalau dibalik hasilnya tidak seperti yang diharapkan. Itu ilmu sederhana , namun sangat penting bagi pembuat bakso. Ilmu yang mungkin tidak ditulis dalam buku-buku resep memasak, apalagi dalam buku-buku ilmiah.
Azzam terus membuat bola demi bola dan memasukkannya ke dalam air panas. Kepalanya sudah terasa panas. Mata nya telah merah. Tubuhnya telah minta istirahat. Tapi malam itu juga harus selesai. Ia tidak boleh kalah oleh matanya yang merah. Ia harus disiplin. Jika tidak, besok pagi pekerjaannya akan menumpuk, dan akibatnya bisa berantakan. Tapi jika ia tetap teguh disiplin dan menyelesaikan pekerjaan yang harus selesai malam itu, maka semua akan lebih mudah. Pekerjaan pekerjaannya yang lain akan selesai pada waktunya . Memang, satu disiplin akan mendatangkan disiplin yang lain. Itu yang ia rasakan.
Ia melihat jam tangannya. Sudah setengah sebelas malam. Ia istirahat sebentar, berjalan ke balkon melihat ke jalan raya yang tampak sepi. Tapi kedai kopi di sam-ping jalan masih buka dan ramai.Beberapa orang duduk menghisap shisha. Yang lain main kartu. Satu orang terli-hat duduk asyik menonton televisi yang sedang memutar film hitam putih yang dibin tangi Fatin Hamama, bintang film legendaris Mesir. Ia menghela nafas. Dalam hati ia berkata,
"Mereka kok bisa hidup dengan begitu santainya. Hidup di dunia seolah sudah berada di surga. Membuang-buang waktu dengan percuma begitu saja. Ah andai waktu me-reka bisa aku beli dengan beberapa pound saja pasti aku beli. Sehingga aku bisa kuliah setiap hari, membaca buku yang banyak setiap hari tapi juga bisa membuat bakso dan tempe setiap hari."
Ia kembali ke dapur. Kembali mengakrabi adonan bak sonya. Meski mata telah merah, dan kepala terasa panas, tapi ia merasa bahagia. Ia tidak merasakan apa yang ia lakukan itu sebagai penderitaan.
Baginya kebahagiaan bukanlah sekadar mengerjakan apa yang ia senangi, atau kebahagiaan adalah menyenangi apa yang ia kerjakan. Ia yakin bahwa kekuatan yang diberikan oleh Allah kepadanya lebih besar ketimbang apapun. Jadi segala jenis pekerjaan harus diselesaikannya dengan baik dan sempurna. Kemampuan yang diberikan Allah kepadanya lebih besar dari tantangan yang harus diatasinya. Ia yakin Allah selalu bersamanya. Allah sangat memperhatikannya. Dan Allah tidak akan menyeng-sarakannya karena bekerja keras. Justru sebaliknya, Allah akan memberikan keberkahan karena bekerja keras.
Waktu terus berjalan. Ia mendengar pintu diketuk. Ia beranjak ke pintu. Ia lihat siapa yang mengetuk dari lubang yang berisi lensa pembesar di pintu. Di negeri orang kewas padaan harus senantiasa dijaga. Keselamatan terjaga karena sikap yang waspada. Ternyata Nasir. la buka pintu.
"Assalamu'alaikum, Kang," sapa Nasir begitu pintu terbuka.
"Wa 'alaikumussalam. Malam sekali Sir, dari Tanta jam berapa?" tanya Azzam sambil perlahan menutup pintu.
"E... jangan ditutup Kang, saya bawa teman, ia sedang beli sesuatu. Tadi dari Tanta habis Maghrib," jawab Nasir.
"Teman? Orang Indonesia?" tanya Azzam menyelidik. "Bukan. Orang Mesir. Orang Tanta."
"Orang Mesir?" Azzam kaget.
"Iya. Nggak apa-apa kan Kang? Dia orang baik kok." "Sir, kamukan sudah lama di Mesir. Dan kamu sudah ta
hu bagaimana kita harus berhati-hati! Kenapa kamu tidak min ta ijin kami dulu!" Azzam berkata tegas sebagai kepala rumah tangga.
"Afwan Kang. Ini juga tidak saya sengaja. Kami bertemu di Ramsis. Saya kenal baik dengannya. Saya pemah ke rumah nya dan saya dijamu oleh keluarganya. Saya mulanya basa -basi saja menawarkan dia berkunjung ke rumah dan menginap. Saya kira dia pasti tidak mau. Ee ternyata kok mau. Lha bagaimana lagi? Masak harus menjilat ludah sendiri. Ya sudah akhirnya saya ajak dia."
"Kamu sembrono Sir! Kalau kau bisa menemukan jalan keluar agar dia tidak menginap di rumah ini sebaiknya kau lakukan! Sebagai imam di rumah ini aku tidak meng-ijinkan!" tegas Azzam. Ia merasa, sudah menjadi tanggung jawabnya untuk menjaga kenyamanan dan keamanan anggota keluar ganya.
"Tolonglah Kang! Sekali ini saja! Apalagi kita kan harus menghormati tamu!"
"Apa kau mengira aku tidak bisa menghormati tamu, Sir?!" Suara Azzam meninggi. Nasir pucat Azzam adalah orang yang dulu menjemputnya di bandara saat pertama kali ia datang. Azzam juga yang dulu sangat sabar mengajarinya memahami beberapa muqarrar awal-awal masuk kuliah. Ia sa ngat segan kepadanya. Ia sangat takut jika Azzam yang telah ia anggap sebagai kakaknya itu marah.
"Bukan begitu Kang. Baiklah saya akan berusaha dia tidak menginap di sini. Tapi tidak apa-apa kan beberapa menit dia masuk dan minum teh di sini?"
"Ya, boleh. Besok -besok lagi lebih hati-hati. Kita ini di negeri orang, jangan banyak basa-basi kayak di kampung sendiri! Saya ke dapur dulu menyelesaikan pekerjaan ya. Biar sekalian saya masakkan air," kata Azzam seraya berjalan ke dapur.
Nasir duduk di ruang tamu. Tak lama kemudian seorang pemuda Mesir, bertubuh agak gempal memakai baju hijau tua datang. Nasir mempersilakan masuk. Pemuda Mesir itu mem bawa roti dan kabab.
"Teman-temanmu sudah tidur ya?" tanya pemuda Mesir itu pada Nasir.
"Iya. Sudah malam. Tadi masih ada satu orang yang belum tidur," jawab Nasir seraya memberi isyarat kepada pemuda itu untuk duduk. Ia lalu menutup pintu.
"Kalian berapa orang di rumah ini?" "Kami berenam."
"Ada berapa kamar?" "Tiga. "
"Jadi satu kamar dua orang. Ada satu orang yang satu kamar sendiri? Apakah itu kau?"
"Tidak. Saya juga berdua." "Lalu nanti aku tidur sama siapa?"
"Itu gampang. Sebentar ya saya bikin teh," Nasir bangk it ke dapur.
"Jangan lupa saya tehnya yang kental dan gulanya banyak," seru pemuda itu.
Tak lama kemudian Nasir keluar diiringi Azzam. Tangan Azzam telah bersih. Ia telah selesai dari pekerjaannya. Azzam keluar dengan menyungging senyum. Pemuda Mesir itu berdiri dengan tersenyum.
"Ana min Tanta. Ismi Wail. Wail El Ahdali." 53 53 Saya dari Tanta. Nama saya Wail. Wail El Ahdali. Pemuda itu menjabat tangan Azzam dan memperkenalkan diri.
"Ahlan wa sahlan. Syaraftana bi ziyaratik. Ismi Azzam. Khairul Azzam," 54 54 Ahlan wa sahlan. Engkau telah memuliakan kami dengan kunjunganmu. Nama saya Azzam. Khairul Azzam. jawab Azzam.
"Masya Allah. Namamu bagus sekali. Kau pasti orang yang memiliki kemauan keras dan karakter yang kuat." Ujar pemuda Mesir bernama Wail. Orang Mesir me-mang paling suka memuji orang yang diajak bicara.
"Doanya. Maaf saya tinggal dulu ya. Terus terang saya harus istirahat. Jika perlu apa -apa minta saja sama Nasir." Azzam minta diri. Ia benar -benar lelah. Ia tidak mau terlalu lama di ruang tamu. Sebab orang Mesir jika diajak ngobrol bisa berjam jam tidak selesai.
"Tidak makan roti dan kabab ini bersama kami?" Wail berusaha menahan.
"Terima kasih. Saya masih kenyang. Saya tinggal dulu ya." Jawab Azzam sambil tersenyum.
"Ya. Terima kasih. Semoga istirahatmu nyaman," jawab Wail.
Sebelum masuk kamar Azzam sempat berkata pada Nasir dengan bahasa Jawa,
"Sir, ojo lali yo. Ojo kok inepke neng kene. Ora tak ijini! Wis aku tak turu ndisik!" 55 55 Sir, jangan lupa. Jangan kauinapkan di sini. Tidak aku ijinkan. Sudah, aku tidur dulu!
Nasir mengangguk. Azzam mengangguk sekali lagi ke Wail. Wail pun mengangguk dengan tersenyum.
Dalam hati Azzam minta maaf melakukan hal itu. Tetapi ia merasa sudah menjadi tugas dan kewajibannya menja -ga keamanan rumahnya. Bukan ia berburuk sangka pada pemuda Mesir itu, tetapi bersikap waspada adalah jalan terbaik untuk tidak berburuk sangka pada siapa saja.
0 komentar:
Posting Komentar