Sabtu, 24 Januari 2009

YA ALLAH ...
Ketika ku diciptakan apa gerangan alasan Engkau menciptakan manusia? Kenapa kami diharuskan ada? Maha Suci Engkau dari membutuhkan sesuatu. Kalau jawabannya karena manusia diciptakan untuk beribadah, itu adalah jawaban atas pertanyaan "UNTUK APA MANUSIA DICIPTAKAN". Tapi kalau pertanyaannya "KENAPA SIH KAMI SEMUA (manusia, dan makhluk lainnya) HARUS DICIPTAKAN ? " Pertayaan ini memang sangat ekstrem tapi juga sangat mendasar bagi Hamba Allah yang ingin mendapatkan jawaban yang menenangkan jiwa, terpuaskan akal, menentramkan hati. Yang mana secara otomatis akan menjadi LANDASAN BERPIKIR PULA yang nantinya menjadi sebuah PONDASI SEBUAH AQIDAH ISLAMIAH YANG KHAS. Tolong beri komenarnya.





ADAKAH PEMILU DALAM ISLAM?

Mungkin pertanyaan kita yang mendasar adalah, apakah Pemilu (pemilihan umum) itu ada dalam Islam? Jika Islam mengakui keberadaannya, apa dasar argumentasinya? Bagaimana kaitannya dengan cara pemilihan khalifah pada masa Khulafaur Rasyidin? Lalu, apakah Pemilu dalam Islam ini sama dengan Pemilu dalam sistem demokrasi? Mari kita mengkaji satu persatu jawabannya.
Benar, Pemilu memang ada dan dibolehkan dalam Islam. Sebab, kekuasaan itu ada di tangan umat (as-sulthan li al-ummah). Dan kedaulatan tertinggi ditangan Allah. Ini merupakan salah satu prinsip dalam sistem pemerintahan Islam (Khilafah). Prinsip terlaksana melalui metode baiat dari pihak umat kepada seseorang untuk menjadi khalifah (Zallum, 2002: 41; Al-Khalidi, 1980: 95). Prinsip ini berarti, seseorang tidak akan menjadi penguasa (khalifah), kecuali atas dasar pilihan dan kerelaan umat. Pemilu (al-intikhâb) dapat menjadi salah satu cara (uslûb) bagi umat untuk memilih siapa yang mereka kehendaki untuk menjadi khalifah.
Namun, perlu dipahami, bahwa Pemilu hanyalah cara (uslûb), bukan metode (tharîqah). Cara mempunyai sifat tidak permanen dan bisa berubah-ubah, sedangkan metode bersifat tetap dan tidak berubah-ubah (An-Nabhani, 1973: 92). Lebih detilnya, cara merupakan perbuatan cabang (al-fi‘l al-far‘î) yang tidak mempunyai hukum khusus, yang digunakan untuk menerapkan hukum umum bagi perbuatan pokok (al-fi‘l al-‘ashlî). Cara Amil Zakat mengambil zakat dari muzakki-apakah dengan jalan kaki atau naik kendaraan; apakah harta zakat dicatat dengan buku atau komputer; apakah harta itu dikumpulkan di satu tempat atau tidak. Semua itu merupakan perbuatan cabang yang tidak memiliki hukum khusus, karena tidak ada dalil khusus yang mengaturnya secara spesifik. Perbuatan cabang itu sudah tercakup oleh dalil umum untuk perbuatan pokok (yaitu mengambil zakat), misalnya dalil QS At-Taubah [9]: 103. Maka dari itu, semua aktivitas tersebut termasuk cara (uslûb) yang hukumnya adalah mubah dan bisa saja berubah-ubah. Yang tidak boleh berubah adalah aktivitas mengambil zakat, sebab ia adalah metode yang sifatnya wajib dan tidak boleh ditinggalkan atau diubah. Termasuk juga metode adalah perbuatan cabang-dari perbuatan pokok-yang memiliki dalil khusus. Misalnya, kepada siapa zakat dibagikan, barang apa saja yang dizakati, dan berapa kadar zakat yang dikeluarkan. Semuanya berlaku secara permanen dan tidak boleh diubah, karena sudah dijelaskan secara rinci sesuai dengan dalil-dalil khusus yang ada (An-Nabhani,1953: 116; Zallum, 2002: 205-206; Al-Mahmud, 1995: 106-107).
Demikian pula dalam masalah pemilihan dan pengangkatan khalifah dalam syariat Islam. Ada metode (tharîqah) yang tetap dan hukumnya wajib; ada pula cara (uslûb) yang bisa berubah dan hukumnya mubah. Dalam hal ini, hanya ada satu metode untuk mengangkat seseorang menjadi khalifah, yaitu baiat yang hukumnya adalah wajib (Abdullah, 1996: 130-131). Dalil wajibnya baiat adalah sabda Rasulullah saw.:
Siapa saja yang mati, sedangkan di lehernya tidak ada baiat, maka dia mati seperti mati Jahiliah. (Hadis sahih. Lihat: Shahîh Muslim, II/240; Majma‘ Az-Zawâ’id, V/223-224; Nayl al-Awthâr,VII/183; Fath al-Bâri, XVI/240).
Rasulullah saw. mencela dengan keras orang yang tidak punya baiat, dengan sebutan “mati Jahiliah”. Artinya, ini merupakan indikasi (qarînah), bahwa baiat itu adalah wajib hukumnya (Abdullah, 1996: 131).
Adapun tatacara pelaksanaan baiat (kayfiyah ada’ al-bai’ah), sebelum dilakukannya akad baiat, merupakan uslûb yang bisa berbeda-beda dan berubah-ubah (An-Nabhani, 1973: 92). Dari sinilah, Pemilu boleh dilakukan untuk memilih khalifah. Sebab, Pemilu adalah salah satu cara di antara sekian cara yang ada untuk melaksanakan baiat, yaitu memilih khalifah yang akan dibaiat.
Mengapa cara pemilihan khalifah boleh berbeda dan berubah, termasuk dibolehkan juga mengambil cara Pemilu? Sebab, ada Ijma Sahabat mengenai tidak wajibnya berpegang dengan satu cara tertentu untuk mengangkat khalifah, sebagaimana yang terjadi pada masa Khulafaur Rasyidin. Cara yang ditempuh (sebelum baiat) berbeda-beda untuk masing-masing khalifah: Abu Bakar, Umar, Utsman, dan Ali, ridhwânullâh ‘alayhim. Namun, pada semua khalifah yang empat itu selalu ada satu metode (tharîqah) yang tetap, dan tidak berubah-ubah, yaitu baiat. Baiat inilah yang menjadi satu-satunya metode untuk mengangkat khalifah, tak ada metode lainnya. (Zallum, 2002: 82).
Pemilihan Khulafaur Rasyidin
Baiat menurut pengertian syariat adalah hak umat untuk melangsungkan akad Khilafah (haq al-ummah fî imdhâ’ ‘aqd al-khilâfah) (Al-Khalidi, 1980: 114; 2002: 26). Baiat ada dua macam: Pertama, baiat in‘iqâd, yaitu baiat akad Khilafah. Baiat ini merupakan penyerahan kekuasaan oleh orang yang membaiat kepada seseorang sehingga kemudian ia menjadi khalifah. Kedua, baiat ath-thâ‘at (atau bay’ah ‘ammah), yaitu baiat dari kaum Muslim yang lainnya kepada khalifah, yang cukup ditampakkan dengan perilaku umat menaati khalifah (Al-Khalidi, 2002: 117-124).
Baiat tersebut merupakan metode yang tetap untuk mengangkat khalifah. Maka dari itu, pada Khulafaur Rasyidin, akan selalu kita jumpai adanya baiat dari umat kepada para khalifahnya masing-masing. Adapun cara-cara praktis pengangkatan khalifah


REVAN NINTANG BLOG. Diberdayakan oleh Blogger.