Minggu, 16 Agustus 2009

7 SMS UNTUK ANNA

Gadis itu berjalan dengan hati berselimut cinta. Hatinya berbunga -bunga. Siang itu, Cairo ia rasakan tidak seperti bia sanya. Musim semi yang sejuk, matahari yang ramah, serta senyum dari Profesor Amani saat memberinya ucapan selamat dan doa barakah. Semua melukiskan suasana indah yang belum pernah ia rasakan sebelumnya. Ia merasakan begitu dalam rahmat dan kasih sayang Allah kepadanya.

Ia berjalan dengan hati berselimut cinta. Kedua matanya basah oleh air mata haru dan bahagia. Itu bukan kali pertama ia menangis bahagia. Ia pernah beberapa menangis bahagia.

Dulu, begitu kedua kakinya untuk pertama kalinya menginjak tanah Mesir, ia menangis. Juga saat berhasil

lulus S.1 dua tahun yang lalu dengan predikat mumtaz, atau summa cumlaude. Ialah mahasiswi dari Asia Tenggara pertama yang berhasil meraih prestasi ini. Ia juga menangis penuh rasa syukur ketika berhasil lulus ujian tahun kedua pasca sarjana. Lulus setelah melewati ujian tulis dan ujian lisan yang berat. Dalam ujian lisan ia harus berhadapan dengan empat profesor. Lulus juga dengan nilai mumtaz, sehingga ia berhak untuk mengajukan judul tesis. Saat itu ia merasakan betapa dekatnya Allah 'Azza wa Jalla. Betapa sangat sayanya Allah kepadanya. Doa dan usaha kerasnya senantiasa dijabahi oleh Nya.

Dan hari ini, ia kembali menangis. Menangis bahagia. Hatinya dipenuhi keharuan -luar biasa. Batinnya terus bertas bih dan bertahmid. Jiwanya mengalunkan gerimis Subhaana Rabbiyal a'la wa bihamdih. Subhaana Rabbiyal a'la wa bihamdih. Subhaana Rabbiyal a’1a wabihamdih... Ia bertasbih. Proposal tesisnya langsung diterima tanpaa menunggu waktu yang lama. Hanya satu bulan saja sejak proposal tesisnya itu ia aju kan ke Qism Diraasat 'Ulya. 13 13 Program Pascasarjana

Ia kembali menangis. Ia kembali teringat kata abahnya tercinta,

"Anakku, alangkah indahnya jika apa saja yang kau temui. Apa saja yang kaurasakan. Suka, duka, nikmat, musibah, marah, lega, kecewa, bahagia. Pokoknya apa saja, Anakku. Bisa kau hubungkan derngan akhirat, dengan hari akhir. Dengan begitu hatimu akan sangat peka menerima cahaya hikmah dan hidayah. Hatimu akan lunak dan lembut Selembut namamu. Dan tingkah lakumu juga akan tertib setertib namamu!"

Wajah abahnya seperti di depan mata. Saat itu ia bingung dengan maksud menghubungkan yang ditemui dan dirasakan dengan akhirat. Abah sepertinya tahu akan kebingungannya, maka abah langsung menyambung,

"Begini Anakku, jika suatu ketika kau dimurkai ibumu misalnya, carilah sebab kenapa kau dimurkai ibumu. Hayati perasaanmu saat itu, saat kau dimurkai. Ibumu murka kemungkinan besar karena kau melakukan suatu kesalahan, yang karena kesalahamnu itu ibumu murka. Dan saat kau dimurkai pasti kau merasakan kesedihan, bercampur ketakutan dan juga penyesalan atas kesalahanmu. Itulah yang kau temui dan kau rasakan, saat itu. Lalu hayati hal itu sungguh sungguh, dan hubungkan dengan akhirat. Bagaimana rasanya jika yang murka kepadamu adalah Allah. Murka atas perbuatan perbuatanmu yang membuat-Nya murka. Bagaimana perasa anmu saat itu. Mampukah kau menanggungnya. Jika yang murka adalah ibumu, kau bisa meminta maaf. Karena kau masih ada di dunia. Jika di akhirat bisakah minta maaf kepada Allah saat itu? "

Air matanya kembali meleleh.

"Terima kasih Abah!" Lirihnya. Kata -kata abahnya itu memang sangat membekas dalam dirinya. Kata -kata abah saat berusaha menghiburnya kala ia dimurkai ibunya liburan tahun lalu. Ia dimurkai gara-gara asyik membaca saat diminta ibu nya mengupaskan mangga kepona -kannya si Kecil Ilham— putra kakak sulungnya. Saat itu ia hanya menjawab "Inggih, sekedap'' 14 14 Ya Sebentar dan ia masih konsentrasi membaca buku yang baru ia beli dari Shopping Centre Jogja. Ia tidak memperhatikan pisau dan mangga yang diletakkan oleh lbu di samping kanan nya. Sementara ia terus asyik membaca, si Kecil rupanya tidak sabar. Diam -diam ia mengambil pisau dan berusaha mengupas sendiri. Akibatnya, jari si Kecil kepiris , darah mengalir dari jarinya dan harus dilarikan ke puskesmas. Ia dimurkai ibunya habis-habisan, buku yang ia baca dibakar oleh ibunya.

"Buku setan! Apa hidup hanya untuk membaca! Apa belajar bertahun-tahun di Mesir masih kurang hah! Apa ilmu hanya ada dalam buku! Peka pada anak kecil apa juga tidak perlu ilmu! Apa gunanya jadi sarjana, lulusan Al Azhar kalau tidak tanggap sasmita, kalau disuruh ibunya tidak segera beranjak!"

Saat itu ia benar-benar sangat menyesal. Ia merasa begitu kerdil. Kesalahannya seolah tidak bisa ditebus, tidak termaafkan. Merasa menjadi orang paling berdosa di dunia. Ibu tidak pernah marah bila ia membaca buku. Tapi saat itu beliau sangat murka justru dikarenakan keasyikannya membaca buku.

Abah menghiburnya. Itu baru ibu yang murka, bagaima na jika Allah yang murka? Dan hari berikutnya, ibu sudah tersenyum padanya, sudah melupakan semua kesalahannya. Si Kecil Ilham seperti tidak merasakan sakit pada jarinya saat ia ajak main bongkar-pasang balok susun.

Dia terus berjalan. Kakinya melangkah menyeberangi jalan raya dan rel metro yang melintas di depan Kulyyatul Banat. Sinar matahari begitu cerah dan bening, tidak seperti saat musim panas atau musim dingin. Sesekali ia mengusap matanya yang sembab dengan sapu tangannya.

Sesungguhnya yang membuat dia menangis tidaklah semata -mata rasa bahagia karena proposal tesisnya diterima dalam waktu begitu singkatnya, sementara ada mahasiswi yang sudah dua kali mengajukan proposal tesis dan sudah menunggu satu tahun tapi belum juga diterima. Namun yang membuatnya menangis, karena ia teringat, bahwa yang dirasa kannya barulah kebahagiaan duniawi, belum ukhrawi.

Begitu bahagianya ia, ketika jerih payahnya, kerja kerasnya memeras otak, pontang -panting ke perpus-takaan Shalah Kamil dan IIIT Zamalek, membuka dan menganalisis ratusan referensi akhirnya membuahkan hasil yang melegakan jiwa. Begitu hahagianya hatinya saat diberi ucapan selamat oleh Profesor Amani. Benarlah kata pepatah, siapa menanam, dia mengetam.

Baru proposal tesis yang diterima, ia begitu bahagianya. Baru ucapan selamat dari Profesor Amani, ia begitu bangga nya. Kalimat Guru Besar Ushul Fiqh yang sangat dicintai para mahasiswinya itu masih bergema dalam jiwanya :

"Selamat Anakku, semoga umurmu penuh barakah, ilmumu bermanfaat. Teruslah belajar dan belajar!" Air matanya kembali meleleh. Ia lalu berkata pada diri sendiri "Lantas seperti apakah rasanya ketika kelak di hari akhir seseorang mengetahui amalnya diterima Allah. Ia menerima catatan amalnya dengan tangan kanan. Dan mendapatkan ucapan selamat dari Allah, dari Baginda Nabi, dari malaikat penjaga surga, dan dari seluruh malaikat, para nabi dan orang-orang saleh. Saat surga menjadi tempat tinggal selama -lamanya. Kebahagiaan semacam apakah yang dirasa?"

Ia melangkah. Matanya basah, "Rabbana taqabbal minna innaka antas sami'ul 'aliim. Tuhan terimalah amal kami, sesungguhnya Engkau Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui. Lirihnya dalam hati, sambil menghayati dengan sepenuh jiwa bahwa tiada prestasi yang lebih tinggi dari diterimanya amal saleh oleh Allah dan dibalas dengan keridhaan Nya.

Ia terus melangkah menapaki trotoar di depan gedung Muraqib Al Azhar, ke arah Abdur Rasul. Ia menengok ke kiri, memandang gedung Muraqib sekejab. Di gedung itulah dulu berkas-berkasnya masuk Universitas Al Azhar diproses. Di gedung itulah ia pertama kali kenal antrean yang lumayan panjang di Mesir. Di gedung itu juga ia berkenalan dengan Wan Najibah Wan Ismail, mahasiswi dari Kedah, Malaysia yang kini menjadi salah satu sahabat karibnya. Saat itu ia juga antre untuk mendaftarkan diri masuk Al Azhar.

Bagi mahasiswa dan pelajar Al Azhar, gedung Muraqib atau nama resminya Muraqabatul Bu'uts Al Islamiyyah pasti menyisakan kenangan tersendiri. Bagi yang dapat bea siswar maka mengurus beasiswanya juga tidak lepas dari Muraqib. Bahkan bagi yang tidak mendapatkan beasiswa dari Al Azhar dan ingin mengajukan permohonan beasiswa ke lembaga lain, juga harus mendapatkan surat keterangan tidak menerima beasiswa dari Muraqib. Seluruh lembaga pendidikan di dunia yang ingin menyamakan ijazah mereka dengan ijazah Al Azhar harus melalui proses di Muraqib.

"Pentingnya Muraqib bagi Al Azhar nyaris sama seperti tangan bagi manusia", begitu kata Zuleyka, seorang maha siswi dari Turki, suatu kali kepadanya saat bertemu di depan Muraqib. Mungkin ungkapan itu terlalu berlebihan. Namun memang Muraqib jadi bagian pusat administrasi dan birokrasi yang sangat vital bagi Al Azhar.

Begitu sampai di Tayaran Street ia melihat jam tangannya. Sebelas kurang seperempat. Ia ingin segera sampai ru mah, dan mengabarkan kebahagiaannya kepada seluruh teman rumah. Nanti setelah shalat Zuhur ia akan ke Daarut Tauzi’, membeli beberapa buku dan kitab. Ia belum pernah ke toko buku yang satu ini. Pulang dari Daarut Tauzi' setelah Ashar. Dan si Zahraza, mahasiswi asal Kedah yang satu rumah dengannya tak usah repot repot masak. Setelah shalat Maghrib, ia mau mengajak orang satu rumah makan di Palace, restaurant milik mahasiswa Thailand di kawasan Rab'ah El Adawea yang terkenal Tom Yam dan nasi gorengnya.

Dan saat pulang dari PaIace ia akan mampir ke rumah Laila yang menjadi agen Malaysia Air Lines. Ia akan pesan tiket pulang ke Tanah Air dengan transit dua minggu di Kuala Lumpur. Kalau tidak, ia akan pesan pada Laila lewat telpon saja. Rencananya ia hendak melakukan penelitian di Malaysia untuk bahan tesisnya. Maka ia merasa, sebaiknya ia berangkat minggu ini. Sebab Wan Aina mahasiswi asal Sela ngor yang tinggal serumah dengannya mau pulang ke Malaysia minggu ini.

Putri bungsu orang penting di Malaysia itu pulang hanya dua minggu untuk menghadiri pernikahan kakaknya. Pikirnya, ia bisa bersama Wan Aina selama di Kuala Lumpur. Sehingga urusan penelitian untuk tesisnya tentang "Asuransi Syariah di Asia Tenggara" akan menjadi lebih mudah. Ia berencana hendak melakukan penelitian di Perpustakaan ISTAC -IIUM di Petaling Jaya, Perpustakaan IIUM di Gombak, dan Perpus takaan Universiti Kebangsaan Malaysia di Kajang. Dan kakak Wan Aina yang hendak menikah adalah dosen di IIUM. Wan Aina sendiri berjanji akan menemaninya selama mela -kukan penelitian di Malaysia.

Itulah rencana yang telah tersusun dalam kepalanya saat ini. Yang paling penting ia harus segera pulang ke Tanah Air sambil melakukan penelitian serius untuk tesisnya. Ia ingin segera pulang untuk berbagi rindu, cerita, dan rasa bahagia dengan abah dan ibundanya tercinta. Begitu menyeberang Tayaran Street, hand phone-nya berbunyi. Ada SMS masuk. Ia menghentikan langkah dan melihat layar hand phone, dari Mbak Zulfa, isteri Ustadz Mujab, yang masih bisa digolongkarl sepupu dengannya. Kakek ayah Ustadz Mujab adalah juga kakek abahnya. Jadi antara dirinya dan Ustadz Mujab masih erat pertalian darah nya. Ia buka pesan yang masuk :

"Ass. Wr. Wb. Dik Anna, bagaimana Istikharahnya? — Sdh ada kepastian? Td Ust. Furqan ngebel ke Ust. Mujab, katanya besok mau dolan. Mungkin mau menanyakan hasilnya."

Ia tertegun sesaat, sesuatu yang nyaris dia lupakan, kini ditanyakan. Memang sudah tiga bulan yang lalu ia diberitahu Mbak Zulfa tentang keseriusan Furqan yang ingin mengkhitbahnya. Saat itu ia sedang konsentrasi ujian, jadi ia anggap angin lalu. Apalagi Furqan bukan yang pertama mengutarakan keseriusan kepadanya. Ia telah menerimanya belasan kali. Baik yang melalui orang ketiga seperti Furqan, atau yang langsung blak-blakan lewat telpon, sms, email, surat maupun disampaikan langsung face to face. Semuanya telah mampu ia selesai-kan dengan baik.

Namun lamaran dari Furqan, Mantan Ketua Umum PPMI, dan kandidat M.A. dari Cairo University , ia rasakan agak lain. Tidak mudah baginya untuk mengatakan "tidak", seperti sebelum-sebelumnya. Juga tidak mudah untuk mengatakan "ya."

Ia sama sekali tidak menemukan alasan untuk menolak. Namun juga belum mendapatkan kemantapan hati untuk menerimanya. Pikirannya masih terpaku pada tesisnya. Namun ia juga sadar bahwa waktu terus berjalan, dan usianya hampir seperempat abad. Memang sudah saatnya ia membina rumah tangga, menyempurnakan separo agama.

Ia melangkah sambil memasukkan hand phone ke dalam tas birunya. Jilbab putih yang menutupi sebagian jubah biru lautnya berkibaran diterpa semilir angin sejuk musim semi. Ia mencoba menghadirkan bayangan wajah Furqan. Namun spontan ada yang menolak dan dalam jiwanya. Ia tersadar, dalam kenikmatan, dalam kelapangan selalu ada ujian. Dalam setiap hembusan nafas dari aliran darah selalu ada setan yang ingin menye-satkan. Ia langsung istighfar dan ber-ta'awudz. Ia juga sadar bahwa dirinya adalah manusia biasa yang punya nafsu, bukan malaikat suci yang tak memiliki nafsu.

Yang pasti, sunah Nabi tetap harus diikuti, dan suatu saat nanti ia harus mengatakan "ya" atau "tidak" untuk Furqan. Ya, suatu saat nanti tidak harus saat ini. Musim semi kali ini ia tidak ingin diganggu siapa saja, termasuk apa saja yang berkenaan dengan Furqan.

Sementara itu di belahan lain Kota Cairo, tampak sebuah sedan Fiat putih keluar dari pelataran Fakultas Darul Ulum, Cairo University . Sedan itu melaju pelan di Sarwat Street lalu belok kanan ke Gami'at El Qahirah Street, kemudian belok kanan melintas di depan Zoological Gardeen dan terus melaju ke arah sungai Nil.

Tak lama kemudian Fiat putih itu telah berada di atas El Gama'a Bridge, salah satu jembatan utama Kota Cairo yang melintang gagah di atas sungai Nil. Begitu sampai di kawasan El Manyal yang berada di Geziret El Roda, sedan itu belok kanan menyusuri Abdel Aziz Al Saud Street yang membentang di tepi sungai Nil dari ujung selatan Geziret sampai ujung utara. Sedan putih buatan Italia itu terus melaju ke ujung utara, hingga melintasi Cairo University Hospital. Tepat di ujung utara Geziret, tampak Meridien Hotel berdiri gagah. Sedan terus melaju dengan tenang hingga masuk di pelataran Meridien. Begitu menemukan tempat yang tepat di pelataran parkir, sedan itu berhenti. Seorang pemuda berwajah Asia keluar dari sedan. Ia mengeluar-kan tas ransel dan tas jinjing hitam. Setelah mengunci mobil ia melangkah ke arah pintu masuk hotel. Dua orang pelayan hotel berkemeja hijau muda dengan rompi dan celana hijau tua menyambutnya dengan senyum manis. Seorang di antara mereka menawarkan untuk membawakan tasnya, tapi ia menolak. Pemuda itu berjalan tenang melewati lobby hotel menuju resepsionis. Dua orang petugas resepsionis dengan aura kecantikan khas gadis Mesir menyambutnya dengan senyum. Seorang di antara mereka menyapa,

"Good Afternoon, Sir. Can I help you? "

Pemuda itu membalas dengan senyum seraya menunjuk kan paspornya. Saat menyerahkan paspornya, ia sempat mem baca nama dua resepsionis itu. Dina dan Suzan. Si Dina menerima paspor itu dengan senyum lalu menulis sesuatu di komputer. Sebelum Dina berkata, sang Pemuda telah menda huluinya dengan sebuah kalimat dalam bahasa Arab,

"Lau samahti ya Anesa Dina... ." 15 15 Maaf Nona Dina. (Anesa, atau Anisah adalah sapaan untuk petempuan yang belum menikah)

"Na'am," Resepsionis bernama Dina tampak terkejut, "Hadratak bitakallim 'arabi? " 16 16 Anda bisa berbahasa Arab?

"Alhamdulillah, fiin Anesa Yasmin? Heya musy gaiya el yom?" 17 17 Alhamdulillah, mana Nona Yasmin?

"Heya hategi bil leil, insya Allah." 18 18 Dia akan datang nanti malam, Insya Allah.

Dina lalu melihat data di komputer. "Kamar Anda 615, Tuan Furqan"

"Kalau boleh 919."

"Sebentar saya cek dulu."

Furqan menangkap bau semerbak wangi parfum yang menyengat. Bau itu begitu menteror dirinya. Ia menoleh ke arah datangnya bau itu. Seorang perempuan Mesir berambut jagung dan berpakaian ketat melintas. Tangannya digandeng seorang turis bule. Dalam hati ia istighfar, ia berdoa semoga suatu kali nanti perempuan itu tahu adab memakai pakaian dan parfum. Mengenai bule yang menggandengnya ia tidak mau berpurbasangka. Mungkin itu adalah suaminya. Ia kem bali memperhatikan Dina. Pada saat yang sama Dina menoleh ke arahnya.

"Ada isinya, Tuan." "Kalau begitu coba 819." "Baik, sebentar."

Dina kembali melihat layar komputer sementara jari jarinya menari di atas keyboard dengan indahnya. Furqan melihat jam tangannya, dua belas lebih tiga menit.

"Alhamdulillah, kosong!"

"Breakfast-nya sekali saja ya." "Baik, Tuan."

Dina lalu memasukkan data. Mengambil key card, dan memasukkannya ke dalam wadah berlipat tiga dari karton berwarna kuning keemasan. Menuliskan nama Furqan, nomor kamar dan mengambil kupon merah muda.

"Ini kunci dan kupon breakfast-nya." "Mutasyakkir ya Anesa ." 19 19 Terima kasih nona.

"Afwan." 20 20 Maaf

Furqan memeriksa sebentar key card dan kupon yang ia terima, lalu tersenyum tipis pada Dina dan Suzan. Keduanya membalas dengan senyum dan anggukan ringan. Furqan lantas melangkahkan kaki ke arah lift. Ia tidak sadar kalau Dina terus mengikuti gerak tubuhnya sampai hilang ditelan pintu lift.

Furqan naik lift bersama dua turis dari Jepang. Dua muda-mudi yang sedang melakukan riset tentang alat transportasi Mesir kuno. Keduanya ternyata mahasiswa Kyoto University . Kamar mereka dilantai yang sama dengan kamar Furqan. Mereka begitu antusias ketika Furqan menjelaskan dia juga seorang mahasiswa. Furqan memperkenalkan dirinya sebagai mahasiswa pascasarjana Cairo University , jurusan tarikh wal hadharah, sejarah dan peradaban. Sebelum berpisah untuk menuju kamar masing-masing, Furqan sempat bertukar kartu nama dengan mereka.

Sampai di pintu kamar 819, dengan mengucap basmalah, Furqan membuka pintu kamar dengan key card-nya. Lalu memasukkan key card-nya ke tempat bertuliskan "insert your card here" untuk menyalakan listrik. Furqan langsung merasakan kesejukan dan kemewahan kamarnya. Kemewahan Eropa kontemporer hasil perkawinan arsitektur Italia dan Turki modern.

Furqan meletakkan tas jinjing dan tas ranselnya di atas meja pendek di samping kanan almari televisi. Ia lalu beranjak membuka tabir jendela kamarnya. Dan terhamparlah di ha dapannya panorama sungai Nil. Kamarnya tepat menghadap sungai Nil. Dari jendela kamamya ia bisa melihat hampir semua panorama sungai Nil. Ke arah utara ia bisa melihat El Tahrir Bridger, jembatan paling utama yang melintas sungai Nil. Ia juga bisa melihat Gezira Sheraton Opera House, Cairo Tower, bahkan menara Television and Broadcasting Studio di kejauhan.

Ke arah barat ia bisa melihat gedung Papyrus Institute, arus lalu lintas di El Nil Street yang berada tepat di sepanjang tepi barat sungaiNil, membentang dari Giza hingga Imbaba. Ke arah selatan ia bisa melihat El Gama'a Bridge, bendera Kedutaan Israel, dan terminal transportasi air yang letaknya tak begitu jauh dari El Gama'a Bridge dan tentu saja beberapa menara masjid.

Cairo memang terkenal dengan kota seribu menara. Sangat mudah menemukan menara masjid di kota ini. Sebab hampir di setiap titik ada masjidnya

Furqan merebahkan badannya di atas springbed. Punggungnya terasa nyaman. Perlahan -lahan kedua matanya hendak terpenjam. Tiba-tiba hand phone-nya berdering mengi ngatkan saatnya shalat. Ia bangkit, menggerak -gerakkan badannya untuk melemaskan otot ototnya lalu duduk di kursi. Di kepalanya telah tergambar jadwalnya selama berada di hotel. Setelah wudhu ia akan keluar sebentar untuk shalat Zuhur di masjid terdekat dari hotel. Ada masjid di dekat Cairo University Hospital yang terletak di sebelah selatan Meridien.

Setelah itu istirahat sebentar. Satu jam sebelum Ashar, bangun untuk mulai membaca isi tesisnya. Untuk seterusnya konsentrasi memperdalam isi tesisnya yang siap diujikan dalam sidang terbuka tiga hari lagi. Hanya diselingi shalat, makan dan mandi. Selain tesis yang telah paripurna penyuntingannya, bahan-bahan terpenting telah ia bawa yaitu beberapa buku penting, data -data penting yang telah ia simpan rapi dalam laptop serta beberapa data dalam berlembar-lembar fotocopy. Itulah jadwal yang telah tersusun di kepalanya.

Saat ia bangkit hendak ke kamar mandi telpon yang ada di kamarnya berdering. Ia kaget, dalam hati ia bertanya siapa yang telpon, baru saja sampai sudah ada yang telpon.

"Ya, hello. Ini siapa ya?"

"Ini Sara, Tuan Furqan. " "Sara siapa ya?"

"Sara Zifzaf, mahasiswi Cairo University yang berkenalan dengan Tuan diperpustakaan dua bulan yang lalu. "

"Sebentar, Sara yang tinggal di Mohandisin itu ya?" "Iya benar."

"Kok bisa tahu saya di sini!?" Tanya Furqan heran. Ia heran bagaimana mungkin ada orang yang tahu ia ada di hotel itu dan tahu nomor kamarnya. Apalagi dia adalah gadis Mesir yang berkenalan tidak di sengaja di Perpustakaan. Setelah itu tidak pernah bertemu lagi sama sekali. Ia berkenalan dengan Sara di perpustakaan. Gara garanya, saat itu perpustakaan penuh. Tidak ada lagi kursi kosong kecuali satu kursi di dekat seorang gadis Mesir. Ia terpaksa duduk di situ. Ia membaca dan menulis hal-hal penting dengan laptop -nya di samping gadis itu. Entah kenapa gadis itu lalu mengajaknya bicara dan terjadilah perkenalan itu.

Gadis itu adalah Sara. Dia memperkenalkan diri sebagai mahasiswi Cairo University yang tinggal di Mohandisin. Gadis itu ingin mengajaknya banyak bicara, Tapi ia minta maaf tidak bisa banyak bicara, sebab banyak yang harus ditulisnya.

"Kebetulan tadi saya menemani ayah saya bertemu koleganya di hotel ini. Saat saya hendak meninggalkan lobby saya sempat melihat Tuan Furqan di meja resepsionis. Maka saya tanya pada resepsionis untuk meyakinkan saya bahwa yang saya lihat tidak salah. Dan ternyata benar. Sebenarnya saya ingin bertemu langsung dengan Tuan Furqan. Tapi sayang saya ada janji dengan seorang teman di Giza. Ini saya menghubungi Tuan di jalan, dalam perjalanan ke Giza."

"Ada keperluan apa Anda menghubungi saya, Nona?'

"Saya ingin mengundang Anda makan malam bersama?" "Ya makan malam bersama?"

Furqan kaget, ia baru sekali bertemu dengan gadis Mesir itu. Tapi gadis Mesir itu bisa tidak lupa padanya. Ia saja jika bertemu lagi dengan gadis itu di jalan mungkin sudah lupa. Terus baru sekali bertemu sudah berani mengundang makan malam. Ia heran. Itu bukanlah watak asli gadis Mesir. Watak asli gadis Mesir adalah menjaga diri dengan rasa malu yang berlapis lapis.

"Saya mengundang Tuan nanti malam jam 19.30 di Abu Sakr Restaurant di Qashr Aini Street, tepat di depan Qashr El Aini Hospital. Setelah berkenalan dengan Tuan di perpustaka an itu, saya lalu mencari data lebih jauh tentang Tuan di ba gian kemahasiswaan. Saya jadi mengetahui banyak hal tentang Tuan. Saya juga sering melihat Tuan melintas di gerbang kampus, tapi Tuan pasti tidak tahu. Saya harap Tuan bisa memenuhi undangan saya malam ini" Suara Sara itu terasa indah ditelinga. Bahasa 'Amiya Mesir jika diucapkan oleh gadis Mesir memiliki sihir tersendiri. Sihir yang tidak dimiliki jika diucapkan oleh kaum laki-laki. Furqan berpikir sejenak lalu menjawab dengan tegas,

"Maaf, mungkin saya tidak bisa Nona. Ada yang harus saya kerjakan."

"Tidak harus Tuan jawab sekarang. Lihat saja nanti malam, jika ada waktu silakan datang. Jika tidak, tidak apa. Namun saya sangat senang jika Tuan bisa datang. Ini saja Tuan, maaf mengganggu. Sampai bertemu nanti malam. Syukran."

"Afwan."

Seketika ada tanda tanya besar dalam kepala Furqan, kenapa gadis yang baru begitu ia kenal itu mengundangnya makan malam? Sangat aneh untuk adat wanita Mesir keba nyakan. Ia merasa heran.

"Ah, emang gua pikirin. Gua ke sini bukan untuk memenuhi undangan makan, tapi untuk persiapan sidang tesis tiga hari yang akan datang. Ah sekarang shalat, makan siang, istirahat lalu belajar dengan tenang." Kata Furqan pada diri sendiri, meskipun undangan makan malam dari Sara di salah satu restauran berkelas itu, mau tidak mau, hinggap juga di pikiran dan menimbulkan seribu tanda tanya.

Di luar hotel, angin musim semi mencumbui sunga Nil dengan mesra. Sinar matahari memancarkan kehangatan dan rasa bahagia.

0 komentar:

Posting Komentar

REVAN NINTANG BLOG. Diberdayakan oleh Blogger.