Minggu, 16 Agustus 2009

1 Pagi Bertasbih Di Desa Wangen

Langit dini hari selalu memikatnya. Bahkan sejak ia masih kanak-kanak. Bintang yang berkilauan di matanya tampak seumpama mata ribuan malaikat yang mengintip penduduk bumi. Bulan terasa begitu anggun menciptakan kedamaian di dalam hati.
Ia tak bisa melewatkan pesona ayat-ayat kauni yang maha indah itu begitu saja.
Sejak kecil Abahnya sudah sering membangunkannya jam tiga pagi. Abah menggendong dan mengajaknya menikmati keindahan surgawi. Keindahan pesona langit, bintang gemintang, dan bulan yang sedemikian fitri.
Di atas sana ada jutaan malaikat yang sedang bertasbih." Begitu kata Abahnya yang tak lain adalah Kiai Lutfi sambil menggendongnya.
Ia tidak mungkin melupakannya.
Jutaan malaikat itu mendoakan penduduk bumi yang tidak lalai. Penduduk bumi yang mau tahajjud saat jutaan manusia terlelap lalai." Sambung Abah sambil membawanya ke masjid pesantren.
Abah lalu mengajaknya untuk akrab dengan dingin-nya mata air desa Wangen. Setelah mengambil air wudhu, Abah mengajaknya keliling pesantren, mengetok kamar demi kamar sambil berkata,
Shalat, shalat, shalat!"
Setelah semua kamar diketuk, sang Abah mengajaknya kembali ke masjid untuk shalat. Beberapa orang santri ada yang sudah shalat. Ada yang masih mendengkur berselimut sarung.
Setelah shalat sebelas rakaat Abah mengajaknya berdoa. “Ayo Nduk, kita berdoa biar diamini jutaan malaikat."
Dan tatkala fajar merekah kemerahan di sebelah timur, Abah bertasbih dan mengajaknya menikmati keindahan yang menggetarkan itu. Lalu dengan menggendongnya kembali, Abah mengajaknya keliling pesantren untuk kedua kalinya. Kali ini Abah membangunkan para santri dengan suara lebih keras, dengan nada sedikit berbeda,
Subuh, subuh, shalat!
Subuh, subuh, shalat!"
Lalu azan subuh pun berkumandang.
Azan subuh selalu menggetarkan kalbunya. Alam seperti bersahut-sahutan mengagungkan asma Allah. Fajar yang merekah selalu mengalirkan ke dalam hatinya rasa takjub luar biasa kepada Dzat yang menciptakannya.
Setiap kali fajar itu merekah ia rasakan nuansanya tak pernah sama. Setiap kali merekah selalu ada semburat yang baru. Ada keindahan baru. Keindahan yang berbeda dari fajar hari-hari yang telah lalu. Rasanya tak ada sastrawan yang mampu mendetilkan keindahan panorama itu dengan bahasa pena. Tak ada pelukis yang mampu melukiskan keindahan itu dalam kanvasnya. Tak ada! Keindahan itu bisa dirasakan, dinikmati dan dihayati dengan sempurna oleh syaraf-syaraf jiwa orang-orang yang tidak lalai akan keagungan Tuhannya.
Langit dini hari selalu memikatnya. Bahkan sejak ia masih kanak-kanak. Azan subuh selalu menggetarkan kalbunya. Dan fajar yang merekah selalu mengalirkan kedalam hatinya rasa takjub luar biasa kepada Dzat yang menciptakannya.
Anna berdiri di depan jendela kamarnya yang ia buka lebar-lebar. Ia memandangi langit. Menikmati fajar. Dan menghayati tasbih alam desa Wangen pagi itu. Dengan dibalut mukena putihnya ia menikmati keindahannya dari jendela kamarnya. Ia hirup dalam-dalam aromanya yang khas. Aroma yang sama dengan aroma yang ia rasakan saat ia kecil dulu. Tidak jauh berbeda. Aroma daun padi dari persawahan di barat desa. Goresan yang indah bernuansa surgawi. Angin pagi yang mengalir sejuk menyapa rerumputan yang bergoyang-goyang seolah bersembahyang.
Di kejauhan, beberapa penduduk desa sudah ada yang bergerak. Ada rombongan ibu-ibu yang mengayun sepeda membawa dagangan di boncengan. Mereka menuju pasar Tegalgondo. Biasanya mereka shalat subuh di sana sebelum menjajakan dangangan mereka.
Penduduk Pesantren Daarul Qur’an, baik yang putra maupun yang putri sebagian besar telah bangun dan bersiap untuk shalat subuh.
Kiai Lutfi, pengasuh utama Pesantren Daarul Qur’an sudah shalat sunnah fajar di masjid.
Anna shalat sunnah dua rakaat lalu beranjak ke masjid.
Masjid pesantren yang terletak di tengah-tengah desa Wangen, Polanharjo, Klaten itu kini jauh lebih megah dari waktu ia masih kecil dulu. Dulu masjid pesantren itu berdinding papan dan lantainya ubin kasar. Hanya muat untuk dua ratusan orang saja. Saat itu jumlah santri baru seratus tujuh puluh. Semuanya putra. Karena memang belum membuka pesantren putri. Sekarang masjid itu sudah mampu menampung seribu lima ratus orang. Dua lantai. Lantai bawah untuk santri putra dan lantai atas untuk santri putri. Jumlah santri sudah mencapai seribu tiga ratus. Delapan ratus untuk santri putra dan lima ratus untuk santri putri.
Lantai atas masjid itu putih. Penuh oleh santriwati berbalut mukena putih. Mereka seumpama bidadari-bidadari yang turun ke bumi bersama para malaikat pagi.
Sebagian sedang shalat sunnah. Sebagian duduk membaca Al Qur’an. Sebagian yang lain duduk sambil berzikir. Anna shalat tahiyyatul masjid di tengah-tengah mereka. Jika para bidadari memiliki ratu, maka Anna Althafunnisalah ratunya para bidadari yang mengagungkan asma Allah di masjid itu.
Iqamat dikumandangkan.
Semua berdiri serentak. Shaf ditata seperti barisan pasukan yang siap berperang. Kiai Lutfi merapikan shaf dengan sabar. Ia sangat perhatian mengatur shaf. Lalu takbiratul ihram menggema di masjid itu. Semua jamaah mengumandangkan takbir bersama. Mengagungkan asma Allah. Masjid itu lalu menyatu bersama alam yang mengagungkan asma Allah pagi itu.
Usai shalat subuh dan berzikir. Kiai Lutfi mengajak santrinya untuk melantunkan zikir pagi. Lalu beliau membacakan kitab Subulus Salam karya Imam Ash Shan'ani yang merupakan penjelas kitab Bulughul Maram yang disusun oleh Imam Ibnu Hajar Al Asqalani. Subulus Salam adalah satu dari tiga kitab yang menjadi wirid Kiai Lutfi.
Artinya kitab itu adalah salah satu kitab yang senantiasa dibaca berulang-ulang oleh Kiai Lutfi.
Kitab kedua adalah kitab Tafsir Jalalain yang disusun oleh Imam Jalaluddin As Suyuthi dan Imam Jalaluddin Al Mahalli.
Kitab ketiga adalah Al Hikam yang ditulis Imam Ibnu Athaillah As Sakandari.
Subulus Salam dan Tafsir Jalalain dibaca dan dijelaskan kandungannya panjang lebar oleh Kiai Lutfi setiap hari.
Dan semua santri wajib mengikutinya. Subulus Salam dibaca setelah shalat subuh dan Tafsir Jalalain setelah shalat maghrib. Sementara kitab Al Hikam dibacakan setiap Rabu bakda Ashar untuk masyarakat umum.
Sudah jamak di dunia pesantren bahwa seorang Kiai biasanya memiliki kitab-kitab andalan yang sangat dia kuasai dan ia ajarkan kepada santrinya. Kitab itu jadi wiridnya. Sehingga ia seolah-olah hafal kitab itu. Dengan melihat kitab yang dijadikan wirid maka para santri dan masyarakat bisa mengetahui kepakaran seorang Kiai.
Misalnya Kiai Lutfi setiap hari mengajarkan Subulus Salam dan Tafsir jalalain, maka beliau adalah pakar di bidang fiqh dan hadis, juga pakar di bidang tafsir. Penguasaan beliau dalam ketiga bidang itu sangat mendalam. Bukan berarti Kiai Lutfi tidak menguasai ilmu nahwu, ilmu tata bahasa Arab. Bukan. Beliau juga menguasai ilmu itu. Tapi kecenderungan dan kepakaran beliau di bidang itu.
Contoh lain misalnya Kiai Rasyidi biasa mengajarkan kitab Qira'atur Rasyidah di Pesantren As Salam Pabelan. Itu karena beliau di kalangan ulama karesidenan Surakarta dikenal sebagai pakar bahasa Arab. Beliau lulusan Al Azhar yang sudah belasan tahun hidup di Mesir. Beliau juga sangat menguasai ilmu fiqh dan disiplin ilmu lainnya. Namun beliau memiliki kecenderungan untuk mendalami dan mengajarkan bahasa Arab kepada para santrinya. Lain lagi dengan Almarhum Kiai Ali Darokah, ulama Surakarta jebolan Mambaul Ulum yang legendaris. Beliau juga menjadi guru para ulama di Surakarta .dan sekitarnya, dikenal sebagai ulama yang memiliki kepakaran di bidang ilmu fiqh dan ushul fiqh.
Sementara Kiai Salman Popongan cenderung pada ilmu tasawuf. Maka kitab yang menjadi wiridan beliau, konon, adalah kitab-kitab tasawuf seperti kitab Al Hikam-nya Imam Ibnu Athaillah As Sakandari dan kitab Ihya' Ulumuddin-nya Imam Al Ghazali.
Di Sukoharjo, Kiai Ahmad Husnan dikenal sebagai ulama yang pakar dalam takhrij hadits. Maka kitab-kitab yang beliau bahas dan beliau uraikan kepada para santrinya di Pesantren Al Mukmin adalah kitab-kitab hadis dan ilmu hadis seperti Kutubus Sittah. Beliau bahkan banyak menulis buku dalam bidang hadis.
Di Jogjakarta, ada ulama yang dikenal sangat pakar di bidang Ushul Fiqh dan Fiqh. Kepakarannya bahkan masyhur sampai Asia Tenggara. Beliau adalah almarhum Kiai Haji Ali Maksum, Pengasuh Pesantren Al Munawwir Krapyak.
Maka di antara kitab yang menjadi wirid beliau adalah kitab Asybah Wan Nadhair, Fathul Mu'in dan Fathul Wahab.
Pagi itu Kiai Lutfi membacakan dan menguraikan hadis yang berbunyi,
Laa yadhulul jannata qattaatun!" Semua santri, baik putra dan putri mendengarkan dengan khidmat dan rasa ingin tahu. Kiai Lutfi lalu menjelaskan arti dan maksud hadis pendek itu,
Anak-anakku semuanya yang aku sayangi, Hadis pendek ini muttafaq 'alaih, artinya diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Muslim. Jelas shahihnya. Tidak bisa diragukan. Arti dari hadis ini adalah,'Tidak akan masuk surga orang yang suka memfitnah.
Imam Shan'ani menjelaskan, kat “qattat" itu dengan huruf qaf, huruf ta' dan sesudah alif huruf ta' lagi, yang berarti pemfitnah. Ada ulama yang berkata, ada perbedaan antara “qattaat" dan“nammaam".
Nammaam ialah orang yang mencari berita untuk menyampaikannya kepada orang lain (untuk menebar fitnah)
Sedangkan“qattaat" adalah orang yang hanya mendengar berita yang ia tidak mengetahui pasti kebenaran berita itu, kemudian ia menceritakan apa yang ia dengar itu (kepada orang lain untuk memfitnah).
Hakekat fitnah itu pemindahan pembicaraan orang kepada orang lain untuk merusak hubungan di antara mereka.
Anak-anakku, ingatlah baik-baik hadis ini. Hayati dan patri dalam sanubari! Jangan sekali-kali kalian menjadi seorang pemfitnah, baik qattaat maupun nammaam. Sebab pemfitnah itu telah diharamkan oleh Rasulullah Saw. untuk masuk surga. Pemfitnah termasuk seburuk-buruk makhluk Allah di atas muka bumi ini. Al Hafidz Al Mundziri mengatakan, Ummat Islam sudah sepakat bahwa fitnah itu diharamkan dan fitnah itu termasuk dosa besar!"
Lalu Kiai Lutfi terus membacakan isi kitab Subulus Salam itu dan menjelaskan panjang lebar dengan penuh rasa kasih sayang dan cinta kepada santri-santrinya. Setelah setengah jam membacakan Subulus Salam, Kiai Lutfi menutup kajian pagi hari itu dengan hamdalah. Para santri bubar kembali ke kamarnya untuk bersiap-siap menyam-but aktifitas pesantren yang lebih padat. Kiai Lutfi biasanya tetap iktikaf di masjid sampai kira-kira jam delapan.
Anna kembali ke kamarnya. Ia mempersiapkan diri menghadapi salah satu hari yang sangat bersejarah dalam hidupnya. Nanti sore keluarga Furqan dari Jakarta akan datang untuk melamarnya. Kemarin sore Furqan mengirim sms bahwa dia dan keluarganya sudah sampai di Solo, saat ini mereka menginap di hotel Lor Inn Solo.
Tanpa ia pinta, ingatannya kembali berputar bagaimana ia mengiyakan lamaran Furqan. Bulan April ia meninggalkan Cairo. Saat itu konsentrasinya adalah penelitian di Malaysia untuk tesisnya tentang
Asuransi Syari'ah di Asia Tenggara." Ia belum memberi jawaban atas lamaran Furqan yang diajukan lewat Ustadz Mujab.
Ada dua minggu lamanya ia mengadakan penelitian di perpustakaan Universiti Malaya, ISTAC, HUM dan Universiti Kebangsaan Malaysia. Ia lebih banyak mengcopy data-data dan rujukan-rujukan penting. Lalu ia pulang ke Indonesia. Kerinduannya pada Abah dan Umminya, juga pada aroma desa Wangen sudah sedemikian membuncah di dada.
Ia masih ingat betul, selama satu minggu di rumah ia belum membicarakan perihal lamaran Furqan pada kedua orang ruanya. Ia masih bimbang dan ragu. Dan tepat satu minggu setelah menghirup udara Wangen, suatu pagi ia diajak bicara serius oleh Abahnya. Saat itu ia sedang mengerjakan tesisnya di ruang perpustakaan Abahnya.
Nduk, aku ingin bicara sebentar denganmu bisa?" Kata Abahnya, dengan wajah serius.
Inggih11 Iya (jawa) , bisa Abah." Jawabnya sambil menghadapkan seluruh wajahnya pada sang Abah.
Begini, Nduk, Abah rasa kamu harus segera menikah.
Kamu harus segera memutuskan siapa yang kamu pilih untuk menjadi pendamping hidupmu. Jika Abah hitung, dua tahun ini sudah enam kali engkau menolak lamaran.
Dan lamaran itu datangnya tidak dari orang sembarangan.
Abah dan Ummimu sudah tidak sanggup lagi untuk terus menolak lamaran yang datang. Abah ingin menyampaikan padamu, tadi malam ada seseorang yang datang lagi untuk melamarmu. Abah kenal baik dengannya. Dan Abah percaya padanya. Ummimu juga. Dia dulu juga santri di pesantren ini. Tapi keputusan ada di tanganmu, Nduk. Sebab engkau sudah besar, sudah sangat berpendidikan."
Ana sedikit terperanjat. Ia jadi penasaran siapa santri itu?
Pernah nyantri di sini Bah?"
Iya."
Siapa dia Bah? Apa aku mengenalnya?"
Mungkin saja."
Namanya siapa Bah?"
Muhammad Ilyas."
Muhammad Ilyas yang mana ya Bah?"
Yang tinggi kurus, agak hitam."
Anna mencoba mengingat beberapa santri yang ia kenal. Ia tidak memiliki bayangan. Ia memang tidak banyak mengenal para santri putra yang seusianya, atau sedikit di atasnya. Sebab begitu lulus SD ia langsung dibuang ayahnya untuk belajar di Kudus. Tiga tahun di Kudus, ia lalu melanjutkan belajar di MAPK Putri Ciamis.
Saat di Madrasah Aliyah itulah ia sempat mengikuti pertukaran pelajar ke Wales, U.K. Begitu selesai Aliyah ia langsung terbang ke Mesir. Jadi nyaris ia tidak banyak berinteraksi dengan santri-santri Abahnya. Baik yang putra maupun putri.
Wah, saya tidak mengenalnya Bah." Kata Anna pelan. “Ilyas cuma satu tahun di sini. Di kelas 3 Aliyah saja.
Sebelumnya ia belajar di Pasuruan. Anaknya cerdas. Hanya saja olah bahasanya kurang halus. Tapi pelan-pelan bisa diperbaiki. Ia menyelesaikan S1 di Madinah dan sekarang sedang menulis tesis masternya di Aligarh, India. Saat ini ia sedang liburan. Tadi malam ia datang bersama pamannya untuk melamarmu. Aku dan Ummimu tidak mungkin langsung menerima atau menolaknya. Kami akan memutuskan sesuai dengan apa yang kamu putuskan."
Kalau Abah sendiri kelihatannya bagaimana?"
Abah sendiri tidak ada masalah. Selama yang datang itu orang yang shalih dan berilmu itu saja. Dan Ilyas sudah memenuhi kriteria itu. Selanjutnya tergantung kamu. Sebab kamu yang akan menjalani. kamulah yang menentukan siapa pendamping hidupmu. Bukan Abah atau Ummimu." Diamdiam dari hati yang paling dalam Anna merasa sangat bersyukur memiliki orang tua yang sangat penyabar, demokratis, dan sangat terbuka.
Begini, Bah, saat ini saya juga sedang menerima lamaran dari seorang yang baru saja menyelesaikan S2nya di Cairo University." Anna membuka masalahnya.
Coba ceritakan lebih detil!" Pinta Abahnya.
Ia lalu menceritakan tentang lamaran Furqan dengan detil. Tentang siapa Furqan, aktivitas Furqan, prestasiprestasi Furqan selama di Cairo, juga latar belakang keluarga Furqan. Ia ceritakan semua yang ia tahu tentang Furqan.
Kiai Lutfi hanya manggut-manggut saja mendengar cerita putrinya yang sedemikian panjang lebar.
Dia orang Jakarta asli?" Tanya Kiai Lutfi.
Tidak tahu ayah. Tapi setahuku sejak kecil ia di Jakarta, lalu kuliah di Cairo."
Bisa bahasa Jawa?"
Mungkin. Tapi ya sebatas memahami perkataan dalam bahasa Jawa Bah."
Furqan itu, seperti yang kamu ceritakan banyak memiliki kelebihan. Tapi jika dia nanti misalnya tinggal di sini tidak bisa berbahasa Jawa dengan baik, itu akan jadi satu kelemahannya."
Sebagaimana setiap manusia memiliki kelebihan pastikan juga memiliki kelemahan Bah."
Yah, terserah bagaimana keputusan kamu. Siapa yang kamu pilih? Furqan atau Ilyas? Abah minta salah satu dari mereka ada yang kamu pilih. Jangan tidak ada yang kamu pilih. Itu saja permintaan Abah dan Ummi padamu, Nduk."
Bah, untuk memilih salah satu di antara keduanya, rasanya kita harus adil. Saya sudah pernah bertemu dengan Furqan, tapi belum pernah bertemu Ilyas. Rasanya kalau saya putuskan memilih Furqan misalnya itu tidak adil." Pak Kiai Lutfi faham.
Baik. Itu gampang. Kebetulan besok pagi dia mau mengisi acara pembekalan anak-anak kelas tiga Aliyah yang akan meninggalkan pesantren ini. kamu akan aku temukan dengannya."
Dan benar, hari berikutnya, Ilyas datang. Pakaiannya rapi. Ia datang dengan mengendarai Honda Supra X. Kiai Lutfi minta kepada Ilyas supaya masuk rumah sebelum mengisi acara. Sesaat lamanya Kiai Lutfi mengajak Ilyas berdiskusi beberapa masalah keumatan di ruang tamu.
Anna mendengarkan diskusi dari ruang tengah. Antara ruang tengah dan ruang tamu disekat dengan kaca riben hitam. Anna bisa melihat Ilyas dengan jelas, dan sebaliknya Ilyas tidak bisa melihat Anna dengan jelas. Anna sudah merasa cukup.
Tapi tiba-tiba ayahnya bangkit masuk ruang tengah dan memanggil namanya,
Anna, minumannya mana?"
Terpaksa ia mengeluarkan minuman dan dua kaleng biskuit. Ia bisa melihat Ilyas dengan lebih jelas. Ia tahu Ilyas melirik wajahnya sekelebat. Setelah itu ia mem-bandingkan kelebihan dan kekurangan dua pemuda yang melamarnya. Furqan dan Ilyas. Hatinya condong pada Furqan, tapi masih ada sebersit keraguan. Ia masih belum bisa memutuskan. Ia perlu orang lain yang bisa ia ajak bicara dari hati ke hati.
Akhirnya ia memilih Nafisah, Ketua Pengurus Pesantren Putri, yang ia rasa sudah sangat dekat dengannya sebagai teman bermusyawarah. Ia menceritakan kebimbangannya kepada Nafisah setelah ia mengambil janjinya agar tidak membuka isi pembicaraan kepada siapa pun juga.
Mbak punya foto Ustadz Furqan?" Tanya Nafisah setelah mendengar semuanya.
Ada." Jawab Anna seraya membuka diarynya.
Ini fotonya." Lanjut Anna dengan menyodorkan sekeping foto pada Nafisah.
Nafisah menerima foto itu dan mengamatinya dengan seksama.
Wah, tampan sekali Neng Anna. Jujur saja, kalau saya yang disuruh memilih, saya pasti memilih Ustadz Furqan.
Sebab dia sudah selesai S2. Sementara Ustadz Ilyas belum.
Dia mahasiswa Mesir. Sementara Ustadz Ilyas mahasiswa India. Kalau Ustadz Furqan kan setelah menikah bisa melanjutkan S3 di Mesir sambil menunggui Neng Anna menyelesaikan tesis. Jadi kalian bisa hidup bersama gitu lho. Kalau Ustadz Ilyas kan susah. Bagaimana? Satu di India, yang satu di Mesir? Terus ini Neng, terus terang, saya pribadi pernah diajar oleh Ustadz Ilyas. Ada yang saya kurang suka pada beliau?"
Apa itu?"
Saya takut ghibah Neng."
Semoga tidak termasuk ghibah sebab ini niatnya sama sekali bukan untuk ghibah. Lha kalau saya tidak tahu hal itu bagaimana saya bisa menimbang Nafisah?"
Baik, ini menurut saya pribadi lho Neng. Sikapnya yang kurang saya sukai, Ustadz Ilyas agak kurang menjaga pandangan pada para siswi ketika mengajar."
Kan kalau mengajar memang boleh memandang yang diajar."
Tapi kan bisa lebih dijaga. Saya suka model Ustadz Ramzi yang lulusan Syiria itu, beliau sangat menjaga pandangan. Tapi sayangnya beliau sudah punya isteri." Setelah berbincang-bincang cukup detail dengan Nafisah, ia agak cenderung kepada Furqan. Tapi tetap belum bisa memilih Furqan. Entah kenapa ia merasa tidak mencintai mantan Ketua PPMI itu. Bahkan dalam hatinya ada semacam ketidakcocokan dengan Furqan.
Menurutnya pola hidup Furqan terlalu berbeda dengan mahasiswa yang lain. Dari orang-orang yang ia percaya flat yang disewa Furqan sangat mewah, punya mobil pribadi. Ke mana-mana selalu memakai mobil pribadi. Dan tidak jarang sering menyendiri di hotel hanya untuk menulis makalah. Meskipun ia tidak menyalahkan, karena barangkali Furqan punya alasan. Tapi seperti itu bukan cara hidup yang ia dambakan. Menurutnya itu sudah berlebihan.
Tentang kebimbangannya ia sampaikan pada kedua orang tuanya. Ayahnya diam, menyerahkan semuanya pada Ummi. Umminya malah bertanya padanya,
Jujurlah Nduk, adakah seseorang yang sebenarnya kamu damba. Dalam bahasa anak mudanya kamu naksir padanya?" Ia menggelengkan kepala.
Tapi pernahkan kamu bertemu dengan seorang pemuda yang sangat berkesan di hatimu?" Lanjut Sang Ummi.
Ia diam.
Cobalah ingat-ingat!"
Ya ada Mi."
Siapa dia?"
Aku tak kenal dia Mi. Aku hanya kenal namanya."
Namanya siapa?"
Abdullah."
Abdullah siapa?"
Tak tahu Mi."
Bagaimana kamu ini. Masak cuma kenal nama depannya saja kamu sudah terkesan dengan pemuda itu. Dia sekarang di mana?"
Mungkin masih di Cairo Mi."
Bisa kamu lacak?"
Tidak Mi."
Kau sungguh aneh Nduk. Terkesan kok pada orang tidak jelas."
Kalau Ummi jadi Anna pasti juga akan terkesan." Anna lalu menceritakan perjalanannya dengan teman-temannya ke Sayyeda Zaenab, Cairo. Saat itu ia belanja kitab. Uangnya ia habiskan untuk beli kitab. Ia ingat kitab yang ia beli adalah Lathaiful Ma'arif-nya Ibnu Rajab Al Hanbali, Fatawa Mu'ashirah-nya Yusuf Al Qaradhawi, Dhawabithul Mashlahah-nya Al Buthi, Al Qawaid Al Fiqhiyyah-nya Ali An Nadawi, Ushulud Dakwah-nya Doktor Abdul Karim Zaidan, Kitabul Kharraj-nya Imam Abu Yusuf, Al Qamus-nya Fairuzabadi dan Syarhul Maqashid-nya Taftazani.
Ia pulang bersama Erna. Dompet Erna dicopet. Ia teriak. Pencopet lari. Ia bergegas turun sambil mengejar minta tolong pada orang-orang kalau kecopetan.
Pencopetnya hilang tak terkejar. Ia dan Erna tak ada uang untuk pulang. Sama sekali. Di saat ia bingung ada seorang pemuda naik taksi yang menolongnya memberi tumpangan di belakang. Ia teringat kitab-kitabnya yang tertinggal di bis. Pemuda itu minta sang sopir mengejar bis.
Akhirnya terkejar di Halte jalur ke Hay El Sabe dekat Muraqib Nasr City.
Ia mendapatkan kembali kitabnya. Pemuda yang menolongnya sangat santun. Dan sangat menjaga pandangan. Ia sangat terkesan pada pemuda itu. Ia merasa sangat ditolong saat itu. Entah kenapa ia sulit melupakan itu. Sulit melupakan pemuda yang selalu menunduk itu. Dan saat itu, ketika ditanya namanya cuma menjawab:
Abdullah."
Anna sangat terkesan padanya, Mi."
Yang seperti itu yang kamu damba kira-kira?"
Mungkin. Tapi jujur Anna suka pada pemuda itu."
Tapi siapa dia dan di mana dia kamu tidak tahu kan?"
Iya."
Itu namanya tidak jelas. Kalau menurut Ummi pilihlah yang jelas." Tegas Umminya.
Benar kata Ummimu Nduk." Abahnya menguatkan.
Namun ia belum bisa memutuskan. Dalam hati kecil ia mengatakan jika pemuda yang menolongnya, yang baik hatinya, dan sangat menjaga pandangan bernama Abdullah itu datang melamarnya, maka ia akan langsung mengatakan:
Iya!"
Aduhai jikalau saja saat ini kamu ada di sini Abdullah. Jikalau saja kamu menyampaikan lamaranmu kepadaku.
Jikalau saja kamu utarakan ingin membangun rumah tangga denganku. Aku pasti akan memilihmu, dari pada Ilyas atau Furqan.
Tapi, ah... di mana keberadaanmu di saat aku harus memilih? Di mana...? Ah,..ya Rabbi ampuni hamba-Mu yang lemah iman ini." Desis hatinya bimbang.
Saat ia bimbang dan ragu sms dari isteri Ustadz Mujab terus datang berulang-ulang. Terakhir sms itu mengatakan,
Kami sudah tidak enak sama Furqan. Cepatlah kamu putuskan. Cepatlah kamu putuskan. Cepatlah kamu putuskan. Cepatlah kamu putuskan.
Kalau mau ya bilang mau. Kalau tidak u tidak u tidak u tidak ya tidak. Supaya semua jadi enak. Terima kasih!"
Ana masih bimbang. Dalam hati kecilnya ada Abdullah. Ia sendiri tidak tahu kenapa di sana ada Abdullah. Ia ingin mengenyahkan Abdullah itu tapi tak juga mau enyah. Ia tahu tak boleh ada siapapun di dalam hatinya kecuali orang yang halal baginya. Tapi kenapa muncul juga Abdullah. Seringkali ia rasakan munculnya itu pelan dan halus sekali. Ia kembali membaca sms itu.
Gamang. Tapi harus ia putuskan. Ingin rasanya ia putuskan untuk tidak menerima dua-duanya. Tapi ia juga gamang. Sudah berapa kali ia mengabaikan lamaran yang datang? Ia baca lagi sms dari Cairo itu. Ia rasakan bagai sesuatu yang menterorkan.
Akhirnya dalam kegamangannya, karena teror sms itu ia memutuskan untuk menerima Furqan. Meskipun keputusan itu belum benar-benar bulat di hatinya. Masih ada sebersit keraguan yang bercokol di sana. Dan ia tidak tahu bagaimana caranya menghilangkan keraguan itu. Ia mencoba menghilangkannya dengan shalat istikharah selama tiga hari berturut-turut. Akhirnya walaupun sebersit keraguan itu masih bercokol, ia tetap memutuskan memilih Furqan bila dibandingkan dengan Ilyas. Ia berusaha mantap meskipun masih ada kegamangan yang menggelayut dalam batinnya.
Ia menyampaikan keputusannya pada Abah dan Umminya. Mereka berdua menyambut dengan wajah berseriseri dan gembira. Lalu ia mengirim sms kepada Mbak Zulfa di Cairo, isteri Ustadz Mujab. Isi smsnya itu adalah pemberitahuan bahwa ia menerima lamaran Furqan dan mohon disampaikan kepada Furqan secepatnya.
Anna tersadar dari lamunannya. Waktu terus berjalan.
Hari ini adalah hari yang akan menjadi bagian dari sejarah hidupnya. Ia masih belum yakin bahwa ia siap menjadi isteri Furqan. Ia tidak tahu kenapa sebersit rasa ragu masih juga menyusup halus di dalam hatinya. Apakah sebenarnya ia belum siap menikah? Ataukah ia masih kurang mengenal Furqan sehingga hatinya belum benar-benar bisa bulat seratus persen? Ataukah sebenarnya masih ada yang mengganjal dalam hati Abah atau Umminya? Tapi setiap kali ia bertanya pada mereka berdua, mereka menjawab telah mantap. Abahnya malah dengan entengnya ber-komentar,
Bisa jadi keraguan itu datangnya dari setan yang tidak menginginkan kebaikan pada ummat manusia." Anna berdiri. Melangkah ke arah cermin dan memandang wajahnya sendiri. Ia lalu berseru pada wajah yang ada di cermin,
Anna, kamu harus mantap! kamu tidak mungkin mundur hanya karena keraguan yang tidak jelas dari mana datangnya. Kalau kamu mencari manusia yang sempurna, kamu tidak akan mendapatkannya di atas muka bumi ini! Semua ummat manusia memiliki aib, kekurangan, salah dan dosa-dosa! Tak ada yang sempurna. Anna, kamu harus yakin keputusanmu adalah benar!"
Neng Anna! Neng Anna!" Itu suara Sri, khadimah2 yang sangat disayang Umminya.
Iya Ti, ada apa?"
Dicari Mbak Nafisah. Katanya ada keperluan penting. Dia menunggu di ruang tamu."
Ya, suruh menunggu sebentar." Anna melepas mukenanya. Ia merapikan rambut dan jubah panjang yang dipakainya. Ia mengambil jilbab dari almarinya. Mengenakannya. Bercermin sekilas lalu turun menemui Nafisah.
Khadimah, artinya pembantu. Di dunia pesantren khadimah atau khadim biasanya digunakan untuk menyebut santri yang mengabdikan diri membantu urusan seharihari keluarga kyai.
Maaf Neng mengganggu." Sapa Nafisah. “Tidak kok. Ada apa ya Fis? Katanya penting?"
Iya Neng. Kami mau minta bantuan Neng Anna sedikit."
Banyak juga tidak apa-apa kok selama aku mampu. Apa itu?"
Begini Neng. Anak kelas tiga Aliyah putra dan putri punya kan acara besar..."
Bedah buku kumpulan cerpen itu?" Potong Anna.
Iya benar. Cuma kami ada sedikit masalah Neng."
Masalah apa?"
Rencananya yang menjadi pembandingnya kan Bu Nila Kumalasari, M.Ed. Dosen Fakultas Tarbiah STAIN, tapi mendadak beliau ada halangan. Ayah beliau di Semarang sakit keras, dan sedang dirawat di RS. Roemani Semarang. Beliau harus ke Semarang menunggui ayah beliau. Jadi beliau tidak bisa."
"Sudah cari pengganti beliau?"
Sudah, tapi nama-nama yang kami hubungi tidak bisa Neng."
Guru bahasa Indonesia kalian saja yang jadi pembanding."
Beliau juga tidak bisa. Sebab beliau sudah ijin untuk menghadiri pernikahan adiknya di Jogja."
Ya sudah, tanpa pembanding saja. Biarkan pengarang kumpulan cerpen itu jadi pembicara tunggal saja."
Justru pengarangnya minta ada pembanding. Kami tidak mau mengecewakan beliau. Kami sudah janji akan menyandingkan dengan pembanding yang tepat. Dan rasanya lebih seru kalau ada pembanding."
Terus apa yang bisa aku bantu? Aku tidak punya link orang-orang yang berkecimpung di bidang sastra."
Begini Neng, karena waktu sudah mepet. Kami dari panitia dengan sangat memohon Neng Anna bersedia menjadi pembicara pembanding."
Aku?"
Iya Neng."
Wah tidak bisa! Tidak bisa!" “Kami mohon Neng!"
Tidak bisa, Fis! Itu bukan bidangku."
Iya kami tahu. Maka nanti Neng Anna tidak usah bicara tentang sastra dan tetek bengeknya. Kami tidak minta Neng
Anna bicara tentang itu?"
Terus aku bicara tentang apa?"
Neng kan sarjana Syariah dari Al Azhar. Kami minta Neng Anna menyoroti isi dan pesan yang terkandung dalam kumpulan cerpen itu sudah sesuai dengan syariah belum. Sesuai dengan ajaran Islam yang mulia tidak. Itu saja. Tolong ya Neng. Kalau Neng Anna tidak mau kami harus bagaimana lagi. Waktunya tinggal besok Neng." Nafisah membujuk dengan nada mengiba.
Anna Althafunnisa diam sesaat. Keningnya berkerut.
la mengambil nafas agak panjang lalu mendesah. Bibirnya yang indah itu bergetar lirih,
Baiklah."
Terima kasih Neng."
Tapi aku minta segera kamu bawakan kemari buku kumpulan cerpen itu ya. Biar segera kubaca."
Jangan khawatir Neng. Ini sudah aku bawakan." Jawab Nafisah dengan wajah berbinar-binar bahagia. la mengeluarkan buku ukuran sedang dari dalam lipatan kitab Fathul Qarib. Rupanya buku kumpulan cerpen itu ia selipkan di dalam kitab kuning yang memang lebih lebar.
Nafisah mengulurkan buku itu pada Anna. Anna menerima dan memeriksa sampul buku itu dengan seksama.
Judul kumpulan cerpen itu adalah Menari Bersama Ombak.
Ditulis oleh Ayatul Husna. Diterbitkan oleh penerbit terkenal di Jakarta. Ia buka halaman demi halaman.
Wah baru empat bulan sudah cetakan ke-5, berarti ini buku best seller ya Fis."
Iya Neng. Saya membaca di koran penulisnya akan menerima penghargaan dari Diknas Pusat bulan Agustus nanti. Sebab buku ini terpilih sebagai buku kumpulan cerpen remaja terbaik nasional."
Wah jadi semangat nih. Jadi ingin bertemu penulisnya nih
Ya, begitu Neng. Kami jadi tambah semangat."
O ya Fis, aku ada satu permintaan lagi."
Apa itu Neng?"
Aku minta agar identitasku sebagai lulusan Al Azhar tidak disebut-sebut. Aku minta agar namaku yang digunakan dalam seminar besok nama penaku yaitu Bintun Nahl. Sebut saja guru bahasa Arab, pernah nyantri di Kudus dan Ciamis. Itu saja."
Baik Neng, insya Allah kami penuhi." Anna menatap kedua mata Nafisah memancarkan sinar kebahagiaan. Dan di luar, sinar surya sudah memancar menyinari alam, menebar kehangatan. Sinar itu menyapa dengan ramah daun-daun padi yang masih hijau, yang menghampar bagai permadani nan luas.
Burung-burung pipit beterbangan ke sana ke mari dengan riang. Alam semakin hangat. Semakin benderang. Sinar matahari pagi itu terus bergerak menerobos menyingkir-kan kegelapan.
Sinar matahari pagi itu juga menerobos sela-sela jendela kamar Furqan di Hotel Lor Inn Solo. Furqan yang menyibak perlahan tirai jendela kamarnya dengan wajah pucat dan muram. Cerahnya pagi hari itu ternyata tak juga sanggup mencerahkan batin, jiwa dan perasaannya. Ada beban yang ia rasa sangat berat yang menekan jiwanya.
Itulah yang membuat dia muram di hari yang seharusnya ia ceria.
Furqan memandang ke arah matahari. Ia berkata lirih pada matahari,
Apalah arti sinarmu, bagi orang yang semangat hidupnya sudah redup dan nyaris mati!?"
Furqan menyibak jendela lebih lapang, berharap dadanya bisa terasa lebih lapang. Wajah Anna Althafunnisa berkelebat-kelebat dalam pikiran.
REVAN NINTANG BLOG. Diberdayakan oleh Blogger.